Senin, 14 Januari 2019

"SURAT CINTA SITI NURBAYA" Marah Rusli

Blog Slamet 42 : Karya Seni Budaya Nusantara
Selasa, 15 Januari 2019 - 08:17 WIB

Image "Datuk Meringgih (Foto: SP)

“SURAT CINTA SITI NURBAYA 1”

Padang, 13 Maret 1897

Kekasihku Samsulbahri !

Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang telah kutulisdengan airmata yang bercucuran dan hati yang sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan sembilu dan dibubuh asam, garam, serta pikiran yang kelam kabut akan datang membawa kabar yang sangat dukacita kepadamu, barangkali juga akan memutuskan pengharanmu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun rasakan putusrangkai jantung hatiku mengenangkan sedih dan duka nestapa yang menimpa engkau karena mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah juga diriku menulis surat ini, karena takut kalau-kalau engkau bersangka, bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling daripadamu.
Barangkali juga kabar ini akan menimbulkan murka dan syak wasangka di dalam hatimu, Sam! Dan, akan menghilangkan kepercayaanmu kepadaku karena itu tiadalah hendak kau indahkan lagi akuini dan kau buang aku, sebagai membuang sampah ke pelimbahan, sebab pada sangkamu sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan tak boleh dipercaya. Oleh sebab itulah aku bersumpah lebih dahulu, barangkali engkau percaya kembali padaku. Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubah dari sediakala kepadamu dan tiadalah ada ingatanku akan menyakitimu dan memutuskan pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan apabila tiada benar aku di dalam hal ini, biarlah diazab dan disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat. Sesungguhnya aku lebih suka mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku, supaya jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang apa hendak kukatakan? Karenademikianlah rupanya nasibku yang telah tertimpa. Walaupun bagaimana juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya akan sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan nasib manusia ditentukan semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah telah kukatakan dalam pepatah: “Malang tak dapat ditolah, mujur tak dapat diraih?” bukankah setahun yang telah lalu, telah engkau ketahui untungku, karena engkau mendapat mimpi tentang nasibku itu? Sekarang datanglah waktunya rupanya, aku harus menepati nasibku itu, tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai sia-sialah segala cita-cita dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapan, lenyap segala harapanku, putus tali tempat bergantung aku dan...”
Sampai di situ Samsul Bahri tak mampu melanjutkan membaca surat Siti Nurbaya, karena kertasnya penuh kejatuhan air mata, sehingga menjadi kembang dan hurup yang tertulis di atasnya menjadi kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsul Bahri tulisan yang kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya: “Supaya dapat kau ketahui bagaimana asal mulanya kecelakaanku ini, kutulislah juga surat ini. Dengan demikian, dapatlah kau timbang seberapa besar kesalahanku dalam perkara ini.
Sebagaimana telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah terbakar sekaliannya. Itulah permulaan sengsaraku; dari situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar dari ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian daripada itu, ada tanda-tanda yang menyatakan  pembakaran itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat minyak dan puntung suluh. Sungguhpun demikian, Sam, sampai sekarang belum juga lagi dapat keterangan, siapa yang berbuatkejahatan itu.
Bertambah-tambah syak hati ayahmu, kebakaran itu perbuatan khianat, sebab yang mula-mula terbakar, dari ketiga toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang, bagaimanakah api itu dapat melompat dari toko yang pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui toko yang di tengah-tengah. Jika dapat melompat, tentulah toko yang pertama itu terlebih dahulu harus terbakar benar-benar. Tetapi sebagaimana kukatakan, kedua toko yang di sisi itulah yang mula-mula sama-sama-terbakar, barulah toko yang di tengah.
Oleh sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah dapat ketolongan sepotong barang pun, karena tatkala diketahui orang api itu, kedua toko itu hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya, seorang pun tak ada yang berani mendekati toko-toko  itu. Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang keluar; sekaliannya habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan asuransi, rugilah ayahku  pada malam itu kira-kira lima ribu rupiah.
Satu lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko itu rupanya tertidur nyenyak, sehingga mati kebakaran. Hanya penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas dari bahaya mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula, karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga ia terbangun, sehingga ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar, kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya.
Sebagai telah diberitakan kepadamu, ayahku malam itu tiada ada di rumah, pergi ke Padang Panjang, menguruskan perniagaan pada beberapa toko langganannya di sana, yang rupanya hendak mangkir membayar hutangnya dan tak mau mengambil barang-barang lagi kepada ayahku. Itulah yang menjadikan pikiran dalam hatiku. Sesungguhnyakah sekalian itu perbuatan orang? Jika benar, apakah maksudnya dan siapakah musuh yang tersembunyi ini?
Setelah pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab dikirimi surat kawat oleh ayahmu, kuceritakan kecelakaan itu kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada orang yang telah kau mimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak mendengar perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya kepada orang itu.
“Bukannya ia yang berbuat jahat,” kata ayahku, “melainkan nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu, janganlah kau susahkan itu!” kata ayahku pula, “karena kebun kelapaku masih ada dan barang-barang yang kuterima bulan ini, adalah pula lima perahu banyaknya; cukup bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan pertolongan Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu.”
Ayahku, karena sabarnya rupanya dengan sepenuh hati menyerahkan untungnya kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan memohonkan karunia-Nya. Itulah pula yang menimbulkan ajaib hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu, bahwa Tuhan telah meninggalkan kami dan tiada menolong kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesengsaraan dan kecelakaan datangnya bertimpa-timpa, sebagai kutuk yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua hari kemudian datanglah anak perahu ayahku yang biasa membawa dan mengambil barang perniagaan dari terusan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku telah karam di laut, dilanggar topan yang berembuk , tatkala malam kebakaran itu. Tak satupun dari muatannya yang tertolong, sedang sekalian anak perahu, niscaya akan mati di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain.
Bagamana rasa hati ayahku ketika mendengar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini, melainkan Allah jugalah yang mengethuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan, tetapi aku tahu, hatinya di dalam remuk redam sebagaimana kaca jatuh ke batu. Sejak hari itu kami hidup berhemat-hemat.
Tiada lama kemudian ayahku meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu dengan perjanjian yang tidak kuketahui. Barangkali akan membayar hutang atau akan dijalankan dengan membangun kembali perniagaannya yang telah jatuh itu. Tetapi rupanya di dalam waktu tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga habislah uang itu. Sekalian orangnya diteruskan danPainan, lari meninggalkan ayahku dengan membawa kabur uang ayahku yang ada padanya, dan segala toko langganan ayahku di Padang Darat itu pun mangkir pula tiada hendak membayar hutangnya.
Tinggal satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di Ujung Karang, tetapi pengharapan ini pun diputuskan pula, karena kami harus jatuh ke lumpur, tak boleh ditolong lagi. Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya belum merasa puas melihat kami menjadi sedemikian. Bukannya harta kami saja yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami pun akan dicabutnya pula dan bila nasib yang malang ini, tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud jahanam itu tiada lama lagi akan sampai.
Pohon kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak berbuah lagi, sedang buahnya yang ada pun, tua muda jadi busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya.
Bagaimanakah kecelakaan itu bisa datang secara terus menerus sedemikian rupa, tak habis kupikir-pikirkan. Pecah otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai mendapat hukuman serupa itu? Aku tak percaya, ayahku ada berbuat sesuatu yang tak baik atau kesalahan yang besar sampai disiksa sedemikian itu.
Akan tetapi apa hendak dikata? Jika nasib akan jatuh, sekaliannya boleh menjadi sebab. Bagiku adalah untung itu sebagai kata pepatah: “Disangka panas sampai petang, kiranya hujan tengah hari.” Di situlah nyata kebesaran Tuhan, yang boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan. Jika dikehendaki-Nya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap dalam sekejap mata.”
Baharu hingga itu yang terbaca oleh Samsulbahri surat Siti Nurbaya ini, bercucuranlah air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya.
“Inilah rupanya bahaya yang kutakutkan itu.” Pikirnya dalam hati.   “Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini?” Setelah disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca surat itu.
“Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Maringgih meminta uang kembali, katanya sebab akan dipakainya, tetapi ayahku tiada beruang lagi.  Walaupun berapa ayahku minta tiadalah diperkenankannya.
Waktu itulah baru tahu ayahku, bagaima hati Datuk Meringgih sebenarnya kepadanya. Waktu itu barulah ia merasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan musuhnya; jadi musuhnya yang sebesar-besarnya. Sekalian sangkaku yang telah kukatakan kepadanya, mulai dipercayainy. Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai telah terlanjur ke Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian mala petakaitu, sehingga ayahku sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan sengaja dipinjamkannya ayahku uang, supaya ia jatuh pula ke dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu penjahat yang sebenar-benarnya, yang mengail dalam belanga, menggunting dalam lipatan.
Setelah dipinta leh ayahku dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi, akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku, dan ayahku akan akan dimasukkannya ke dalam penjara. Hanya bila aku diberikan ke padanya, raksasa buas ini, bolehlah ayahku membayar hutang itu, bila ada uangnya.
Membaca kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsulbahri. Matanya sebagai berapi, urat keningnya membengkak dan sekujur badannya gemetar. Tangannya dikeplkannya sebagai hendak menerkam Datuk  Meringgih, yang pada penglihatannya barangkali ada di mukanya.
“Jahanam!” demikian perkataan yang keluar dari mulutnya. “Anjing tua yang tiada berbudi. Ingat rupa dan umurmu! Hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu, patut engkau kawin!”
Samsulbahri menyabarkan hatinya, lalu membaca kembali surat Siti Nurbaya karena amat ingin mengetahui, apakah jadinya dengan kekasihnya itu.
“di dalam sepekan itu,” demikianlh sambungan surat Siti Nurbaya, pergilah ayahku ke sana ke mari mencari uang, tetapi tiada seorang juga yang percayalagi kepadanya, karena telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya, yang acapkali ditolongnya di dalam kesenangannya, telah meninggalkannya pula pila. Rupanya begitulah adat dunia, patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan gelak banyak, tapi kawan menangis jaranglah bersua. Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti, dihormati, dan dicintai orang; uangnya itulah sahabat, kerabat, ibu-bapa dan anak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi daripada sekaliannya, hidup sebatangkara.
Jika demikian alangkah lancungnya dunia ini, alangkah jahatnya manusia itu! Tetapi sesungguhnya tak ada orang yang tiada memandang uang di dalam dunia ini? Hormat karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan cinta karena cinta? Walaupun aku percaya, tentulah ada juga orang yang tiada memandang uang, orang yang sebenarnya orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab kecelakaan yang bertimpa-timpa ini, menjadilah syak hatiku dan kurang kepercayaanku.

SUMBER :
Marah Rusli, “Siti Nurbaya”
Balai Pustaka – Jakarta1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar