Jumat, 26 Juli 2013

Asal Muasal Hari Raya Galungan


Danau Batur Bali

Jumat, 26 Juli 2013 - 17:17 WIB - PULAU yang dikenal dengan sebutan “seribu pura” di Indonesia adalah pulau “Bali”. Hal tersebut oleh karena memang terdapat banyak sekali pura dan puri yang salah satunya adalah pura “Tampak Siring”.

Tampak Siring terletak di dekat gunung Kawi yaitu sebelah Barat Laut gunung Batur. Konon di situlah tempat raja “Sira Maya Denawa” dikalahkan oleh Batara Indra. Kendatipun peristiwa itu sudah ratusan tahun terjadinya, bekas-bekasnya hingga kini masih bisa kita saksikan karena tempat itu merupakan bukit dan dataran yang cukup tinggi, sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Udaranya sangat sejuk, pemandangan alamnya pun sangat indah mempesona bagi siapa saja yang berkunjung ke sana yang ingin beristirahat dan menikmati keindahan panorama pulau Dewata. Bahkan salah satu istana presiden pertama “Bung Karno” pun ada di sana.  
  
Dikisahkan Danawa Raja Sira Maya adalah seorang raja yang ingin menguasai jagat raya, bahkan Jonggring Salaka tempat bersemayamnya Batara Guru pun ingin dikuasainya pula. Raja Sira Maya mempunyai pikiran apabila Batara Guru, raja Jonggring Salaka dapat dikalahkan maka seluruh negeri yang berada di seluruh jagat akan lebih mudah dikuasainya.  Pertempuran yang sangat mencekam dan dahsyatpun terjadilah.  Raja Sira Maya Danawa dengan maha patihnya yang sangat sakti beserta pasukannya menyerang Suralaya dan merebut Jonggring Salaka.

Pada puncak kejayaannya Raja Sira Maya Denawa semakin bertindak bengis dan kejam. Dia mengancam keras kepada semua rakyatnya untuk tidak lagi tidak lagi menyembah atau melakukan upacara-upacara ritual keagamaan untuk menyembah kepada Batara Guru sebagai dewa yang menguasai Jonggring Salaka di Suralaya.

Hal ini membuat Batara Guru marah dan geram dengan segala tindakan yang dilakukan oleh Raja Sira Maya Danawa tersebut. Maka Batara Gurupun menghukumnya. Dengan segala kesaktian dari seluruh dewa yang ada di Jonggring Salaka akhirnya Raja Sira Maya dapat dikalahkan dan dimusnahkan.

Dari bekas-bekas tempat pertempuran itulah yang merupakan awal legenda kisah ini, di mana bukan saja nama Tampak Siring tetapi juga Tirta Empul. Tirta empul berarti "air yang menyembur".

Menurut cerita, sesungguhnya kisah ini merupakan sejarah asal-muasal perayaan Upacara Galungan, yang merupakan salah satu upacara besar yang penting artinya bagi umat Hindu Bali. Perayaan Upacara Galungan merupakan hari peringatan atas kemenangan para Dewa dalam membasmi Angkara Murka  di muka bumi, khususnya di Bali.

Posted:
Slamet Priyadi Pangarakan, Bogor  

Sabtu, 13 Juli 2013

A.Soebli Arief: “Asal Nama Gunung Sorokan” (Cerita Rakyat Kutai) Diceritakan Kembali oleh Kak Sita


Peta lokasi Kabupaten Kutai
Blog Slamet Priyadi - Minggu, 13 Juli 2013 - 00:06 WIB - Pada masa tanah Kutai diperintah oleh Meruhum Surga Tanah, konon Gunung Sorokan masih merupakan sebuah perkampungan bernama kampung Selo’kan.  Mantik atau tetua kampungnya bernama Patih Idan.  

Suatu ketika Meruhum Surga Tanah, pergi meninjau kampung Selo’kan untuk melihat keadaan rakyatnya secara langsung. Setelah melihat secara langsung kondisi dan keadaan rakyatnya di kampung Selo’kan, Meruhum Surga Tanah memerintahkan kepada Patih Idan untuk membuatkan lunas (sampan) untuk dirinya. Perintah dari Meruhum Surga Tanah selaku sang penguasa Kutai yang menguasai kampung Selo’kan dan masih berada di wilayah  kekuasaannya, maka perintah  itu harus segera dilaksanakan oleh Patih Idan. Patih Idan pun memerintahkan pula kepada semua warga Selo’kan agar rakyatnya membuat  sampan untuk sang penguasa, Meruhum Surga Tanah.

Alkisah, maka beberapa hari kemudian sampan pesanan sang Meruhum Surga Tanah selesai dikerjakan. Patih Idan pun segera menyerahkannya kepada Meruhum, akan tetapi setelah sampan itu diterima, ternyata Meruhum minta dibuatkan satu buah lagi.  Segera perintah ini pun dikerjakan. Patih Idan bersama beberapa penduduk Selo’kan segera menebang pohon untuk membuat sampan satunya lagi. Akan tetapi batang kayu yang ditebangnya jatuh menimpa sampan yang sudah selesai dibuat sebelumnya hingga terbelah dua.

Agar peristiwa ini tidak membuat gusar dan marah sang Meruhum, maka Patih Idan menyuruh untuk membuat sampan pengganti.  Beberapa lama kemudian selesailah dua buah sampan dibuat dan Patih Idan menyerahkannya kepada Meruhum Surga Tanah.

Rupa-rupanya sang Meruhum masih belum puas menerima persembahan dua buah sampan tersebut. Maka diperintahkannya agar Patih Idan dan rakyat kampung Selo’kan mampu menghidupkan api di dalam air. Mendengar perintah Meruhum yang tidak masuk akal, di luar kodrat  manusia dan pasti akan menyengsarakan rakyatnya itu, Patih Idan pun berkata kepada Meruhum, “Tuan, menurut pendapat hamba, itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh hamba dan rakyat Selo’kan karena sesungguhnya itu tidak masuk akal dan di luar kondrat kita sebagai manusia.”

Mendengar jawaban Patih Idan seperti itu, betapa sangat gusar dan marahnya sang Meruhum Surga Tanah. Maka ia pun pergi meninggalkan Patih Idan dan rakyat kampung Selo’kan yang hanya bisa menanti dan menerima resiko dari tindakan apa yang akan dilakukan Meruhum. Saat meninggalkan Kampung Gunung Selo’kan, Meruhum Surga Tanah berkata dengan murka dan marah besar, “Kalian tunggu dan lihat saja nanti akibat dari penolakan atas perintahku, wahai rakyat Selo’kan.”

Menurut cerita, sesampainya Meruhum di Tenggarong, maka ia menyiapkan para sepangannya (pasukan). Setelah segala sesuatunya sudah selesai disiapkan secara matang, maka berangkatlah Meruhum bersama suku-suku Bugis yang telah diangkat menjadi sepangan menuju kampung Gunung Selo’kan untuk memberi pelajaran kepada Patih Idan dan rakyatnya yang telah berani melanggar perintahnya.

Maka terjadilah peperangan yang sengit antara Patih Idan bersama rakyat kampung Gunung Selo’kan melawan sang penguasa Kutai dan para sepangannya yang terdiri  dari suku-suku Bugis. Karena tak seimbang, Patih Idan beserta rakyatnya kucar kacir dibuatnya. Kampung Gunung Selo’ka luluh lantak  hingga musnah.

Konon, Patih Idan beserta tiga orang anaknya, satu masih seorang dara, dan dua orang lelaki yang masih kecil-kecil sempat lari menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Meruhum. Sedangkan istrinya ikut tewas bersama-sama sebagian besar rakyat Gunung Selo’kan.

Patih Idan dan ketiga orang anaknya terus melarikan diri ke dalam hutan. Setelah menemukan tempat persembunyian yang dianggap aman,  dibuatlah pondok untuk tempat tinggal. Untuk menghidupi ketiga anaknya Patih Idan berburu binatang di sekitar hutan tempat persembunyiannya.
Suatu ketika saat ketiga anaknya sedang bermain-main di sekitar pondok mereka, Patih Idan pergi meninggalkan ketiga anaknya untuk berburu karena sebagian sisa perbekalan makan turut musnah dalam pertempuran. Saat anak-anak Patih Idan bermain-main, anak daranya melihat musang putih. Maka ditangkapnyalah musang tersebut lalu dimasak untuk dimakan bersama kedua saudaranya. Sedangkan untuk ayahnya ditinggalkan sepotong.

Menjelang senja Patih Idan dengan beberapa ekor hewan hasil buruannya tiba di pondok mereka. Akan tetapi betapa terkejut dan herannya Patih Idan, karena di sana tak dijumpai ketiga anak-anaknya. Demikian pula dengan pondok tempat tinggal mereka, semuanya tak kelihatan hilang tak tentu rimbanya. Terpikir olehnya ketiga anak-anaknya tersesat saat bermain. Akan tetapi itu tidak mungkin karena pohon-pohon yang tumbuh di sekitar pondok yang sudah dikenalnya benar masih berdiri kokoh dan masih tumbuh di situ tidak berubah.  Maka berteriaklah sekeras-kerasnya Patih Idan memanggil-manggil ketiga nama anaknya, “Haaai...ketiga anak-anakku, dimanakah kaliaaan...!” Anak perempuannya menjawab keheranan, “Di sini ayah, di pondok! Kenapa ayah berteriak seperti itu?”

”Ayah tidak melihat kalian semua dan pondok kita pun ayah tak melihatnya, apakah yang terjadi?” Tanya Patih Idan tambah keheranan.

Mustahil, ayah! Kami bertiga tidak kemana-mana sepanjang pagi sampai sore ini. Akan tetapi memang tadi ada musang putih kutangkap lalu aku masak untuk makan kami bertiga!”

Terbersit pikiran pada Patih Idan, mungkin akibat makan musang putih itulah bisa terjadi hal yang demikian. Maka sekali lagi Patih Idan bertanya kepada anak daranya, “Apakah ananda melihat diri ayah?” “Melihat, ayah! Bukankah ayah sedang berdiri di situ,” jawab anak daranya sambil menunjuk ke arah ayahnya berdiri.

“Jika demikian, adakah sisa sepotong daging musang itu lagi buat ayah?” Tanya ayahnya lagi kepada putrinya.

“Ada, ayah! Tadi sengaja ananda sisakan sepotong untuk ayah.”
“Jika begitu, coba masukkan ke mulut ayah,” kata Patih Idan sambil menggerakkan telunjuknya ke arah mulutnya yang sudah dingangakkan. Maka sisa sepotong daging musang putih tersebut oleh anak dara Patih Idan, dimasukkan ke mulut ayahnya.  

Setelah memakan daging musang putih yang diberikan oleh anak daranya, barulah nampak semuanya. Patih Idan dapat melihat ketiga anak-anaknya, pondok tempat tinggalnya. Sejak saat itu Patih Idan dan ketiganya gaib di tempat itu, daerah Gunung Selo’kan.

Menurut cerita rakyat setempat, pada saat-saat tertentu mereka kadang-kadang bisa mendengar suara-suara orang berdendang di situ. Diduga Patih Idan dan anak-anaknya yang hilang secara gaib itu hidup dan berkembang terus di Gunung Selo’kan hingga tempat itu menjadi sebuah perkampungan. Sampai sekarang masih dipercaya di Gunung Selo’kan itu ada perkampungan gaib yang dipimpin oleh Patih Idan. Konon, kadang-kadang pula mereka melihat sebuah telaga yang di sekitarnya ditumbuhi bunga-bunga anggrek dan ada pula orang-orang yang sedang mandi di telaga itu.

Oleh karena untuk menuju ke sana jalannya yang tidak ditumbuhi pepohonan dan bunga-bunga anggrek itu berbelit-belit, sulit dan berkelok-kelok maka orang menyebut tempat itu bernama Gunung Selo’kan yang lama kelamaan menjadi Gunung Sorokan, sampai sekarang.  

Sumber:
Depdikbud, Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Pemda Kutai  1979
Posted:
Slamet Priyadi 

Jumat, 12 Juli 2013

Cerita Rakyat Kutai: “Kampung Separi dan Segunam” diceritakan oleh Kak Sita


Peta lokasi desa Separi di Kutai, Tenggarong

Blog Sita Rosita – Rabu, 10 Juli 2013 – 17:10 WIB – Tersebutlah kisah dua orang suami istri bernama Gunam dan Ben. Kedua suami istri ini tinggal di sebuah kampung bernama Separi yang terletak di Kecamatan Tenggarong Kabupaten Kutai.

Kehidupan suami istri Gunam dan Ben selain dari mengerjakan huma dan kebun, juga melakukan kerja sambilan berburu binatang dan memancing jukut (ikan) di sungai. Pakaian mereka terbuat dari kulit kayu jomok (pohon kayu yang kulitnya dapat dijadikan bahan pakaian/celana) untuk dijadikan selowar (celana) atau ulap (kain/tapih).

Seperti biasa dilakukan selama bertahun-tahun, pagi-pagi benar Ben sudah pergi ke huma dan pulang saat senja hari. Rupanya Sangyang telah memberi mereka rezeki, karena huma tahun mereka menghasilkan padi yang cukup banyak. Demikianpula dengan para tentangga Ben sekampung. Teramat senang dan suka cita penduduk benua.

Sudah menjadi adat tradisi kebiasaan penduduk benua, setiap tahun mengadakan erau tahun mengadakan erau tahunan (upacara/pesta adat), sebagai tanda terima kasih mereka terhadap Sangyang yang telah memberipenduduk benua rezeki.

Demikianlah setelah mengetam padi, lalu diadakan erau yang disebut erau benua. Seberapa besar ongkos biaya yang diperlukan tidak menjadi soal bagi mereka karena setiap kepala keluarga sekampung saling bergotong royong. Mereka mengumpulkan berbagai macam barang dan hewan berupa beras, sayuran, ayam, babi dan barang-barang yang lain demi terselenggaranya erau benua. Bagi mereka yang penting adalah erau benua berjalan lancar dan mereka dapat bersenang-senang.

Adat tradisi erau diselenggarakan pada malam hari selama lima belas malam. Pada kesempatan itulah seluruh penduduk para istri dan suami, para gadis dan bujang, para janda dan duda berkesempatan mencari pasangan dan menentukan jodoh mereka, menentukan pilihan hidupnya untuk masa depan mereka.

Akan tetapi tidak demikian dengan si Gunam, ia berniat hadir pada acara erau benua di malam terakhir saja, yaitu di hari yang ke lima belas. Sementara erau benua terus berlangsung, pada malam itu, Gunam pergi mencari jakut di sungai untuk makan bersama istrinya. “Ben, empa’i awak subuh-subuh bejerang, sebab aku hendak pergi mancing jakut ke sungai,” kata Gunam kepada istrinya.

Keesokan paginya setelah makan hambat (sarapan pagi), Gunam diatar istrinya pergi ke pinggir sungai untuk masuk ke dalam gubang lalu menghanyut ke hilir menuruti arus Sungai Mahakam. Gunam mulai melempar dan melabuh pantawnya (pancing yang memakai pelampung gabus) beberapa buah. Dengan sabar Gunam mengawasi pantaw-pantawnya sambil berdoa dan mengharap agar pantawnya dimakan ikan.

Meskipun sudah setengah hari Gunam mengawasi pantawnya, tetapi mandik (tidak) seekor ikan yang mau memakan umpan pancingnya. “Sial benar awak hari ini, tak seekor jukut yang mau mematuk umpanku,” Gunam menggerutu sendiri. Akan tetapi, ia tetap bersabar dan terus berdoa kepada Sangyang agar diberikan rezeki untuk makan bersama istrinya.

Benar kata pepatah. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, karena tiba-tiba pancingnya dimakan jukut pari. Alangkah senang hatinya, ia pun segera membawa pulang ikan hasil pancingannya.

“Leh, buntut pari ini potok baik-baik dan awak salaikan. Dengan buntut pari ini, kendia pada malam penghabisan erau, akan kupepalkan pada gendang,” kata Gunam pada istrinya yang diam saja hanya menganggukkan kepalanya.

“Kanda, tidak cukupkah engan tangan dan jari-jarimu saja memepal gendang itu?” tanya istrinya, Ben  dengan tiba-tiba.

“Mandik, dinda Ben. Pada malam penghabisan itu etam (kita) harus habis-habisan, puas-puaskan, sampai semalam suntuk pun jadilah.” Jawab Gunam meyakinkan.

Demikianlah, hari-hari yang dinantikan pun sampai pada waktunya. Malam penghabisan penyelenggaraan erau benua yang dinanti-nantikan seluruh rakyat negeri pun tiba. Malam kelima belas, sebagai malam penghabisan erau sebenua itu diadakan. Di atas telampak yang kapasitas luasnya bisa menampung rakyat seluruh negeri, nampak hadir pasangan-pasangan suami-istri, anak-anak, gadis dan bujang sampai ke anak cucu. Ada yang berpakaian jomok, ada juga yang telanjang bulat. Semua asyik dengan lakonnya sendiri-sendiri. Ada yang minum tuak, ada pula yang makan daging panggang dengan lahapnya, namun satu sama lain tidaklah saling mengganggu. Masing-masing bebas memenuhi kemauan dan kehendaknya sendiri.

Ketika keramaian pesta sedang asyik-asyiknya berlangsung, di tengah malam buta itu, maka tanpa setahu orang lain, Gunam mencoba dengan ekor jukut parinya memepal gendang itu. Baru beberapa kali ekor jukut pari itu itu dipepalkan, serta merta keadaan malam yang kelam jadi berubah. Dengan tiba-tiba datanglah kilat memancarkan cahaya terang disertai bunyi petir sambung-menyambung. Orang-orang yang menyaksikan menjadi sangat ngeri dan teramat ketakutan. Beberapa orang ada yang berkata, “Nah, kita semua disumpahi dan dikutuk Sangyang. Ini akibat memukul gendang dengan ekor jukut pari. Macam-macam aja polahnya, etam segalanya kena juga balanya.”  

Pancaran kilat dan bunyi petir yang tak henti-hentinya itu hampir saja menyambar tubuh Gunam. Ia berlari terus berlari mengikuti jalan yang berkelok-kelok. Akhirnya sampailah pada sebuah pohon haur kuning yang ada di pinggir sungai. Karena letih ia berhenti untuk melepaskan lelah. Sementara itu ia jadi teringat, bahwa di dalam bumbung buluh peroko’anannya (tempat rokok terbuat dari bambu) yang tergantung di pinggangnya terdapat batu penetek leban. Segera diambilnya batu tersebut lalu digosokkan pada purun haur, sehingga muncul api. Karena itu kilat dan petir jadi berhenti mengejar dirinya. Gunam pun terhindar dari bahaya yang mengancam jiwanya itu.

Menurut cerita, jalan bekas Gunam berlari saat dikejar cahaya petir dan kilat di kampung Separi sampai sekarang masih terdapat tumpukan batu panjang berkelok-kelok.  Sedangkan masyarakat negeri yang ada di arena telampak erau benua semuanya menjadi batu karena terkena kutukan Sangyang. Dan tempat itu dinamakan Gua Batu. Di dalam gua batu tersebut terdapat baroh (danau kecil) yang dihuni oleh jukut atau ikan baung berwarna kuning sebesar lengan manusia.  Sedangkan, orang-orang yang telah dikutuk Sangyang menjadi batu bentuknya ada yang tampak sedang menyesui anaknya, berjerang, dan ada juga yang tubuhnya telanjang bulat.

Demikian cerita legenda rakyat kutai yang sekarang ini hampir punah dan sudah banyak dilupakan. Menceritakan asal terjadinya kampung Separi yang berasal dari seekor ikan pari dan teluk Segunam yang berasal dari nama Si Gunam. (M. Hanafie Kahar)

Referensi:
Depdikbud, "Kumpulan Cerita Rakyat Kutai", Pemda Kabupaten Kutai 1979
Posted
Sita Rosita, Pangarakan-Bogor