Blog Ki Slamet 42 : "Seni Budaya Nusantara"
Kamis, 17 Januari 2019 - 10:38 WIB
Kamis, 17 Januari 2019 - 10:38 WIB
SURAT CINTA SITI NURBAYA 2
Sekarang
marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu panjang surat ini .
Kebun
kelapa yang Dijung Karang itu, harta ayahku yang penghabisan. Tak laku dijual,
karena kelapanya sekalian telah mati.”
Ketika
itu hati Samsulbahri makin bertambah-tambah tak enak, sehingga ia menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Oleh
sebab itu, tatkala akan sampailah janji ayahku itu kepada Datuk Meringgih, pada
malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena
esoknya tentulah Datuk ini mendengar keputusan kami.
Aku
tiada berkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku, hatiku tak dapat
kusenangkan. Acapkai menangislah aku pada malam hari mengenangkan nasibku yang
malang ini. Mimpimu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah Datuk
Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan
selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai
kelihatan olehku Datuk Meringgih sedang menguasai aku. Dengan demikian, badanku
menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Jika engkau lihat aku
sekarang ini, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku. Demikianlah perubahan
badanku, karena sedih, susah, takut dan makan hati.”
“Aku
tahu Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata ayahku pada
malam itu kepadaku. “Pertama umurnya sudah tua, karena rupanya tak elok, ketiga
karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula
bagaimana hatimu kepada Samsulbahri dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada
lain, melainkan itulah yang
kucita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk
bersama –sama dengan Samsulbahri kelak, karena ia jodohmu yang sebanding dengan
engkau.
Aku
percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini sangat bersedih hati melihat
halku ini terlalu ingin hendak menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya
berawan hati, menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan menghalangi
cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi perjodohan itu. Sungguhpun aku
tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan
sampai menjadi sesalan di kemudian hari, karena engkau sendirilah yang dapat
memutuskan perkara ini. jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih,
selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual
rumah dan tanah kita ini. akan tetapi jika engkau tak tak sudi, niscaya aku dan
sekalian kita yang masih ada ini,
Akan jatuh ke dalam tangannya.”
Mendengar
perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan sedih hatiku, hancur luluh rasa
jantungku, lalu menangislah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah
baju dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah kujawab
perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan pecah dan leherku bagai
terkunci.
Tatkala
ayahku melihat halku sedemikian itu, air matanya tak dapat ditahannya, sehingga
keluar berlinang-linang jatuh ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil
berkata:
“Nurbaya,
sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau . jika engkau tak sudi
sudahlah; tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang atau aku masuk
penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. Pada pikiranku
tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya
aku teringat lebih suka mati daripada memaksa memaksa engkau dan tiada takut
akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini. tetapi
engkaulah yang menjadi halanganku. Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada
lagi? Siapakah yang akan memeliharamu?”
Ketika
itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di pipinya. Sesungguhnya harta
benda itu tiada berguna bagiku, jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela?
Tanggunganku yang lain tak ada, ibumu pun telah lama meninggal dunia. Pikiran
kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak berniaga, mencari keuntungan yang
banyak, supaya engkau kelak jangan susah dalam kehidupanmu. Tiada lain yang
kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-alamin, melainkan
kesenangan dan kesentosaanmulah kelak, bila aku telah berpulang. Sekarang
engkau tak suka pada orang itu, sudahla! Kewajibanku telah kujalankan, supaya
jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah kita nanti segala
kehendak Tuhan dengan berserah dan tawakal kepada-Nya!”
Mendengar
bujukan ayahku ini, barulah dapat aku mengeluarkan suara lalu bertanya;
“Tidakkah
cukup untuk membayar hutang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan rumah
dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk
Meringgih.”
“Tanah
tak laku, sebab tak ada orang yang hendak membelinya dan harga barang-barangmu
dengan rumah ini tentulah tak lebih dari enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari
yang lain dengan bunga uang hutang itu? Tetapi sudahlah, jangan lagi kau
pikirkan perkara ini. Senangkanlah hatimu, dan kita tunggulah apa yang akan
datang.”
Semalam-malaman
itu, aku tak dapat memejamkan mata barang sekejap pun; menangis pun tak dapat
pula karena air mata pun habislah pula. Sungguh pun mataku terbuka, tetapi aku
tak dapat berpikir apa-apa. Oleh sebab itu aku pun berbaringlah lalu
semalam-malaman mataku terbuka dengan pikiran yang kacau balau. Halku adalah
seperti orang yang tiada khabarkan dirinya, antara bangun dengan tidur, antara
hidup dengan mati. Berbagai macam penglihatan dengan perasaan yang menakutka
hatiku, terus datang menggdaku. Dikatakan bermimpi juga tidak, sebab mataku
terbuka, dikatakan terjaga, pikiranku tiada hendak menuruti kemauanku. Inilah
agaknya yang disebut orang bermimpi dalam sadar.
Setelah
menyingsinglah fajar di sebelah timur berkokoklah ayam berbalas-balasan,
barulah sadar aku akan diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu
keluarlah aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi menyala.
Kemudian aku mandi menyegarkan tubuhku. Sesudah mandi, barulah aku dapat
berpikir dengan benar. Tatkala aku ingat akan halku, kecutlah hatiku dan
jantungku berdebar-debar, tubuhku gemetar, karena sebentar lagi jatuhlah
hukumanku atau hukuman ayahku. Bila aku tiada diterkamnya, niscaya ayahkulah
yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada
berapa lama kemudian, datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda.
Setelah naik ke rumahku dengan tidak duduk lagi, ia bertanya kepada ayahku:
“Bagaimana?”
“Tak
dapat kubayar hutang itu,” jawab ayahku
“Dan
anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu.”
Tatkala
mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia dengan marahnya, lalu berkata:
“Jika
demikian, tanggunglah olehmu!” lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai
Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Salah eorang dari pegawai Belanda
berkata sambil mendekati ayahku:
“Walaupun
dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan kedalam penjara,
atas kemauan Datuk Meringgih. Dan, hamba terpaksa pula menyita rumah dan
sekalian harta tuan,” kata pegawai Belanda yang lain.
Ayahku
tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada, “Lakukanlah kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala
kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara sebagai seorang penjahat yang
bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku, dan dengan tiada
kuketahui, keluarlah aku lalu berteriak,
“Jangan
dipenjarakan ayahku! Biarlah aku diperistri Datuk Meringgih!”
Mendengar
perkataanku, tersenyumlah Datuk Meinggih dengan senyum yang pada penglihatanku,
sebagai senyumseekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah
sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan pada matanya, hingga terpaksa aku
menurup mataku.
Ayahku
tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk aku sambil bertanya, “Benarkah
katamu itu?” seperti suatu perkakas mengangguklah aku sebab tak dapat berkata-kata lagi.
“Oleh
sebab hendak menolong ayahku,
Anakku
menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan hatimu, yang
sebagai binatang itu.” Kata ayahku kepada Datuk Meringgih. “Sekarang barulah
kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena
betapa busuknya hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta
pula seperti engkau. Dengan berpura-pura bersahabat karib dengan aku, kau
perdaya aku, sampai aku jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut kehendakmu
yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih! Tuhan itu tiada buta; lambat
–laun tentulah engkau akan beroleh juga hukuman atas khianatanmu ini.” Lalu
ayahku menuntun aku masuk ke dalam rumah. Samsulbahri, sejak itulah akumenjadi
istri Datuk Meringgih.
Di
sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya penuh dengan bekas
air mata.
Setelah
Samsulbahri membaca kecelakaan ini, lalu ia menundukkan kepalanya ke atas
mejanya, menangis karena sedih memikirkan nasib kekasihnya dan untungnya
sendiri. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama diharapkannya, pada saat itu
hilang lenyap laksana batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke pasir, tak dapat
dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama berurat berdaging dalam jantungnya,
tiba-tiba diputuskan oleh Datuk Meringgih, dengan putus yang tak dapat
disambung lagi.
“Inilah
jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama aku hasratkan! Inilah buah
permintaan dan doaku yang kupohonkan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa!
Alangkah malangnya untung nasibku ini!” demikianlah buah tangis Samsulbahri
seorang diri di dalam biliknya.
Setelah
menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan
menggerakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata
yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret Siti
Nurbaya yang ada di dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas lalu bersumpah:
“Demi
Allah, demi rasulnya! Selagi ada nafas di dalam dadaku, akan kubalas jua
kejahatan ini! tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.
Ya
Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku ini dan janganlah dicabut
nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai maksudku ini.”
Setelah
bersumpah, merunduklah Samsulbahri beberapa saat lamanya, menahan sedih dan
amarahnya; kemudian ia duduk di atas kursinya, tiada berkata-kata barang
sepatah pun. Tatkala sadar, ia kembali meneruskan membaca surat Siti Nurbaya
dengan mata yang masi berkaca-kaca.
“Samsulbahri,
barangkali tak dapat kau pikirkan bagaimana hancur hatiku sekarang ini. pertama
karena telah mungkir janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua karena
terpaksa duduk dengan seorang Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat
kubenci. Tiadalah suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya
sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu, asanya penjual ikan
kering, tabiatnya lebih daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan bengis.
Lagi pula dialah orang yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; dialah
musuh kami yang sebesar-besarnya dan dialah pula yang akan menjadi algojoku
untuk mencabut nyawaku. Kepada orang yang demikian itu aku harus menyerahkan
diriku. Dengan dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kau pikir, Sam?
Aduh!
Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku dalam dunia ini!
Sungguhpun
telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini, barangkali belumlah juga, engkau
percaya kepadaku dan masih menyangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat saja
untuk memperdaya engkau. Akan tetapi Allah sebagai saksiku, Sam, dan Dialah
juga yang mengetahui bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan
diriku.
Sungguhpun
demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak
percaya kepadaku, karena walau bagaimana pun juga aku aku memang telah mungkir
janji, tiada menurut perkataan dan sumpahku yang telah kuucapkan. Dan akulah
seorang perempuan yang memutuskan pengharapan kekasihnya. Sekalian itu tak
dapat kutidakkan. Akan tetapi adakah jalan lain yang bisa kuturut di dalam kecelakaan
ini?
Oleh
sebab tiada terderita olehku penanggungan yang seperti ini, timbullah keinginan
dalam hati hendak membunuh diri. Itulah hukuman yang sepadan dengan dosaku.
Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin
bangkai, sebagai ini. akan tetapi tatkala aku hendak memakan racun, datanglah
ingatanku, kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh
sebab itu kutuliskan surat ini, supaya kau ketahui halku ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula
sebab-sebabnya yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila telah kau
baca surat ini, dapatlah kau timbang hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas
diriku, dan itu akan kuterima dengan rela dan tulus. Bila daripadamu pun aku
tiada mendapat apa ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak ada harapan
lagi. Oleh sebab itu kupinta padamu dengan sebesar-besar permintaan, kau
balaslah surat ini dengan segera...
Sebagaimana
kau lihat, sebagian daripada mimpimu itu tiada terjadi, tinggal jatuh ke dalam
jurang itu saja lagi. Bila telah sampai sana, tentulah ajalku pun akan
sampailah pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat kutolak
lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh sebab itu, di dalam hal ni,
terlebih baik bagiku, lekas-lekas dihabiskan umurku supaya jangan menanggung
terlalu lama.
Suatu
yang akan melipur hatiku kelak, apabila aku telah sampai ke sana, kepasa
penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah bersama-sama
dengan engkau. Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun
dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah kita akan bersatu
selama-lamanya.sekian inilah dahulu, kekasihku. Kelak jika, jika masih ada
hayat di kandung badanku, kusambungkan pula cerita yang malang ini, asal masih sudi
engkau melihat bekas tanganku yang akan melukiskan untungku yang celaka ini.
barangkali juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi
abangku, barangkali masih suka engkau dan sambutlah peluk cium daripada adikmu
yang sengsara ini.
Siti Nurbaya
SUMBER
:
Marah
Rusli, “Siti Nurbaya”
Balai
Pustaka – Jakarta1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar