Rabu, 23 Januari 2013

Serat Wedhatama Sinom 2 KGPA Sri Mangkunegoro IV Blog Slamet Priyadi – Karya Seni Budaya Nusantara



Serat Wedhatama Sinom

KGPA Sri Mangkunegoro IV
Blog Slamet Priyadi – Karya Seni Budaya Nusantara

Kamis, 23 Januari 2013

  
Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda

Dahat denira aminta,
Sinupeket pangkat kanthi,
Jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi,
Sumanggem anyanggemi,
Ing karsa kang wus tinamtu,
Pamrihe mung aminta,
Supangate teki-teki,
Nora ketang teken janggut suku jaja.

Prajanjine abipraya,
Saturun-turuning wuri,
Mangkono trahing ngawirya,
Yen amasah mesu budi,
Dumadya glis dumugi,
Iya ing sakarsanipun,
Wong agung Ngeksiganda,
Nugrahane prapteng mangkin,
Trah tumerah dharahe padha wibawa.

Ambawani tanah Jawa,
Kang padha jumeneng aji,
Satriya dibya sumbaga,
Tan lyan trahing Senopati,
Pan iku pantes ugi,
Tinelad labetipun,
Ing sakuwasanira,
Enake lan jaman mangkin,
Sayektine tan bisa ngepleki kuna.

Lowung kalamun tinimbang,
Ngaurip tanpa prihatin,
Nanging ta ing jaman mangkya,
Pra mudha kang den karemi,
Manulad nelad nabi,
Nayakengrat gusti rasul,
Anggung ginawe umbag,
Saben seba mampir masjid,
Ngajab-ajab tibaning mukjijat drajat.
Memahami kekuasaan di dalam samodra seluruhnya sudah dijelajahi,
“kesaktian” melimputi indera
Ibaratnya cukup satu genggaman saja sudah jadi, berhasil berkuasa,
Kangjeng Ratu Kidul,
Naik menggapai awang-awang,
datang menghadap dengan penuh hormat,
kepada Wong Agung Ngeksigondo.

Memohon dengan sangat lah beliau,
agar diakui sebagai sahabat setia, di dalam alam gaib,
tempatnya berkelana setiap sepi.
Bersedialah menyanggupi,
kehendak yang sudah digariskan.
Harapannya hanyalah meminta
restu dalam bertapa,
Meski dengan susah payah.

Perjanjian sangat mulia,
untuk seluruh keturunannya di kelak kemudian hari.
Begitulah seluruh keturunan orang luhur,
bila mau mengasah akal budi
akan cepat berhasil,
apa yang diharapkan orang besar Mataram, anugerahnya hingga kelak dapat mengalir di seluruh darah keturunannya, dapat memiliki wibawa.

Ambawani tanah Jawa,
Kang padha jumeneng aji,
Satriya dibya sumbaga,
Tan lyan trahing Senopati,
Pan iku pantes ugi,
Tinelad labetipun,
Ing sakuwasanira,
Enake lan jaman mangkin,
Sayektine tan bisa ngepleki kuna.

Mending bila dibanding orang hidup tanpa prihatin,
namun di masa yang akan datang (masa kini),
yang digemari anak muda,
meniru-niru nabi, rasul utusan Tuhan,
yang hanya dipakai untuk menyombongkan diri,
setiap akan bekerja singgah dulu di masjid,
Mengharap mukjizat agar mendapat derajat (naik pangkat).

Sambut Maulud dengan "Weh-wehan"


Penulis: Kontributor Kendal, Slamet Priyatin | KOMPAS.com | Kamis, 24 Januari 2013 | 01:12 WIB

Tradisi weh wehan di Kaliwungu Kendal.
KENDAL, KOMPAS.com--Tidak cuma memasang teng-tengan (lampion dari kapal atau bintang lima). Tradisi unik lain untuk menyambut Maulud Nabi Muhammad SAW di Kaliwungu Kendal Jawa Tengah, adalah Ketuwih atau weh-wehan.

Weh wehan yang berarti saling bertukar jajan yang digelar di depan rumah masing-masing. Tumpukan jajan beraneka macam di depan rumah ini, memang untuk dijual tetapi bukan dibeli menggunakan uang. Tetapi menggunakan jajan atau makanan lainnya. Tradisi saling tukar menukar jajan dan makanan ini sudah ada sejak masa penyebaran agama Islam di Pulau Jawa khususnya di Kaliwungu Kendal. Tradisi yang dikenal dengan tradisi ketuwin atau weh-wehan ini sebagai bentuk rasa syukur dan bangga masyarakat menyambut kelahiran Nabi Muhammad.
 
Makanan khas yang selalu ada pada tradisi ini adalah sumpil dan ketan beraneka warna. Menurut warga, sumpil mengandung banyak arti dan makna, sedangkan ketan beraneka warna simbol rasa syukur dan bangga serta perekat tali silahturahmi.

Salah satu warga Kaliwungu Kendal, Edy Prayitno, mengatakan, ketuwih atau weh wehan di Kaliwungu Kendal dilaksanakan setiap bulan maulud. Makanan khasnya yakni sumpil dan ketan beraneka warna. "Karena perkembangan zaman, sekarang ini tidak hanya Sumpil saja yang disajikan, tapi juga jajanan yang ngetren sekarang," kata Edy, Rabu (23/1).

Warga Kaliwungu lain, Any Fa'iqoh menjelaskan, weh-wehan dilakukan usai Ashar hingga Isya. Ia berharap, weh-wehan tetap terus ada karena sebuah tradisi yang tidak dimiliki oleh daerah lain. "Weh wehan mulai dilakukan oleh para penyebar agama Islam, bertujuan awalnya untuk silaturahim," tambahnya. 

Editor :
Jodhi Yudono

16 Seniman Melukis di Pemakaman



Penulis: Angger Andreas | KOMPAS.com | Rabu, 23 Januari 2013 | 18:52 WIB

Kompas/Angger Andreas
 Wartawan Kompas Putu Fajar Arcana turut melukis bersama 16 pelukis dari Jakarta dan Bandung di kompleks Pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Rabu (23/01/2013). 

JAKARTA, KOMPAS.com -- Sebanyak 16 pelukis dari Jakarta dan Bandung berkumpul di pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, Rabu (23/1/2013). Kedatangan mereka bukan untuk memakamkan rekan mereka, melainkan untuk melukis di lokasi pemakaman yang berkesan mewah dan indah itu.

Bentara Budaya Jakarta dan pengelola San Diego Hills menjadi penyelenggara acara. Para pelukis akan melukis on the spot di kawasan pemakaman seluas 500 ha tersebut. Setiap pelukis dibekali aneka warna cat akrilik dan sebuah kanvas berukuran 145 x 120 cm sebagai media lukis.

Para seniman berkesempatan untuk bertemu dan mendengarkan pemapaparan dari Pimpinan Group Lippo Mochtar Ryadi (84). Sesaat sebelum melukis para seniman sempat diajak berkeliling area pemakaman sekaligus untuk menentukan tempat untuk melukis. Hasil karya para pelukis akan di pamerkan di Bentara Budaya Jakarta pada 7-16 Februari 2013 dan di Galeri Lippo, Kemang, sepanjang Maret 2013. 
 
Editor :
Nasru Alam Aziz

Minggu, 20 Januari 2013

Mengenal Warna Puisi Sitor Situmorang

Oleh Agus S Warman | Sabtu, 29 Desember 2012 

Sitor Situmorang
SUARA KARYA ONLINE - Bagi saya, apa yang paling terkenang dari puisi Sitor Situmorang, terutama dari periode awal, khususnya kumpulan Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama, bukanlah isi filsafat - misalnya tentang keisengan atau keterasingan - melainkan bunyi dan rupa, bahkan tertib-rupa dan tertib-bunyi.

Ciri demikian itu membebaskan dia dari lingkungan pengaruh Chairil Anwar, sosok pembaharu dari generasinya sendiri, dan mendekatkan dia kepada Amir Hamzah. Memahami puisi puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor segera meninggalkan gema di hati dan kepala. Bisa begitu, karena Sitor Situmorang dalam berkarya apapun tak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada bunyi alam atau nyanyian anak. Namun, jangan buru-buru mengatakannya penyair kuno hanya karena Sitor Situmorang selalu merasa terikat dengan penggunaan bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya, Sitor pun telah menulis banyak mengenai puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa lampau dan tradisi kekinian. Jelaslah, tertib-pola demikian adalah sarana untuk menapis, juga menundukkan, derau dan gebalau pengalaman modern.

Generasi Sitor, masuk dalam Angkatan '45, memang dikenal sebagai kelompok penyair yang begitu menggandrungi puisi bebas. Tetapi Sitor sendiri tidak demikian. Buktinya, puisi puisi Sitor tidak jarang didominasi dengan persoalan kekinian. Tak jarang pula puisi-puisi Sitor terjebak dalam permainan kata yang berlebihan, kemubaziran, yang hanya mengekor modernitas, bukan mempersoalkannya. Kita lihat, puisi bebas Sitor "hanyalah" bentuk yang lebih lentur-cair dari pantun dan sonetanya. Kesepian, juga keisengan, keterasingan, kebosanan, mungkin juga kemabukan. Kalimat-kalimat yang mengandung unsur filsafat semua ada dalam puisi Sitor: suatu pandangan dunia yang tak tertawarkan lagi?

Seorang penyair modern yang sejati, mestinya adalah sang flaneur, sebagaimana halnya Baude-lairre: seorang pejalan iseng yang mengalami pemandangan, dunia, sebagai hal terpecah-pecah, de-kaden-ia pencari keburukan ketimbang keindahan. Namun Sitor adalah seorang flaneur yang tak sepenuh hati. Ia pemburu keindahan atau sisanya. Seperti Pablo Neruda, Sitor berkelana dengan membawa kampung halamannya dalam bungkusan. Neruda seperti hendak meluaskan tanah airnya ke seluruh bumi; sedang Sitor, ingin menjadi orang-dunia namun diganduli oleh warisan leluhurnya. Sitor meragukan, mungkin menyangkal, asal-usulnya justru dengan menggunakan puisi lama-soneta dan pantun. Keduanya sampai juga ke "jalan kiri" dengan alasan berbeda: Neruda lantaran kejenuhannya dengan puisi modern: Sitor, justru karena keberjarakannya. Sitor melakukan rekonsoliasi dengan kampungnya, kampung yang kini diluaskannya sebagai "bangsa": demikianlah keisengan (yang tak pernah menjadi filsafat itu) digantikan ide, bahkan ideologi. Maka impresionisme menjadi realisme; dan pantun dan sonet pun bertukar dengan puisi bebas. Sitor sang flaneur yang bimbang tak cukup radikal dalam melawan komunitasnya, sebagaimana sang komunitas juga begitu setengah hati untuk meninggalkan masa lampaunya. Mungkinkah "aku" menjadi "kami" atau "kita" dalam derap "revolusi"? Mungkin sekali tidak. Puisi Sitor selepas 1970-an adalah upaya mendedahkan "aku" kembali, sang pejalan: kini ia bukan pemburu keisengan melainkan pengumpul cendera mata dari pelosok Nusantara dan mancanegara. Di sini tiada lagi musik atau tertib-bunyi yang bisa melunakkan isi-sajak.



Tapi jika kita sudah terlalu banyak mendengar khotbah dari segala penjuru, "filsafat" dalam puisi tak penting lagi. Itu sebabnya kita selalu kembali kepada puisi Sitor Situmorang dari 1950-an, di mana musik dan bunyi begitu utama, sehingga kita bisa merayakan keisengan murni-dalam arti menjadi makhluk bermain, homo ludens-setelah kita menjadi begitu jinak dan seragam dalam jejaring sistem. Menjadi "bunga di atas batu, dibakar sepi": liar, keras kepala, tak menyerah. Demikianlah puisi Sitor yang terbaik, justru membuat kita mampu mengsongsong "filsafat" yang dikandungnya dengan haram. (SKO)