Blog Slamet 42 : Karya Seni Budaya Nusantara
Selasa, 15 Januari 2019 - 08:17 WIB
Selasa, 15 Januari 2019 - 08:17 WIB
“SURAT CINTA SITI
NURBAYA 1”
Padang, 13 Maret
1897
Kekasihku Samsulbahri !
Walaupun
kuketahui, bahwa surat yang malang ini, yang telah kutulisdengan airmata yang
bercucuran dan hati yang sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris
dengan sembilu dan dibubuh asam, garam, serta pikiran yang kelam kabut akan
datang membawa kabar yang sangat dukacita kepadamu, barangkali juga akan
memutuskan pengharanmu, yang kau amalkan siang dan malam dan walaupun rasakan
putusrangkai jantung hatiku mengenangkan sedih dan duka nestapa yang menimpa
engkau karena mendengar kabar yang malang ini, akan tetapi kugagahilah juga
diriku menulis surat ini, karena takut kalau-kalau engkau bersangka, bahwa
sesungguhnyalah hatiku telah berpaling daripadamu.
Barangkali
juga kabar ini akan menimbulkan murka dan syak wasangka di dalam hatimu, Sam!
Dan, akan menghilangkan kepercayaanmu kepadaku karena itu tiadalah hendak kau
indahkan lagi akuini dan kau buang aku, sebagai membuang sampah ke pelimbahan,
sebab pada sangkamu sesungguhnyalah aku seorang yang tiada memegang janji dan
tak boleh dipercaya. Oleh sebab itulah aku bersumpah lebih dahulu, barangkali
engkau percaya kembali padaku. Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubah dari
sediakala kepadamu dan tiadalah ada ingatanku akan menyakitimu dan memutuskan
pengharapanmu. Tuhan Yang Mahakuasa saksiku, dan apabila tiada benar aku di
dalam hal ini, biarlah diazab dan disiksanya aku dari dunia sampai ke akhirat.
Sesungguhnya aku lebih suka mati berkalang tanah daripada hidup bercermin
bangkai sebagai ini, dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau,
pastilah kubunuh diriku, supaya jangan menanggung sengsara lagi.
Sekarang
apa hendak kukatakan? Karenademikianlah rupanya nasibku yang telah tertimpa.
Walaupun bagaimana juga hendak kutolak atau kuhindarkan diriku daripadanya akan
sia-sia belaka pekerjaan itu, karena untung dan nasib manusia ditentukan
semenjak di rahim bunda kandung.
Bukankah
telah kukatakan dalam pepatah: “Malang tak dapat ditolah, mujur tak dapat
diraih?” bukankah setahun yang telah lalu, telah engkau ketahui untungku,
karena engkau mendapat mimpi tentang nasibku itu? Sekarang datanglah waktunya
rupanya, aku harus menepati nasibku itu, tak dapat dimungkiri lagi. Aduhai
sia-sialah segala cita-cita dan kenang-kenanganku, lenyap segala harapan,
lenyap segala harapanku, putus tali tempat bergantung aku dan...”
Sampai di situ Samsul Bahri tak mampu
melanjutkan membaca surat Siti Nurbaya, karena kertasnya penuh kejatuhan air
mata, sehingga menjadi kembang dan hurup yang tertulis di atasnya menjadi
kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsul Bahri tulisan yang
kurang terang itu, lalu dibacanya lanjutannya: “Supaya dapat kau ketahui bagaimana asal mulanya kecelakaanku ini,
kutulislah juga surat ini. Dengan demikian, dapatlah kau timbang seberapa besar
kesalahanku dalam perkara ini.
Sebagaimana
telah kuceritakan kepadamu, toko ayahku telah terbakar sekaliannya. Itulah
permulaan sengsaraku; dari situlah asalnya azabku. Seperti cerita yang kudengar
dari ayahmu pada pemeriksaan yang dijalankan kemudian daripada itu, ada
tanda-tanda yang menyatakan pembakaran
itu perbuatan orang, karena dekat di sana, ada bekas tempat minyak dan puntung
suluh. Sungguhpun demikian, Sam, sampai sekarang belum juga lagi dapat
keterangan, siapa yang berbuatkejahatan itu.
Bertambah-tambah
syak hati ayahmu, kebakaran itu perbuatan khianat, sebab yang mula-mula
terbakar, dari ketiga toko itu, ialah kedua toko yang di sisi. Keduanya hampir
serentak dimakan api. Bila toko-toko itu tiada dibakar orang, bagaimanakah api
itu dapat melompat dari toko yang pertama ke toko yang ketiga, dengan melampaui
toko yang di tengah-tengah. Jika dapat melompat, tentulah toko yang pertama itu
terlebih dahulu harus terbakar benar-benar. Tetapi sebagaimana kukatakan, kedua
toko yang di sisi itulah yang mula-mula sama-sama-terbakar, barulah toko yang
di tengah.
Oleh
sebab kebakaran itu perbuatan orang dan api makan sangat cepatnya, tiadalah
dapat ketolongan sepotong barang pun, karena tatkala diketahui orang api itu,
kedua toko itu hampir habis terbakar. Dan karena panas apinya, seorang pun tak
ada yang berani mendekati toko-toko itu.
Itulah juga sebabnya, maka sehelai benang pun tak ada yang keluar; sekaliannya
habis dimusnahkan api. Oleh sebab ketiga toko itu belum dimasukkan asuransi,
rugilah ayahku pada malam itu kira-kira
lima ribu rupiah.
Satu
lagi yang mengherankan ayahmu, yaitu penjaga toko itu rupanya tertidur nyenyak,
sehingga mati kebakaran. Hanya penjaga toko yang di tengahlah yang terlepas
dari bahaya mati. Akan tetapi jika tiada ditolong, tentulah ia mati pula,
karena tatkala api memakan toko yang di tengah, belum juga ia terbangun,
sehingga ia terbangun, sehingga ia dihela oleh serdadu ke luar. Di luar,
kelihatan sebagai orang mabuk, tiada insaf akan dirinya.
Sebagai
telah diberitakan kepadamu, ayahku malam itu tiada ada di rumah, pergi ke
Padang Panjang, menguruskan perniagaan pada beberapa toko langganannya di sana,
yang rupanya hendak mangkir membayar hutangnya dan tak mau mengambil barang-barang
lagi kepada ayahku. Itulah yang menjadikan pikiran dalam hatiku.
Sesungguhnyakah sekalian itu perbuatan orang? Jika benar, apakah maksudnya dan
siapakah musuh yang tersembunyi ini?
Setelah
pulanglah ayahku pada keesokan harinya, sebab dikirimi surat kawat oleh ayahmu,
kuceritakan kecelakaan itu kepadanya dan kukabarkanlah pula syak hatiku kepada
orang yang telah kau mimpikan itu. Akan tetapi ayahku tiada hendak mendengar
perkataanku ini, karena ia sangat percaya rupanya kepada orang itu.
“Bukannya
ia yang berbuat jahat,” kata ayahku, “melainkan
nasib kitalah yang sedemikian. Sungguhpun begitu, janganlah kau susahkan itu!” kata
ayahku pula, “karena kebun kelapaku masih
ada dan barang-barang yang kuterima bulan ini, adalah pula lima perahu
banyaknya; cukup bagiku akan memulai berniaga, sebagai dahulu. Jika dengan
pertolongan Allah, akan kembalilah segala yang telah hilang itu.”
Ayahku,
karena sabarnya rupanya dengan sepenuh hati menyerahkan untungnya kepada Tuhan
Yang Mahakuasa dan memohonkan karunia-Nya. Itulah pula yang menimbulkan ajaib
hatiku, karena kelak akan nyata kepadamu, bahwa Tuhan telah meninggalkan kami
dan tiada menolong kami lagi, walaupun tiada kuketahui, apakah dosa dan
kesalahan yang telah kami perbuat. Segala kesengsaraan dan kecelakaan datangnya
bertimpa-timpa, sebagai kutuk yang telah jatuh ke atas kepala kami; karena dua
hari kemudian datanglah anak perahu ayahku yang biasa membawa dan mengambil
barang perniagaan dari terusan Painan mengabarkan, kelima perahu ayahku telah
karam di laut, dilanggar topan yang berembuk , tatkala malam kebakaran itu. Tak
satupun dari muatannya yang tertolong, sedang sekalian anak perahu, niscaya
akan mati di laut, jika tiada ditolong oleh perahu lain.
Bagamana
rasa hati ayahku ketika mendengar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini,
melainkan Allah jugalah yang mengethuinya. Sungguhpun air mukanya tetap, tiada
berubah, dan rupanya menyerah dan tawakal kepada Tuhan, tetapi aku tahu,
hatinya di dalam remuk redam sebagaimana kaca jatuh ke batu. Sejak hari itu
kami hidup berhemat-hemat.
Tiada
lama kemudian ayahku meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu
dengan perjanjian yang tidak kuketahui. Barangkali akan membayar hutang atau
akan dijalankan dengan membangun kembali perniagaannya yang telah jatuh itu.
Tetapi rupanya di dalam waktu tiga bulan itu selalu ia rugi, sehingga habislah
uang itu. Sekalian orangnya diteruskan danPainan, lari meninggalkan ayahku
dengan membawa kabur uang ayahku yang ada padanya, dan segala toko langganan
ayahku di Padang Darat itu pun mangkir pula tiada hendak membayar hutangnya.
Tinggal
satu lagi harapan ayahku, yaitu kebun kelapa di Ujung Karang, tetapi
pengharapan ini pun diputuskan pula, karena kami harus jatuh ke lumpur, tak
boleh ditolong lagi. Iblis yang mendatangkan segala mara bahaya itu rupanya
belum merasa puas melihat kami menjadi sedemikian. Bukannya harta kami saja
yang akan dilenyapkannya, tetapi jiwa kami pun akan dicabutnya pula dan bila nasib
yang malang ini, tiada hendak meninggalkan kami, niscayalah maksud jahanam itu
tiada lama lagi akan sampai.
Pohon
kelapa yang diharapkan ayahku itu, tiada hendak berbuah lagi, sedang buahnya
yang ada pun, tua muda jadi busuk, gugur ke tanah. Batangnya pun mati semuanya.
Bagaimanakah
kecelakaan itu bisa datang secara terus menerus sedemikian rupa, tak habis
kupikir-pikirkan. Pecah otakku mengenangkan apakah dosa ayahku maka sampai
mendapat hukuman serupa itu? Aku tak percaya, ayahku ada berbuat sesuatu yang
tak baik atau kesalahan yang besar sampai disiksa sedemikian itu.
Akan
tetapi apa hendak dikata? Jika nasib akan jatuh, sekaliannya boleh menjadi
sebab. Bagiku adalah untung itu sebagai kata pepatah: “Disangka panas
sampai petang, kiranya hujan tengah hari.” Di
situlah nyata kebesaran Tuhan, yang boleh menjadi tamsil bagi segala hartawan.
Jika dikehendaki-Nya, harta yang sebagaimana banyaknya pun dapat lenyap dalam
sekejap mata.”
Baharu
hingga itu yang terbaca oleh Samsulbahri surat Siti Nurbaya ini, bercucuranlah
air matanya, yang sejak tadi ditahan-tahannya.
“Inilah
rupanya bahaya yang kutakutkan itu.” Pikirnya dalam hati. “Bagaimanakah akhirnya kekasihku ini?” Setelah
disapunya air matanya, lalu diteruskannya membaca surat itu.
“Setelah
sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Maringgih meminta uang kembali, katanya
sebab akan dipakainya, tetapi ayahku tiada beruang lagi. Walaupun
berapa ayahku minta tiadalah diperkenankannya.
Waktu
itulah baru tahu ayahku, bagaima hati Datuk Meringgih sebenarnya kepadanya.
Waktu itu barulah ia merasa, Datuk Meringgih bukan sahabatnya, melainkan
musuhnya; jadi musuhnya yang sebesar-besarnya. Sekalian sangkaku yang telah
kukatakan kepadanya, mulai dipercayainy. Akan tetapi apa boleh buat, Sam! Gadai
telah terlanjur ke Cina, tak dapat diubah lagi. Siapa tahu, barangkali Datuk
Meringgih inilah yang mendatangkan sekalian mala petakaitu, sehingga ayahku
sampai jatuh sedemikian. Sudah itu dengan sengaja dipinjamkannya ayahku uang,
supaya ia jatuh pula ke dalam tangannya. Jika demikian, sesungguhnyalah Datuk
Meringgih itu penjahat yang sebenar-benarnya, yang mengail dalam belanga,
menggunting dalam lipatan.
Setelah
dipinta leh ayahku dengan susah payah, barulah diberinya tangguh sepekan lagi,
akan tetapi dengan perjanjian, apabila dalam sepekan itu tiada juga dibayar
hutang itu, tentulah akan disitanya rumah dan barang-barang ayahku, dan ayahku
akan akan dimasukkannya ke dalam penjara. Hanya bila aku diberikan ke padanya,
raksasa buas ini, bolehlah ayahku membayar hutang itu, bila ada uangnya.
Membaca
kekejian ini, merah padamlah warna muka Samsulbahri. Matanya sebagai berapi,
urat keningnya membengkak dan sekujur badannya gemetar. Tangannya dikeplkannya
sebagai hendak menerkam Datuk Meringgih,
yang pada penglihatannya barangkali ada di mukanya.
“Jahanam!” demikian perkataan yang keluar dari mulutnya. “Anjing tua yang
tiada berbudi. Ingat rupa dan umurmu! Hendak meminta Nurbaya. Dengan hantu,
patut engkau kawin!”
Samsulbahri
menyabarkan hatinya, lalu membaca kembali surat Siti Nurbaya karena amat ingin
mengetahui, apakah jadinya dengan kekasihnya itu.
“di dalam sepekan itu,” demikianlh sambungan surat Siti Nurbaya, pergilah ayahku ke sana ke
mari mencari uang, tetapi tiada seorang juga yang percayalagi kepadanya, karena
telah jatuh sengsara. Sedangkan sahabat karibnya, yang acapkali ditolongnya di
dalam kesenangannya, telah meninggalkannya pula pila. Rupanya begitulah adat
dunia, patut dikiaskan oleh orang Jakarta dengan sindiran: Ada uang abang
sayang, tak ada uang abang melayang. Ya! Kawan gelak banyak, tapi kawan
menangis jaranglah bersua. Rupanya uang itulah yang dipandang, ditakuti,
dihormati, dan dicintai orang; uangnya itulah sahabat, kerabat, ibu-bapa dan
anak saudara. Yang tak beruang akan yatim piatulah, sunyi daripada sekaliannya,
hidup sebatangkara.
Jika
demikian alangkah lancungnya dunia ini, alangkah jahatnya manusia itu! Tetapi
sesungguhnya tak ada orang yang tiada memandang uang di dalam dunia ini? Hormat
karena hormat, takut karena takut, sayang karena sayang, dan cinta karena
cinta? Walaupun aku percaya, tentulah ada juga orang yang tiada memandang uang,
orang yang sebenarnya orang, di antara penduduk kota Padang ini, tetapi sebab
kecelakaan yang bertimpa-timpa ini, menjadilah syak hatiku dan kurang
kepercayaanku.
SUMBER
:
Marah
Rusli, “Siti Nurbaya”
Balai
Pustaka – Jakarta1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar