Senin, 31 Desember 2012

Sukses di Bali, 10 Pelukis Asal Ambarawa Gelar Pameran



 28 Desember 2012 | 12:14 wib

AMATI LUKISAN: Pengunjung mengamati lukisan karya Kelompok Sepuluh Ambarawa yang dipamerkan di Pendapa Kecamatan Ambarawa, Jumat (28/12). (suaramerdeka.com/Ranin Agung)

AMBARAWA, suaramerdeka.com - Sebanyak 10 pelukis asal Ambarawa, Kabupaten Semarang yang sukses berkarya di Pulau Bali menggelar pameran bersama di Pendapa Kecamatan Ambarawa. Kegiatan yang bertajuk Reuni Kelompok Sepuluh Ambarawa sengaja dikemas sederhana dengan memanfaatkan luas pendapa yang masih utuh bercorak joglo.

Ketua Panitia, Guton Suparmin mengatakan, pihaknya berencana akan menggelar pameran bersama hingga 29 Desember 2012. Selain pameran lukisan, seniman lukis juga meluncurkan buku berjudul Langkah-langkah Perupa Ambarawa era 70-an sampai 2012. "Semua karya kami baik yang dilukis di Ambarawa maupun di Bali kami pamerkan semua di sini, dengan maksud agar masyarakat mengetahui dan ingin belajar melukis," katanya, Jumat (28/12).

Ke sepuluh pelukis yang tergabung dalam Sanggar Gedong Songo, meliputi Madi Kertonegoro, Suparmin, Untung, Dullah, Dillah, M Japin, Dibyo, Gunadi Anggara, Sulis, dan Ngatiman. Seiring dengan perjalanan waktu, pelukis Ambarawa lainnya seperti Agus Konyil, Nusa Adi, Bambang, Karno Gugat, Totok (Saptono), dan Tony (Ping Swie) pun ikut meramaikan dengan berkarya sesuai dengan aliran masing-masing.
"Dari aliran nyleneh karya Agus Konyil hingga Bambang dengan aliran representatif dan aliran gugat yang biasa dianut Karno Gugat bisa dijadikan tetenger bila di Ambarawa juga ada seniman lukis. Pasalnya saat ini, banyak orang yang tidak tahu bahkan menutup mata dengan keberadaan pelukis asal Ambarawa," jelasnya.
Ditambahkan, usai menggelar pameran bersama di Pendapa Kecamatan Ambarawa rencananya para seniman lukis Ambarawa akan menggelar bursa lukisan di area Bandungan Indah (Taman Rekreasi PJKA Bandungan) selama satu bulan mulai 1 Januari 2013 mendatang.

Devi Puspitasari Wihardjo (30), salah satu pengunjung pameran mengungkapkan, dirinya bisa melihat kekompakan dari pelukis Ambarawa. Menurut dia, hal tersebut dibuktikan dengan bersatunya pelukis yang lahir dari berbagai aliran untuk bangkit bersama menggelar pameran.

"Tidak semua pelukis bisa kompak menggelar pameran karya, tetapi di Ambarawa hal ini bisa terwujud. Saya pun sebagai penggemar lukisan salut atas kerja sama tersebut," ungkapnya.
( Ranin Agung / CN31 / JBSM )

Minggu, 30 Desember 2012

WARGA DESA KALIGONO BERJOGET TAYUB SEMALAM SUNTUK"



30 Desember 2012 | 16:51 wib

Warga Berjoget Tayub Semalam Suntuk

SAPARAN: Puncak prosesi merti dusun saparan di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Sabtu (29/12) malam. (suaramerdeka.com / Nur Kholiq)

 PURWOREJO, suaramerdeka.com - Dingin malam yang menyelimuti puncak lereng perbukitan Menoreh tak juga menyurutkan ratusan orang untuk berbondong-bondong mendatangi sebuah rumah tua di ujung jalan terjal dan menanjak di Dusun Tugono, Desa Kaligono, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Sabtu (29/12) malam.
 
Di dalam rumah, ratusan besekan berisi makanan sudah di tata rapi di atas ancak dipan. Ratusan kaum laki-laki terlihat khusyuk dalam posisi duduk bersila. Sedangkan perempuan-perempuan dusun tampak mengerubungi rumah sembari sesekali menyaksikan prosesi dari balik jendela.

Pada kursi kehormatan, terlihat duduk para Pangemban pangembating praja, seperti Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, Camat Kaligesing Ari Setiadi SSos, serta sejumlah pejabat dari Polsek, Koramil, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Komunikasi Informasi dan Pariwisata, serta jajaran pemerintahan desa.

Suasana yang tadinya riuh kelakar penuh canda tiba-tiba hening begitu sesepuh dusun maju podium dan memulai prosesi kenduri. Dengan bahasa adat setempat, sesepuh ini mengikrarkan kenduri masyarakat yang pada intinya memohon keselamatan, keberkahan rezeki, tolak bala, dan harapan kehidupan surgawi di dusun itu. Usai ikrar dilanjutkan doa dan diakhiri dengan sorak horai serentak seluruh masyarakat. "Hore....hore...," teriak secara kor berkali-kali. Beberapa saat kemudian, besekan itu dibagikan kepada seluruh masyarakat termasuk tamu-tamu undang.
 
Puncak acara yang dinanti tiba. Ya, tayuban yang mendatangkan kelompok kesenian Tayub dari Lendah Kulonprogo. Suara gending mulai meramaikan suasana mengiringi masyarakat yang berjoget ria dengan sinden-sinden. Serasa tak ada lelah, joget ria itu menjadi semacam kebahagiaan yang dilakoni hingga mentari terbit dari balik bukit.

Begitulah prosesi merti dusun saparan di Dusun Tugono. Keramaiannya justru melebihi saat perayaan Idul Fitri karena semua masyarakat setempat yang merantau pulang untuk mengikuti kegiatan rutin tahunan tersebut.

Kepala Desa Kaligono Suroto menjelaskan, merti dusun diawali dengan pembersihan dua pepunden yaitu Eyang Germalang atau Eyang Wijoyo Diningrat dan Eyang Gesik. Dua orang ini dipercaya sebagai tokoh spiritual yang babat alas di dusun itu. "Ini bentuk penghormatan kami kepada leluhur," katanya.

Warga juga membersihkan makam-makam leluhur desa. Untuk selamatannya, warga yang terdiri dari 96 keluarga membuat 260 besekan yang ditanggung oleh 56 kelompok. Setiap kelompok menghabiskan dana sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. ( Nur Kholiq / CN37 / JBSM )

Sabtu, 29 Desember 2012

Syekh Siti Jenar Versi “Serat Negara Kertabumi” Blog Slamet Priyadi: "Karya Seni Budaya Nusantara"



Penulis: Slamet Priyadi
Karya Seni Budaya Nusantara | Minggu, 30/12/2012 | 03:50.00 WIB
    
Slamet Priyadi
Cerita eksekusi Syeh Siti Jenar versi Serat Negara Kertabumi berbeda dengan versi-versi lain yang biasa kita baca dan saksikan dalam buku-buku maupun film. Hal ini sebagaimana suntingan Rahman Sulendraningrat dalam buku "Siti Jenar-Cikal Bakal Faham Kejawen" tulisan YB. Prabaswara,  halaman 32-34:

   
"Seperti juga versi Jawatengahan, sastra Kacirebonan ini menceritakan bahwa para pengikut Syeh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan kasultanan Cirebon. Beberapa tokoh pimpinan kelompok ini pernah mencoba untuk merebut tahta tapi tak pernah berhasil. Ketika Pengging dilumpuhkan, Syeh Siti Jenar yang pada waktu itu menyebarkan ajarannya di sana kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Di sini, kekuatan Syeh Siti Jenarmenjadi kokoh, pengikutnya meluas dan menyebar sampai ke desa-desa. Setelah Syeh Datuk Kahfi wafat, Sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia, tetapi ia tidak mendapat murid karena orang-orang sudah menjadi murid Syeh Siti Jenar termasuk Panglima bala tentara Cirebon, Pangeran Carbon. Dijaga oleh para murid-muridnya sangat setia itu, Syeh Siti Jenar aman tinggal di Cirebon. Berita ini sampai ke telinga Sultan Demak, bahwa musuhnya berada di Cirebon. Sultan Demak lalu mengutus Sunan Kudus disertai 700 prajurit menuju Cirebon.  Sultan Cirebon  menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.

     Langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid utama Syeh Siti Jenar  antara lain, Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Adipati Cangkuang, dan beberapa orang istana Pangkuangwati. Selajutnya bala tentara Cirebon dan Demak bergerak menuju Padepokan Syeh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan dibawa ke Masjid Agung Cirebon untuk diadili. Di Masjid Cirebon banyak para ulama  telah berkumpul. Sunan Gunung Jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar bersalah besar, dan pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar mendapat hukuman mati. Selang beberapa waktu, akhirnya Syekh Siti Jenar dieksekusi mati oleh Sunan Kudus dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi pada bulan Safar, tahun 923 H atau 1506 Masehi.

Mayat Syeh Siti Jenar lalu dimakamkan di suatu tempat yang tidak diketahui.  Akan tetepi lama kelamaan  orang dapat mengetahui  tempat tersebut. Merekapun terutama para pengikut dan murid-murid Syeh Siti  Jenar,  berdatangan  berziarah ke makam  Syeh Siti Jenar. Para peziarah itu ada yang datang dari Cirebon, Jakarta, Banten, Parahiyangan,  Jawa Timur, dan bahkan dari Semenanjung Malaya. Melihat kenyataan ini Sunan Gunung Jati  memerintahkan kepada segenap kawulanya agar memindahkan secara diam-diam mayat Syeh Siti Jenar ke suatu tempat yang sangat dirahasiakan.  Mayat Syeh Siti Jenar diganti dengan bangkai seekor anjing hitam. Pada waktu para peziarah, terutama pengikut dan murid-murid Syekh Siti Jenar menghendaki agar mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur. Makampun digali kembali, apa yang terlihat? Ternyata mayat Syekh Siti Jenar tidak ada yang ada hanyalah bangkai seekor anjing hitam. Para peziarahpun sangat terkejut, haran dan tidak mengerti mengapa mayat Syeh Siti Jenar berubah menjadi bangkai seekor anjing hitam. Mereka beranggapan kalau mayat syekh Siti Jenar telah berubah menjadi seekor anjing. Menyikapi keadaan seperti ini sultan Cirebon kemudian mengeluarkan instruksi agar para peziarah, dan para pengikut ajaran Syeh Siti  Jenar tidak  menziarahi bangkai seekor anjing dan segera meninggalkan ajaran Syeh Siti Jenar  yang sesat”.

Tanggapan:
     Menyikapi tindakan yang dilakukan Sunan Gunung Jati mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai seekor anjing, jika itu memang benar, malah justru mengangkat derajat Syekh Siti Jenar, dan itu tak ada salahnya. Menurut sebagian sufi, anjing bukanlah khewan nista, najis dan diharamkan bahkan sebaliknya malah dihormati. Hal ini sebagaimana yang dilakukan, “Husain ibnu Manshur Al-Hallaj” seorang tokoh sufi yang menjadi inspirasi lahirnya ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa. Beliau adalah seorang tokoh yang sangat menghormati anjing, diceritakan Fariduddin Aththar:

     “Suatu ketika, Sekh Abdullah Turugbadi dari kota Thus menggelar taplak, dan makan roti bersama murid-muridnya ketika Manshur Al-Hallaj tiba dari kota Qasymir  berpakaian qaba’hitam sambil membawa 2 ekor anjing hitam yang dirantai. Syekh berkata kepada murid-muridnya, "seorang lelaki muda yang berpakaian seperti ini akan segera datang, bangkitlah kalian semua, dan temui, karena dia melakukan hal-hal yang besar."
 
     “Merekapun keluar untuk menjumpai lelaki itu yang bukan lain adalah Husain ibnu Manshur Al-hallaj dan segera membawanya masuk. Setelah menghampirinya, Syekh segera mempersilahkan tempat duduk kepada Al-Hallaj sambil membawakan 2 ekor anjingnya untuk ikut makan di dekat mejanya. Tuan Syekh melihat Al-Hallaj makan roti dan memberi makan roti pula kepada anjing-anjingnya itu.  Ketika Al-Hallaj berpamit untuk kembali, tuan Syekh segera beri untuk mengucapkan selamat jalan. Setelah Al-Hallaj pergi, murid-murid tuan Syekh bertanya, ‘Mengapa tuan Syekh membiarkan orang semacam itu, yang makan bersama annjing-anjingnya, duduk di tempat tuan Syekh, seorang pengembara yang kehadirannya membuat seluruh makanan kita tidak suci lagi?” Tuan Syekh menjawab dan memberikan penjelasan kepada murid-muridnya:

     “Anjing-anjing itu sebenarnya lambang keakuan (nafsu), mereka tinggal diluar dirinya, dan berjalan disisinya, sementara anjing-anjing kita masih berada dalam diri kita, dan kita mengikuti di belakangnya.”

      Itulah perbedaan antara seseorang yang mengikuti anjing dan orang yang diikuti anjing. Anjing-anjingnya berada di luar, dan kalian dapat melihat mereka, sementara anjing-anjing kalian tersembunyi berada di dalam hati kalian, dan kalian tak bisa melihatnya. Kedudukan orang itu seribu kali lebih tinggi dari kedudukan kalian. Dia telah berada dalam  tataran ajaran Tuhan, sifat-sifatnya telah menyatu dengan Tuhan, apakah ada seekor anjing atau tidak, dia hanya ingin mengarahkan segala tindakannya itu dengan  apa yang diperintahkan Tuhan.”
            
     Anjing digambarkan sebagai symbol arakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena menjadi symbol, maka anjing akrab dengan kehidupan para sufi, termasuk Al-Hallaj dan bisa jadi demikian pula dengan Syekh Siti Jenar yang diumpamakan seperti anjing. Dalam kisah di zaman Rasulullah, ada seorang pelacur masuk syurganya Allah karena dia dengan ikhlas menolong seekor anjing yang sedang kehausan. (Referensi: YB.Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Kejawen. Penerbit Armedia-Jakarta.)

Penulis: Slamet Priyadi
Karya Seni Budaya Nusantara | Minggu, 30/12/2012 | 03:50.00 WIB

“SERAT WEDATHAMA” SINOM 1 KGPA Sri Mangkunegoro IV - Blog Slamet Priyadi: “Karya Seni Budaya Nusantara”

KGPA Sri Mangkunegoro IV
KGPA Sri Mangkunegoro IV


“SERAT WEDATHAMA” SINOM 1
Sembah Cipta/Kalbu/Tarekat - KGP Aryo Sri Mangkunegoro IV
Blog Slamet Priyadi: “KARYA SENI BUDAYA NUSANTARA”
Sabtu, 29 Desember 2012 | 01:40’00 WIB

Nulada laku utama
Tumrape wong Tanah jawi,
Wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senopati,
Kepati amarsudi,
Sudane hawa lan nepsu,
Pinepsu tapa brata,
Tanapi ing siyang ratri,
Amamangun karyenak tyasing sesama.

Contohlah perilaku utama,
bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
orang besar dari Ngeksiganda (Mataram),
Panembahan Senopati,
yang tekun, mengurangi hawa nafsu, dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam
selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama (kasih sayang

Samangsane pasamuan, mamangun marta martani,
Sinambi ing saben mangsa,
Kala kalaning asepi,
Lelana teki-teki,
Nggayuh geyonganing kayun,
Kayungyun eninging tyas,
Sanityasa pinrihatin,
Puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.

Dalam setiap pergaulan,
membangun sikap tahu diri.
Setiap ada kesempatan,
Di saat waktu longgar,
mengembara untuk bertapa,
menggapai cita-cita hati,
hanyut dalam keheningan kalbu.
Senantiasa menjaga hati untuk prihatin (menahan hawa nafsu),
dengan tekad kuat, membatasi  makan dan tidur

Saben mendra saking wisma,
Lelana lalading sepi,
Ngingsep sepuhing supana,
Mrih pana pranaweng kapti,
Tis tising tyas marsudi,
Mardawaning budya tulus,
Mesu reh kasudarman,
Neng tepining jalanidhi,
Sruning brata kataman wahyu dyatmika.

Setiap mengembara meninggalkan rumah (istana),
berkelana ke tempat yang sunyi (dari hawa nafsu),
menghirup  tingginya ilmu,
agar jelas apa yang menjadi tujuan (hidup) sejati.
Hati bertekad selalu berusaha dengan tekun,
memperdayakan akal budi
menghayati cinta kasih,
ditepinya samudra.
Kuatnya bertapa diterimalah wahyu dyatmika (hidup yang sejati).

Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda

Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian” melimputi indera
Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng Ratu Kidul,
Naik menggapai awang-awang,
(kemudian) datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong Agung Ngeksigondo.

Sumber: http://budayaleluhur.blogspot.com
Karya Seni Budaya Nusantara – cigombong80.blogspot.com