Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Rabu, 02 September 2019 - 03.08 WIB
Foto 9
Rabu, 02 September 2019 - 03.08 WIB
I.
PENDAHULUAN
Pendekatan para
pengamat seni terhadap karya seni rupa selalu berbeda sesuai dengan
pertimbangan yang didukung oleh kepentingannya. Apabila pengamat seni itu bukan
seorang pencipta seni maka pendekatannya terhadap karya seni rupa dijalankan
berdasarkan pertimbangan apresiatif di luar kepentingan untuk berkarya. Dalam
hal ini timbul kecenderungan untuk menangkap makna sebuah karya seni rupa
secara obyektif. Pendekatan semacam ini dapat melibatkan permasalahan karya
seni rupa dengan aspek kegunaan, dengan watak senimannya, dengan latar belakang
sosial budaya, dengan kriteria gaya seni dan lain sebagainya. Dengan demikian
berbagai teori dapat berfungsi sebagai dasar pertimbangan, artinya komunikasi
seni dapat melahirkan bermacam-macam penilaian. Hasil dari penilaian itu sendiri
akan menjawab pertanyaan kedudukan dan kepentingan dari si pengamat seni
tersebut.
Bagaimana seorang
sejarawan, ahli purbakala dan ahli antropologi budaya bertolak dari sudut
pandangan yang berbeda dalam pendekatan dan langkah komunikasi seni rupa
misalnya dengan seorang filosof atau seorang ahli ilmu jiwa. Demikian
seterusnya bagaimana kedudukan dan kepentingan seorang awam memberikan
tanggapan apresiatif yang berbeda dengan seorang peminat atau seorang
senirupawan. Berdasarkan kedudukan dan kepentingan yang berbeda tersebut di
atas jelas bahwa makna pendekatan apresiatif selalu membuahkan penilaian yang
berbeda bagi setiap pengamat seni rupa.
Permasalahannya agak
lain apabila pendekatan apresiatif ditujukan terhadap karya seni rupa yang
telah menyandang sebuah sebutan tertentu. Sebutan dalam karya seni rupa yang
dikaitkan dengan tradisi, peradaban, teknologi, dan dengan berbagai teori
kebudayaan yang berlaku serta melalui berbagai disiplin ilmu dan seni. Misalnya
sebutan seni primitif menggugah berbagai citra tentang bentuk kesenian yang
dihasilkan oleh masyarakat atau bangsa yang kebudayaannya masih terbelakang,
citra tentang bentuk kesenian tradisional dikenakan pada kesenian primitif yang
telah diketahui secara umum. Kesenian primitif dimasukkan ke dalam kelompok
kesenian yang dibedakan dengan kelompok kesenian lain, seperti membedakan
kesenian Barat dengan kesenin Timur. Bagi para pengamat seni pada umumnya,
sebutan kesenian primitif sudah memberi pengertian, sudah memberikan citra
tertentu. Tinggal menjawab pertanyaan seberapa jauh pengertian tentang kesenian
primitif, cocok dan sesuai dengan tanggapan dan penghayatan para pengamat seni
tersebut. hal ini memang tergantung dari luasnya jamahan apresiasi terhadap
karya seni primitif itu. Luasnya lingkup apresiasi seni tidak terlepas dari
kepentingan apresiasi itu sendiri, karena karya seni itu sendiri mengandung
sejumlah nilai.
1.
Pendekatan
Preseptif.
Kebiasaan untuk
mengenal kesenian primitif berdasarkan pengetahuan tentang latar belakang kebudayaannya
menempatkan kesenian ini sebagai kelompok kesenian di luar kesenian masyarakat
atau bangsa yang kebudayaannya sudah maju. Dengan pengertian ini maka kesenian
primitif di dunia ini dipandang memiliki ciri-ciri yang sama, memperlihatkan
nilai estetik yang sama. Menyamaratakan bentuk kesenian primitif dengan
kriteria gaya seni misalnya, cenderung untuk menyamakan seni primitif di Afrika
dengan yang ada di Amerika Utara, di Eskimo, di kepulauan Pasifik atau dengan
seni primitif yang tersebar di kepulauan Indonesia. Penyamarataan kesenian
primitif ini berarti meniadakan atau mengurangi peranan pribadi seniman yang
terbentuk oleh lingkungan hidup yang berbeda dan terutama meniadakan peranan
pribadi dalam proses penciptaan seninya.
Sebagai contoh dapat
dikemukakan topeng dari hasil karya seni primitif yang berfungsi sebagai alat
upacara. Dilihat dari fungsi kepercayaan atau pandangan hidup yang
religius-magis, topeng yang mengandung nilai artistik itu memiliki gaya yang
sama seperti gaya magis-ekspresif; gaya umum yang dikenakan pada topeng
primitif.tetapi gaya ini di pedalaman Irian (Papua) berbicara dengan bahasa
rupa wajah raut muka yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya.
(Foto 1 dan Foto 2)
Topeng dari daerah Tami |
Foto 1
Topeng
dari daerah Tami
Topeng dari daerah Asmat |
Foto 2
Topeng dari Asmat
Contoh lain dapat dapat dikemukakan pada
patung nenek moyang. Patung primitif ini sering dipandang memiliki persamaan
gaya karena didukung oleh persamaan latar belakang kegunaannya, jadi persamaan
latar belakang nilai budaya dari suku bangsa yang masih sederhana tingkat
kebudayaannya. Namun kenyataannya di beberapa daerah Indonesia sendiri terdapat
bermacam-macam bentuk perwujudan patung nenek moyang. Bandingkan misalnya
patung nenek moyang dari dua daerah yang terdapat di Irian/Papua (Foto 3 dan 4.
Di belakang akan kita lihat bahwa di
beberapa daerah di Irian Jaya/Papua sendiri terdapat bermacam-macam perwujudan
arwah nenek moyang, baik yang dalam bentuk plstis maupun yang dua dimensi.
Dari contoh-contoh tersebut di atas jelas
bahwa ide seniman primitif pada umumnya mengenai bentuk. Meskipun dilandasi
oleh latar belakang pemikiran yang sama sesuai dengan fungsi kegunaannya, namun
ide itu akan membuahkan citra perwujudan yang berbeda. Hal ini disebabkan
karena citra perwujudan itu harus disesuaikan dengan faktor-faktor lain yang
bekerja di luar seniman dan di dalam pribadi senimannya sendiri yang
berpengaruh pada ciptaannya. Faktor-faktor yang membentuk pribadi seniman yang
mewakili kepentingan masyarakatnya dalam perbuatan seni. Faktor-faktor utama
yang berpengaruh dalam proses penciptaan seni rupa dalam masyarakat primitif
harus dimulai dari faktor lingkungan hidup para seniman.
Patung Nenek moyang dari Tami |
Foto 3
Patung nenek moyang dari Tami
Patung nenekmoyang dari Asmat |
Foto 4
Patung
nenek moyang dari Asmat
Lingkungan
hidup dan iklim sering dipandang sebagai faktor penentuan konsep bentuk dalam
karya seni rupa. Patung nenek moyang dengan bentuk tonggak totem dari batang
kayu adalah perwujudan arwah nenek moyang untuk disesuaikan dengan lingkungan
alam seperti daerah hutan pedalaman di Kalimantan atau di Irian Jaya yang tidak
akan terdapat di daerah yang gersang atau daerah gurun pasir (Gambar 1 dan Foto 5).
Gambar 1
Patung tonggak dari Kalimantan
Patung tonggak dari Irian Jaya |
Foto 5
Patung tonggak dari
Irian Jaya
Jadi, lingkungan hutan yang ditumbuhi oleh
pohon-pohon berukuran tinggi tidak hanya menyajikan batang pohon untuk patung
tonggak, tetapi batang pohon itu sekaligus berpengaruh pada ide seniman
primitif dalam menemukan bentuk patung nenek moyang. Selanjutnya ukuran tinggi
dan gaya vertikal dari patung tonggak memang dibuat untuk menyesuaikan dengan
suasana lingkungan alam sekitarnya. Di sinilah berlaku hubungan timbal balik
antara gaya seni patung dengan keadaan lingkungan.
Patung tonggak mbis hasil seni patung Asmat di Irian Jaya/Papua berbicara dengan
bentuk yang menjawab tuntutan lingkungan alam. manifestasi bentuk dari patung
yang serba vertikal adalah tuntutan dari bahan yang tersedia. Selanjutnya bahwa
tonggak mbis tampak motif-motif zoomorfis yang larut dalam kesatuan
bentuk patung, hal ini pun menunjukkan pengaruh dari lingkungan alam di daerah
Asmat (Foto 6).
Motif Zoomorfis pada tonggak mbis |
Foto 6
Motif-motif
zoemorfis pada tonggak mbis
Masih pada permasalahan faktor lingkungan
alam pada karya seni rupa. Kehidupan masyarakat petani yang tentram dan damai
yang terbentuk oleh keadaan lingkungan alam, iklim, dan tanah yang subur
berbeda dengan corak kehidupan masyarakat pengembara atau masyarakat pemburu
yang hidup di daerah rawa-rawa dengan keadaan alam yang masih buas. Corak kehidupan
yang berbeda tersebut berpengaruh pada bentuk pernyataan seni dari penciptanya.
Oleh karena itu, timbullah apa yang dinamakan dengan wilayah gaya seni dengan
ciri-ciri tersendiri, gaya seni yang terbatas pada wilayah tertentu yang lahir
karena ungkapan yang mencerminkan watak dari masyarakat yang dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan hidupnya.
Tradisi untuk menghasilkan benda kerajinan
dan hiasan yang mewah dengan nilai-nilai ornamentik yang kaya dari masyarakat
di daerah Batak, Nias, Toraja, dan daerah pertanian lain di Indonesia, tradisi
ini kurang atau tidak terdapat dalam masyarakat setengah nomadik seperti di
daerah rawa-rawa dan hutan bakau di daerah pantai Irian Jaya/Papua ata di
daerah hutan lebat di Kalimantan Tengah. Nilai-nilai ornamental yang tampil
pada benda-benda pakai hasil dari seni kerajinan daerah Sentani di Irian
Jaya/Papua tidak berulang pada benda pakai hasil seni kerajinan dari daerah
Asmat (Gambar 2).
Nilai ornamental daerah Sentani |
Gambar 2
Nilai ornamental
kerajinan daerah Sentani
Permasalahan gaya seni tidak dapat
dipisahkan dari bakat seni, dapat diterima kebenarannya sekalipun faktor
kehidupan sesuai dengan keadaan alam, bukan satu-satunya faktor pembentukan
bakat seni. Bakat seni juga tidak menjamin timbulnya kreatifitas seni jika
tidak ada tenaga pendorong untuk mencipta. Tenaga pendorong ini dalam
masyarakat primitif bersumber pada adat kepercayaan. Bagi masyarakat primitif
berbuat seni adalah kewajiban, sama dengan kawajiban untuk mendirikan rumah,
berburu, menangkap ikan, berladang, dan sebagainya. Banyak kesenian primitif
mengalami kepunahan akibat campur tangannya kebudayaan luar yang mematikan
bakat seni tersebut. Bakat seni yang
tidak lagi ditopang oleh motivasi untuk berkarya, akhirnya akan pudar karena
tidak ada penyalurannya.
Faktor lain yang berpengaruh pada kesenian
primitif adalah kemampuan teknik atau keterampilan dalam berkarya. Kemampuan
atau keterbatasan teknik memahat atau mengukir kayu banyak ditentukan oleh
peralatan dan watak bahan itu sendiri. Bahwa perbedaan media dan teknik akan
menghasilkan konsep bentuk yang berbeda, tetapi yang perlu dikemukakan terlebih
dulu dalam bab ini ialah bahwa tidak semua pahatan atau patung kayu hasil
kesenian primitif memiliki corak yang sekalipun medianya sama, yaitu kayu. Juga
tidak meskipun didukung oleh ide yang sama.
Dilihat dari segi teknik, mengerjakan kayu
dengan pahat batu hasilnya akan berbeda apabila dikerjakan dengan pahat besi.
Demikian pula kebiasaan membuat patung dengan memakai pisau raut menghasilkan
corak yang berbeda dengan patung yang dibuat dengan cara memahat dengan
bermacam-macam tipe pahat. Pergantian alat kerja yang berarti perubahan teknik
pasti akan berpengaruh pada cara-cara bekerja. Dapat dibayangkan bagaimana
akibat cara dengan duduk di lantai pada seniman Irian jaya/Papua dalam membuat
pahatan dan ukiran, berubah karena penggunaan peralatan pahat baru yang menuntut cara kerja lain. Setiap
perubahan peralatan yang diartikan sebagai usaha peningkatan teknik memang
dapat diharapkan terwujudnya corak dan bentuk baru. Apakah corak dan bentuk
baru ini akan lebih baik dari yang telah dihasilkan sebelumnya, hal ini masih
perlu dipertanyakan. Sebenarnya teknik itu sendiri menentukan kriteria gaya
seni, apa lagi teknik telah menjadi tradisi.
Kehalusan teknik ukiran pada hiasan bidang
dalam kesenian Sentani adalah permasalahan teknik yang tentu berbeda dengan
teknik torehan pada hiasan bidang kesenian Asmat. Faktor lain yang perlu
dikemukakan untuk menjawab pertanyaan sekitar perbedaan dalam ungkapan seni
primitif, yaitu faktor pengaruh kebudayaan. (Gambar 3 dan fFoto 7).
Hiasan bidang seni ukir Sentani |
Gambar 3
Hiasan bidang karya
ukiran Sentani
Hiasan bidang karya torehan Asmat |
Foto 7
Hiasan bidang karya
torehan Asmat
Adalah suatu kenyataan bahwa kesenian
primitif yang tersebar di seluruh dunia ini sudah ada sejak ribuan tahun yang
lalu dan masih ada sampai sekarang. Ini berarti bahwa di satu pihak kesenian
primitif di dunia ini mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
kebudayaannya, di lain pihak ada kesenian primitif yang masih bertahan dalam
bentuk aslinya. Di beberapa daerah Indonesia dapat dilihat perkembangan seni
primitif yang tumbuh sejak zaman pra sejarah sampai sekarang, ada yang cepat
ada pula yang lambat perkembangan yang tentu saja berbeda dengan yang terdapat
di Eropa atau di Amerika. Bahkan di daerah-daerah yang jarang disentuh oleh
kebudayaan asing, kesenian primitif Indonesia masih bertahan dalam bentuk yang
masih murni. Sebaliknya bila kita simak
perkembangan kesenian di Bali misalnya, proses perubahan-perubahan
bentuk sejak tahap awal sampai sekarang, tradisi seni primitif dapat hidup
terus dan berkembang menjadi bentuk-bentuk kesenian baru. Sebagian besar dari
kebudayaan di Irin/Papua, sepanjang yang telah diketahui penelitian para ahli,
masih belum terjawab oleh kebudayaan asing. Perkembangan terakhir setelah Irian
Jaya masuk ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, menunjukkan danya
tanda-tanda perubahan. Perubahan atau perkembangan tradisi kesenian biasanya
mengikuti perubahhan dan perkembangan nilai-nilai budayanya.
Kesenian primitif yang masih murni yang
tersebar di beberapa daerah Indonesia ada yang belum diketahui. Apa yang akan
dibahas pada baba-bab berikutnya adalah karya pahatan Irian Jaya/Papua yang
terdapat di daerah-daerah pantai. Patung dan benda-benda pakai dari kayu dan daerah
pedalaman Irian Jaya masih banyak yang belum diketahui. Makin jauh kesenian
primitif ini dari perhatian kita, makin asing akan kelestariannya. Pengalaman
masa lampau membuktikan bahwa tanpa menyadari adanya karya seni dari suku
banngsa daerah pedalaman, tahu-tahu benda-benda yang menandung nilai keindahan
itu telah tidak dihasilkan lagi, telah mengalami kepunahan tanpa memberikan
bekas-bekas.
Ungkapan kesenian berupa alat-alat rumah
tangga yang dibuat dari kayu atau bambu dengan datangnya barang-barang produksi
pabrik atau industri dari luar makin terdesak. Demikian juga benda-benda yang
bernilai sakral sebagai alat upacara adat berupa patung atau tongkat upacara
tidak dibuat lagi karena terdesak oleh paham agama atau peradaban baru yang
masuk ke daerah pedalaman Irian. Untung bahwa benda-benda yang bernilai seni
itu sebagian masih sempat diamankan untuk disimpan di musium-musium. Namun,
benda-benda musium ini bagi pewaris Tadisi dan bakat seni tidak banyak
merangsang usaha untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai tradisi
seninya.
Usaha-usaha dari Yayasan Museum Irian Jaya
dan Universitas Cendrawasih di Jayapura untuk menampung barang-barang etnografi dan benda kerajinan rakyat Irian
Jaya patut disambut dengan gembira. Tetapi yang lebih menggembirakan ialah
usaha-usaha yang lebih bersifat pelestarian seperti pengembang bakat seni,
karena usaha inilah yang memungkinkan perkembangan lebih lanjut kesenian rakyat
di Irian Jaya.
Pendirian pusat kesenian di daerah Asmat
misalnya, lembaga ini tidak hanya berfungsi untuk memamerkan dan menjual karya
seni rakyat Asmat, tetapi juga memberikan memberikan kesempatan terus
berkembangnya bakat seni. Di sinilah akan lahir bentuk-bentuk patung dan
pahatan hias yang tidak berfungsi lagi sebagai benda upcara. Kebebasan untuk
mengembangkan bentuk patung tradisional
bukan lagi merupakan pantangan hal ini oleh karena adanya nilai-nilai baru di
balik keindahan patung itu (Foto 8)
Segala kemungkinan bisa terjadi dalam
mengembangkan bakat seni tradisional. Perubahan yang terjadi pada kesenian
Irian Jaya/Papua karena perkenalan dengan nilai-nilai budaya baru menjadi
pertanda adanya napas baru dalam ungkapan seni. Dan selama kebutuhan berkarya
seni itu masih ada, perubahan itu dapat menyangkut berbagai segi kesenian
rakyat Irian Jaya/Papua, fungsional maupun estetis.
Patung hiasan kesenian Asmat |
Foto 8
Patung
hiasan dari kesenian Asmat
2.
Ekspresi
Pribadi dan Tradisi.
Perhatian terhadap
kesenian primitif dimulai ketika jenis kesenian ini mendapat perhatian dan
menjadi koleksi para peneliti dan yang kemudian menjadi obyek studi di moseum.
Pengetahuan tentang fungsi seni primitif bermula dari jabatan pemikiran dan
teori etnografis. Dengan makin berkembangnya pengetahuan etnografi dan makin
besarnya perhatian orang Barat terhadap nilai-nilai estetik yang terkandung
dalam karya seni primitif, maka timbullah sebutan kesenian non-Eropa untuk
dibedakan dengan kesenian yang tumbuh
dan berkembang di Eropa. Karena perkembangan dari teori seni di eropa mulai menjamah tentang konsep-konsep
seni dari masyarakat primitif, maka kesenian primitif menjadi objek pendekatan
dan penelitian. Para seniman Baratpun tidak sedikityang berminat untuk
mendatangi masyarakat primitif untuk menghayati secara langsung karya seni
primitif dan mendalami secara akrab kehidupan para senimannya. Dengan demikian,
terbukalah permasalahan dari seni primitif, tidak hanya berdasarkan pada pemikiran
etnografis, tetapi juga berdasarkan persepsi seni. Patung-patung nenek moyang,
topeng-topeng dan hasil pahatan perlambangan dari daerah primitif yang semula
dipandang aneh dan asing akhirnya diakui sebagai benda-benda artistik. Orang
Barat makin giat mengumpulkan benda-benda yang berasal dari daerah jajahan
dimana kebudayaan primitif untuk diteliti nilai-nilai seninya.
Apabila kita
bandingkan sikap ilmiah orang Barat dengan sikap bangsa Indonesia, terasa bahwa
nilai-nilai budaya budaya Indonesia selalu menjadi obyek penelitian, sedang
kita sendiri sering membiarkan diri untuk bersikap asing terhadap nilai-nilai
budaya itu. Dan seperti pengalaman pada zaman kolonial, kita akhirnya hanya
mengetahui karya-karya seniman Indonesia melalui hasil penelitian dan tulisan
para ahli Barat. Bahwa kesenian primitif yang masih banyak tersebar di beberapa
wilayah Indonesia yang banyak tidak kita ketahui, karena sikap kita dan
kurangnya kepekaan kita atas nilai-nilai budaya sendiri.
Perpindahan karya
seni primitif dari tempat asalnya ke tempat dan lingkungan yang baru selalu
menawarkan penilaian dan penafsiran yang berbeda-beda, baik untuk para pengamat
seni maupun bagi para pencipta seni. Dipandang secara etnografis, maka patung
primitif memiliki fungsi yang tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan; patung
adalah benda religius dan sebagai benda media upacara. Sebaliknya apabila
patung itu telah putus ikatan religiusnya, maka patung itu memperoleh arti baru
yang sekular dan orang menganggapnya sebagai karya seni murni. Permasalahannya
ialah bahwa orang menghayati patung itu secara estetik, baik melalui pendekatan
intelektual maupun emosional. Jika, kita membeli patung nenek moyang dari
kesenian Irian Jaya/Papua karena pertimbangan estetik tersebut. dengan
demikian, patung nenek moyang telah kehilangan arti religiusnya. Akhirnya
patung itu berfungsi sebagai karya seni yang dipanjang dan dinikmati
keindahannya.
Implikasi dari
perubahan nilai seni primitif juga terasa dalam perkembangan kesenian di
masyarakat primitif itu sendiri. Menyadari bahwa hasil ciptaannya berupa
patung-patung atau pahatan dan ukiran mengundang minat orang luar, maka
timbullah usaha seniman primitif untuk membuat patung atau pahatan yang tidak
berfungsi religius. Dalam hal ini tuntutan tradisi masih terbatas pada
bentuk-bentuk ungkapan yang bersumber pada patung atau pahatan religius. Bahwa
lama kelamaan untuk bentuk-bentuk tradisional mengalami perubahan atau modifikasi
karena kebebasan seniman tidak lagi dirasakan sebagai pantangan. Kebiasaan
seniman Asmat untuk membuat pahatankerawangan, karena kreatifitas baru yang
didukung oleh kebebasan, ia berhasil mencipta bentuk baru berupa patung manusia
dengan badan badan berupa jalinan batang lilitang yang tampak ritmis dan
elastis (Foto 9).
Patung hasil kreasi baru |
Patug sebagai hasil kebebasan
menyatakan pendapat
Daya seniman
imajinasi seniman karena kebebasannya makin memberikan kemungkinan
berkembangnya patung-patung tradisional. Kemampuan teknik memahat juga ikut
mendukung perkembangan seni patung yang akan dibicarakan pada bab II.
Perubahan seni
patung primitif biasanya bersamaan dengan perubahan profesi seniman. Seperti
yang telah dikemukakan di depan, para pematung dan pemahat dalam masyarakat
primitif, meskipun mempunyai kedudukan terpandang, ia tetap merasakan dirinya
sebagai anggota kesatuan masyarakat. Seorang pemahat kayu atau yang disebut wow ipits dalam masyarakat Asmat
kedudukannya turun temurun. Sebagai pemahat dan pengukir kayu, wow ipits mempunyai kedudukan yang
terhormat. Ialah yang dipandang memindahkan pikiran-pikiran rahasia perihal
penciptaan alam dengan kekuasaan-kekuasaan ajaib dalam bentuk rupa, dalam
patung atau ukiran kayu. Masyarakat yang homogen, tertutup dan intim dalam
keadaannya yang masih tradisional, kurang memberikan kesempatan untuk
menularkan bakat dan ketrampilan memahat kepada orang lain. Para wow ipits meneruskan bentuk dan raga
yang telah disepakati masyarakat secara turun temurun. Mempertahankan wujud
patung atau bentuk pahatan hiasan di sini memang tidak sama dengan
mempertahankan tradisi dalam seni klasik di mana seniman terikat mutlak kepada
perwujudan fisik dari setiap karya senirupanya. Di sinilah letak perbedaan
antara seni klasik dan seni primitif, di mana imajinasi dan kebebasan pribadi
para wowipits masih sanggup menampilkan rekaan-rekaan dan ubahan-ubahan baru
karena mereka tidak dituntut menghapalkan segala peraturan yang tertulis
seperti pada kesenian klasik. Perhatikan patung-patung mbis atau patung-patung nenek moyang dari kesenian Asmat yang satu
sama lain berbeda sebagamana pada Foto 10 dan 11.
Foto 10
Foto 11
Dua perwujudan patung nenek moyang yang berbeda dari Asmat
Di antara sekian
banyaknya patung selalu ada saja perbedaan yang tampak, baik dalam sikap
berdiri maupun dalam atribut yang dikenakan. Jadi, apa yang dimaksud dengan
ungkapan tradisional dalam seni primitif di sini terbatas pada penggunaan
motif-motif dan ungkapan perlambangan. Bahwa ada sentuhan-sentuhan pribadi
seniman yang membedakan yang membedakan satu patung dengan patung yang lain,
hal ini menunjukkan perbedaan emosi dan kepekaan yang menghasilkan kualitas
ekspresi yang berbeda. Bagaimana perbedaan itu memang terbatas jika
dibandingkan dengan kebebasan kesenian Barat pada umumnya. Hal ini disebabkan
pengalaman untuk berekspresi dari seniman primitif masih kurang bahkan bahkan
tidak ada sama sekali. Karena itu, kegiatan seninya mengalami kesenjangan
pengalaman sebab tidak dirangsang untuk meningkatkan prestasinya. Ekspresi seni
hanya dikontrol oleh masyarakat yang tidak menyadari akan nilai-nilai
keindahan.para seniman hanya dihadapkan kepada kegiatan rutin sebagai kewajiban
yang dalam masyarakat, kegiatan yang menjadi tuntutan moral sebagai anggota
masyarakat yang masih utuh dan murni.
Perbedaan ekspresi
pribadi seniman Asmat tidak hanya tampak pada karya seni patung, tetapi lebih
nyata pada pahatan benda pakai. Penciptaan disain bentuk pakai tidak dapat
dilepaskan dari fungsi praktisnya yang dalam kesenian primitif tidak terikat
benar pada disain lama. Peranan imajinasi pada pemahat Irian Jaya/Papua untuk
mencipta disain wadah untuk tempat sagu memang tidak banyak berpengaruh pada
bentuk bagian yang cekung dari tempat sagu, tetapi pada bagian pegangannya.
Patung plastik untuk inilah yang memperlihatkan perwujudan yang berbeda-beda
seperti pada foto 12 dan 13 yang menggambarkan dua buah wadah tempat sagu
dengan bentuk perwujudan pegangan yang berbeda dari kesenian Asmat.
Tradisi untuk
mempertahankan perwujudan motif manusia atau binatang cenderung selalu berubah.
Di sini terasa bahwa para pemahat tidak
menggantungkan pada bentuk dan motif yang satu dan sama yang selalu berulang.
Perlu diketahui bahwa para pemahat dan pengukir kayu di Irian Jaya/Papua hanya
mengandalkan kepada bakatnya yang dipercayakan turun temurun. Mereka ini ti dak
dididik atau diajar untuk membuat patung
atau benda pakai seperti piring, penokok sagu, nampan, dan lembing atau tombak.
Untuk memperoleh keterampilan memahat dan mengukir anggauta masyarakat yang
berminat membuat biasanya mendatangi para pemahat dan pengukir kayu yang telah
diakui oleh masyarakat. Keadaan tersebut di atas berubah ketika kehidupan
masyarakat berubah. Setelah lepasnya ikatan isolasi masyarakat di daerah-daerah
terasing di Irian Jaya/Papua dan sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat itu sendiri, perubahan kesenian pun tidak dapat dihindari.
Sejak menjelang dan
sesudah Perang Dunia ke dua, ketika kesenian Asmat menarik perhatian bangsa
asing, ketia bangsa asing mengagumi karaya –karya artistik dari seniman Asmat,
ketika itu mulai tumbuh pengertian baru terhadap karya seni mereka. Penilaian ini
tidak hanya datang dari pihak luar, juga dari masyarakat Asmat sendiri yang
menyadari bahwa bakat seni mereka dapat menghasilkan sesuatu yang tidak hanya
berarti bagi kehidupan spiritual, tetapi juga menghasilkan imbalan yang dapat
memenuhi kebutuhan fisik. Para wow ipits dari
masyarakat Asmat menyadari bahwa karya seni mereka dapat dijual atau ditukar
dengan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari. Sejak itu pula kebutuhan
berkarya seni makin meningkat dan usaha-usaha ke arah penciptaan bentuk-bentuk
baru dirangsang sesuai dengan selera para peminat. Kebebasan berekspresi makin
berkembang dengan mengandalkan pada bakat-bakat memahat dan mengukir yang telah
diwariskan oleh para seniman pendahulu.
Foto 12
Foto 13
Dua buah wadah tempat sagu dengan bentuk yang berbeda dari kesenian Asmat
S u m b e r :
Wiyoso
Yudoseputro, “Seni Pahat Irian Jaya”
Proyek
Media Kebudayaan Jakarta
Direktorat
Jendral Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981
—KSP42—
Selasa, 1 Oktober 2019 – 21.18 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar