Senin, 07 Oktober 2019

"SENI PAHAT IRIAN JAYA" By Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputro

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara"
Senin, 07 Oktober 2019 - 21.18 WIB

 
Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputro
III.  PATUNG TIGA DIMENSI

Tinjauan terhadap karya seni rupa biasanya menyangkut permasalahan nilai guna dan nilai estetik. Pada dasarnya kedua nilai itu tidak terpisahkan dalam mendukung terwujudnya karya seni rupa, artinya sebuah patung mengandung nilai-nilai itu dalam bentuk pernyataan yang utuh. Demikianlah apabla kita berbicara tentang patung primitif, unsur-unsur rupa yang tampil pada ragam hias, bidang dan warna yang terolah dalam kesatuan bentuk artistik menjawab sekaligus nilai-nilai kegunaannya.
Dalam kesenian primitif nilai-nilai guna itu berkaitan dengan sikap hidup masyarakat yang serba diliputi oleh kepercayaan dan tampil di atas pertimbangan estetik. Patung nenek moyang hasil karya pematung Irian Jaya/Papua tidak tercipta dari usaha yang berlandaskan kebutuhan estetik, tetapi karena kesadaran kepercayaan. Kepercayaan ini selalu berada di atas segalanya yang menguasai kehidupan. Dalam masyarakat dimana kehidupan sosial masih berlangsung kekal, maka perbuata seni bersumber pada kepercayaan. Kepercayaan yang melibatkan manusia dalam hubungan yang penuh gaib dan rahasia dengan alam di luar dirinya. Hubungan yang serba gaib ini menuntut media untuk menjembataninya. Media inilah yang kita sebut karya seni yang tampil dalam berbagai bentuk yang sifatnya idioplastis. Patung mbis adalah bentuk seni ideoplastis karena ia didukung oleh ide untuk mewujudkan arwah nenek moyang. Kehadiran patung ini dalam masyarakat adalah semacam jaminan tercapainya kehidupan yang tentram dan pasti (Foto 15). Kesan magis dan monumental dari patung korwar yang bisa kita hayati sebagai karya seni patung, bagi masyarakat di daerah Biak mempunyai arti yang lain (Foto 17). Bagi mereka ini nilai guna spiritual dari patung korwar mempunyai arti religius magis, nilai yang tumbuh karena sikap hidup yang tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan yang turun temurun. Jadi, bagi pengamat seni rupa, langkah apresiatif terhadap patung Irian Jaya/Papua perlu menyadari kedua nilai itu, yaitu nilai guna dan nilai estetiknya. Ada nilai guna spiritual yang tersembunyi di balik tonggak mbis yang terusun dari motif-motif antropomorfis dan zoomorfis dalam susunan jungkir balik dan tindih menindih (Gambar). Nilai spiritual ini terasa lebih nyata dalam kedudukan patung itu dengan lingkungannya. Dia akan berbicara dalam ruang sekaligus melibatkan pada lingkungan yang melahirkan suasana yang serba gaib. Demikian pula patung toleruno yang secara arsitektonis berbicara pada rumah adat, terasa hubungan magis wujud patung plastis ini dengan ruang sekelilingnya yang tertutup. 

                                                            Gbr. 9
Patung mbis yang terpancang di depan rumah adat

1.            Patung Perlambangan

Patung primitif adalah perwujudan bentuk ideoplastis dimana ide yang bersumber pada kepercayaan membentuk perlambangan wujud yang tercipta adalah personifikasi dari yang dipujanya, yang ditakuti dan yang diperingati melalui berbagai upacara. Dari sekian banyaknya patung yang dihasilkan oleh para pemahat Irian Jaya/Papua untuk keperluan upacara ialah patung nenek moyang, patung yang melambangkan arwah dari nenek moyang atau roh orang yang meninggal.
Seperti yang telah dikemukakan di di depan korwar adalah patung tiga dimensi dari daerahBiak yang dibuat untuk menghormati anggauta keluarga yang meninggal, terutama arwah dari pemuka masyarakat. Bagi masyarakat Biak, korwar adalah roh orang yang mati kemudian diartikan sebagai patung kayu sebagai media upacara, misalnya upacara menyembuhkan penyakit, menolak bala, memberikan hasil pertanian, dan perikanan. Meskipun, ada beberapa corak dari jenis patung lambang roh ini, tetapi patung-patung korwar pada umumnya memilikiciri-ciri umum yang sama. Ciri-ciri umum ini antara lain ukuran kepala yang lebih besar dalam proporsinya dengan tubuh. Hal ini mungkin karena pada mulanya korwar patung untuk menyimpan tengkorak, sehingga bagian kepala inilah yang dipentingkan dalam membuat patung (Foto 17). Ciri yang lain ialah sikap patung yang fontal, tegar dan statis, sikap yang tentu saja dapat dikembalikan kepada sikap orang mati dalam kedudukannya sebagai lambang arwah.
Ciri lain ialah dalam penggarapan wajah raut muka yang mengikuti pola yang sama yaitu dagu yang bersegi, hidung menyerupai bentuk jangkar dengan garis tepi yang tajam dan garis pangkal hidung yang bersatu dengan kening. Wajah muka semacam ini seperti terselubung dalam kotak yang mengingatkan kepada topi baja atau wadah tempat kepala (Gambar 16). Penggarapan kepala korwar semacam ini mungkin disebabkan oleh kebiasaan menyimpan tengkorak pada sebuah patung yang dipakai dalam upacara tertentu. Perbedaan-perbedaan yang dapat ditunjuk pada patung korwar antara lain tampak pada sikap. Ada beberapa penampilan sikap duduk atau jongkok dimana lutut, kaki, dan tangan selalu beradu, yaitu sikap yang diambil sikap duduk kepala suku dengan tangan menopang dagu atau sedang membawa pedang. Ada lagi sikap duduk dengan telapak tangan terbuka seperti sedang berdoa. Jenis patung korwar dalam sikap berdiri mengingatkan pada sikap seorang pawang yang sedang memimpin upacara (Foto 25).

Foto 25
Kesan magis dan monumental patung korwar

Sebagai perwujudan dari kepala suku, patung patung korwar  menampilkan tanda-tanda atau lambang status seperti ular, perisai, tongkat upacara, dan pedang (Gambar 10 a dan 10 b). Bentuk konstruktif yang kokoh dan sikap yang kaku dan tegar, dengan ungkapan bentuk yang serba distilasikan, patung semacam inilah yang menampilkan gaya yang monumental dan menjadi ciri gaya seni patung di Barat Laut Irian/Papua (Foto 17)
Gambar 10 a
Patung korwar dengan atribut ular

Gambar 10 b
Patung korwar dengan sikap Jongkok

Toleruno adalah jenis lambang nenek moyang yang lain dari seni patung Irian Jaya/Papua. Patung ini hasil seni daerah danau Sentani. Toleruno atau patung manusia seperti mbis dibuat dari batang kayu yang dijungkirbalik menjadi patung tonggak. Perbedaannya dengan patung mbis biasa ialah pada penggarapan puncak tonggak yang berasal dari akar pohon. Pada umumnya toleruno merupakan patung arsitektonis karena dikaitkan sebagai unsur dari rumah adat di daerah danau Sentani yang disebut ondofolo. Patung menjadi bagian yang utuh dari interior rumah adat ini. seperti pada patung korwar, bentuk dasar dari bahan balok kayu ikut menentukan corak dari patung ini. bentuk dasar silendris menampilkan bagian-bagian anggauta tubuh manusia dengan cukup memberikan guratan-guratan dangkal yang menyerupai garis-garis alur sekeliling badan. Guratan-guratan ini tidak ikut menunjang modulasi yang dapat memberikan kesan anatomis. Jadi, guratan-guratan pada permukaan bidang itu selain hanya berfungsi sebagai tanda pembatas anggauta tubuh, juga memberikan kesan dekoratif dari patung nenek moyang dari Asmat, guratan-guratan lebih membentuk pola-pola ornamental karena lebih teratur dan berulang (Foto 26). Ciri lain yang membedakan patung korwar dan patung toleruno ialah dalam pengerjaan bagian kepala dan raut muka. Bentuk dasar kepala yang persegi dari patung korwar tidak tampak pada patung toleruno. Kepala patung toleruno memiliki bentuk dasar lonjong dengan bentuk dagu agak porabolis. Raut muka tampak datar karena bagian-bagian seperti mata, hidung, mulut, dan alis hanya dinyatakan dengan garis-garis lengkung dan lurus (Gambar 11).

Foto 26
Guratan ornamental pada patung Asmat


Gambar 11
Perbandingan bagian kepala
patung korwar dan toleruno

patung lambang nenek moyang dari jenis lain dari kesenian Sentani lebih bersifat piktoral, seakan-akan patung melukiskan tokoh dalam peristiwa tertentu. Dua buah contoh dari jenis patung ini ialah patung wanita dengan anaknya (Gambar 12) dan patung laki-laki dengan sikap gerak seperti kepala suku (Gambar 13). Jenis patung ini tidak memperlihatkan gaya statis monumental seperti pada patung korwar. Kesan dekoratif juga agak berkurang meskipun masih termasuk satu gaya dengan seni patung Sentani. Gaya ekspresif dan dinamis memang tidak umum untuk seni patung sSentani. Sebaliknya penampilan sikap tertutup dan tidak memukau menjadi ciri yang menyolok sesuai dengan kondisi kebudayaan suku bangsanya.
Gambar 12
Patung wanita
dengan anak dari Sentani

Gambar 13
Patung laki-laki
Dengan sikap  kepala suku
Dari Sentani.

Mbis, seperti yang telah disebut-sebut di depan adalah perwujudan arwah nenek moyang dari kesenian daerah Barat Daya Irian/Papua. Seperti pada patung korwar, patung mbis juga, memiliki ciri-ciri umum, antara lain sikap duduk dan sikap berdiri yang bersumber pada sikap dari seekor belalang. Jenis belalang yang disebut wenet  dengan matanya yang menonjol keluar dan leher yang panjang, mempunyaai kaki dan tangan yang kuat dan tegar yang selalu bersikap seperti sedang berdoa. Sikap  berdoa dari belalang inilah yang kemudian oleh para pemahat daerah itu ditiru untuk sikap patung mbis, sikap keramat dari lambang arwah. kedua tangan yang menyatu pada ujung tangan yang menopang dagu dapat dikembalikan pada sikap belalang (Foto 27).

Foto 27
Sikap berdoa dari belalang
Diambil untuk sikap patung lambang arwah.

Dipandang sebagai patung tonggak atau patung tiang, keseluruhan batang memperlihatkan pahatan berbagai bentuk antropomorfis, bentuk zoomorfis dan bentuk-bentuk yang berasal dari motif perlambangagan dan geometri (Foto 28). Kehadiran sook manusia pada tonggak mbis tidak pasti. Ujung bawah dari tonggak yang meruncing dan berbentuk seperti perahu, kadang-kadang memperlihatkan juga pahatan kerawangan dengan motif pohon lambang kesuburan. Lambang kesuburan juga, tampak pada bentuk cemen sebagai bentuk perwujudan kemaluan laki-laki (Foto 28).

Foto 28
Motif antropomorfis dan zoomorfis dan
motif perlambangan pada batang tonggak mbis.
 
Termasuk pahatan dengan motif zoomorfis pada tonggak mbis ialah motif burung tahun dan burung kakatua. Motif geometri seperti huruf S, W, C, dan V merupakan bentuk-bentuk abstraksi dari motif zoomorfis (Foto 29). Semua motif-motif tersebut di atas tampil pada pahatan tiga dimensi dan tidak kurang juga sebagai motif hias pada pahatan dua dimensional (lihat di belakang).

Foto 29
Beberapa motif geometri sebagai bentuk
Dari motif zoomorfis pada tonggak mbis.

Bentuk badan dari patung mbis mengalami stilasi dan diidentifikasikan kepada bentuk badan belalang sebagai lambang arwah nenek moyang. Torehan dan keratan dalam yang membentuk pola ornamen tertentu pada bidang-bidang permukaan pada kaki, tubuh, dan tangan. Torehan dan keratan ini menampilkan garis-garis yang tegas dan tegang yang dalam susunannyya membentuk hiasan. Namun hiasan yang timbul karena teknik pahatan itu yang juga berkembang pada tekni kerawangan, hiasan patung mbis ini tidak berfungsi sebagai hiasan, tetapi lebih sebagai elemen magis yang berbicara pada patung mbis (Foto 30).

Foto 30
Garis-garis torehan dan keratan pada patung mbis
yang menunjang fungsi magis dari patung.

Patung nenek myang yang lebih dekoratif meskipun ciri dasar yang sama dengan pahatan patung mbis  dari Asmat berasal dari daerah Mimika. Tubuh patung plastis Mimika ini memperlihatkan guratan-guratan garis dekoratif yang lebih teratur dan tersebar di seluruh permukaan bidang dalam bentuk ornamen tertentu. Torehan dekoratif yang ornamental pada tubuh patung mbis dari Mimika ini menyerupai hiasan tato yang terdiri dari gabungan garis-garis menonjol sejajar dan bersilang dengan motif puser sebagai pusat hiasan (Gambar 14). Pola dekoratif itu makin tampak jelas pada pahatan kerawangan di bagian cemen dari patung mbis dari Mimika ini.

Gambar 14
Torehan dekoratif yang ornamental
pada patung mbis Mimika.

2.            Patung bagian dari benda pakai.

Patung-patungtiga dimensi dari beberapa daerah Irian Jaya yang telah dibahas di depan, semuanya termasuk jenis patung yang berdiri sendiri sebagai sarana upacara adat. Kemandiriannya sebagai patung perlambangan sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan upacara adat. Apabila terjadi sesuatu yang dianggap merugikan masyarakat seperti penyakit, kelaparan dan sebagainya, maka patung itu dipandang tidak berfungsi lagi. Dengan demikian, menurut kepercayaan patung sudah waktunya untuk dihancurkan, dibuang atau diganti dengan yang baru dengan ide perlambangan yang sama.
Di samping patung-patung yang berfungsi sebagai obyek upacara, ada jenis patung tiga dimensi lain yang menjadi bagian dari benda pakai, baik untuk peralatan upacara atau untuk keperluan sehari-hari. Pahatan plastis semacam ini tidak berdiri sendiri sebagai karya patung, seperti patung untuk dipasang di haluan kapal, patung sebagai pegangan dari wadah tempat  sagu, patung untuk pegangan tifa atau perisai dan sebagainya.
Bagaimanapun dalam membuat benda pakai para pemahat bertolak dari fungsinya sehingga patung plstis yang diterapkan pada benda ini tidak terlepas dari benda pakai itu. Patung plastis ini sesuai dengan fungsi pakainya memiliki bentuk dan ukuran yang terikat sebagai bagian yang utuh dari disain benda pakainya. Meskipun demikian, ide bentuk sering masih bertolak dari bentuk perlambangan dari patung-patung upacara adat yang berlaku. Tidak jarang motif burung tahun dalam kesenian Asmat yang dipahatkan pada tonggak mbis yang dipakai kembali untuk hiasan bagian haluan atau buritan kapal. Bentuk disain dan ukuran dari hiasan kapal ini memang tidak sama dengan yang terdapat pada tonggak mbis, tetapi ide yang mendukung motifnya sama. Kepala patung nenek moyang yang terpahat pada tonggak mbis  itu pula muncul kembali sebagai pegangan perisai (Foto 31).

Foto 31
Wujud patung nenek moyang
sebagai pegangan benda pakai

artinya fungsi pakai dari patung ini lebih bermakna magis spiritual. Patung ini hadir pada perahu untuk lebih memberikan perasaan aman karena kekuatan magis yang diharapkan memancar dari patung itu. Itulah sebabnya mengapa bentuk dan motif patung plastis pada kapal itu tidak selalu sama karena tidak terikat benar pada tuntutan praktisseperti pada patung pegangan tempat sagu (Foto 32)

Foto 32
Patung pada haluan kapal

Berbagai ubahan patung arwah disusun secara bebas. Bagian-bagian dari motif manusia dan binatang tidak hanya berbicara dalam komposisi bidang tetapi juga komposisi ruang (lihat bab berikut).

Pada masyarakat yang masih berpikir sederhana memang tidak diharapkan adanya pertimbangan yang matang tentang disain benda pakai seperti pada kesenian masyarakat yang telah maju. Tuntutan praktis seperti yang telah disinggung di atas, pada masyarakat yang telah maju menghasilkan bentuk disain yang telah dipertimbangkan nilai-nilai estetiknya. Namun di sinilah justru letak perbedaannya dengan kesenian dari masyarakat yang masih sederhana kebudayaannya seperti di Irian Jya/Papua. Pada seni primitif pertimbangan estetik tidak menjadi tujuan utama, sebaliknya nilai-nilai magis spritual yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Patung sebagai pegangan sebuah tifa  dari kesenian Asmat adalah contoh yang tepat bagaimana imajinasi yang didukung oleh kepercayaan terhadap arwah nenek moyang berpadu dengan fungsi pakai dari tifa untuk upacara adat pengayauan (Foto 33).

Foto 33
Patung untuk pegangan sebuah tifa.

Patung pada haluan kapal dari Asmat memiliki fungsi magis ini pula dibuat patung yang meneruskan bentuk patung yang terdapat pada kapal arwah yang disebut uranum . patung manusia dan binatang pada kawal arwah adalah bentuk perwujudan perlambangan. Sebagai bentuk arwah, patung pada uranum menyerupai patung mbis dengan perwujudan sikap belalang seperti yang telah dibicarakan di depan (lihat Foto 27). Adapun patung yang berderet pada badan kapal sebagai pengendara diwujudkan dalam sikap telungkup dengan kepala ke arah haluan di bagian depan, sedang deretan patung yang lain menuju ke arah buritan berwujud burung rangkok. Patung yang berada di tengah badan kapal berwujud kura-kura. Semua patung pada uranum  secara teknis menjadi bagian yang utuh dari sebatang kayu, artinya patung-patung itu tidak dibuat tersendiri dan kemudian ditempelkan.
Kembali pada fungsi magis spiritual pada benda pakai. Sebuah patung plastis berwarna pada tongkat upacara dari kesenian Asmat bagi kita tampak sebagai hiasan (Foto 34).

Gambar 34
Patung pada tongkatupacara.

Bagisenimat Asmat patung ini tidak dibuat karena karena kebutuhan menghias tongkat upacara itu. Kehadiran patung ini diharapkan dapat meningkatkatkan pahatan kerawangan seperti pada patung mbis. Plastisitas tubuh manusia dan burung rangkok masih dipertahankan dalam bentuk tiga dimensional. Lain lagi dengan pahatan kerawangan pada gagang tongkat pendayung (lihat bab berikut), dimana ornamentik dibatasi pada bidang pahatan dua dimensional. Meskipun ide yang bersumber pada kepercayaan sama, tetapi dalam mengolah bentuk-bentuk perlambangan terbukti bagaimana seniman Asmat kaya dalam daya imajinasi. Berbagai bahan bentuk dan stilasi pada patung tongkat upacara disusun selang-seling dan tindih-menindih membentuk ornamen plastis. Di sampin daya imajinasi, untuk meembuat patung plastis yang memiliki nilai pakai yang praktis dalam ukuran yang terbatas, dibutuhkan kemampuan teknis. Bagaimana batang tongkat dengan ukuran yang relatif kecil diukir dengan paeralatan yang serba sederhana; hal ini membuktikan kemampuan teknis itu. Kemampuan teknis yang sama tampak karya pahatan patung dari daerah danau Sentani yang pada dasarnya menunjukkan hasil pahatan dan ukiran yang lebih halus dan lebih lembut (Gambar 15).

Gambar 15
Patung haluan kapal dari Sentani

Motif antropomorfis yang tampil dalam bentuk patung plastis dan pahatan dua dimensi tidak selalu digambarkan secara utuh sebagai wujud manusia. Kadang-kadang hanya diambil bagian-bagian saja dari anggauta tubuh manusia sesuai dengan pandangan yang religius magis, misalnya tangan, mata, puser, kemaluan, dan kepala. Kepala sebagai motif patung atau motif hias dalam kesenian Irian Jaya/Papua jarang yang diasosiasikan dengan motif topeng seperti yang sering muncul pada kesenian tradisional daerah lain di Indonesia. Meskipun kepala adalah bagian tubuh manusia yang penting dalam alam kepercayaan masyarakat di Irian Jaya/Papua seperti yang terbukti adanya pemeliharaan tengkorak dan adat pengayauan, tetapi kepala hampir tidak pernah berperan sebagai motif utama dalam karya pahatan. Pemeliharaan tengkorak dikerjakan di masyarakat Asmat setelah dibersihkan, yaitu dengan dihiasi kalun dari biji-bijian dan bulu-bulu burung kakatua. Dan rongga mata diisi dengan tanah liat dan ditempel dengan biji-biji merah dan rahang bawah diikat dengan rotan. Pemeliharaan tengkorak  dikerjakan juga di masyarakat Biak dengan menyimpannya dalam wadah yang menyerupai patung korwar (Gambar 16).

Gambar 16
Tengkorak dipelihara dalam patung di Biak

Jadi, apabila tampil kepala sebagai motif pahatan atau patung, dia tidak dapat diartikan sebagai motif topeng. Motif topeng yang pada umumnya dikenal dalam kesenian daerah sebagai motif magis, jarang dijumpai dalam kesenian Irian Jaya/Papua. Mungkin karena topeng sebagai sarana dalam upacara tarian adat jarang dipakai. Topeng upacara yang dalam masyarakat Asmat disebut yipae  memang bukan kedok pahatan dari kayu (Foto 35).

Foto 35
Topeng upacara yipae dari Asmat

Bagian atas dari topeng dibuat dari jalinan anyaman serabut daun sagu yang menutupi kepala si pemakai. Bagian ini bersambung dengan bagian yang dibuat dari anyaman rotan yang menutupi leher, pundak dan perut, keseluruhannya menjadi semacam pakaian perang. Mata topeng dibuat menonjol keluar dengan tempelan semacam lempengan daun. Di atas kepala dipasang tongkat yang ditempel dengan bulu-bulu burung. Tangan dan badan ditutup rapat dengan rumbai-rumbai daun sagu. Gambaran topeng yipae tersebut di atas jelas bukan topeng seperti biasanya, yaitu topeng sebagai penutup muka, jadi lebih menyerupai pakaian yang bersatu dengan topeng. Dengan memakai topeng yipae menurut kepercayaan arwah nenek moyang dapat masuk dan peran pada upacara yipae.
Jalan pikiran serupa juga terdapat juga terdapat masyarakat Marind-Anim Irian Selatan, daerah perbatasan Irian Jaya dan Irian Timur, topeng yang dipakai pada upacara tari inisiasi. Hiasan kepala yang melambangkan tokoh dema tampak menjulang tinggi dengan dibubuhi warna-warna merah, putih, dan hitam yang melambangkan matahari. Perlengkapan tarian inisiasi inipun tidak mempergunakan topeng dalam arti penutup muka.


____________________________


S u m b e r :
Wiyoso Yudoseputro, “Seni Pahat Irian Jaya”
Proyek Media Kebudayaan Jakarta
Direktorat Jendral Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981
—KSP42—
Sabtu, 05 Oktober 2019 – 19.45 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar