Minggu, 20 Januari 2019

"SOSIOLOGI SASTRA DALAM RANGKA KRITIK SASTRA" By Drs. Atar Semi


Image "Buku Kritik Sastra" (Foto: SP)
BAB IV
SOSIOLOGI SASTRA
DALAM KERANGKA KRITIK SASTRA



Sosiologi sastra merupakan merupakan
bagian mutlak dari kritik sastra. Ia mengkhususkan dalam menelaah sastra dengan
memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk telaahan itu dengan
sendirinya dapat digolongkan ke dalam produk kritik sastra.


A.       
Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentangsosial dan proses sosial. sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dari segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya. Sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaarkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya berurusan dengan masalah sosial, ekonomi, politik.
Perbedaan antara keduanya (Supardi: 1978) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang obyektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Adanya analisisilmiah yang obyektif ini menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang ahli sosiologi mengadakan penelitian atas suatu masyarakat yang sama, hasil penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama, hasilnya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan tiap orang. Sedangkan menurut Prof. Awang Salleh (1980), sosiologi bersifat kognitif sedangkan sastra
bersifat afektif.

Karena persamaan obyek yang digarap, wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa pada akhirnya nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan novel. Mungkin pendapat itu muncul didorong olah pesatnya pertumbuhan dan perkembangan sosiologi dewasa ini di samping adanya anggapan bahwa novel akan atau telah mati. Tetapi suatu hal yang jelas adalah bahwa sastra mempunyai kekhasan sendiri yang tidak dimiliki oleh sosiologi, oleh karenanya tampak kedua-duanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang, dan tidak mustahil pula kedudukan dapat saling bekerja sama, saling melengkapi.
Sosiologi sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologi ini mempunyai tiga kualifikasi (Welek dan Warren: 1956) yaitu :
a.        Sosiologi pengarang:  
      yang mempermamasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;
b.        Sosiologi karya sastra:
yakni memasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c.    Sosiologi sastra:  yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Bagan tersebut  hampir sama dengan bagan yang di buat oleh Ian Watt (Sapardi 1978) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrwan, sastra, dan masyarakat.

      Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan mencakup tiga hal:
a.       Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
b.    Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagaipencerminan keadaan masyarakat.
c.          Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Dari skema atau klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, mempunyai skop yang luas, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya.



B.         Sastra Masyarakat, dan Kebudayaan.
Sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri , menurut pandangan antropolog, adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu benda perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain. Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan, di mana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian dari kebudayaan. Singkatnya kebudayaan itu dikatakan sebagai cara hidup, yaitu bagaimana suatu masyarakat itu mengatur hidupnya.

Kebudayaan itu memiliki tiga unsur :

1.          Unsur sistem sosial,
       Sistem sosial ini  terdiri daripada; sistem kekeluargaan, sistem politik,          sistem ekonomi, sistem kepercayaan, , sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Terdapat struktur dalam setiap sistem ini yang dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lain dalam jalinan hidup bermasyarakat antara satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat.

2.        Sistem nilai dan ide,
       Yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan bermasyarakat, bukan saja terhadap alam sekeliling, bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga berharga dari yang lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat.
3.          Peralatan budaya,
        Yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang   diperlukan untuk menunjang kehidupan. 

       Kesusastraan sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencer-  minkan pula ketiga unsur kebudayaan seperti yang dikemukakan di tas.


1.    Kesusastraan mencerminkan sistem sosial yang ada dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politiksistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapt dalam masyarakat yang bersangkutan.
2.          Kesusastraan mencerminkan ide dan sistem nilai, menggambarkan tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak; bahkan karya sastra itu sendiri sebagai obyek penilaian yang dilakukan anggota masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu, dan seterusnya.
3.   Bagaimana mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis yang digunakan dalam mengembangkan sastra.

Selain unsur kebudayaan, perlu pula disinggung di sini sifat kebudayaan
yang dirumuskan oleh para ahli antropologi, yaitu sebagai berikut.


1.     Kebudayaan merupakan sesuatu yang berkesinambungan, sesuatu yang diwariskan, sesuatu yang saling mempengaruhi,sesuatu yang selalu berubah.
2.  Kebudayaan itu merupakan suatu sistem lambang, artinya manusia mempunyai kebolehan berkomunikasi dengan menggunakan lambang-lambang. Bahasa itu sendiri merupakan sistem lambang. Sebenarnya kesusastraan juga boleh dikatakan sistem lambang bukan karena kesustraan itu menggunakan bahasa, tetapi di dalam mengolah suatu novel atau puisi sebenarnya yang terakhir adalah lambang kehidupan kita.
3.          Kebudayaan itu relatif, artinya
setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang memiliki ketiga unsur di atas, yang mempunyai ciri khas sendiri yang membedakannya dengan kebudayaan yang lain. Karena kerelatifan ini kita tidak dapat mengatakan suatu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan yang lain. Kita hanya dapat menafsirkan suatu kebuyaan hanya berdasarkan sistem nilainya sendiri.


Bila ciri kebudayaan itu kita letakkan pada sastra dan kita kaitkan pula dengan masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai suatu sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Kesusastraan itu pada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. Sebagamana juga dengan karya seni yang lain, sastra mempunyai fungsi sosial  dan fungsi estetika

Fungsi sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial,ekonomi, politik, etik, kepercayaan dan lain-lain. Fungsi estetika sastra adalah penampilan karya sastra yang dapat memberi kenikmatan dan rasa keindahan bagi pembacanya. Kedua fungsi ini pada umumnya terjalin dengan baik. Memperhatikan fungsi sosial dan estetika dalam suatu karya sastra sebaiknya kita hubungkan dengan ciri-ciri simbolisme atau perlambangan dalam sastra. kalau kita perhatikan cerita rakyat, misalnya, mungkin kita dapat menerimanya sebagai suatu pencerminan kehidupan nyata, kita anggap sebagai dongeng semata, kalau hal itu tidak kita lihat dalam konteks tata nilai yang berlaku di masyarakat tempat kesusastraan itu tumbuh dan berkembang. Kita menemui dalam berbagai cerita rakyat atau dalam kesusastraan lama penggambaran putri raja selalu dan mesti cantik, anak raja yang selalu gagah dan perkasa, atau adanya putri-putri cantik yang turun dari kayangan, mungkin kita tidak percaya bahwa hal itu fungsional bagi kehidupan masyarakatnya. Kita harus menyadari bahwa melalui perlambangan tadi rakyat ditanam dengan imaji bahwa raja-raja itu mempunyai tempatnya sendiri, yang berbeda dengan rakyat biasa. Maka fungsi perlambangansemacam ini jelas mengait kepada kehidupan kebudayaan masyarakat.


Bagaimana halnya menghadapi sastra modern ? beberapa persoalan timbul,terutama terutama disebabkan sastra modern merupakan olahan perorangan. Walaupun merupakan produk perseoranga namun sastrawan itu sendiri merupakan bagian masyarakat umum, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan budayanya. Seorang seniman bukanlah serang yang terpencil, ia tidak dapat mengelakkan kehadirannya di tengah-tengah yang lain; karena itu ia lahir dan berfungsi di tengah masyarakatnya. Walaupun kadang-kadang kita susah memahami suatu karya seni, tetapi itu harus dimaklumi, karena hakekat kebudayaan sesuatu yang homogen dan relatif.

Bila kita menggunakan konsep kebudayaan tadi, maka sastra sebagai ekspresi kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat, akan mengenal adanya kesinambungan antara yang satu dengan yang lain, akan mengenal adanya pewarisan antara yang lama kepada yang baru. Baik disadari maupun tidak.

Masyarakat Indonesia sedang tumbuh dan berkembang, begitu pula kebudayaannya, termasuk di dalamnya kesustraan Indonesia. Keseluruhan kesusastraan Indonesia sekarang tidak sama dengan keseluruhan kesusastraan Indonesia di tahun limapuluhan, empatpuluhan, atau tigapuluhan. Dengan perkembangan itu fungsi dan nilai sastra bagi masyarakat pun tumbuh dan berkembang. Tanggung jawab yang diberikan kepada para sastrawan semakin besar, mereka tidak cukup hanya mengetahui aspek-aspek yang membangun sastra saja bila ingin menghasilkan karya yang bermutu, tetapi harus dibarengi dengan pengetahuan tentang bidang biologi, psikologi, falsafah, dan kebudayaan. Pengetahuan sosiologi dan psikologi dapat mempertajam persepsi mereka tentang manusia yang dikisahkan.

        
Perkembangan masyarakat dan kebudayaan kita semakin lama semakin besar dan kompleks, demikian pula halnya dengan sastra. Dalam masyarakat lama yang amat kecil dan sederhana, setiap individu melakukan kegiatan dan disetujui semua dan untuk kepentingn semua. Malahan tindakan spontan seorang seniman pun harus berlaku dalam pola-pola atau bentuk yang diakui oleh sekalian anggota golongan.

Jadi sudah ada semacam persetujuan masyarakat tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang mengatur tingkah laku dan bentuk ciptaan senimannya. Tetapi setelah masyarakat menjadi besar, timbullah banyak perbedaan di antara anggota masyarakat, malahan kesenian pun cenderung untuk membentuk suatu otonomi, semacam aktifitas yang terpisah, yang membentuk kelompok sendiri. Dalam kondisi semacam ini sastra harus dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, tentu saja dengan jalan penciptaan sastra yang benar-benar memperhatikan dan memperhitungkan kondisi sosial kultural yang ada.
\
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat yang satu dengan lainnya saling memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling tentu-menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

C.         Pemanfaatan  Pendekatan Sosiologis.
Penggunaan pendekatan sosiologis dalam melakukan kritik sastra tidak kurang mendapat serangan pedas daripada kritikus sastra. Salah satu serangan itu dilancarkan oleh Wellek dan Warren (1956) yang mengatakann bahwa pendekatan susiologis  atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan masyarakat  bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalka biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis semacam itu terutama dianut dan dilakukan oleh kritikus yang meyakini suatu filsafat sosial tertentu, misalnya para kritikus Marxis, yang telah memiliki sikap tertentu terhadap hubungan sastra dan masyarakat, sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah kritik sastra, melainkan penghakiman yang didasarkan atas kriteria sosial politik yang sifatnya non sastra.

Ada anggapan, bahwa sastra sebagai karya seni yang menggambarkan masyarakat cenderung untuk mengalihkan fungsi sastra menjadi “propaganda”. Hal itu dapat berakibat segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada pula yang beranggapan, kalau sastra tidak memperhatikan apa yang tumbuh dan hidup di masyarakat dapat menyebabkan sastra kehilangan fungsi sosialnya, kehilangan nilai didaktiknya.

Apakah suatu karya sastra menjadi cermin keadaan masyarakat di mana dia dilahirkan ? pada umumnya memang begitu, tetaapi hal itu tidak harus. Ignas Kleden (1981) menyebutkan: sastra adalah karya individual yang didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia pertama-tama, karena merupakan cermin diri sang pengarang itu sendiri: persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia kebetulan mengucapkan suatu keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran persoalan umum itu kini terasa sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua ialah, karena kemampuannya menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa kininya. Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa aktual sementara ini. tentu saja dengan itu tidak dikatakan, bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing  dari kehidupan masyarakat. Dia dapat juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat maanya, tetapi itu tanpa pretensi mau menjadi juru bicara jamannya dalam arti kata yang lengkap.

Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden di atas dapat dipahami. Kita dapat
membenarkan pendapat itu, bahwa: karya sastra tidak harus merupakan cetak ulang dari kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga dapat berupa suatu imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan sebagai titik tolak, dalam arti, sastra boleh jadi berupa interpretasi kehidupan, dan boleh jadi pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.

Keterkaitan sastra dengan masyarakat dan keterkaitan masyarakat dengan
sastra dapat menjadi diskusi yang panjang dan tak ada habis-habisnya. Kenyataan menunjukkan bahwa ada sementara kritikus sastra yang memandang bahwa segi-segi
kemasyarakatan yang terungkap dalam suatu karya sastra merupakan ukuran penting untuk digunakan, khususnya dalam pemanfaatan kritik sastra di sekolah-sekolah. Memang terdapat beberapa pengarang yang menggunakan karya sastra sebagai salah satu tempat memperjuangkan ide kemasyarakannya, antara lain dapat kita sebutkan Sutan Takdir Alisyahbana, yang dengan gigih memperjuangkan ide pengembangan tata kemasyarakatan Indonesia baru. Lahirnya karya sastra seperti les Misaraples  oleh pengarang Prancis, Victor Hugo, si Milah Bergigi Emas oleh Pramudya Ananta Toer, atau theis karya Achdiat Kartamihardja adalah rekaman-rekaman kehidupan kemasyarakatan yang pernah dilihat atau dialami pengarangnya.

Di samping adanya pendapat yang menentang pendekatan sosiologis, namun tidak kurang pula jumlah kritukus yang melihat manfaat kritik sastra yang menggunakan pendekatan sosiologis ini. dengan pedekatan pendekatan sosiologis orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah karya sastra, bahkan mungkin dapat membuat kritikus agar terhindar dari kekeliruan tentang hakekat karya sastra yang ditelah, terutama dalam menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain yang harus diketahui sebelum penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi deskriptif: dengan deskripsi kemayarakatan yang melingkupi satu karya satra, sering memberi bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan.

Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dengan memberikan keterangan tentang, misalnya, mengapa beberapa kelemahan menjadi ciri khas dalam suatu periode tertentu, mengapa suatu kurun waktu tertentu memperlihatkan adanya suatu kesamaan, atau mengapa karya-karya Hamka memperlihatkan suatu suasana yang memancing keharuan dengan bantuan sosiologi sastra hal itu dapat diketahui dan dipahami secar lebih mendalam.

Menurut Umar Yunus, keunggulan novel Telegram karya Putu Wijaya terletak dalam kemampuan pengarangnya membuat “pengacauan antara realitas dan imajinasi yang menyebabkan kecurigaan yang dapat membangun suatu suspens yang meyakinkan, sehingga kita tidak pernah berhenti dari pertanyaan dan selalu dihadapkan kepada ketiba-tibaan yang tidak dapat diduga sebelumnya”. Demikian pula halnya dengan novel-novel Iwan Smatupang: ia tampaknya tidak tunduk dengan aturan-aturan yang berlaku, mereka (Putu dan Iwan) dengan sadar atau tidak, menunjukkan kemerdekaan manusia untuk menerobos bata-batas ruang dan waktu.

Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema-tema mana yang kira-kira dominan pada kurun waktu itu. Bisa terjadi seorang pengarang dengan motif tertentu mengemukakan sesuatu yang mungkin keluar dari pola berpikir umum pada waktu itu.

Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Joko Damono (1978), tidak sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia mengemban tugas yang mendesak:: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu situasi rekaan agar mencari nasib mereka sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial. sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia; oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekutan sosial. Dan karena sastra juga akan selalu mencerminkan nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terdapat sastra sebagai cermin masyrakat sebab masyarakay semakin menjadi rumit. Dalam novel-novel yang ditulis pada abad kedelapan belas di Inggris mungkin masih dapat ditemukan gambara masyarakat secara utuh; tetapi sementara masyarakat semakin berkembang dan strutur masyarakat semakin kompleks; dalam novel modern, gambaran semacam itu sulit ditemukan. Kalapun novel-novel dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut lingkungan tertentu, yang berperan sebagai mikro kosmos sosial: lingkungan bangsawan, borjuis, seniman, ntelektual, dan lain-lain.

Suatu bahaya yang mungkin timbul dalam menggunakan pendekatan ini adalah bila pengeritik yang menganut suatu paham politik tertentu mengadakan suatu telaash terhadap suatu karya sastra yang tidak sejalan dengan aliran politik yang dianut pengeritik. Hasil yang akan dicapai dapat keluar dari hakekat kritik sastra yang sesungguhnya, untuk kemudian menjurus kepada pertentangan paham politik.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologis ini
adalah, bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun belum tentu ia menyuarakan kemauan masyarakatnya, dalam arti: dia tidaklah mewakili atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang pasti, dia  hanyalah menyalurkan atau mewakili hatinya sendiri. Dan bila dia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu kebetulan belaka atau kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat itu. Oleh sebab itu seorang pengeritik yang menggunakan pendekatan sosiologis ini harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan dengan partautan antara masa lahir suatu karya sastra dengan tata kemasyarakatan    yang ada di waktu itu, sebab seperti yang sudah disinggung di atas,, bisa terjadi dengan daya kreatifitas, pengarang justru mengungkapkan tentang suatu masyarakat yang diinginkannya.

Pengeritik-pengeritik sastra yang menilai hasil-hasil sastra dengan menggunakan pendekatan ini tentu akan mempertimbangkan: apakah pengarang dalam mengungkapkan segi-segi kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik, dalam arti dia mampu menarik hati pembacanya untuk merasakan apa yang dipersoalkannya atau dapat membuat pembaca merenung dan memikirkannya. Dan sebagai sebuah hasil seni, pengeritik tentunya akan melihat sejauh mana pengarang dapat menjalin dokumentasi sosialnya sehingga menjadi suatu karya yang mempunyai nilai seni dan kemasyarakatan yang besar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan berdaya duna tinggi bila para kritikus sendiri tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi instinsik yang membangun karya satra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologisnya, serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan memanfaatkan faktor imajinasi.

D.        Pertanyaan Pemahaman   
  
1. Kemukakan bagan sosiologi sastra menurut Wellek dan Warre; bagaimana pula menurut Ian Watt ?
2.     Bagaimana hubungan antara sastra dan kebudayaan ?
3.     Bagaimana pendapat beberapa kritikus terhadap pendekatan sosiologis dalam kritik sastra ?
4.     Apakah mutlak sastra mencerminkan kehidupan masyarakat ?


Minggu, 20 Januari 2019 – 17:10 WIB
Ki Slamet Priyadi di Bumi Pangarakan-Bogor
PUSTAKA :
Drs. Atar Semi, “Kritik Sastra”
PENERBIT :
Angkasa Bandung
1984




Rabu, 16 Januari 2019

Marah Rusli: "SURAT CINTA SITI NURBAYA 2"

Blog Ki Slamet 42 : "Seni Budaya Nusantara"
Kamis, 17 Januari 2019 - 10:38 WIB

Image "Marah Rusli" (Foto: SP)


SURAT CINTA SITI NURBAYA 2


Sekarang marilah kuteruskan ceritaku, supaya jangan terlalu panjang surat ini .
Kebun kelapa yang Dijung Karang itu, harta ayahku yang penghabisan. Tak laku dijual, karena kelapanya sekalian telah mati.”
Ketika itu hati Samsulbahri makin bertambah-tambah tak enak, sehingga ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oleh sebab itu, tatkala akan sampailah janji ayahku itu kepada Datuk Meringgih, pada malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena esoknya tentulah Datuk ini mendengar keputusan kami.
Aku tiada berkata-kata lagi; sejak terbakar toko ayahku, hatiku tak dapat kusenangkan. Acapkai menangislah aku pada malam hari mengenangkan nasibku yang malang ini. Mimpimu pun selalu terbayang-bayang di mataku. Setelah Datuk Meringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam, melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai kelihatan olehku Datuk Meringgih sedang menguasai aku. Dengan demikian, badanku menjadi kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Jika engkau lihat aku sekarang ini, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku. Demikianlah perubahan badanku, karena sedih, susah, takut dan makan hati.”
“Aku tahu Nur, bahwa engkau tiada suka kepada Datuk Meringgih,” kata ayahku pada malam itu kepadaku. “Pertama umurnya sudah tua, karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji. Itulah sebabnya ia bukan jodohmu. Dan aku tahu pula bagaimana hatimu kepada Samsulbahri dan hatinya kepadamu. Aku pun tiada lain,  melainkan itulah yang kucita-citakan dan kuharapkan siang dan malam, yakni akan melihat engkau duduk bersama –sama dengan Samsulbahri kelak, karena ia jodohmu yang sebanding dengan engkau.
Aku percaya pula, bahwa orang tuanya yang waktu ini sangat bersedih hati melihat halku ini terlalu ingin hendak menolong aku, tetapi karena tak dapat, hanya berawan hati, menjauhkan diri, bahwa Sutan Mahmud pun tiada akan menghalangi cita-cita kita ini, bahkan akan serta mencukupi perjodohan itu. Sungguhpun aku tahu akan sekalian itu, tapi hendak juga kutanyakan pikiranmu, supaya jangan sampai menjadi sesalan di kemudian hari, karena engkau sendirilah yang dapat memutuskan perkara ini. jika sudi engkau menjadi istri Datuk Meringgih, selamatlah aku, tak masuk ke dalam penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan tanah kita ini. akan tetapi jika engkau tak tak sudi, niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini,           
 Akan jatuh ke dalam tangannya.”
Mendengar perkataan ayahku ini, tiadalah dapat kutahan sedih hatiku, hancur luluh rasa jantungku, lalu menangislah aku tersedu-sedu di dada ayahku, sehingga basahlah baju dan kainnya, karena air mataku yang bercucuran. Tiadalah kujawab perkataannya sepatah pun karena dadaku bagaikan pecah dan leherku bagai terkunci.
Tatkala ayahku melihat halku sedemikian itu, air matanya tak dapat ditahannya, sehingga keluar berlinang-linang jatuh ke pipinya, lalu diciumnya kepalaku sambil berkata:
“Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa engkau . jika engkau tak sudi sudahlah; tak mengapa. Biarlah harta yang masih ada ini hilang atau aku masuk penjara sekalipun, asal jangan bertambah-tambah pula dukacitamu. Pada pikiranku tiadalah akan sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku teringat lebih suka mati daripada memaksa memaksa engkau dan tiada takut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini. tetapi engkaulah yang menjadi halanganku. Bagaimanakah halmu kelak, bila aku tak ada lagi? Siapakah yang akan memeliharamu?”
Ketika itu berlinang-linanglah pula air mata ayahku di pipinya. Sesungguhnya harta benda itu tiada berguna bagiku, jika engkau tiada ada. Apa yang akan kubela? Tanggunganku yang lain tak ada, ibumu pun telah lama meninggal dunia. Pikiran kepadamulah yang membangkitkan hatiku hendak berniaga, mencari keuntungan yang banyak, supaya engkau kelak jangan susah dalam kehidupanmu. Tiada lain yang kuingini dan kuamalkan serta kupohonkan kepada Rabbul-alamin, melainkan kesenangan dan kesentosaanmulah kelak, bila aku telah berpulang. Sekarang engkau tak suka pada orang itu, sudahla! Kewajibanku telah kujalankan, supaya jangan engkau menyesali aku pula kelak. Sekarang marilah kita nanti segala kehendak Tuhan dengan berserah dan tawakal kepada-Nya!”
Mendengar bujukan ayahku ini, barulah dapat aku mengeluarkan suara lalu bertanya;
“Tidakkah cukup untuk membayar hutang itu, kalau sekalian barang hamba jual dengan rumah dan tanah Ayah? Karena hamba lebih suka miskin daripada jadi istri Datuk Meringgih.”
“Tanah tak laku, sebab tak ada orang yang hendak membelinya dan harga barang-barangmu dengan rumah ini tentulah tak lebih dari enam tujuh ribu rupiah. Di mana dicari yang lain dengan bunga uang hutang itu? Tetapi sudahlah, jangan lagi kau pikirkan perkara ini. Senangkanlah hatimu, dan kita tunggulah apa yang akan datang.”
Semalam-malaman itu, aku tak dapat memejamkan mata barang sekejap pun; menangis pun tak dapat pula karena air mata pun habislah pula. Sungguh pun mataku terbuka, tetapi aku tak dapat berpikir apa-apa. Oleh sebab itu aku pun berbaringlah lalu semalam-malaman mataku terbuka dengan pikiran yang kacau balau. Halku adalah seperti orang yang tiada khabarkan dirinya, antara bangun dengan tidur, antara hidup dengan mati. Berbagai macam penglihatan dengan perasaan yang menakutka hatiku, terus datang menggdaku. Dikatakan bermimpi juga tidak, sebab mataku terbuka, dikatakan terjaga, pikiranku tiada hendak menuruti kemauanku. Inilah agaknya yang disebut orang bermimpi dalam sadar.
Setelah menyingsinglah fajar di sebelah timur berkokoklah ayam berbalas-balasan, barulah sadar aku akan diriku dan nyatalah kepada hari telah subuh, lalu keluarlah aku membasahi kepalaku yang masih panas, sebagai besi menyala. Kemudian aku mandi menyegarkan tubuhku. Sesudah mandi, barulah aku dapat berpikir dengan benar. Tatkala aku ingat akan halku, kecutlah hatiku dan jantungku berdebar-debar, tubuhku gemetar, karena sebentar lagi jatuhlah hukumanku atau hukuman ayahku. Bila aku tiada diterkamnya, niscaya ayahkulah yang akan disiksanya, binatang buas itu.
Tiada berapa lama kemudian, datanglah Datuk Meringgih dengan dua orang Belanda. Setelah naik ke rumahku dengan tidak duduk lagi, ia bertanya kepada ayahku:
“Bagaimana?”
“Tak dapat kubayar hutang itu,” jawab ayahku
“Dan anakku tak dapat pula kuberikan kepadamu.”
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentaklah ia dengan marahnya, lalu berkata:
“Jika demikian, tanggunglah olehmu!” lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai Belanda, yang datang bersama-sama dengan dia. Salah eorang dari pegawai Belanda berkata sambil mendekati ayahku:
“Walaupun dengan sedih hati, tetapi terpaksa hamba akan membawa tuan kedalam penjara, atas kemauan Datuk Meringgih. Dan, hamba terpaksa pula menyita rumah dan sekalian harta tuan,” kata pegawai Belanda yang lain.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lain daripada, “Lakukanlah kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku, dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku lalu berteriak,
“Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku diperistri Datuk Meringgih!”
Mendengar perkataanku, tersenyumlah Datuk Meinggih dengan senyum yang pada penglihatanku, sebagai senyumseekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan terbayanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan pada matanya, hingga terpaksa aku menurup mataku.
Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk aku sambil bertanya, “Benarkah katamu itu?” seperti suatu perkakas mengangguklah aku sebab tak dapat  berkata-kata lagi.
“Oleh sebab hendak menolong ayahku,  
Anakku menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan hatimu, yang sebagai binatang itu.” Kata ayahku kepada Datuk Meringgih. “Sekarang barulah kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena betapa busuknya hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engkau. Dengan berpura-pura bersahabat karib dengan aku, kau perdaya aku, sampai aku jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut kehendakmu yang keji itu. Tetapi tak apa, Datuk Meringgih! Tuhan itu tiada buta; lambat –laun tentulah engkau akan beroleh juga hukuman atas khianatanmu ini.” Lalu ayahku menuntun aku masuk ke dalam rumah. Samsulbahri, sejak itulah akumenjadi istri Datuk Meringgih.
Di sini tulisan surat itu tiada terang pula, sebab kertasnya penuh dengan bekas air mata.
Setelah Samsulbahri membaca kecelakaan ini, lalu ia menundukkan kepalanya ke atas mejanya, menangis karena sedih memikirkan nasib kekasihnya dan untungnya sendiri. Segala cita-cita hatinya yang sekian lama diharapkannya, pada saat itu hilang lenyap laksana batu jatuh ke lubuk, hujan jatuh ke pasir, tak dapat dicari lagi. Pengharapan yang telah sekian lama berurat berdaging dalam jantungnya, tiba-tiba diputuskan oleh Datuk Meringgih, dengan putus yang tak dapat disambung lagi.
“Inilah jadinya segala kenang-kenanganku yang sekian lama aku hasratkan! Inilah buah permintaan dan doaku yang kupohonkan siang dan malam kepada Tuhan yang Maha Kuasa! Alangkah malangnya untung nasibku ini!” demikianlah buah tangis Samsulbahri seorang diri di dalam biliknya.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan menggerakkan giginya dan mengepalkan tangannya. Dengan muka yang pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah potret Siti Nurbaya yang ada di dekatnya sambil mengangkat mukanya ke atas lalu bersumpah:
“Demi Allah, demi rasulnya! Selagi ada nafas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini! tiada puas hatiku sebelum kutuntut bela atas aniayanya ini.
Ya Allah, ya Tuhanku! Perkenankanlah juga permintaanku ini dan janganlah dicabut nyawaku lebih dahulu, sebelum sampai maksudku ini.”
Setelah bersumpah, merunduklah Samsulbahri beberapa saat lamanya, menahan sedih dan amarahnya; kemudian ia duduk di atas kursinya, tiada berkata-kata barang sepatah pun. Tatkala sadar, ia kembali meneruskan membaca surat Siti Nurbaya dengan mata yang masi berkaca-kaca.
“Samsulbahri, barangkali tak dapat kau pikirkan bagaimana hancur hatiku sekarang ini. pertama karena telah mungkir janji kepadamu dan memutuskan pengharapanmu; kedua karena terpaksa duduk dengan seorang Datuk Meringgih ini; iblis tua yang sangat kubenci. Tiadalah suatu yang dapat kupandang padanya. Sungguh kaya, rupanya sama dengan hantu pemburu, bangsanya, Allah yang tahu, asanya penjual ikan kering, tabiatnya lebih daripada tabiat binatang, kelakuannya kasar dan bengis. Lagi pula dialah orang yang menjatuhkan ayahku dari kekayaan dan namanya; dialah musuh kami yang sebesar-besarnya dan dialah pula yang akan menjadi algojoku untuk mencabut nyawaku. Kepada orang yang demikian itu aku harus menyerahkan diriku. Dengan dia aku harus hidup bersama-sama. Cobalah kau pikir, Sam?
Aduh! Agaknya tak ada orang yang sama sengsaranya dengan aku dalam dunia ini!
Sungguhpun telah kupaparkan sekalian hal ihwalku ini, barangkali belumlah juga, engkau percaya kepadaku dan masih menyangka, bahwa segala hal itu kuperbuat-buat saja untuk memperdaya engkau. Akan tetapi Allah sebagai saksiku, Sam, dan Dialah juga yang mengetahui bagaimana rasa hatiku, tatkala aku harus menyerahkan diriku.
Sungguhpun demikian tiadalah boleh juga aku berkecil hati, bila engkau tiada hendak percaya kepadaku, karena walau bagaimana pun juga aku aku memang telah mungkir janji, tiada menurut perkataan dan sumpahku yang telah kuucapkan. Dan akulah seorang perempuan yang memutuskan pengharapan kekasihnya. Sekalian itu tak dapat kutidakkan. Akan tetapi adakah jalan lain yang bisa kuturut di dalam kecelakaan ini?
Oleh sebab tiada terderita olehku penanggungan yang seperti ini, timbullah keinginan dalam hati hendak membunuh diri. Itulah hukuman yang sepadan dengan dosaku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai, sebagai ini. akan tetapi tatkala aku hendak memakan racun, datanglah ingatanku, kalau-kalau perbuatan ini salah pula pada hematku.
Oleh sebab itu kutuliskan surat ini, supaya kau ketahui halku  ini dari awal sampai akhirnya dan tahu pula sebab-sebabnya yang telah menjadikan aku sampai mungkir janji. Bila telah kau baca surat ini, dapatlah kau timbang hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas diriku, dan itu akan kuterima dengan rela dan tulus. Bila daripadamu pun aku tiada mendapat apa ampun, tahulah aku, bahwa di dalam dunia ini tak ada harapan lagi. Oleh sebab itu kupinta padamu dengan sebesar-besar permintaan, kau balaslah surat ini dengan segera...
Sebagaimana kau lihat, sebagian daripada mimpimu itu tiada terjadi, tinggal jatuh ke dalam jurang itu saja lagi. Bila telah sampai sana, tentulah ajalku pun akan sampailah pula. Jadi kejatuhanku karena Datuk Meringgih ini, tak dapat kutolak lagi, karena demikianlah sudah untung nasibku. Oleh sebab itu, di dalam hal ni, terlebih baik bagiku, lekas-lekas dihabiskan umurku supaya jangan menanggung terlalu lama.
Suatu yang akan melipur hatiku kelak, apabila aku telah sampai ke sana, kepasa penghabisan mimpimu itu, ialah jatuh ke dalam jurang itu adalah bersama-sama dengan engkau. Barangkali di sanalah kita tiada akan bercerai lagi, walaupun dalam dunia ini masih dapat dipisahkan orang. Di akhiratlah kita akan bersatu selama-lamanya.sekian inilah dahulu, kekasihku. Kelak jika, jika masih ada hayat di kandung badanku, kusambungkan pula cerita yang malang ini, asal masih sudi engkau melihat bekas tanganku yang akan melukiskan untungku yang celaka ini. barangkali juga aku tiada boleh lagi memanggil engkau kekasihku, tetapi menjadi abangku, barangkali masih suka engkau dan sambutlah peluk cium daripada adikmu yang sengsara ini.

                                                                                      Siti Nurbaya
                              
SUMBER :
Marah Rusli, “Siti Nurbaya”
Balai Pustaka – Jakarta1988