Rabu, 16 Januari 2019

Marah Rusli: "SURAT CINTA SITI NURBAYA 2"

Blog Ki Slamet 42 : "Seni Budaya Nusantara"
Kamis, 17 Januari 2019 - 10:38 WIB

Image "Marah Rusli" (Foto: SP)


SURAT CINTA SITI NURBAYA 2


Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu panjang surat ini .
Kebun kelapa yang Dijung Karang itu, harta ayahku yang penghabisan. Tak laku dijual, karena kelapanya sekalian telah mati.”
Ketika itu hati Samsulbahri makin bertambah-tambah tak enak, sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oleh sebab itu, tatkala akan sampailah janji ayahku itu kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena esoknya tentulah Datuk ini mendengar keputusan kami.
Aku tiada berkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku, hatiku tak dapat kusenangkan. Acapkai menangislah aku pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini. Mimpimu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku Datuk Meringgih sedang menguasai aku. Dengan demikian, badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Jika engkau lihat aku sekarang ini, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena sedih, susah, takut dan makan hati.”
“Aku tahu Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata ayahku pada malam itu kepadaku. “Pertama umurnya sudah tua, karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsulbahri dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain,  melainkan itulah yang kucita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama –sama dengan Samsulbahri kelak, karena ia jodohmu yang sebanding dengan engkau.
Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini sangat bersedih hati melihat halku ini terlalu ingin hendak menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati, menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan menghalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai menjadi sesalan di kemudian hari, karena engkau sendirilah yang dapat memutuskan perkara ini. jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. akan tetapi jika engkau tak tak sudi, niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini,           
 Akan jatuh ke dalam tangannya.”
Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangislah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku sedemikian itu, air matanya tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata:
“Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau . jika engkau tak sudi sudahlah; tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang atau aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku teringat lebih suka mati daripada memaksa memaksa engkau dan tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini. tetapi engkaulah yang menjadi halanganku. Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi? Siapakah yang akan memeliharamu?”
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku, jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela? Tanggunganku yang lain tak ada, ibumu pun telah lama meninggal dunia. Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau kelak jangan susah dalam kehidupanmu. Tiada lain yang kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak, bila aku telah berpulang. Sekarang engkau tak suka pada orang itu, sudahla! Kewajibanku telah kujalankan, supaya jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan dengan berserah dan tawakal kepada-Nya!”
Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku mengeluarkan suara lalu bertanya;
“Tidakkah cukup untuk membayar hutang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan rumah dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk Meringgih.”
“Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak membelinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentulah tak lebih dari enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang lain dengan bunga uang hutang itu? Tetapi sudahlah, jangan lagi kau pikirkan perkara ini. Senangkanlah hatimu, dan kita tunggulah apa yang akan datang.”
Semalam-malaman itu, aku tak dapat memejamkan mata barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula karena air mata pun habislah pula. Sungguh pun mataku terbuka, tetapi aku tak dapat berpikir apa-apa. Oleh sebab itu aku pun berbaringlah lalu semalam-malaman mataku terbuka dengan pikiran yang kacau balau. Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya, antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati. Berbagai macam penglihatan dengan perasaan yang menakutka hatiku, terus datang menggdaku. Dikatakan bermimpi juga tidak, sebab mataku terbuka, dikatakan terjaga, pikiranku tiada hendak menuruti kemauanku. Inilah agaknya yang disebut orang bermimpi dalam sadar.
Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur berkokoklah ayam berbalas-balasan, barulah sadar aku akan diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi menyala. Kemudian aku mandi menyegarkan tubuhku. Sesudah mandi, barulah aku dapat berpikir dengan benar. Tatkala aku ingat akan halku, kecutlah hatiku dan jantungku berdebar-debar, tubuhku gemetar, karena sebentar lagi jatuhlah hukumanku atau hukuman ayahku. Bila aku tiada diterkamnya, niscaya ayahkulah yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada berapa lama kemudian, datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. Setelah naik ke rumahku dengan tidak duduk lagi, ia bertanya kepada ayahku:
“Bagaimana?”
“Tak dapat kubayar hutang itu,” jawab ayahku
“Dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu.”
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia dengan marahnya, lalu berkata:
“Jika demikian, tanggunglah olehmu!” lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Salah eorang dari pegawai Belanda berkata sambil mendekati ayahku:
“Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan kedalam penjara, atas kemauan Datuk Meringgih. Dan, hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian harta tuan,” kata pegawai Belanda yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada, “Lakukanlah kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku, dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku lalu berteriak,
“Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku diperistri Datuk Meringgih!”
Mendengar perkataanku, tersenyumlah Datuk Meinggih dengan senyum yang pada penglihatanku, sebagai senyumseekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan pada matanya, hingga terpaksa aku menurup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk aku sambil bertanya, “Benarkah katamu itu?” seperti suatu perkakas mengangguklah aku sebab tak dapat  berkata-kata lagi.
“Oleh sebab hendak menolong ayahku,  
Anakku menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan hatimu, yang sebagai binatang itu.” Kata ayahku kepada Datuk Meringgih. “Sekarang barulah kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena betapa busuknya hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engkau. Dengan berpura-pura bersahabat karib dengan aku, kau perdaya aku, sampai aku jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih! Tuhan itu tiada buta; lambat –laun tentulah engkau akan beroleh juga hukuman atas khianatanmu ini.” Lalu ayahku menuntun aku masuk ke dalam rumah. Samsulbahri, sejak itulah akumenjadi istri Datuk Meringgih.
Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya penuh dengan bekas air mata.
Setelah Samsulbahri membaca kecelakaan ini, lalu ia menundukkan kepalanya ke atas mejanya, menangis karena sedih memikirkan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama diharapkannya, pada saat itu hilang lenyap laksana batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke pasir, tak dapat dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh Datuk Meringgih, dengan putus yang tak dapat disambung lagi.
“Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohonkan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alangkah malangnya untung nasibku ini!” demikianlah buah tangis Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan menggerakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret Siti Nurbaya yang ada di dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas lalu bersumpah:
“Demi Allah, demi rasulnya! Selagi ada nafas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.
Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai maksudku ini.”
Setelah bersumpah, merunduklah Samsulbahri beberapa saat lamanya, menahan sedih dan amarahnya; kemudian ia duduk di atas kursinya, tiada berkata-kata barang sepatah pun. Tatkala sadar, ia kembali meneruskan membaca surat Siti Nurbaya dengan mata yang masi berkaca-kaca.
“Samsulbahri, barangkali tak dapat kau pikirkan bagaimana hancur hatiku sekarang ini. pertama karena telah mungkir janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua karena terpaksa duduk dengan seorang Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu, asanya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula dialah orang yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; dialah musuh kami yang sebesar-besarnya dan dialah pula yang akan menjadi algojoku untuk mencabut nyawaku. Kepada orang yang demikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kau pikir, Sam?
Aduh! Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku dalam dunia ini!
Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini, barangkali belumlah juga, engkau percaya kepadaku dan masih menyangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat saja untuk memperdaya engkau. Akan tetapi Allah sebagai saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau bagaimana pun juga aku aku memang telah mungkir janji, tiada menurut perkataan dan sumpahku yang telah kuucapkan. Dan akulah seorang perempuan yang memutuskan pengharapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan. Akan tetapi adakah jalan lain yang bisa kuturut di dalam kecelakaan ini?
Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang seperti ini, timbullah keinginan dalam hati hendak membunuh diri. Itulah hukuman yang sepadan dengan dosaku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, sebagai ini. akan tetapi tatkala aku hendak memakan racun, datanglah ingatanku, kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh sebab itu kutuliskan surat ini, supaya kau ketahui halku  ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula sebab-sebabnya yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila telah kau baca surat ini, dapatlah kau timbang hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku, dan itu akan kuterima dengan rela dan tulus. Bila daripadamu pun aku tiada mendapat apa ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak ada harapan lagi. Oleh sebab itu kupinta padamu dengan sebesar-besar permintaan, kau balaslah surat ini dengan segera...
Sebagaimana kau lihat, sebagian daripada mimpimu itu tiada terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila telah sampai sana, tentulah ajalku pun akan sampailah pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh sebab itu, di dalam hal ni, terlebih baik bagiku, lekas-lekas dihabiskan umurku supaya jangan menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku kelak, apabila aku telah sampai ke sana, kepasa penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau. Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah kita akan bersatu selama-lamanya.sekian inilah dahulu, kekasihku. Kelak jika, jika masih ada hayat di kandung badanku, kusambungkan pula cerita yang malang ini, asal masih sudi engkau melihat bekas tanganku yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. barangkali juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini.

                                                                                      Siti Nurbaya
                              
SUMBER :
Marah Rusli, “Siti Nurbaya”
Balai Pustaka – Jakarta1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar