Selasa, 30 Desember 2014

HASRAT UNTUK BERUBAH

Tusya belajar berjalan
THE WILLINGNESS TO CHANGE

When I was Young And Free
And my imagination has no limit,
I dreamed of changing The World.
As I grew older and wiser,
I discovered The World would not change,
So  I  shortened May shights somewhat
And  decided do Change only My country
But it too seemed immovable
As I grew into my  twilight years
in  one  last desperate attempt
I settled for changing only my family
Those closest do Ma, but a las
They would have one of it
Ana ons as I Lay on May deathbed
I suddenly realize
If I had only Changed my self First
Then by  example I might have change my family,
 from their inspiration and encouragement,
I would then  have been able to better my country
And  who knows, I may  have even Change the world.

     (An Anglican Bishop, 1100 AD, as written in
The Crypts of Westminster Abbey)

HASRAT UNTUK BERUBAH

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal
Aku bermimpi ingin mengubah dunia
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
Kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit
Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku
Namun tampaknya, hasrat itu pun tiada hasil

Ketika usiaku semakin senja
Dengan semangatku yang masih tersisa
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku
Orang-orang yang paling dekat denganku
Tetapi malangnya, mereka pun tidak mau berubah
Dan kini, sementara aku berbaring, saat ajal menjelang

Tiba-tiba kusadari:
Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku
Dan dengan menjadikan diriku sebagai teladan
Mungkin aku dapat mengubah kekuargaku
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka
Bisa jadi aku pun mampu mengubah negeriku

Kemudian siapa tahu
Aku bahkan dapat mengubah dunia

Dikutip dari buku  “Membangun Kembali Jati Diri Bangsa”
Oleh:  H. Soemarno Soedarsono, halaman 42-43
Penerbit PT Elex Media Komputindo 2008
Yayasan Jati Diri Bangsa

Rabu, 31 Desember 2014 - 5:22 WIB
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor

Jumat, 26 Desember 2014

ȘAḌ-ANGGA DAN WAYANG KULIT Oleh Prof. Dr. Edi Sed...


SENI BUDAYA NUSANTARA - Sabtu, 27 Desember 2014 - 05:07 WIB - Di dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (ṣaḍ) syarat, sekumpulan syarat yang terdiri atas enam bagian atau perincian (angga), karena itu rumuan itu disebut Șaḍ-angga.  Rumusan ini aslinya didapatkan dalam pembicaraan mengenai seni lukis dari abad VII, tetapi secara umum dapat pula dipakai untuk bentuk-bentuk kesenian yang lain.
 



Syarat-syarat tersebut adalah:
1.                  Rῡpabheda, artinya pembedaan bentuk. 
 Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenal oleh yang melihatnya.  Bunga harus segera dapat  dikenali sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebaggai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, anak kecil sebagai anak kecil, dan seterusnya.   Pokoknya di sini diminta ketrampilan si seniman menyatakan bentuk-bentuk tanpa meragukan.

2.                  Sãdrśya, artinya kesamaan dalam penglihatan.
Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang terkandung di dalamnya.  Misalnya sebuah pohon dengan bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini, misalnya dengan menggambarkan batang-batangnya yang serba membulat kecembung-cembungan, bunga-bunganya merekah dengan kelopak-kelopak yang tebal, buah-buahnya serba membulat, seolah-olah semua itu diairi oleh air sari yang  pada dasarnya adalah esensi dari kesuburan.

Demikian juga misalnya sang Buddha Sãkyamuni digambarkan dengan badan yang tegap dan kukuh karena tokoh ini melambangkangkan keteguhan batin dan kekuatan ajaran sucinya.  Kalau kita terapkan pada wayang kulit, maka kita melihat bahwa sãdrśya ini  terdapat misalnya antara watak Janaka yang rendah hati dan selalku siaga dengan wujudnya yang luruh tangguh itu; antara watak Kresna yang cerdik dan waspada dengan wujudnya: leher condong dengan muka terangkat lurus  ke depan; antara Durna yang licik dengan raut mukanya yang serba berkerinyut, dan seterusnya.  Bahkan lebih terperinci lagi, keadaan-keadaan batin tertentu dari beberapa tokoh utama wayang digambarkan dalam wujud –wujud dengan nuansa yang berbeda-beda, yang disebut wanda.  Di sini kita lihat bahwa dalam wayang prinsip sãdrśya diterapkan pada seperangkat tokoh cerita yang sekaligus adalah tokoh-tokoh mitologis, yang masing-masing telah diberi penggambaran wataknyanya yang khas, sehingga akhirnya kita mendapatkan suatu pematokan gaya berdasarkan watak yang dikuatkan oleh tradisi.  Dengan adanya pengertian mengenai sãdrsya ini, yaitu kesejajaran wujud dan ide, wujud dan watak, maka orang akan menertawakan dan masyakat menolak, seandainya ada seniman yang mengadakan eksperimen misalnya dengan menggambarkan Janaka dengan badan besar dan muka mendongak.

3.                  Pramãna,  artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
Sebagai konsekuensi sãdrśya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu, ide-ide yang tetap ini harus diteguhkan dengan ukuran-ukuran yang tetap pula.  Di sini proporsi menjadi sangat penting.

Perbandingan antara besarnya Ṥyiwa dengan Pãrwãti harus sesuai dengan kedudukannya sebagai dewa utama dengan istri yang merupakan pesertanya tetapi juga sumber kekuatannya.  Perbandingan antara panjang muka dengan tinggi dada dan panjang kaki: ukuran dan perbandingan ini diatur misalnya dengan tala (= jengkal) sebagai unit pengukur terbesar, yang masih terperinci atas unit-unit yang kecil, seperti anggula yang panjangnya seperdua belas tala.  Dewa-dewa utama diberi ukuran 10 tala 4 anggula, istri-istri mereka 10 tala, asura, yaksa dan apsara 9 tala, dan seterusnya.  Dalam penggambaran tokoh-tokoh itu selanjutnya diperinci pula tinggi dahinya, panjang hidungnya, jarak antara hidung dan dagu, tinggi leher, dada, perut dan seterusnya.  Pendeknya, tradisi mengatur keseimbangan bentuk dan ide ini dengan menetapkan harmoni ukuran-ukutannya.

Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramãna juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran.   Misalnya, mata yang berbentuk busur untuk orang yang beryoga, mata seperti daun padma untuk orang yang ketakut-takutan, mata seperti mata kelinci untuk orang yang marah dan sebagainya.  Jadi, pada dasarnya pramãna adalah norma mengenai pemakaian bentuk-bentuk dan ukuran-ukuran yang telah direka dengan setepat-tepatnya.

Bagaimanakah penerapan norma ini di dalam seni rupa wayang kulit?  Kita lihat bahwa rekaan pola-pola ini pun ada, malahan telah amat berkembang, sehingga kita dapatkan misalnya bentuk-bentuk mata seperti gabahan, kedelèn, telengan, dan sebagainya; bentuk-bentuk hidung walimiring, pangotan, bentulan, pelokan, pelokan ageng, sumpel, brutu, cempaluk, térong glatik, térong kopèk; bentuk-bentuk leher yang rebah, mayat, manglung, mapak, keker, dan ngadek; dan demikianlah seterusnya bagian tubuh yang lain seperti dahi, pipi, gigi, pundak, lambung, perut, sikap tangan, rambut terurai, sanggul, jenggot, dan bahkan tiap bagian pakaian dan perhiasan masing-masing diperinci lagi.  Maka watak dari suatu tokoh itu akan dapat dikesankan melalui pilihan atas sekumpulan pola seperti:  mata gabahan, hidung walimiring, dahi batukan, pipi memet, gigi retesan, leher rebah atau manglung tergantung dari wandanya, pundak pajek, atau mlèrèt tergantung dari wandanya, lambung nembat, perut ambangkèk sikap tangan nyempurit, rambut lungsèn, gelung minangkara,sumping waderan, sengkang (subang) kinjeng mas, kalung tanggalan gelang dapur gangsa, dodot (kain) bokongan bunder putran, sedang jarak antara kedua kakinya masuk golongan ciut.  Demikianlah watak-watak di dalam wayang dibentuk dengan membuat komposisi dari perincian bagian-bagiannya, perincian mana telah mewakili ide-ide tertentu.  Hubungan antara bentuk dan ide telah demikian rekat sehingga tak akan kita jumpai misalnya penggambaran Karna yang tinggi hati itu dengan leher rebah yang menyiratkan kerendahan hati.

4.                   Warnikhabangga, yaitu penguraian dan pembikinan warna.  Di dalam seni lukis dan juga dalam   seni rupa wayang kulit,  sudah  tentu  warna  mempunyai  peranan  yang penting.  Syarat ini adalah
meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat lukis, pencampuran warna, dan pemakaian warna secara tepat.  Ini pun menjadi syarat penting dalam seni rupa wayang, karena cara pembuatan, bahan-bahannya, maupun cara melekatkannya akan mempunyai pengaruh besar  pada keawetan dan sinar dari warna-warna tersebut, sedang pemilihan dan komposisinya harus pula dengan watak si tokoh, sehingga kesan keseluruhan adalah suatu keserasian yang sesuai untuk tokoh yang bersangkutan.  Termasuk ke dalam syarat ini  adalah pengetahuan akan perlambangan warna.

Unsur-unsur wadag dalam seni lukis adalah garis dan warna, karena itu kedua-duanya harus diatur dengan setepat-tepatnya.  Dalam hal ini tradisi menetapkan pramãna sebagai norma pengendali garis, warnikabhangga sebagai norma pengatur warna.

5.                   Bhãwa, bisa diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa.  Suasana dan pancran rasa           ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga si penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke ara perasaan yang dimaksudkan.  Hasil seni ini misalnya, harus bisa menimbulkan rasa sedih dengan sekuat-kuatnya.  Kalaupun ada rasa lain yang dapat menyertai dalam suatu adegan sandiwara atau suatu karya seni rupa, misalnya rasa kepahlawanan menyertai rasa kesedihan, tetapi kalau yang diberi tekanan kesedihannya, maka rasa yang lain itu dalam pengungkapannya harus tetap berkedudukan sebagai rasa tambahan,jangan sampai mengimbangi sehingga meragukan sifat rasa utamanya.

Dalam estetika Hindu, bhãwa, yaitu suasana atau juga  emosi yang dibagi atas dua macam:  yang tetap atau bertahan (sthãyi-bhãwa) dan yang mudah berubah (wyabhicãri).  Bhawa yang tetap ada 9, yaitu:  1) cinta, 2) tawa, 3) kesedihan, 4) kemarahan, 5) semangat, 6) ketakutan, 7) kemuakan, 8) keheranan dan 9) ketenangan, ketentraman batin.  Adapun bhãwa yang mudah berubah ada 33 macam, yang masing-masing bisa dikaitkan pada salah satu bhãwa yang tetap.  Demi hadirnya keindahan dalam suatu karya seni yang bermutu, maka salah satu bhãwa yang tetap harus selalu menonjol mengatasi bhãwa yang mudah berubah.  Jika suatu karya melebih-lebihkan pengungkapan wyabhicãri-bhãwa,maka karya itu menjadi sentimental.

Terdapatkah pengertian bhãwa ini dalam seni rupa wayang kulit?  Kiranya ada.  Bukankah dalam penggambaran yang kuat dari si tokoh wayang Yudistira kita melihat bhãwa ketenangan, kelepasan, memancar daripadanya?  Dan juga semangat dan kepercayaan diri sendiri terlihat sebagai bhãwa Srikandi; kegembiraan yang penuh humor dalam Petruk; kelicinan,  akal dan egoisme dalam durna; nafsu dan kebodohan dalam Pragalba, dan seterusnya?  Bhãwa ini bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan muncul asal aturan-aturan pramana dan warnibhangga diikuti.  Bhãwa ditentukan oleh penggarapan dari aturan-aturan tersebut, jadi bergantung pada bakat dari masing-masing seniman.

6.                   Lãwanya,  berarti keindahan, daya pesona.  Seperti halnya dengan bhãwa, lãwanya ini  pun adalah suatu kualitas yang ditentukan oleh bakat dan bukan semata latihan ketrampilan dari si seniman.  Dengan kehadiran lãwanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang mendalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya. Seperti misalnya kalau  orang melihat patung  Budha dari Sarnath (zaman Gupta) yang dengan kesederhanaan komposisi tapi didampingi keluwesan garis-garis dan pembidangannya, memancarkan keagungan, ketenteraman  dan kekhidmatan.

Demikian juga dalam seni rupa wayang kulit kita sering menjumpai karya yang memancarkan pembawaan tertentu.  Kita tahu, bahwa dalam wayang kulit seluruh bagian dari si tokoh wayang telah mempunyai perincian dengan penentuan pola-polanya, sehingga si seniman seolah-olah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk kreatif.  Namun, bakat besar dari si seniman akan memunculkan bhãwa dan lãwanya dengan merakit sejumlah pola yang telah ditentukan tadi menjadi satuan yang mengagumkan, dan di bagian-bagian tertentu memberikan tekanan-tekanan efektif dengan tatahantatahan yang lebih rumit atau sunggingan yang lebih menyolok.  Tokoh wayang yang dihasilkan akan tetap konvensional karena mengikuti semua ketentuan yang ada, tapi ia akan mempunyai pancaran keindahan yang khas.  Itulah yang dicita-citakan oleh syarat lãwanya.

Demikianlah perumusan tentang syarat-syarat keindahan dalam kesenian Hindu.  Sesuaikah ini semua untuk menilai kesenian – terutama yang tradisional – kita, kami silahkan masing-masing pembaca untuk mengkajinya. (Sumber: Prof. Dr. Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, hal. 14–18 Penerbit Sinar Harapan, cetakan kedua, Tahun 2000)

Jumat, 26 Desember 2014 – 17:05 wib
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor, Jawa Barat

GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS: ȘAḌ-ANGGA DAN WAYANG KULIT Oleh Prof. Dr. Edi Sed...: Wayang Kulit Pandawa Lima KITA SEMUA WAYANG - denmaspriyadi.blogspot.com - Sabtu, 27 Desember 2014 - Di dalam estetika Hindu di...

Minggu, 14 Desember 2014

Dongeng Sri Pogowanti Dan Siluman Ular Sawah Bag. 1 Oleh Slamet Priyadi



Diceritakan Oleh Kak Sita Rose

Sri Pogowanti dan Siluman Ular Sawah
Senin, 15 Desember 2014 – 14:44 WIB – Di tepian sungai Pogowonto hiduplah sepasang suami istri bernama Pak Pogo dan Nyi Suwanti. Sudah bertahun-tahun mereka menikah akan tetapi belum juga dikaruniai seorang anak satu pun juga, padahal mereka sangat mendambakannya.  Mereka sudah berupaya kesana-kemari. Berobat kian-kemari, bertanya sana-sini kepada orang-orang yang dianggap pintar dalam hal spiritual, akan tetapi upayanya itu seakan sia-sia karena sampai sekarang ia belum juga diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk momong seorang anak.

Pekerjaan sehari-hari pak Pogo dan istrinya adalah mencari ikan, bertani dan bercocok tanam padi di sawah serta menjaga kebersihan sungai Pogowonto dari sampah-sampah dan kotoran yang bisa mengganggu kejernihan dan kebersihan serta keindahan alam sekitar sungai. Pekerjaan itu dilakukannya dengan penuh dedikasi tinggi, penuh keikhlasan dan tanpa pamrih semata-mata karena sangat mencintai kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan. Mereka melakukan itu semua karena merasa sungai Pogowonto adalah sebagai sumber penghidupannya yang harus selalu dijaganya setiap saat.

Suatu ketika pak Pogo di dalam tidurnya bermimpi berjumpa dengan seorang kakek tua berpakaian hitam-hitam, berikat kepala hitam, berjenggot, berkumis, dan berambut panjang berwarna putih. Dalam mimpinya orang tua itu berpesan kepada pak Pogo:

“Pogo, aku adalah yang baurekso (penguasa, penunggu) sungai Pogowonto ini, jika kamu sungguh-sungguh ingin memiliki seorang anak, temuilah ular sawah penunggu hutan bambu yang berada di ujung sungai ini. Mintalah sepotong rebung bambu darinya, lalu masak dan makanlah bersama-sama istrimu, karena rebung bambu itulah yang kelak membuat istrimu hamil mengandung seorang anak yang kau idam-idamkan”. Setelah berkata demikian orang tua itu lenyap seketika.

Mimpi itu telah membuat pak Pogo terjaga dari tidurnya, padahal hari masih tengah malam. Ia pun bangun dari tempat tidurnya, menggosok-gosokkan matanya yang masih sedikit terpejam, lalu membangunkan istrinya yang masih tidur lelap. Sejenak kemudian, istrinya pun bangun seraya berkata kepada pak Pogo:

“Ada apa pak? Kau membangunkan aku, ini kan masih tengah malam, pak?”
“Bangunlah, istriku! Barusan aku telah bermimpi bertemu dengan penguasa sungai Pogowonto ini”. Pak Pogo berdiam sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya, “Dalam mimpi itu pak tua itu berpesan kepadaku, bahwa jika ingin memiliki anak, kita bersama-sama harus makan rebung bambu yang ditunggui oleh ular sawah yang berada di hutan bambu sana di ujung sungai Pogowonto ini”.

Mendengar penjelasan dari suaminya tentang pesan dari orang tua penguasa sungai Pogowonto, tentang sesuatu yang harus dikerjakannya agar  memiliki anak lewat mimpinya itu, betapa riang hati istrinya karena menurutnya itu sebagai pertanda bahwa kelak ia akan diberikan seorang anak yang memang sudah diidam-idamkannya selama ini. Maka kepada suaminya ia pun langsung berkata:

“Pak, kalau begitu esok pagi-pagi benar, kau langsung menemui ular sawah itu, mohonlah kepadanya agar mau memberikan satu rebung bambu saja untuk dimasak buat sarapan kita pagi hari ini!” Demikian kata Nyi Suwanti kepada suaminya dengan wajah penuh kegembiraan.  

“Baiklah bu, besok pagi-pagi benar aku akan segera berangkat menemui ular sawah penunggu pohon bambu itu!” Jawab Pak Pogo kepada istrinya.

Setelah berkata kepada istrinya, pagi-pagi benar, saat sang surya pagi mulai terbit, pak Pogo berangkat menuju hutan bambu yang berada tak begitu jauh dari tempat tinggalnya, di ujung tepian sungai Pogowonto. Setiba di sana ia langsung menuju ke hutan, berjalan di jalan setapak di tengah pematang sawah yang saat itu padinya mulai menguning. Di hutan itu, ia tengok kiri-kanan, matanya nanar tajam mencari rebung bambu yang ditunggui oleh ular sawah sebagai mana pesan yang disampaikan pak tua dalam mimpinya kemarin malam. Ketika matanya menatap ke sebelah kanan, ia melihat ular sawah yang besar tubuhnya tidak seperti biasanya. Ular sawah itu besarnya tiga kali lipat dari ular sawah yang biasa dilihatnya. Dengan suara mendesis ular itu bicara kepada pak Pogo:

“Wahai manusia, aku adalah penunggu hutan bambu ini, apa yang kau cari di sini?”
“Ya, ular sawah penunggu hutan bambu, aku minta maaf sebelumnya karena telah mengusik keberadaanmu. Aku sudah lama tak mempunyai keturunan, dan aku dan istriku sangat mendambakan seorang anak. Semalam, aku mendapat pesan dari pak tua penguasa sungai Pogowonto lewat mimpiku, jika ingin memiliki anak harus makan rebung bambu yang ada di hutan ini dengan memintanya secara baik-baik dari ular sawah yang melilitnya”. Demikian penjelasan dari Pak Pogo kepada ular sawah penunggu hutan bambu.

“Oh, begitukah?” jawab ular sawah pendek sambil menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, lalu melanjutkan kata-katanya lagi, “Akan tetapi perlu kau ketahui manusia, itu tidak semudah yang engkau pikirkan, karena ada syarat berupa janji yang harus kau penuhi nanti setelah berhasil memiliki anak, apakah kau mau melakukannya?” demikian kata ular sawah kepada pak Pogo.

Pak Pogo terdiam sejenak mendengar persyaratan janji yang harus ditepati setelah berhasil memiliki seorang anak. Ia jadi ingat istrinya yang selalu menyuruhnya agar berupaya keras mencari bagaimana caranya mendapatkan seorang anak.  Akhirnya dengan tak berpikir panjang lagi, ia pun menyetujui syarat yang diberikan oleh ular sawah itu dengan berkata:

“Baiklah ular sawah, aku setuju dengan syarat yang kau berikan. Akan tetapi janji apakah yang harus aku penuhi setelah mempunyai anak nanti?”

“Mudah saja manusia, sekarang akan aku katakan syaratnya, dan dengarkanlah baik-baik! Yang pertama, jika anakmu laki-laki maka kau beruntung, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Yang kedua, jika anakmu lahir perempuan, maka kau harus menyerahkannya kepadaku setelah berusia sembilan tahun. Apakah kau setuju? Pikirkanlah baik-baik, agar tak ada penyesalan nanti!” demikianlah syarat yang diutarakan ular sawah kepada pak Pogo dengan jelas dan tegas.

Mendengar persyaratan itu Pak Pogo sedikit terkesima, terutama dengan persyaratan yang kedua. Dalam hatinya ia berkata, “apakah istriku akan menyetujui dengan syarat yang kedua ini?” Akan tetapi demi hasratnya yang begitu besar untuk memiliki seorang anak, maka ia pun menyetujui kedua syarat yang diberikan oleh ular sawah penunggu hutan bambu itu, “ya mudah-mudahan saja anak yang lahir nanti laki-laki, sehingga tak ada masalah di kemudian hari.” Demikian pikir pak Pogo dalam hati.

“Baik ular sawah, aku setuju dengan kedua syarat itu. Dan, aku janji jika anak yang lahir dari istriku nanti adalah perempuan aku akan menyerahkannya kepadamu.” Jawab pak Pogo kepada ular sawah.

“Sekarang, kau ambil saja rebung bambu ini! Oya tunggu sebentar, aku akan memantrai terlebih dahulu rebung ini agar kelak setelah kau makan bersama-sama istrimu tak lama kemudian istrimu akan hamil.” Setelah memantrai rebung bambu itu dengan desisnya yang cukup panjang, ular sawah penunggu hutan bambu itu lenyap tanpa bekas. Sejenak kemudian, pak Pogo pun memangkas rebung bambu yang telah dimantrai oleh ular sawah itu dengan golok panjang yang dibawanya dari rumah tadi. Ia juga memotong pelepah daun pisang yang berada di sekitar situ untuk membukus rebung bambu yang telah dipangkasnya tadi. Setelah memasukkan kembali golok kesarungnya, lalu rebung bambu dibungkus dengan daun pisang, dan ia pun segera kembali pulang menemui istrinya di rumah. 

Menjelang sore, sampailah pak Pogo di pondoknya. Ia langsung meletakkan rebung bambu  di bawah pintu masuk rumahnya, kemudian menuju bilik kamarnya, mengetuk pintu lalu membuka pintu kamar dan menemui istrinya yang memang sedang menantikan dirinya sambil tidur-tiduran.  Melihat suaminya telah kembali, Nyi Suwanti langsung menanyakan suaminya:

“Pak, aku gembira sekali kau telah kembali! Bagaimana pak? Apakah kau berhasil menemui ular sawah penunggu hutan bambu itu, dan bagaimana dengan rebung bambunya, pak? Tanya Nyi Suwanti sambil bangun dari tempat tidur dan menggamit tangan suaminya. Pak Pogo membalas gamitan tangan istrinya dengan memeluk tubuh istrinya lalu duduk di pinggir tempat tidur seraya menjawab pertanyaan istrinya:
“Istriku, rupanya segala sesuatunya berjalan lancar sebagaimana yang kita inginkan, dan rebung bambu itu aku letakkan di bawah pintu depan sebelum aku masuk tadi”.

“Oya, begitukah? Jika demikian langsung kita siangi saja rebung itu, dan kita masak sore ini juga, bagaimana, pak?”

“Aku setuju, bu. Sebaiknya memang begitu, lebih cepat lebih baik sebab aku sudah tak sabar ingin memiliki seorang anak darimu, bu!” demikian kata-kata penuh cumbuan yang diucapkan pak Pogo sambil mencubit dagu istrinya yang teramat dicintainya itu. Nyi Suwanti pun menjawabnya pula dengan penuh mesra:

“Hi, hi, hi,... bapak ini bisa saja, gombal, akh! Lebih baik sekarang aku memasak rebung bambu itu saja.” demikian kata-kata Nyi Suwanti dengan penuh sikap kemanjaan kepada suaminya, Pak Pogo.

Singkat cerita, mereka berdua pun asyik menikmati rebung bambu yang sudah dimasaknya itu dengan sepiring nasi putih yang di makan bersama-sama. Sepiring berdua, seperti judul lagunya Hamdan ATT, penyanyi dangdut yang terkenal itu. Sebulan kemudian mulai nampak ada perubahan pada diri Nyi Suwanti. Ia sering muntah-muntah dan perutnya pun mulai sedikit membesar. Melihat perubahan ini pak Pogo sangat gembira karena ia tahu istrinya mengidam dan sedang hamil mengandung janin bayi yang sangat diidam-idamkannya selama ini.

Tepat pada bulan kesembilan lewat sembilan hari, Nyi Suwanti, istri pak Pogo melahirkan seorang bayi perempuan mungil, beranbut hitam pekat, sedikit keriting dengan mata tajam yang menandakan bahwa bayi itu kelak akan menjadi wanita yang cerdas. Pak Pogo sangat bahagia sekali melihat istrinya melahirkan bayinya dengan lancar, sehat dan tidak mendapat halangan satu apapun. Ia memberi nama bayinya itu, Sri Pogowanti. Kata “Sri” diambil dari nama seorang Dewi Pelindung yang turun ke dunia menjelama jadi ular sawah untuk melindungi bumi persawahan padi penduduk dari hama tikus yang suka merusak dan memakan tanaman padi yang siap akan dipanen. Sedangkan “pogowanti” adalah gabungan nama dirinya sendiri, Pogo dan nama istrinya Suwanti. Akan tetapi ada yang masih menganjal dalam pikirannya, karena bayi yang dilahirkan istrinya  berjenis kelamin perempuan. Ia jadi ingat akan janjinya kepada ular sawah penunggu hutan saat bertemu di hutan bambu dahulu, yang akan bersedia menyerahkan anaknya kepada ular sawah setelah berusia sembilan tahun jika anak yang dilahirkan berkelamin perempuan. Tetapi janji yang harus dipenuhinya itu belum pernah dikatakan dan diberikatahukan kepada istrinya, Nyi Suwanti. “Akh, biarkanlah yang terjadi maka terjadilah, aku tetap tak akan membuka rahasia ini kepada istriku. Aku tak mau membuat istriku jadi susah karena memikirkan hal ini”. Demikian pikir pak Pogo dalam hati.

Hari-hari berjalan terus, dari hari ke hari, dari minggu ke Minggu, bulan ke bulan, dan dari tahun berganti tahun, maka tak terasa Sri Pogowanti yang dulu kecil bayi mungil kini sudah berusia sembilan tahun. Kemungilan dan kecantikannya semakin bertambah. Rambutnya bagaikan mayang terurai, panjang hingga sebahu, kulitnya kuning langsat, suaranya lembut bagaikan buluh perindu. Meski usianya masih sembilan tahun akan tetetapi bentuk tubuhnya seperti orang dewasa, sehingga membuat terpesona bagi siapa saja yang melihatnya.

Pada suatu malam saat pak Pogo dan istrinya tertidur lelap, mereka berdua serentak terjaga. Mereka mendengar suara desis panjang dengan kata-kata yang cukup membuat berdiri bulu roma. Ya, itu adalah suara desis ular sawah penunggu hutan bambu yang datang menagih janji kepada pak Pogo, karena pak Pogo ternyata melupakan janjinya untuk menyerahkan anak perempuannya, Sri Pogowanti:

“Pogo, kau lupa akan janjimu sendiri bahwa akan menyerahkan anakmu kepadaku jika terlahir perempuan. Ini sudah sembilan tahun berlalu, aku menagih janji akan mengambil anakmu untuk kujadikan tumbal makananku.”

“oya, ya, ya, ya,... ular sawah, tentu aku tidak lupa, maafkanlah aku! Ular sawah, aku mohon sekali ini saja, maafkanlah kami! Beri kami waktu barang sepekan untuk merundingkan masalah ini kepada istri dan anak kami, Nyi Suwanti dan Sri Pogowanti.”

Baik, Pogo! Aku masih memberimu kesempatan. Akan tetapi jika sepekan ini kau tak datang ke hutanku, aku akan datang kembali ke sini untuk merampas anakmu yang cantik itu.” Demikian ancaman ular sawah kepada pak Pogo. Nyi Suwanti yang sama sekali tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, menjadi terheran-heran, terkesemima melihat ular sawah yang cukup besar melebihi bentuk ular sawah sesungguhnya. Ia pun lalu bertanya kepada suaminya:

“Pak, sebenarnya ada perjanjian apakah antara bapak dengan ular sawah besar itu? Mengapa ular itu meminta anak kita, Sri Pogowanti?”

Sambil menggaruk-garuk telinga kirinya yang terasa gatal, pak Pogo menjawab pertanyaan istrinya. Sementara di bilik kamar putrinya, Sri Pogowanti melihat, menyaksikan semua kejadian yang baru saja terjadi, dan mendengar ancaman ular sawah yang akan mengambil dirinya untuk dijadikan mangsa:

“Maafkan aku, bu! Aku memang sudah mengadakan kesepakatan dengan ular itu, dan berjanji akan meyerahkan putri kita jika sudah berusia sembilan tahun, sesuai dengan janji yang telah aku sepakati dengan ular itu.” Pak Pogo terdiam sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya. “Ini memang kesalahanku karena tidak terus terang mengatakannya kepadamu, istriku! Yakh, pada waktu itu aku tidak berpikir panjang karena keinginan kita yang terlalu besar untuk memiliki seorang anak sehingga menuruti saja syarat yang diberikan oleh ular sawah itu!”

Mendengar semua penjelasan suaminya, Nyi Suwanti semakin penasaran lalu ia pun bertanya lagi kepada suaminya:

“Ada perjanjian apakah bapak dengan ular sawah itu? Oleh karena setahu aku, bapak hanya meminta rebung bambu dari ular sawah itu sesuai petunjuk dari bapak tua yang datang dalam mimpi, bahwa kita akan memiliki seorang anak jika kita berdua memakan rebung bambu  yang kita peroleh dari ular sawah yang berada di hutan bambu sana!” demikian tutur Nyi Suwanti kepada suaminya dengan mimik wajah yang penuh keheranan.

“Ya, bu! Ular sawah itu sesungguhnya adalah salah satu siluman penunggu hutan bambu. Pada waktu itu, saat aku meminta rebung bambu, ular siluman itu mau memberikannya tetapi ada syarat yang harus dipenuhi dan aku menyepakatinya. Ular sawah siluman penunggu hutan bambu itu berkata, “Jika anakmu laki-laki maka kau beruntung, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Dan yang kedua, jika anakmu lahir perempuan, maka kau harus menyerahkannya kepadaku setelah berusia sembilan tahun. Apakah kau setuju? Pikirkanlah baik-baik, agar tak ada penyesalan nanti!” demikianlah syarat yang diutarakan ular sawah itu kepadaku dengan jelas dan tegas.

“Lalu, sekarang kita harus bagaimana untuk mengatasi semua ini, pak? Terus terang aku tak mau putri kita Sri Pogowanti menjadi korban dimangsa ular itu, aku tak mau kehilangan anak kita, pak!”

Tenanglah, bu! Masih ada kesempatan, masih ada sisa waktu enam hari lagi mencari jalan keluarnya. Semoga Tuhan akan memberi petunjuk kepada kita, berdoalah, bu!”

Ketika pak Pogo sedang berupaya meredam kecemasan dan kekhawatiran istrinya yang begitu takut akan kehilangan putri satu-satunya yang sangat dikasihinya itu, muncul Sri Pogowanti menghampiri kedua orang tuanya lalu berkata:

“Bapak, ibu! Aku sudah melihat dan menyaksikan sendiri semua kejadian tadi, dan aku pun sudah mendengar kata-kata ancaman dari sang ular sawah itu, juga segala perbincangan bapak dan ibu. Bapak, ibu tak usah khawatir! Aku sama sekali tak takut dan tidak gentar barang sedikitpun. Biarkan ular siluman itu datang lagi atau nanti Sri Pogowanti saja yang menemui ular itu di hutan bambu sana!”

Nyi Suwanti dan pak Pogo sedikit terperanjat dengan kehadiran putrinya Sri Pogowanti, mereka berdua lalu memeluk putrinya yang masih berusia 9 tahun. Mereka berdua sama sekali tak menyangka dengan sikap dan kata-kata yang diucapkan putrinya itu yang sedikit pun tak nampak ketakutan. Memang, Sri Pogowanti meskipun usianya baru 9 tahun, tapi penampilan fisiknya sudah seperti gadis dewasa, berani, dan nampak memiliki kecerdasan yang lebih dari anak-anak seusianya. Selain itu, Sri Pogowanti juga anak yang baik, hormat dan selalu patuh kepada kedua orang tuanya. Hal inilah yang menjadikan Pak Pogo dan Nyi Suwanti sangat menyintai putrinya  dan khawatir dan sangat takut kehilangan putrinya yang hanya semata wayang itu.

“Oh, putriku Sri Pogowanti sungguh ibu takut akan kehilanganmu! Bagaimana nanti jika kau dimangsa ular siluman itu?” demikian kata-kata penuh kekhawatiran Nyi Suwanti kepada putrinya. Hal yang sama dirasakan pula oleh pak Pogo yang merasa paling bersalah dengan kejadian semacam ini, ia tak bisa berkata banyak. Dengan mulut bergetar ia menyapa putrinya itu, “Ya, anakku! Maafkanlah bapakmu ini”.

“Bapak, ibu tak usah takut dan khawatir aku akan tewas dimangsa ular siluman itu karena sebelumnya aku sudah mengetahui semua yang akan terjadi, dan aku juga sudah tahu dengan kesepakatan perjanjian bapak dengan ular itu yang akan menyerahkan aku setelah berusia 9 tahun.”

“Oya, lalu dari siapakah kau bisa tahu akan semua ini, anakku?” demikian tanya pak Pogo dan Nyi Suwanti serempak kepada putrinya.

“Dari Eyang Pogowonto yang sering menemani aku saat bermain mencari ikan di sungai!”

“Sri Pogowanti putriku, apakah kau mengenal dengan Eyang Pogowonto itu, bagaimanakah rupanya dan ciri-cirinya?” Tanya pak Pogo kepada putrinya seraya memegang kedua pundak Sri Pogowanti.

“Bapak, ibu tentu saja Sri mengenalnya dengan akrab karena sejak aku berusia 7 tahun, Eyang Pogowonto sudah menemani aku setiap kali pergi ke sungai. Bahkan sering melindungi aku dari ular-ular berbisa yang akan mematukku, juga membantu aku menangkap ikan di sungai!”

“Lalu bagaimana dan seperti apakah ciri-ciri dan raut muka Eyang Pogowonto itu, anakku?” Pak Pogo kembali bertanya kepada putrinya dengan tak sabar karena pertanyaannya masih satu yang belum dijawabnya.

“Eyang Pogowonto itu meski wajahnya sudah sepuh (tua) sekali tetapi nampak kekar dan gagah. Rambutnya panjang, berkumis dan berjanggut panjang dan sudah putih semua. Berbaju warna hitam, bercelana hitam dan memakai kalung hitam di lehernya. Terkadang menggunakan tongkat kayu berwarna hitam pula yang digunakan untuk menunjuk ikan-ikan di sungai yang akan ditangkapnya ketika membantu aku mencari ikan, bapak!” Sri Pogowanti diam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya lagi, “Bahkan Eyang Pogowonto juga selalu berkata dan berjanji akan melindungi aku, ibu dan bapak dari bermacam-macam kejahatan yang akan mengganggu dan membahayakan keluarga kita.”

“Oya,...ya,...ya,... Istriku, jika demikian Eyang Pogowonto itu adalah orang tua yang hadir dalam mimpiku itu.” Berkata pak Pogo kepada istrinya, dan dalam hati ia mengucapkan kata-kata terima kasih kepada Eyang Pogowonto karena selama ini ternyata orang tua tersebut telah melindungi putrinya bahkan keluarganya.

“Iya, pak! Kita harus berterima kasih banyak kepada Eyang Pogowonto yang telah melindungi keluarga kita itu.”

 “Akan tetapi, bu! Bagaimana caranya dan dengan apa kita harus mengucapkan tanda terima kasih kepada Eyang Pogowonto itu? Baiklah, bu! Sebaiknya sekarang kita beristirahat dulu karena hari sudah semakin larut malam. Oya, Sri Pogowanti! Tidur dan beristirahatlah besok baru kita pikirkan lagi bagaimana caranya untuk menyelamatkan diri dari siluman ular sawah yang akan datang enam hari lagi!”

Beberapa saat kemudian mereka pun beranjak ke biliknya masing-masing untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi dalam benak pikirannya, pak Pogo masih bertanya-tanya dan belum mengerti dengan sikap Eyang Pogowonto sang baurekso sungai Pogowonto yang begitu baik menjaga dan melindungi keluarganya terutama putrinya, Sri Pogowanti. Lama pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu pikirannya tetapi karena matanya semakin mengantuk, akhirnya ia pulas juga tertidur dengan menyimpan banyak pertanyaan yang belum didapat jawabannya.

Dalam tidurnya kembali Pak Pogo bermimpi didatangi  oleh orang tua sang baurekso sungai Pogowonto, Eyang Pogowonto. Dalam mimpinya Eyang Pogowonto berpesan agar membiarkan saja putrinya Sri Pogowanti pergi mendatangi hutan bambu menemui ular siluman sawah yang akan memintanya untuk dijadikan tumbal. Hal itu karena Sri Pogowanti selain memang dijamin keselamatannya oleh Eyang Pogowonto, Sri Pogowanti juga telah diberi mantra pelindung jin, setan dan lain sebagainya oleh Eyang Pogowonto.  

“Pogo cucuku, kau tak usah khawatir dengan keselamatan putrimu Sri Pogowanti, karena aku akan selalu menjaga dan melindunginya dari berbagai macam bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, percayalah padaku. Dan, biarkan dia menemui ular siluman hutan bambu itu, putrimu itulah yang kelak akan membuat insyaf siluman ular untuk tidak berbuat jahat lagi bahkan akan menjadi penjaga padi yang setia seumur hidupnya. Siluman ular sawah itulah yang akan membasmi semua hama padi dan perusak tanaman, khususnya ladang kebun dan tanah persawahanmu.” Eyang Pogowonto terdiam sejenak, saat itu Pak Pogo bertanya kepada Eyang Pogowonto akan ihwalnya kenapa sang baurekso sungai Pogowonto itu bersikap baik kepada keluarganya,

“Akan tetapi eyang, kenapa Eyang...” Belum selesai pak Pogo melanjutkan kata-katanya, Eyang Pogowonto melanjutkan pesan-pesannya, “Sudahlah Pogo, aku tahu apa yang ada dalam benak pikiranmu, kau ingin bertanya kenapa aku begitu baik kepadamu dan keluargamu? Pogo cucuku, itu semua karena kau telah menjaga kebersihan sungai dan lingkungan alam di sekitar sungai Pogowonto ini dengan baik. Kau pun tak bosan-bosan memberitahukan akan arti kebersihan, kesehatan, dan keasrian, serta kelestarian alam kepada masyarakat desa di sekitar sungai Pogowonto ini. Itu artinya, kau telah membantuku dalam menjaga kelestarian sungai ini  Demikian pesan Eyang Pogowonto kepada Pak Pogo dalam mimpinya.” Selesai menyampaikan pesan-pesannya kepada pak Pogo, Eyang Pogowonto pun lenyap seketika.

Setelah mendengar pesan dan penjelasan dari Eyang Pogowonto lewat mimpinya, pak Pogo baru menyadari apabila yang dilakukan selama bertahun-tahun dalam menjaga kebersihan sungai dan lingkungan alam sekitar sungai Pogowonto mendapatkan apresiasi yang sedemikian tinggi dari sang baurekso penguasa sungai Pogowonto, Eyang Pogowonto. 

Suara kokok ayam yang bersahut-sahutan menjelang pagi membangunkan dan menyadarkan pak Pogo dari mimpinya. Segera ia pun beranjak dari tempat tidurnya lalu membangunkan istrinya untuk membuatkan secangkir kopi dari buah kopi yang baru dipetik di kebunnya dua hari lalu.  Setelah meletakkan secangkir kopi di meja yang terbuat dari kayu sono keling, Nyi Suwanti menuju bilik kamar Sri Pogowanti, putri satu-satunya yang sangat dikasihinya itu. (Bersambung!)

Bumi Pangarakan
senin, 15 Desember 2014-8:53 wib