Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Kamis, 03 Oktober 2019 - 20.54 WIB
Kamis, 03 Oktober 2019 - 20.54 WIB
II.
KONSEP BENTUK
1.
Bentuk yang
Mengikuti Bahan.
Berbicara tentan patung primitif di Indonesia, kayu selalu menjadi bahan
baku yang paling utama. Ini bisa dimengerti karena Indonesia sebagai daerah
tropis memiliki bermacam-macam jenis kayu, baik yang menyangkut kualitas
kepegasan, kelenturan, keras atau lunaknya dan keras lembutnya serat kayu
maupun kualitas rupanya seperti warna, tekstur, dan alur urat kayu. Semua
kualitas kayu itu sedikit banyak akan berbicara kembali pada bentuk patung.
Pernyataan bentuk dalam seni ptung memang tidak hanya didukung oleh ide atau
cita-rasa seniman sesuatu dengan kegunaannya. Kadang-kadang ciri-ciri dari
bahan kayu sendiri ikut merangsang timbulnya ide. Tidak jarang seorang pematung
menemukan ide, bahkan menemukan bentuk pada bahan sebagai media patungnya.
Menemukan bentuk dalam hal ini tergantung dari kepekaan seniman terhadap bahan
yang dipakai untuk dipadukan dengan ide yang ada pada diri seniman.
Sesuai dengan bahan yang tersedia dalam jumlah banyak, batang kayu
menentukan sebagian besar bentuk yang bersifat tiga dimensional di Irian Jaya.
Dalam hal ini konsep bentuk sosok tiga dimensi ditentukan olehstruktur kayu.
Dalam seni primitif dimana teknik memahat kayu masih sangat sederhana, struktur
dasar batang kayu masih dibiarkan berbicara sebagai titik tolak pencarian bentuk.
Kenyataan ini nampak pada jenis patung dari seni Asmat yang disebut mbistoro. Sebutan patung tiang atau
tonggak untuk jenis patung ini sudah menjelaskan peranan bahan kayu. Pada
patung mbis atau patung arwah ini
masih terbayang struktur dasar dari batang pokok kayu besar dan tinggi
(kira-kira 6 sampai 8 meter) yang dijungkirbalikkan sehingga salah satu bagian
dari akarnya yang pipih seperti papan, setelah dipahat menjadi bagian atas dari
patung tonggak. Bagian dari patung ini yang berasal dari sebidang papan dari
jalur akar memberi ketentuan terbentuknya pahatan kerawangan, ciri khas dari
patung mbis itu, foto 14.
foto 14
Patung mbis dari Asmat
Hubungan akrab antara bentuk patung dengan struktur batang kayu tampak
kembali pada karya seni patung daerah Sentani yang disebut toleruno. Seperti juga pada mbis,
toleruno dibuat juga dari batang pohon yang dijungkirbalikkan sehingga
bagian bawah yang berakar pipih menjadi puncak patung tonggak. Puncak patung
ini membentuk huruf T yang terbentuk oleh dua jalur akar pada kanan kiri batang
pohon (pada patung mbis puncak patung
tonggak berbentuk seperti bendera). Patung tonggak toleruno jika jika dibandingkan dengan patung mbis lebih menyerupai patung arsitektur karena mempunyai hubungan
fungsional dengan rumah adat yang disebut ondofolo.
Patung arwah ini sekaligus sebagai hiasan pada puncak tonggak penyangga
rumah yang tampak muncul dari balik lantai (Gambar 4). Pahatan karawangan pada
bagian cabang dari puncak tonggak seakan-akan bersambung sampai pada patung-patung
manusia yang plastis pada batang tonggak. Ini menyebabkan kesan yang lebih
ringan dari seluruh struktur patung tonggak toleruno
, apabila dibandingkan dengan patung mbis
yang lebih pejal dan kokoh.
Gambar 4
Patung tonggak toleruno
Baik pada patung mbis aupun pada patung toleruno
bagian bawah dari puncak tonggak membentuk susunan berbagai sosok manusia
bertumpang tindih yang melambangkan arwah. Apabila kita perhatikan
bentuk-bentuk tubuh yang langsing dengan kaki dan tangan yang merapat pada
tubuh badan dengan proporsi yang serba memanjang, gaya patung ini menjelaskan
kembali adanya tuntutan dari struktur bahan tonggak kayu (Foto 15).
Foto 15
Sosok tubuh manusia
pada
Batang tonggak mbis.
Sebaliknya
bentuk-bentuk sosok binatang dan manusia pada perahu jenazah yang disebut uramum, tidak memperlihatkan gaya
memanjang.hal ini karena sosok-sosok itu menjadi bagian dari bentuk badan
perahu sebagai pengendara perahu. Namun, sikap yang membongkok agak
tertelungkup dari sosok-sosok itu menjelaskan pula hubungan bentuk dan bahan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Foto 16
Patung pada badan
perahu uranum
Bentuk
dasar dariuranum hasil seni Asmat
juga menyangkut masalah yang sama. Bentuk perahu yang memanjang yang dibuat
dari batang pohon sagu (panjang antara 3 sampai 18 meter) seperti dikendarai
oleh sejumlah sosok binatang dan manusia yang melambangkan arwah.
Sikap sosok perlambangan yang serba terikat
pada bahan kayu memang tidak selamanya membentuk gaya patung yang serba
memanjang. Hal ini tergantung dari perwujudan apa yang ingin dicapai. Patung
arwah dari kesenian Biak yang disebut korwar
memang tidak memiliki bentuk tubuh memanjang, sebaliknya cenderung
memperlihatkan sikap yang tertekan memendek, karena beban dari bagian kepala
yang besar yang menyimpang dari proporsi anatomis (Foto 17).
Foto
17
Patung
korwar dari Biak
Patung korwar yang memiliki gaya monumental
berbeda apabila dibandingkan dengan patung nenek moyang di daerah lain . gaya
inilah yang sering disebut juga gaya korwar
yang menjadi ciri dari patung nenek moyang daerah Irian Barat/Papua Barat
Laut. gaya menumental yang diasosiasikan dengan perwujudan yang kaku, dan
tegang yang dicapai dengan jalan menstilasikan bentuk angauta-anggauta badan.
Gaya monumental ini lebih tercapai oleh kualitas bahan yang dipakai, yaitu
jenis kayu besi.
2.
Tuntutan
Teknik.
Seperti telah
dikemukakan di muka pada umumnya seniman primitif dalam berkarya menggunakan
peralatan yang serba sederhana. Para pemahat Irian Jaya/Papua masih menggunakan
alat pemangkas atau pahat dari batu atau tulang binatang dibuat tajam. Untuk
membuat ukiran yang lembut dipakai paku yang ujungnya dipipihkan atau dari gigi
atau duri binatang. Untuk menghaluskan permukaan bidang dipakai kulit binatang.
Meskipun, dengan peralatan yang seba sederhana seniman Irian Jaya/Papua mampu
menghasilkan karya pahatan yang menakjubkan. Pahatan pada patung mbis memang tampak serba kasar, namun
karya patung ini mencerminkan kemampuan teknik seniman Asmat yang masih serba
terbatas alat kerjanya. Bahwa dengan peralatan yang sangat sederhana ia sanggup
membuat pahatan kerawangan pada ujung patung tonggak membuktikan adanya
kemampuan teknik, (foto 18).
Foto 18
Ukiran kerawangan pada cemen mbis
Teknik pahatan yang
kasar dan spontan adalah ciri khas dari gaya seni pahat Asmat. Hal ini tidak
dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa pada umumnya seniman Asmat memakai bahan
kayu yang lunak seperti kayu pohon bakau dan pohon sagu. Patung-patung nenek
moyang memperlihatkan torehan dan ukiran kasar dengan garis kontur yang kaku
dan teratur. Usaha untuk menghaluskan torehan dan ukiran tidak ada, bukan
karena ingin mendapatkan tekstur yang kasar tetapi karena bahan dan teknik
tidak memungkinkan. Hal memberikan kesan gaya tertentu. Gaya yang lain yang
ditimbulkan oleh bahan dan teknik tampak pada patung-patung dari kesenian
daerah Sentani. Patung plastis dari Asmat tampak lebih ekspresif dan dinamis
justru karena pengaruh dari bahan dan teknik itu. Keratan dan torehan yang
tajam dan dalam, garis-garis kontur yang keras dan tidak rata serta kebiasaan
membuat lobang tembus antara badan, kaki dan tangan; semuanya ini membangkitkan
kesan tegang dan magis. Memang daya magis inilah yang ingin dicapai melalui
perwujudan patung nenek moyang itu.
Kemampuan teknik
untuk membuat torehan dan ukiran yang lembut bukannya tidak ada sama sekali
pada seniman Asmat atau pada seniman
Irian Jaya/Papua pada umumnya. Patung-patung plastis berukuran kecil, apakah
itu menjadi bagian dari benda pakai maupun sebagai patung lepas yang kecil
ukurannya membuktikan kenyataan ini (Foto 19).
Perkenalan dengan
kebudayaan dari luar membawa perubahan dalam nilai-nilai teknis dalam seni
patung Irian Jaya. Kapak dari batu dan pahat dari tulang atau paku diganti
dengan peralatan yang lebih memungkinkan efisiensi dan produktifitas.
Peningkatan mutu teknis juga dituntut oleh keinginan berkarya yang didukung
oleh kebutuhan-kebutuhan di luar kepercayaan. Proses sekularisasi dalam
masyarakat Irian Jaya/Papua, karena tumbuhnya nilai-nilai baru dalam budayanya,
berpengaruh pada nilai-nilai seni patungnya. Patung-patung yang dihasilkan
tidak lagi berfungsi sebagai media kepercayaan dan alat upacara tetapi untuk
dijual atau ditukar dengan barang kebutuhan lain. Untuk ini para pemahat
berusaha untuk menyediakan barang-barang kesenian untuk melayani kebutuhan baru
itu atau untuk disimpan sebagai koleksi museum. Patung-patung yang tertolak
dari ide bentuk nenek moyang atau patung perlambangan memperlihatkan bagaimana
kemampuan teknik yang telah dikembangkan memperoleh nilai keindahan baru (Foto
19).
Foto 19
Patung plastis dari
benda pakai
Patung kerawangan plastis dengan
mempermainkan jalinan batang-batang yang merambat dari ujung dasar yang
berakhir pada ujung atas berbentuk kepala manusia, patung ciptaan baru ini
adalah hasil pencapaian baru dalam teknik memahat. Bentuk lama yang
dikembangkan memang masih mengingatkan kepada bentuk yang tradisional namun
jelas patung semacam ini telah kehilangan nilai-nilai spiritualnya sebagai
patung perwujudan arwah. Jelaslah bahwa kemungkinan berkembangnya seni patung
Irian Jaya/Papua selalu terbuka dengan dicapainya kemampuan-kemampuan baru
dalam mengerjakan baha.
3.
Gaya
dalam Seni Patung.
Apa yang dikemukakan
di atas menjelaskan kriteria gaya dalam seni patung yang bersumber pada
penggunaan bahan dan kemampuan teknis. Memang kemampuan teknis bukan
satu-satunya dalam mencerminkan gaya seni. Faktor-faktor lain yang menentukan
gaya seni patung antara lain ialah pengaruh kebudayaan setempat dan kebudayaan
asing.
Dalam masyarakat
yang masih tertutup dari pengaruh asing terdapat rumah tempat berkumpulnya kaum
laki-laki. Rumah ini di samping sebagai pusat kehidupan sosial, juga dimana
diselenggarakan upacara-upacara adat. Di sini peralatan upacara adat dismpan
dan dibuat seperti patung nenek moyang, kedok, genderang, dan perisai. Jadi, di
sini pula kegiatan seni terselenggara yang tidak dapat dipisahkan dari
rangkaian peristiwa upacara sesuai dengan kepercayaan yang mempengaruhi
seluruhkehidupan masyarakat. Dapat kita bayangkan bagaimana setiap kesibukan
yang sering kita artikan sebagai perbuatan seni sangat terikat oleh
ketentuan-ketentuan yang berlaku menurut adat. Oleh karena itu, dapat
dimengerti mengapa sumber ide penciptaan seni yang dinyatakan dalam berbagai
bentuk pernyataan seni tidak dapat terlepas dari kepercayaan masyarakat.
Bentuk-bentuk pernyataan seni itu secara turun temurun dipertahankan terus yang
tampil sebagai gaya seni tradisional. Gaya tradisional ini oleh para pengamat
seni disebut sebagai gaya seni primitif seperti yang terdapat di Irian
Jaya/Papua.
Kepercayaan yang
menjadi sub sistem kebudayaan masyarakat menentukan gaya tradisional. Sekalipun
jenis-jenis kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang masih tertutup
mempunyai dasar sama, namun sikap hidup yang ditentukan oleh lingkungan budaya
setempat berpengaruh kepada gaya seni tradisional tadi. Dengan demikian
terjadilah berbagai gaya wilayah seni seuai dengan kondisi kebudayaan setempat
seperti yang akan kita lihat pada seni patung Irian Jaya/Papua. Sudah dapat
dipastikan bahwa kesenian dalam masyarakat di Irian Jaya/Papua bertolak dari
pikiran serba religius magis. Tetapi patung nenek moyang atau kedok-kedok
upacara ruwatan di satu tempat berbeda dengan yang terdapat di tempat lain
menjelaskan adanya faktor-faktor yang mendukung timbulnya berbagai karya seni
setempat. Faktor-faktor inilah yang akan kita coba mendekatinya.
Keadaan masyarakat
yang tertutup dari penetrasi kebudayaan luar menyebabkan gaya keseniannya
bertahan dalam bentuk tradisional. Dalam hal ini corak dan pola budaya suku
bangsa ditiap wilayah menentukan gaya seninya. Apa yang disebut dengan gaya
wilayah seni di Irian Jaya/Papua berkaitan erat dengan corak kehidupan
masyarakat di wilayah itu karena kehidupan itu berpengaruh pada watak
masyarakat yang secara aktif terlibat dalam kehidupan seni. Irian Jaya/Papua
memperlihatkan tanda-tanda dari unsur kebudayaan dengan persamaan kebuyaan luar
seperti kebudayaan Australoid, Melanesoid, Weddoid, dan Paleo-Mongolid.
Berbagai unsur kebudayaan itu telah tumbuh tersebar di Irian sehingga
terjadilah pembagian wilayah budaya. Tiap wilayah budaya memperlihatkan
tanda-tanda persamaan milik kebudayaan dan dibedakan dengan milik kebudayaan
dari wilayah yang lain. Salah satu persamaan dan perbedaan bentuk kebudayaan
dari wilayah-wilayah budaya itu ialah yang tampak pada karya seni patung. Di
Irian Jaya sendiri terdapat beberapa gaya seni yang terbatas pada wilayah
tertentu seperti gaya seni wilayah pantai Barat Laut, gaya seni wilayah Danau
Sentani dan gaya seni wilayah Barat Daya. Tiap wilayah gaya seni ini masih
memperlihatkan beberapa gaya seni setempat atau gaya seni lokal. Dalam wilayah
gaya seni Irian Jaya Barat Daya misalnya terdapat gaya seni lokal Mimika,
Asmat, dan Citak. Karya seni patung dengan gaya seni lokal itu berbeda satu
sama lain. Perbadaan ini disebabkan karena perbedaan corak kehidupan masyarakat
setempat meskipun memperlihatkan dasar pola kebudayaan yang sama dalam bahasa,
sistem kemasyarakatan, kepercayaan, dan kehidupan ekonomi. Demikian pula dalam
kesatuan gaya seni patung Barat Daya memperlihatkan ciri-ciri persamaan dengan
pengertian bahwa gaya seni patung Mimika menunjukkan ciri-ciri yang berbeda
dengan gaya lokal seni patung Asmat. Perbedaan ini disebabkan karena
faktor-faktor yang mempengaruhi cita rasa yang didukung oleh watak suku bangsa
setempat.
Kebiasaan membuat
tonggak arwah atau mbitoro didukung
oleh kepercayaan animisme yang terdapat dalam karya seni Mimika maupun dalam
seni Asmat. Pahatan yang mengarah ke gaya vertikal dengan corak pahatan
kerwangan tampak jelas pada kedua gaya seni lokal tersebut. namun apabila
diteliti benar, antara kedua gaya lokal ini napak perbedaan-perbedaan seperti
dalam pemilihan motf utamanya, pada pola hisan bidang, pada bagian puncak
tonggak yang melintang atau cemen,
dan pada guratan-guratan tubuh manusia. (bandingkan Gambar 5 dan Foto 14).
Gambar 5
Gaya lokal patung tonggak arwah dari
kesenian Mimika.
Foto 14
Patung mbis dari Asmat
Motif-motif hias
geometri pada hiasan bidang pada seni pahat Citak lebis jelas seperti
motif-motif garis lengkung (kurvalinier) dan motif meander, baik yang berdiri
sendiri maupun yang berulang. Penempatannya pun dalam kesatuan ornamen lebih
teratur dan rapih jika dibandingkan dengan ornamen dalam seni pahat Mimika.
Kebiasaan untuk menampilkan
unsur garis pada bidang pahatan dengan menggunakan motif geometri juga nampak
pada bidang pahatan seni danau Sentani. Dalam hal ini gaya linier cenderung
tampil lebih berirama dengan pola garis yang membentuk ornamen pili yang sambung
menyambung. (foto 20).
Gambar 6
Gaya lokal pada ornamen dari Citak
Foto 20
Ornamen pilin pada pahatan bidang seni danau Sentani
Gaya seni ang ritmik
dan segar mencerminkan kehidupn masyarakat suku bangsa Danau Sentani yang
tenang dan damai. Seperti halnya suku bangsa Danau Sentani, suku bangsa di
pulau Biak juga hidup dari kehidupan laut. kebudayaan laut dan pantai di
samping memperlihatkan persamaan gaya seni juga perbedaan. Gaya linier dari
kedua daerah itu mengarah kepada hiasan bidang yang berbeda. Jika, gaya paha
Danau Sentani lebih menampilkanmotif-motif geometri, maka gaya seni pahat Biak
memilih motif-motif zoomorfis. Dalam hal ini motif binatang mengalami stilasi
dengan mempertahankan unsur garis sebagai pembentuk pola hias. (Gambar 7).
Gambar 7
Pengaturan motif hias binatang pada pahatan seni Biak
Membuat generalisasi
gaya seni primitif bertolak dari latar belakang yang mendukung kualitas seninya
dapat mengingkari kenyataan adanya gaya-gaya seni lokal seperti yang telah
disebut di atas. Menyamaratakan seni primitif dengan rumusan persamaan gaya
pada hakikatnya didorong untuk membedakan seni primitif dari seni masyarakat
yang telah maju. Adanya perbedaan dalam beberapa gaya seni patung Irian
Jaya/Papua sebenarnya karena ada masalah lain di luar tuntutan kepercayaan
semata-mata. Faktor lain yang menyebabkan srperti yang telah dikemukakan di
depan.
Ide seniman Asmat
terhadap citra arwah nenek moyang mencapai bentuk manifestasinya dalam wujud
patung mbitoro sebagai hasil pengolahan bahan yang tersedia
di lingkungan alam sekitarnya. Keakraban dengan lingkungan alam ynang utuh dan
tidak berubah itu membantu terbentuknya tradisi seni pahat yang sukar
ditinggalkan dan yang kan berulang secara turun temurun. Tradisi tersebut tidak
hanya dalam memberikan bobot spiritualnya, tetapi juga pada teknik pembuatan
patung atau atau teknik pahatannya. Jika gaya vertikal patung mbitoro dari seni Mimika dan Asmat
dipandang sebagai kriteria gaya seni, maka unsur rupa ini tidak hanya merupakan
manifestasi kepercayaan animisme semata-mata, tetapi sekaligus sebagai hasil
kemampuan seniman dalam menjawab tuntutan teknis dari bahan balok kayu yang
dipakai. Di sini jelas bahwa faktor bahan dan teknik ikut menentukan gaya dalam
seni pahat primitif. Sebaliknya perkembangan teknik yang dicapai setelah
dipakainyaperalatan baru tidak selalu diartikan sebagai perubahan gaya seni
pahat baru.
Perkembangan seni
dimulai ketika para seniman melihat kemungkinan-kemungkinan baru ini timbul
oleh bermacam-macam hal, antara lain adanya baru dari karya seni itu sendiri
dan karena perkembangan teknik.
Nilai baru dalam
perkembangan seni dapat diartikan sebagai pemakaian unsur-unsur rupa baru
sebagai hasil perkenalan dengan gaya seni yang datang dari luar atau kreasi
baru sebagai hasil perkembangan dari teknik penciptaan seni. Kreasi baru dari
hasil perkembangan teknik tidak selalu merubah gaya seni yang lama. Hal ini
dapat dilihat pada karya seni pahat Asmat yang berkembang pada sat-saat
terakhir. Bentuk pahatan yang semula tidak dapat dicapai karena kesulitan
teknik, dengan penerapan teknik baru kesulitan itu dapat diatasi. Ketika para
pemahat Asmat yang disebut Wow ipits berkenalan dengan bermacam-macam pahat dan
pisau dari besi, teknik ukiran dan pahatan mereka berkembang dan menghasilkan
sentuhan baru dalam berkarya, baik pada karya pahatan dua dimensi (Foto 21)
maupun pahatan tiga dimensi (Foto 22).
Foto 21
Pahatan dua dimensi seni Asmat baru
Foto 22
Pahatan tiga dimensi
seni Asmat baru
Adapun
nilai baru yang timbul sebagai hasil pemakaian unsur-unsur rupa rupa yang
datang dari luarmemang dapat berpengaruh pada gaya seni setempat. Pemakaian
motif sulur tanaman yang kemungkinan datang dari kesenian daerah Maluku, dengan
penggarapan dalam kesatuan pola oranamen dalam seni hias Biak, membentuk gaya
seni yang khas yang jarang diketemukan di daerah lain di Irian Jaya/Papua (Gambar
8).
Gambar 8
Hiasan dengan motif
sulur tanaman dari seni Biak
Ketika
perhatian bangsa dari luar makin besar kepada karya seni Asmat, terjadilah pula
perubahan nilai pada karya seni. Ketika itu fungsi seni secara bertahap berubah
dari kebutuhan adat kepercayaan kepada kebutuhan profaniah. Timbulnya kebutuhan
untukmenghasilkan patung hiasan yang dapat dijual atau ditukar dengan barang
lain didorong nilai-nilai-nilai baru itu (Foto 23)
Foto 23
Sebuah patung hiasan
dari Amat
Motif-motif
baru pun akan bermunculan sesuai dengan tugas seni yang makin bertambah yang
sejalan dengan perkembangan daya imajinasi para pemahatnya (Foto 24)
Gambar 8. Hiasan motif sulur dari seni Biak |
Foto 24
Bentuk baru dalam
gaya seni Asmat
S u m b e r :
Wiyoso
Yudoseputro, “Seni Pahat Irian Jaya”
Proyek
Media Kebudayaan Jakarta
Direktorat
Jendral Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981
—KSP42—
Kamis, 03 Oktober 2019 – 15.25 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar