Senin, 12 Agustus 2013

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/04/16/640/Ojo-Gumunan-Ojo-Kagetan-lan-Ojo-Dumeh

16 April 2013 | 22:17 wib
Ojo Gumunan, Ojo Kagetan, lan Ojo Dumeh
Tweet 4

137
image

Pandangan sekaligus panduan masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan yang mudah diucapkan namun sulit melaksanakannya. Kita pada umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi, dan rasa ingin tahu yang tinggi yang menyulitkan kita untuk menerapkan nilai filosofi tersebut. Di balik setiap budaya di Indonesia pasti terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal, termasuk di antaranya budaya Jawa. Budaya Jawa yang sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga mempunyai berbagai pepatah dan idiom yang berasal dari warisan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Salah satunya yang paling tepat dengan kondisi sekarang ini adalah ungkapan “kuno” dari khasanah budaya Jawa, ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.

Ojo gumunan, berasal dari kata ojo yang artinya jangan, dan gumunan, yang berasal dari kata gumun yang artinya heran. Ojo gumunan adalah bentuk larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan perkembangan keadaan dan peristiwa atau benda yang terutama bersifat materi dan keduniawian. Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama dengan berbagai bentuk pemberitaan atau tayangan melalui media massa. Kita juga gumun melihat kecanggihan teknologi negara lain, bahkan kemajuan ekonomi negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura. Bentuk kegumunan dan kekaguman ini sayangnya hanya sebatas gumun. Sebagian besar dari kita hanya menjadi penonton, berdiri di pinggir, bertepuk tangan, kadang misuh (memaki) dan mengumpat, tanpa pernah bisa ikut menentukan hasil akhir.

Filsafat Jawa ojo gumunan, bermakna janganlah kita selalu terkagum-kagum dengan hasil orang lain sedangkan kita hanya sekedar menjadi penonton. Ojo gumunan juga bermakna kita harus selalu memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan keaadan dan perubahan keadaan sekitar. Kita harus menjadi subjek dan bukan sekedar objek.

Filosofi ojo kedua adalah ojo kagetan. Makna harfiah dari ojo kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Suka terkaget-kaget kah kita? Jawaban sebagian besar dari kita pasti YA!. Akhir-akhir ini banyak sekali peristiwa di negeri nusantara ini yang membuat seluruh penduduknya terkaget-kaget, baik peristiwa yang ditimbulkan oleh perseorangan, badan dan lembaga, juga yang lebih aneh lagi adalah pemerintah juga hobby membuat rakyatnya selalu terkaget-kaget dengan aneka kebijakan yang kemudian ditarik lagi atau tidak jelas implementasinya. Kita terkaget-kaget tatkala KPK tiba-tiba menangkap jaksa dan penyuapnya, juga terkaget-kaget ketika seorang anggota DPR terlibat dalam transaksi penyuapan bahkan video porno. Kita juga kaget ketika tanpa alasan tarif jalan tol tiba-tiba naik, bahkan harga cabe dan bawang putih juga melambung, dan semua alasannya karena BBM naik.

Filosofi ojo kagetan bermakna kita harus mawas diri terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita. Ojo kagetan juga bermakna persiapan diri sendiri menghadapi perubahan sekeliling tanpa ikut berubah seperti sekeliling. Kalau kita sadar bahwa kita hidup di negeri yang serba ajaib dan aneh seperti Indonesia, maka seharusnya kita juga selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh hidup di Indonesia.

Ojo Kagetan merupakan panduan agar kita selalu membabar terlebih dahulu terhadap segala yang terjadi. Analisis terlebih dahulu dari setiap masalah, baru tentukan strategi dan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita masih mentah dan tidak mampu menyelesaikan inti masalahnya. Tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa 'sak dheg sak nyet' ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.

Ojo terakhir adalah ojo dumeh. Dumeh bermakna mentang-mentang atau sombong. Ojo dumeh artinya janganlah kita sombong dalam menghadapi lingkungan disekeliling kita. Sombongkah kita? Hanya orang lain dan bangsa lain yang bisa menilai bangsa kita ini dumeh atau tidak. Tapi sadar atau tidak, kesombongan ini sebenarnya juga kita jumpai dari perilaku kita sehari-hari. Dumeh atau mentang-mentang kita kaya, dengan seenaknya kita menghambur-hamburkan uang untuk belanja secara konsumtif di mall-mall mewah. Dumeh bisa membayar, kita menggunakan listrik dan BBM secara berlebihan dan hanya untuk konsumtif. Dumeh lebih pandai dari rata-rata rakyat Indonesia, kita melakukan pembodohan secara terus menerus dengan informasi-informasi yang membingungkan dan menyesatkan. Dumeh menjadi rakyat kecil, dengan seenaknya kita hanya bisa mengkritik dan mencaci maki para pimpinan, meski mereka kadang benar sekali pun.

Ojo dumeh adalah salah satu ajaran dasar leluhur kita untuk selalu melakukan introspeksi diri terhadap lingkungan, sesama manusia, dan juga kepada Sang Pencipta. Dengan tidak dumeh, maka kehidupan sebenarnya akan lebih baik dan lebih tentram. Ojo dumeh merupakan larangan agar kita jangan bersikap sombong, pamer mengenai segala sesuatu yang kita miliki. Seharusnya kita bersikap andap asor mring sapodho, atau bersikap rendah hati terhadap sesama. Segala yang kita miliki baik itu harta, jabatan, pengetahuan, maupun istri, anak, sanak saudara, ini hanyalah sementara, dan titipan dari Yang Maha Kuasa. Kita diamanahkan untuk mengamalkannya agar menjadi milik kita yang hakiki kelak di alam sesudah kita meninggalkan dunia fana ini.
(Eko Wahyu Budiyanto/CN37)

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2013/04/16/640/Ojo-Gumunan-Ojo-Kagetan-lan-Ojo-Dumeh

Grusa-grusu Lan Angin-anginan


 




Grusa-grusu Lan Angin-anginan
 0
 
 19
image
Para Punakawan
SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:KEJAWEN - 27 Juni 2013 | 22:44 wib - Orang-orang yang tidak bisa dipenggak kekarepane ini dalam tindakan umumnya akan lebih banyak grusa-grusu tanpa petung dari pada melakukan langkah-langkah taktis yang strategis.

Kita perlu hati-hati dalam mengawali langkah dan sebaiknya melakukan analisa situasi, sebelum bergerak: Misalnya dengan mereview kembali “Kekuatan, Kelemahan, Ancaman dan Peluang, atau mengikuti pitutur seperti telah ditulis dalam Serat Wulangreh: Deduga, Prayoga, Watara dan Reringa.

Orang yang kehendaknya tidak bisa dicegah memang jelas-jelas sulit dikendalikan. Lain lagi dengan orang yang hangat-hangat tai ayam: Kalau sedang semangat justru mudah diatur, sepanjang kita pandai memotivasi. Tetapi kalau tai ayamnya sudah tidak hangat lagi (dan tai ayam hangatnya tidak lama), maka ia tidak bisa diapa-apakan lagi. Menjadi sama dengan orang yang kehendaknya tidak bisa dicegah tetapi pengertiannya terbalik: Yang satu ini tidak bisa digerakkan.

Gambaran orang-orang grusa-grusu demikian pula orang yang dhong-dhongan dalam paribasan Jawa dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah:

1. Orang yang grusa-grusu: Kaduk wani kurang deduga yaitu menggambarkan orang yang terlalu berani (kaduk wani) tetapi kurang perhitungan (kurang deduga), Durung pecus keselak besus yaitu menggambarkan orang yang belum punya kompetensi tetapi sudah punya keinginan macam-macam. Hasilnya akan mengecewakan. Ibarat buah belum masak, keburu dipetik. Rasanya tidak akan enak. Berikutnya adalah Nggege mangsa, yaitu “Banyu gege” adalah air yang digunakan untuk memandikan bayi (supaya cepat tumbuh kembang). Nggege mangsa adalah orang yang berupaya memendekkan waktu dari yang seharusnya. Maunya biar cepat beres, tetapi hasilnya belum tentu baik. Berikutnya adalah Ora angon kosok, yaitu kosok: Tali untuk memetik rebab (alat musik Jawa seperti biola). Maksudnya melakukan sesuatu tanpa melihat waktu yang pas. Yang terakhir adalah gemblung jinurung edan kewarisan, yaitu gemblung, edan: gila, jurung: Setuju, pengertiannya: nekad tetapi untung atau ugal-ugalan tetapi selamat. Tentunya paribasan ini jangan dijadikan pegangan untuk berbuat nekad. Hal-hal diluar dugaan selalu ada, tetapi tidak banyak. Baiknya kita normatif saja.

2. Orang yang hangat-hangat tai ayam: Rog-rog asem, yaitu Rog: menggoncang; Rog-rog: menggoncang-goncang, maksudnya adalah orang yang pada awalnya menggebu-gebu. Berikutnya adalah mbalung usus, yaitu Balung: Tulang, sifatnya keras, kaku; Usus: sifatnya ketika kenyang keras, ketika lapar kendor, artinya orang yang punya sifat “mbalung usus”, maka tulangnya bersifat seperti usus, tidak selamanya kenceng, justru banyak kendornya.

Ditinjau dari aktifitas geraknya, maka dua jenis manusia ini jelas aktif bergerak. Yang grusa-grusu akan segera berkiprah, tanpa pikir panjang, pokok berani, cepat selesai, cepat petik hasil dan tidak bisa dicegah. Sementara orang kedua tidak kalah cekatannya. Ia akan segera mengambil langkah-langkah dengan semangat penuh tetapi hanya pada awalnya saja. Habis itu ia kembali tidur, kembali kepada semangat dhong-dhongannya, kembali kepada sifat angin-anginannya. (Eko Wahyu Budiyanto/CN37)

Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:KEJAWEN - Grusa-grusu Lan Angin-anginan

Tradisi Murak Tompo Terus Dilestarikan



image
Tradisi Murak Tompo (Makan Bersama) masyarakat Grumbul Wanasri, Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir.

BANYUMAS, suaramerdeka.com - Tradisi murak tompo, makan bersama menu makanan yang disajikan dalam baki saat Ramadan, terus dilestarikan masyarakat Grumbul Wanasri, Desa Cingebul, Kecamatan Lumbir. Dalam bulan ini, mereka bakal menggelar tiga kali prosesi tradisi yang dilangsungkan di masjid usai tarawih itu.

Pengurus Takmir Masjid Baiturrahim, Qodirun, mengatakan rapat penentuan jadwal sudah ditetapkan tiga kali prosesi.

''Prosesi dilaksanakan malam 17, 21, dan 25 Ramadan. Jadwal diatur sesuai jumlah KK (kepala keluarga) di tiga RT,'' katanya kepada suaramerdeka.com, Senin (22/7).

Dikatakan, prosesi tersebut sebagai upaya melestarikan budaya yang sudah turun-temurun dari pendahulu desa. Pertimbangannya, kegiatan tersebut memiliki beragam manfaat yang diperoleh.

''Ini himbauan secara tidak tertulis untuk bersedekah, bersilaturrahim hingga momentum 'mencari' berkah malam lailatulkadar,'' kata dia.

Ketua RW VIII Grumbul Wanasri, Hasan Mathori, mengatakan wilayahnya terdiri dari empat RT. Pelaksanaan tradisi murak tompo tidak menyeluruh diikuti semua KK karena sebagian wilayah sudah memiliki musholla.

''Tradisi di masjid bagi RT 1, sebagian 2 dan 4.  Sementara RT 3 dan sebagian kecil RT 2 dan 4 menggelar tradisi ini di musholla masing-masing,'' kata salah satu khotib salat Idul Fitri ini.
(Teguh Hidayat Akbar/CN37)

Untuk berita terbaru, ikuti kami di Twitter twitter dan Facebook Facebook
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad

Budaya Kerigan Sudah Luntur

Budaya Kerigan Sudah Luntur
 
image
Budaya Kerigan ( Gotong Royong) masyarakat Kabupaten Purbalingga
PURBALINGGA, suaramerdeka.com – Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Purbalingga Bambang Irawan mengaku prihatin dengan lunturnya budaya kerigan (gotong royong) di perdesaan. Sebaliknya, warga saat ini cenderung lebih banyak menuntut peningkatan infrastruktur tanpa diiringi dengan upaya pemeliharaan.
“Budaya kerigan sudah sulit ditemukan di desa. Semua sudah dinilai dengan uang,” ujarnya saat memberikan sambutan mewakili Ketua DPRD dalam Penyerahan Bantuan Aspal di Ruang Ardi Lawet Setda Purbalingga, Kamis (25/7).

Bambang mengkritik masyarakat yang saat ini lebih banyak menuntut dan menyalahkan pemerintah. Seringkali hal-hal yang dituntut masyarakat lebih pada keinginan bukan kebutuhan. Alasan yang paling masyhur, karena dana yang digunakan untuk pembangunan berasal dari rakyat atau istilahnya menggunakan uang rakyat.

“Jalan sudah bagus. Tapi apa masyarakat memikirkan dan beraksi ketika rumput-rumput di kanan kiri jalan sudah tinggi? Budaya kerigan memang sudah luntur,” tuturnya.

Ketika jalan sudah dibuat, sebaiknya dipikirkan pula pemeliharaannya. Bambang mengatakan kerusakan jalan aspal lebih banyak karena hujan. Jika masyarakat mau melakukan kerigan membuat drainase sehingga ketika turun hujan, air tidak tumpah ruah tergenang di jalan yang memperpendek usia jalan.

Sekda Imam Subijakto juga melihat akhir-akhir ini warga sering menuntut yang menjadi keinginannya bukan apa yang dibutuhkan. Sebagai contoh, warga menunut jalan segera diaspal, tapi warga tidak memikirkan irigasi untuk memudahkan pengairan ke sawah ladang.

“Mau aspal dulu apa semen dulu? Jalan halus dulu atau makan? Ini tidak ada yang minta pese, semua mintanya kebanyakan aspal. Lebih mikir jalan-jalan ke kota tidak peduli hasil panen bagaimana nanti,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Pemkab Purbalingga setiap tahun selalu memberikan bantuan aspal dan semen sebagai stimulant kepada desa-desa yang mengajukan proposal. Tahun ini Pemkab menyerahkan 238 drum aspal dan 2.336 sak semen kepada 19 penerima dari 19 desa di 11 kecamatan.
(Ryan Rachman/CN37)

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:KEJAWEN - Budaya Kerigan Sudah Luntur

Keeksotisan Tarian Jawa Tengah

Sabtu, 10 Agustus 2013

Jumat, 09 Agustus 2013

ISI Denpasar Jadi Pusat Unggulan Seni Budaya


Logo Provinsi Bali

DENPASAR, KOMPAS.com - Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Dr I Gede Arya Sugiartha SSKar M.Hum bertekad mengantarkan lembaga pendidikan tinggi seni itu menjadi pusat unggulan seni dan budaya.

"Hal itu mengisyaratkan sebuah komitmen yang tertuang dalam visi institut, yakni  tahun 2020 ISI Denpasar menjadi pusat unggulan seni dan budaya," kata Arya Sugiartha pada peringatan Dies Natalis X dan Wisuda Sarjana Seni XI di Denpasar, Minggu (28/7/2013).

Ia mengatakan, dengan prestasi itu diharapkan mampu mencetak sarjana seni yang handal, penelitian berkualitas dan bernilai guna serta karya seni yang kreatif dan adaptif.

Demikian pula pengabdian kepada masyarakat mampu memberikan manfaat sekaligus satu-satu lembaga pendidikan tinggi seni di Pulau Dewata itu menjadi pusat layanan data dan informasi seni budaya.

Dalam pembangunan seni dan budaya kiprah ISI Denpasar dapat berfungsi menjaga keseimbangan hidup dan memperkokoh jati diri anak bangsa, sehingga berkembang menjadi manusia yang berkualitas, mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Arya Sugiartha di hadapan civitas akademika menambahkan, kiprah lembaga yang dipimpinnya dalam menempa generasi muda melalui sinergi logika, etika, dan estetika.

Hal itu tercermin dalam motto "Sewaka Guna Widya, Satyam, Siwam, Sundaram" yakni kewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Berbagai kebijakan, langkah, dan program dilakukan sejak berdirinya ISI, sebagai peningkatan status dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) tahun 2003. Semua pihak dengan gigih mendukung perkembangan ISI Denpasar sebagai "lata mahosadi" atau obat mujarab untuk menuntun lahirnya generasi emas yang berkarakter Indonesia.

Arya Sugiartha  menjelaskan, perjalanan ISI Denpasar sesuai Renstra 2010-2014, kini sedang berada pada tahun keempat. Berbagai kemajuan telah dicapai namun masih banyak yang perlu disempurnakan.

Hasil evaluasi diri dengan mencermati kondisi riil ISI Denpasar selama sepuluh tahun terakhir (2003-2013) menunjukkan kemajuan yang signifikan.

ISI Denpasar memiliki kekuatan dan keunggulan antara lain keberagaman bidang ilmu yang dikelola meliputi seni tari, seni karawitan, seni pedalangan, seni rupa murni, seni kriya, disain interior, disain komunifikasi visual, fotografi, sendratasik, fashion, seni musik serta televisi dan film.

"Program bidang studi itu satu sama lain saling mendukung untuk memperluas cakrawala keilmuan seni serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai dalam menyukseskan proses belajar mengajar," ujar Arya Sugiartha.

Sumber : Antara
Editor : BNJ

Kamis, 08 Agustus 2013

Terapi Seni, Solusi Ekstra Bagi Skizofrenia


Trapi Seni (Foto: www.jawaban.com
Terapi Seni

www.jawaban.com Solusi Sehat - Rabu, 07 Agustus 2013 – Sampai dengan detik ini belum ada angka yang pasti dari lembaga kompeten mengenai berapakah jumlah penderita Skizofrenia di Indonesia. Meski begitu dapat diyakini bilangan kelompok ini belum lah sebanyak kelompok orang-orang yang menderita penyakit dalam seperti kanker maupun hepatitis.
Walau terhitung langka, skizofrenia juga bukan berarti tidak ada di sekitar kita. Oleh sebabnya, memberikan penanganan yang tepat kepada orang yang kita ketahui mengidap gangguan pada otak ini akan membantu proses pemulihan mereka menjadi seperti orang pada umumnya.

Menurut psikiater Margarita M. Maramis dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, psikoterapi seperti terapi seni, sangat penting diberikan kepada penderita untuk menunjang terjadinya efek brain plastisitas (memperbaiki sel-sel otak).

"Obat membantu secara kimiawi terjadinya pemulihan sel-sel otak. Adapun psikoterapi, seperti terapi seni, dibutuhkan untuk memberi isi pikir yang positif," kata Margarita sebagaimana dikutip dari doktersehat.com.

Senada dengan Margarita, Ahli psikologi klinis Monty Prawiratirta Satiadarma dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, menyatakan terapi seni merupakan salah satu saluran menjaga keseimbangan hidup penderita Skizofrenia.

"Fantasi penderita skizofrenia ataupun bipolar sangat luar biasa. Jalur seni rupa paling bisa mewadahi," ujar Monty.

Adapun seni rupa yang cocok diberikan sebagai terapi bagi mereka yang memiliki gangguan mental serta motorik adalah seni rupa tiga dimensi seperti membuat patung dengan tanah liat atau adonan kertas (paper clay).

Sebagai diagnosis, sambung Monty, kita juga dapat memakai metode karya lukis dua dimensi. Jika si penderita di dalam pikirannya selama ini terdapat gambaran setan, kita bisa mengarahkan lewat lukisan agar ia mau mengubah isi dalam benaknya tersebut dengan bentuk yang lebih positif.

"Dengan terapi seni, kita ajak penderita mengubah isi pikiran, di mana gambaran setan diubah jadi malaikat," ungkapnya.

Monty meyakini karena seni mengutamakan unsur keindahan dan memiliki arah afektif maka ini bisa menjadi jembatan antara dunia luar dengan dunia dalam (batin) manusia.  Lewat seni, manusia bisa menjadi humanis dan peka terhadap lingkungan sekitarnya.