Kamis, 03 Oktober 2019

Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputro: "SENI PAHAT IRIAN JAYA 2"

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Kamis, 03 Oktober 2019 - 20.54 WIB


II.           KONSEP BENTUK

1.            Bentuk yang Mengikuti Bahan.

Berbicara tentan patung primitif di Indonesia, kayu selalu menjadi bahan baku yang paling utama. Ini bisa dimengerti karena Indonesia sebagai daerah tropis memiliki bermacam-macam jenis kayu, baik yang menyangkut kualitas kepegasan, kelenturan, keras atau lunaknya dan keras lembutnya serat kayu maupun kualitas rupanya seperti warna, tekstur, dan alur urat kayu. Semua kualitas kayu itu sedikit banyak akan berbicara kembali pada bentuk patung. Pernyataan bentuk dalam seni ptung memang tidak hanya didukung oleh ide atau cita-rasa seniman sesuatu dengan kegunaannya. Kadang-kadang ciri-ciri dari bahan kayu sendiri ikut merangsang timbulnya ide. Tidak jarang seorang pematung menemukan ide, bahkan menemukan bentuk pada bahan sebagai media patungnya. Menemukan bentuk dalam hal ini tergantung dari kepekaan seniman terhadap bahan yang dipakai untuk dipadukan dengan ide yang ada pada diri seniman.
Sesuai dengan bahan yang tersedia dalam jumlah banyak, batang kayu menentukan sebagian besar bentuk yang bersifat tiga dimensional di Irian Jaya. Dalam hal ini konsep bentuk sosok tiga dimensi ditentukan olehstruktur kayu. Dalam seni primitif dimana teknik memahat kayu masih sangat sederhana, struktur dasar batang kayu masih dibiarkan berbicara sebagai titik tolak pencarian bentuk. Kenyataan ini nampak pada jenis patung dari seni Asmat yang disebut mbistoro. Sebutan patung tiang atau tonggak untuk jenis patung ini sudah menjelaskan peranan bahan kayu. Pada patung mbis atau patung arwah ini masih terbayang struktur dasar dari batang pokok kayu besar dan tinggi (kira-kira 6 sampai 8 meter) yang dijungkirbalikkan sehingga salah satu bagian dari akarnya yang pipih seperti papan, setelah dipahat menjadi bagian atas dari patung tonggak. Bagian dari patung ini yang berasal dari sebidang papan dari jalur akar memberi ketentuan terbentuknya pahatan kerawangan, ciri khas dari patung mbis itu, foto 14. 

foto 14
Patung mbis dari Asmat

Hubungan akrab antara bentuk patung dengan struktur batang kayu tampak kembali pada karya seni patung daerah Sentani yang disebut toleruno. Seperti juga pada mbis, toleruno dibuat juga dari batang pohon yang dijungkirbalikkan sehingga bagian bawah yang berakar pipih menjadi puncak patung tonggak. Puncak patung ini membentuk huruf T yang terbentuk oleh dua jalur akar pada kanan kiri batang pohon (pada patung mbis puncak patung tonggak berbentuk seperti bendera). Patung tonggak toleruno jika jika dibandingkan dengan patung mbis lebih menyerupai patung arsitektur karena mempunyai hubungan fungsional dengan rumah adat yang disebut ondofolo. Patung arwah ini sekaligus sebagai hiasan pada puncak tonggak penyangga rumah yang tampak muncul dari balik lantai (Gambar 4). Pahatan karawangan pada bagian cabang dari puncak tonggak seakan-akan bersambung sampai pada patung-patung manusia yang plastis pada batang tonggak. Ini menyebabkan kesan yang lebih ringan dari seluruh struktur patung tonggak toleruno , apabila dibandingkan dengan patung mbis yang lebih pejal dan kokoh.

Gambar 4
Patung tonggak toleruno

Baik pada patung mbis aupun pada patung toleruno bagian bawah dari puncak tonggak membentuk susunan berbagai sosok manusia bertumpang tindih yang melambangkan arwah. Apabila kita perhatikan bentuk-bentuk tubuh yang langsing dengan kaki dan tangan yang merapat pada tubuh badan dengan proporsi yang serba memanjang, gaya patung ini menjelaskan kembali adanya tuntutan dari struktur bahan tonggak kayu (Foto 15).
Foto 15
Sosok tubuh manusia pada
Batang tonggak mbis.

Sebaliknya bentuk-bentuk sosok binatang dan manusia pada perahu jenazah yang disebut uramum, tidak memperlihatkan gaya memanjang.hal ini karena sosok-sosok itu menjadi bagian dari bentuk badan perahu sebagai pengendara perahu. Namun, sikap yang membongkok agak tertelungkup dari sosok-sosok itu menjelaskan pula hubungan bentuk dan bahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Foto 16
Patung pada badan perahu uranum

Bentuk dasar dariuranum hasil seni Asmat juga menyangkut masalah yang sama. Bentuk perahu yang memanjang yang dibuat dari batang pohon sagu (panjang antara 3 sampai 18 meter) seperti dikendarai oleh sejumlah sosok binatang dan manusia yang melambangkan arwah.
Sikap sosok perlambangan yang serba terikat pada bahan kayu memang tidak selamanya membentuk gaya patung yang serba memanjang. Hal ini tergantung dari perwujudan apa yang ingin dicapai. Patung arwah dari kesenian Biak yang disebut korwar memang tidak memiliki bentuk tubuh memanjang, sebaliknya cenderung memperlihatkan sikap yang tertekan memendek, karena beban dari bagian kepala yang besar yang menyimpang dari proporsi anatomis (Foto 17).

Foto 17
Patung korwar dari Biak

Patung korwar yang memiliki gaya monumental berbeda apabila dibandingkan dengan patung nenek moyang di daerah lain . gaya inilah yang sering disebut juga gaya korwar yang menjadi ciri dari patung nenek moyang daerah Irian Barat/Papua Barat Laut. gaya menumental yang diasosiasikan dengan perwujudan yang kaku, dan tegang yang dicapai dengan jalan menstilasikan bentuk angauta-anggauta badan. Gaya monumental ini lebih tercapai oleh kualitas bahan yang dipakai, yaitu jenis kayu besi.

2.            Tuntutan Teknik.
Seperti telah dikemukakan di muka pada umumnya seniman primitif dalam berkarya menggunakan peralatan yang serba sederhana. Para pemahat Irian Jaya/Papua masih menggunakan alat pemangkas atau pahat dari batu atau tulang binatang dibuat tajam. Untuk membuat ukiran yang lembut dipakai paku yang ujungnya dipipihkan atau dari gigi atau duri binatang. Untuk menghaluskan permukaan bidang dipakai kulit binatang. Meskipun, dengan peralatan yang seba sederhana seniman Irian Jaya/Papua mampu menghasilkan karya pahatan yang menakjubkan. Pahatan pada patung mbis memang tampak serba kasar, namun karya patung ini mencerminkan kemampuan teknik seniman Asmat yang masih serba terbatas alat kerjanya. Bahwa dengan peralatan yang sangat sederhana ia sanggup membuat pahatan kerawangan pada ujung patung tonggak membuktikan adanya kemampuan teknik, (foto 18).

Foto 18
Ukiran kerawangan pada cemen mbis

Teknik pahatan yang kasar dan spontan adalah ciri khas dari gaya seni pahat Asmat. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pada umumnya seniman Asmat memakai bahan kayu yang lunak seperti kayu pohon bakau dan pohon sagu. Patung-patung nenek moyang memperlihatkan torehan dan ukiran kasar dengan garis kontur yang kaku dan teratur. Usaha untuk menghaluskan torehan dan ukiran tidak ada, bukan karena ingin mendapatkan tekstur yang kasar tetapi karena bahan dan teknik tidak memungkinkan. Hal memberikan kesan gaya tertentu. Gaya yang lain yang ditimbulkan oleh bahan dan teknik tampak pada patung-patung dari kesenian daerah Sentani. Patung plastis dari Asmat tampak lebih ekspresif dan dinamis justru karena pengaruh dari bahan dan teknik itu. Keratan dan torehan yang tajam dan dalam, garis-garis kontur yang keras dan tidak rata serta kebiasaan membuat lobang tembus antara badan, kaki dan tangan; semuanya ini membangkitkan kesan tegang dan magis. Memang daya magis inilah yang ingin dicapai melalui perwujudan patung nenek moyang itu.
Kemampuan teknik untuk membuat torehan dan ukiran yang lembut bukannya tidak ada sama sekali pada seniman Asmat atau  pada seniman Irian Jaya/Papua pada umumnya. Patung-patung plastis berukuran kecil, apakah itu menjadi bagian dari benda pakai maupun sebagai patung lepas yang kecil ukurannya membuktikan kenyataan ini (Foto 19).
Perkenalan dengan kebudayaan dari luar membawa perubahan dalam nilai-nilai teknis dalam seni patung Irian Jaya. Kapak dari batu dan pahat dari tulang atau paku diganti dengan peralatan yang lebih memungkinkan efisiensi dan produktifitas. Peningkatan mutu teknis juga dituntut oleh keinginan berkarya yang didukung oleh kebutuhan-kebutuhan di luar kepercayaan. Proses sekularisasi dalam masyarakat Irian Jaya/Papua, karena tumbuhnya nilai-nilai baru dalam budayanya, berpengaruh pada nilai-nilai seni patungnya. Patung-patung yang dihasilkan tidak lagi berfungsi sebagai media kepercayaan dan alat upacara tetapi untuk dijual atau ditukar dengan barang kebutuhan lain. Untuk ini para pemahat berusaha untuk menyediakan barang-barang kesenian untuk melayani kebutuhan baru itu atau untuk disimpan sebagai koleksi museum. Patung-patung yang tertolak dari ide bentuk nenek moyang atau patung perlambangan memperlihatkan bagaimana kemampuan teknik yang telah dikembangkan memperoleh nilai keindahan baru (Foto 19).

Foto 19
Patung plastis dari benda pakai

Patung kerawangan plastis dengan mempermainkan jalinan batang-batang yang merambat dari ujung dasar yang berakhir pada ujung atas berbentuk kepala manusia, patung ciptaan baru ini adalah hasil pencapaian baru dalam teknik memahat. Bentuk lama yang dikembangkan memang masih mengingatkan kepada bentuk yang tradisional namun jelas patung semacam ini telah kehilangan nilai-nilai spiritualnya sebagai patung perwujudan arwah. Jelaslah bahwa kemungkinan berkembangnya seni patung Irian Jaya/Papua selalu terbuka dengan dicapainya kemampuan-kemampuan baru dalam mengerjakan baha.

3.            Gaya dalam Seni Patung.
Apa yang dikemukakan di atas menjelaskan kriteria gaya dalam seni patung yang bersumber pada penggunaan bahan dan kemampuan teknis. Memang kemampuan teknis bukan satu-satunya dalam mencerminkan gaya seni. Faktor-faktor lain yang menentukan gaya seni patung antara lain ialah pengaruh kebudayaan setempat dan kebudayaan asing.
Dalam masyarakat yang masih tertutup dari pengaruh asing terdapat rumah tempat berkumpulnya kaum laki-laki. Rumah ini di samping sebagai pusat kehidupan sosial, juga dimana diselenggarakan upacara-upacara adat. Di sini peralatan upacara adat dismpan dan dibuat seperti patung nenek moyang, kedok, genderang, dan perisai. Jadi, di sini pula kegiatan seni terselenggara yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa upacara sesuai dengan kepercayaan yang mempengaruhi seluruhkehidupan masyarakat. Dapat kita bayangkan bagaimana setiap kesibukan yang sering kita artikan sebagai perbuatan seni sangat terikat oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut adat. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa sumber ide penciptaan seni yang dinyatakan dalam berbagai bentuk pernyataan seni tidak dapat terlepas dari kepercayaan masyarakat. Bentuk-bentuk pernyataan seni itu secara turun temurun dipertahankan terus yang tampil sebagai gaya seni tradisional. Gaya tradisional ini oleh para pengamat seni disebut sebagai gaya seni primitif seperti yang terdapat di Irian Jaya/Papua.
Kepercayaan yang menjadi sub sistem kebudayaan masyarakat menentukan gaya tradisional. Sekalipun jenis-jenis kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang masih tertutup mempunyai dasar sama, namun sikap hidup yang ditentukan oleh lingkungan budaya setempat berpengaruh kepada gaya seni tradisional tadi. Dengan demikian terjadilah berbagai gaya wilayah seni seuai dengan kondisi kebudayaan setempat seperti yang akan kita lihat pada seni patung Irian Jaya/Papua. Sudah dapat dipastikan bahwa kesenian dalam masyarakat di Irian Jaya/Papua bertolak dari pikiran serba religius magis. Tetapi patung nenek moyang atau kedok-kedok upacara ruwatan di satu tempat berbeda dengan yang terdapat di tempat lain menjelaskan adanya faktor-faktor yang mendukung timbulnya berbagai karya seni setempat. Faktor-faktor inilah yang akan kita coba mendekatinya.
Keadaan masyarakat yang tertutup dari penetrasi kebudayaan luar menyebabkan gaya keseniannya bertahan dalam bentuk tradisional. Dalam hal ini corak dan pola budaya suku bangsa ditiap wilayah menentukan gaya seninya. Apa yang disebut dengan gaya wilayah seni di Irian Jaya/Papua berkaitan erat dengan corak kehidupan masyarakat di wilayah itu karena kehidupan itu berpengaruh pada watak masyarakat yang secara aktif terlibat dalam kehidupan seni. Irian Jaya/Papua memperlihatkan tanda-tanda dari unsur kebudayaan dengan persamaan kebuyaan luar seperti kebudayaan Australoid, Melanesoid, Weddoid, dan Paleo-Mongolid. Berbagai unsur kebudayaan itu telah tumbuh tersebar di Irian sehingga terjadilah pembagian wilayah budaya. Tiap wilayah budaya memperlihatkan tanda-tanda persamaan milik kebudayaan dan dibedakan dengan milik kebudayaan dari wilayah yang lain. Salah satu persamaan dan perbedaan bentuk kebudayaan dari wilayah-wilayah budaya itu ialah yang tampak pada karya seni patung. Di Irian Jaya sendiri terdapat beberapa gaya seni yang terbatas pada wilayah tertentu seperti gaya seni wilayah pantai Barat Laut, gaya seni wilayah Danau Sentani dan gaya seni wilayah Barat Daya. Tiap wilayah gaya seni ini masih memperlihatkan beberapa gaya seni setempat atau gaya seni lokal. Dalam wilayah gaya seni Irian Jaya Barat Daya misalnya terdapat gaya seni lokal Mimika, Asmat, dan Citak. Karya seni patung dengan gaya seni lokal itu berbeda satu sama lain. Perbadaan ini disebabkan karena perbedaan corak kehidupan masyarakat setempat meskipun memperlihatkan dasar pola kebudayaan yang sama dalam bahasa, sistem kemasyarakatan, kepercayaan, dan kehidupan ekonomi. Demikian pula dalam kesatuan gaya seni patung Barat Daya memperlihatkan ciri-ciri persamaan dengan pengertian bahwa gaya seni patung Mimika menunjukkan ciri-ciri yang berbeda dengan gaya lokal seni patung Asmat. Perbedaan ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi cita rasa yang didukung oleh watak suku bangsa setempat.
Kebiasaan membuat tonggak arwah atau mbitoro didukung oleh kepercayaan animisme yang terdapat dalam karya seni Mimika maupun dalam seni Asmat. Pahatan yang mengarah ke gaya vertikal dengan corak pahatan kerwangan tampak jelas pada kedua gaya seni lokal tersebut. namun apabila diteliti benar, antara kedua gaya lokal ini napak perbedaan-perbedaan seperti dalam pemilihan motf utamanya, pada pola hisan bidang, pada bagian puncak tonggak yang melintang atau cemen, dan pada guratan-guratan tubuh manusia. (bandingkan Gambar 5 dan Foto 14).

Gambar 5
Gaya lokal patung tonggak arwah dari
kesenian Mimika.

Foto 14
Patung mbis dari Asmat

Motif-motif hias geometri pada hiasan bidang pada seni pahat Citak lebis jelas seperti motif-motif garis lengkung (kurvalinier) dan motif meander, baik yang berdiri sendiri maupun yang berulang. Penempatannya pun dalam kesatuan ornamen lebih teratur dan rapih jika dibandingkan dengan ornamen dalam seni pahat Mimika.
Kebiasaan untuk menampilkan unsur garis pada bidang pahatan dengan menggunakan motif geometri juga nampak pada bidang pahatan seni danau Sentani. Dalam hal ini gaya linier cenderung tampil lebih berirama dengan pola garis yang membentuk ornamen pili yang sambung menyambung. (foto 20).

Gambar 6
Gaya lokal pada ornamen dari Citak

Foto 20
Ornamen pilin pada pahatan bidang seni danau Sentani

Gaya seni ang ritmik dan segar mencerminkan kehidupn masyarakat suku bangsa Danau Sentani yang tenang dan damai. Seperti halnya suku bangsa Danau Sentani, suku bangsa di pulau Biak juga hidup dari kehidupan laut. kebudayaan laut dan pantai di samping memperlihatkan persamaan gaya seni juga perbedaan. Gaya linier dari kedua daerah itu mengarah kepada hiasan bidang yang berbeda. Jika, gaya paha Danau Sentani lebih menampilkanmotif-motif geometri, maka gaya seni pahat Biak memilih motif-motif zoomorfis. Dalam hal ini motif binatang mengalami stilasi dengan mempertahankan unsur garis sebagai pembentuk pola hias. (Gambar 7).

Gambar 7
Pengaturan motif hias binatang pada pahatan seni Biak

Membuat generalisasi gaya seni primitif bertolak dari latar belakang yang mendukung kualitas seninya dapat mengingkari kenyataan adanya gaya-gaya seni lokal seperti yang telah disebut di atas. Menyamaratakan seni primitif dengan rumusan persamaan gaya pada hakikatnya didorong untuk membedakan seni primitif dari seni masyarakat yang telah maju. Adanya perbedaan dalam beberapa gaya seni patung Irian Jaya/Papua sebenarnya karena ada masalah lain di luar tuntutan kepercayaan semata-mata. Faktor lain yang menyebabkan srperti yang telah dikemukakan di depan.
Ide seniman Asmat terhadap citra arwah nenek moyang mencapai bentuk manifestasinya dalam wujud patung mbitoro  sebagai hasil pengolahan bahan yang tersedia di lingkungan alam sekitarnya. Keakraban dengan lingkungan alam ynang utuh dan tidak berubah itu membantu terbentuknya tradisi seni pahat yang sukar ditinggalkan dan yang kan berulang secara turun temurun. Tradisi tersebut tidak hanya dalam memberikan bobot spiritualnya, tetapi juga pada teknik pembuatan patung atau atau teknik pahatannya. Jika gaya vertikal patung mbitoro dari seni Mimika dan Asmat dipandang sebagai kriteria gaya seni, maka unsur rupa ini tidak hanya merupakan manifestasi kepercayaan animisme semata-mata, tetapi sekaligus sebagai hasil kemampuan seniman dalam menjawab tuntutan teknis dari bahan balok kayu yang dipakai. Di sini jelas bahwa faktor bahan dan teknik ikut menentukan gaya dalam seni pahat primitif. Sebaliknya perkembangan teknik yang dicapai setelah dipakainyaperalatan baru tidak selalu diartikan sebagai perubahan gaya seni pahat baru.
Perkembangan seni dimulai ketika para seniman melihat kemungkinan-kemungkinan baru ini timbul oleh bermacam-macam hal, antara lain adanya baru dari karya seni itu sendiri dan karena perkembangan teknik.
Nilai baru dalam perkembangan seni dapat diartikan sebagai pemakaian unsur-unsur rupa baru sebagai hasil perkenalan dengan gaya seni yang datang dari luar atau kreasi baru sebagai hasil perkembangan dari teknik penciptaan seni. Kreasi baru dari hasil perkembangan teknik tidak selalu merubah gaya seni yang lama. Hal ini dapat dilihat pada karya seni pahat Asmat yang berkembang pada sat-saat terakhir. Bentuk pahatan yang semula tidak dapat dicapai karena kesulitan teknik, dengan penerapan teknik baru kesulitan itu dapat diatasi. Ketika para pemahat Asmat yang disebut Wow ipits berkenalan dengan bermacam-macam pahat dan pisau dari besi, teknik ukiran dan pahatan mereka berkembang dan menghasilkan sentuhan baru dalam berkarya, baik pada karya pahatan dua dimensi (Foto 21) maupun pahatan tiga dimensi (Foto 22).  

Foto 21
Pahatan dua dimensi seni Asmat baru

Foto 22
Pahatan tiga dimensi seni Asmat baru

Adapun nilai baru yang timbul sebagai hasil pemakaian unsur-unsur rupa rupa yang datang dari luarmemang dapat berpengaruh pada gaya seni setempat. Pemakaian motif sulur tanaman yang kemungkinan datang dari kesenian daerah Maluku, dengan penggarapan dalam kesatuan pola oranamen dalam seni hias Biak, membentuk gaya seni yang khas yang jarang diketemukan di daerah lain di Irian Jaya/Papua (Gambar 8).

Gambar 8
Hiasan dengan motif sulur tanaman dari seni Biak

Ketika perhatian bangsa dari luar makin besar kepada karya seni Asmat, terjadilah pula perubahan nilai pada karya seni. Ketika itu fungsi seni secara bertahap berubah dari kebutuhan adat kepercayaan kepada kebutuhan profaniah. Timbulnya kebutuhan untukmenghasilkan patung hiasan yang dapat dijual atau ditukar dengan barang lain didorong nilai-nilai-nilai baru itu (Foto 23)

Foto 23
Sebuah patung hiasan dari Amat

Motif-motif baru pun akan bermunculan sesuai dengan tugas seni yang makin bertambah yang sejalan dengan perkembangan daya imajinasi para pemahatnya (Foto 24)

Gambar 8.  Hiasan motif sulur dari seni Biak

Foto 24
Bentuk baru dalam gaya seni Asmat


S u m b e r :
Wiyoso Yudoseputro, “Seni Pahat Irian Jaya”
Proyek Media Kebudayaan Jakarta
Direktorat Jendral Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981


—KSP42—
Kamis, 03 Oktober 2019 – 15.25 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar