Rabu, 23 Oktober 2019

Atika Sya'rani: CERITA MARA KARMA 3, "MANGENDRA SARI"

Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Kamis, 24 Oktober 2019 - 02.47 WIB

Kepergian Mara dan adiknya diiringi ratap tangis isi istana. Ayahnya sangat murka kepada putrinya. Karena  dia, istana menjadi goncang. Putra mahkotanya pun terpaksa keluar dari istana karena terlalu sayang kepada adiknya. Sementara permaisuri raja tidak dapat berbuat apa-apa. Kemurkaan raja untuk mengusir kedua anaknya tidak dapat dibendung :
“Hai anak durhaka, tak tahu diri kalian!” kata Maharaja.
“Tahukah, bahwa kelahiran kalian berdua telah membawa malapetaka istana?!. Pergilah kalian jangan tunggu lama-lama lagi.” tambah Maharaja.
Sungguh Maharaja tak menyadari jika ia sesungguhnya telah diperdaya oleh ahli nujum. Sesungguhnya permaisuri tidak percaya dengan apa yang dikatakan ahli nujum. Hanya jika itu disampaikan kepada Maharaja Indra Angkasa, ia pasti tak akan dipercaya. Kemurkaan raja tentu bisa berbalik kepadanya.
Dalam keadaan kalut seperti itu, ibunda sempat memberikan sebentuk cincin. Mara merasa keberatan untuk menerimanya :
“Ibunda, tak usahlah memberi kami cincin. Itu tak ada manfaatnya bagi kami, itu malah justru akan merusak hati kami saja nanti.”
“Ah, anakku Mara dan kau Nila, janganlah kau tampik cincin pemberian bunda ini. bunda memberikan cincin ini sebagai tanda kasih sayang bunda pada kalian berdua. Bunda tak dapat memberikan apa-apa selain cincin ini.”
“Sesungguhnya bunda tak sampai hati membiarkan ananda berdua pergi meninggalkan istana ini. tetapi semuanya itu sudah menjadi keputusan ayahandamu sebagai raja yang tak bisa ditolak dan harus dilaksanakan.”
Karena dilanda perasaan sedih yang mendalam, permaisuri pun pingsan. Ia tak sampai hati berpisah dengan kedua anaknya yang sangat dikasihinya itu :
“Bunda sayang, janganlah diperturutkan rasa pilu itu, jika diketahui oleh ayahanda, pastilah ayahanda akan murka kepada ibunda. Doakan saja agar kami berdua selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.”
Ibunda permaisuri mencoba menyembunyikan kepedihan hatinya. Dihapusnya air matanya yang masih menetes di pipinya. Dengan suara dan bibir bergetar ia berpesan kepada kedua anaknya, Mara dan Nila :
“Anada Mara, ibu berpesan kepadamu, jagalah dan bawalah adikmu kemana pun kau pergi. Keselamatan adikmu Nila bunda percayakan kepadamu, Mara! Dan kau Nila, hati-hatilah, kau patuhilah kakakmu. Berdoalah selalu kepada Tuhan, bunda akan selalu berdoa untuk kalian, semoga kalian tetap selamat dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.”
Dengan penuh keteguhan hati, berangkatlah Mara dan adiknya menuju tempat pembuangan. Mereka diantar oleh rombongan sampai ke perbatasan. Di perbatasan itu mereka berpisah dengan para rombongan pengantar. Mara dan Nila melanjutkan perjalanannya jauh masuk ke hutan. Rombongan kembali ke istana.
“Kak Mara, kemana kita akan pergi?” tanya Nila kepada kakaknya.
“Rasa-rasanya kita sudah jauh berjalan, tapi tak ada tempat yang kita tuju?”
“Adikku, Nila! Memang tak ada tempat yang kita tuju di hutan ini, dan kita berjalan hanya menuruti kemana kaki melangkah. Aku pun bingung, tapi yang jelas, kita harus mencari tempat yang aman untuk berteduh.”
“Mengapa ya kak, kita dibuang oleh orang tua kita, apa salah kita?”
Rupa-rupanya Nila tidak tahu sebab ia dan kakaknya diusir dari istana. 
“Sudahlah adikku, jangan kau prtanyakan lagi akan hal itu. Biarkanlah semua itu kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jawab Mara.
Sudah cukup lama merka berjalan masuk ke dalam hutan.
“Kak Mara, kita beristirahat dahulu. Aku sudah lelah dan lapar,” kata Nila.
“Baiklah adikku, kita cari tempat yang aman,” jawab Mara, seraya kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari tempat yang dirasa cukup aman. Setelah mendatkan tempat yang dicarinya, mereka pun beristirahatlah dan mengeluarkan bekalnya untuk makan. Karena kelelahan dan kekenyangan kedua kakak beradik itu tertidur pulas.
Sejak kepergian Mara dan Nila kerajaan Puspa Sari terlihat sepi. Seperti tak ada sinar dan semangat di dalam istana itu. Seluruh penduduk negeri bermuram durja. Bagaikan negeri kalah perang.
Sementara bunda permaisuri di dalam istana merasakan rindu yang demikian besar kepada kedua anaknya. Hatinya begitu sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka :
“Ya  Tuhan, lindungilah kedua anak-anakku, dimanakah kau berada, nak? Ibunda sangatmerindukanmu!”  
Demikian doa seorang ibu kepada anak-anaknya yang jauh darinya yang diusir dari istanya hanya karena ayahnya percaya kepada ramalan nujum yang konon akan mendatangkan petaka kerajaan Puspa Sari. Padahal itu hanyalah siasat seorang raja yang merasa dengki dengan kemajuan kerajaan Puspa Sari.
Pada suatu hari negeri Puspa Sari menjadi kacau-balau. Kebakaran besar terjadi. Seluruh isi negeri habis terbakar. Rakyat lari kucar-kacir. Mereka hanya sempat membawa sebagian kecil harta bendanya. Seluruh rumah penduduk terbakar. Tanaman dan hewan peliharaan musnah. Entah apa sebabnya. Pendek kata seakan-akan alam murka kepada Sang Maharaja. Akhirnya, mereka hidup seperti sedia kala. Dan, mereka merasa menyesal dan menyadari kesalahannya :
“Akh, aku menyesal dengan apa yang telah kuperbuat dengan kedua anakku, Mara dan Nila, padahal keduanya adalah anak yang berbakti dan patuh kepada orang tua. Mengapa aku begitu mudah percaya dan terhasut oleh ramalan dan nujum yang agamaku justru melarangnya.”  
“Tak kusanggka ternyata ada orang yang dengki kepadaku. Mereka berhasil sudah menghancurkan negeri dan kehidupan keluargaku.” Demikian kata Maharaja Puspa Sari mengungkapkan penyesalannya dengan apa yang telah dilakukan kepada kedua anaknya.
Sementara sang permaisuri pun mengungkapkan rasa kecewa dan keluh kesahnya kepada suaminya :
“Entahlah kanda, aku pun sudah tak bisa menangis lagi. Kering sudah rasanya air mata ini. tak mampu lagi untuk menangis. Rasa-rasanya dinda ingin menyusul mereka. Tetapi, tak tahu di mana mereka berada? Semoga saja mereka selamat!”
“Sudahlah, kau jangan bersedih terus. Itu nanti akan merusak dirimu. Aku pun pilu jika teringat mereka. Tapi apa yang dapat kita perbuat. Nasi sudah menjadi bubur,” tukas sang Maharaja.
Perjalanan sudah berhari-hari. Dari satu tempat ke tempat yang lain. Pada suatu hari Mara dan adiknya sudah mulai terlena dengan alam sekitarnya yang sudah mulai petang. Berkatalah Nila kepada kakaknya :
“Kak Mara, hari sudah mulai petang. Di mana kita bermalam. Di hutan seperti ini aku takut,” kata Nila.
“Akh, tak usah takut. Kita cari tempat yang aman, sebelum ini kita kan, juga tinggal di hutan.”
“Iya, tapi tidak seperti sekarang ini. dulu kita tinggal di hutan di pinggir kampung. Kita masih mungkin berkunjung ke kampung untuk menjual kayu. Tapi sekarang, aku tak tahu hutan apa dan di mana ini,” kata nila.
“Sudahlah, jangan kau pikirkan lagi itu. Apabila sudah malam kakak akan menjagamu.”
Waktu berputar terus. Siang berganti malam, dan malam pun kembali berganti siang. Entah sudah berapa hari Mara dan adiknya, Nila berada di dalam hutan. Bekal makanan yang mereka bawa sudah habis. Nila sudah merasa lapar kembali. maka berkatalah ia kepada kakaknya, Mara :
“Kak Mara, perutku lapar sekali, aku sudah tak kuat lagi berjalan.”
“Sabarlah, adikku! Aku akan mencari makanan untuk kita.”
Setelah berkeling berjalan kian-kemari, didapatnyalah umbut rotan. Betapa senang hati Mara. Umbut itu lalu diberikan kepada adiknya. Bukan main senangnya hati Nila lalu mereka berdua memakan umbut rotan itu. Kekuatan untuk kembali berjalan pun kini timbul kembali. Mara dan Nila melanjutkan perjalanannya. Berjalan terus masuk ke dalam hutan tanpa tujuan yang pasti. Setelah lama berjalan sampailah mereka di sebuah tempat yang indah.
Di tempat itu, Mara dan Nila berjumpa dengan makhluk bangsa jin dan dewa. Setiap kali jin dan dewa datang, Mara selalu menyembunyikan adiknya. Ia takut jika adiknya akan diambil oleh jin atau dewa. Dengan kesaktian yang diperoleh, Mara dan adiknya tiba di bukit yang berjantera, yaitu tempat dewa-dewa.
Nila yang disembunyikan kakaknya berkata :
“Kak Mara, keluarkan aku. Aku ingin melihat alam bebas di tempat ini.”
“Jangan adikku, tempat ini berbahaya bagimu.”
Nila tidak membantah demi keselamatannya. Berhari-hari mereka di sana. Makanan pun dengan mudah mereka dapatkan. Di ujung tempat itu mereka melihat ada sebuah pohon besar. Tak jauh dari sana ada air mancur. Air mancur itu begitu sejuk keluar dari bukit yang ada di sekitar tempat itu. Mara dan adiknya memanfaatkannya untuk mandi.
Tiba-tiba melayang seekor burung di atas kepalanya. Nila meminta kakaknya untuk menangkap burung itu :
“Kak Mara, tangkaplah burung itu untuk aku, kak! Bulunya bagus sekali. Aku amat menyukainya.”
Mara amat sayang kepada adiknya, maka ia mencoba menangkap burung itu, tetapi selalu gagal. Burung itu justru menggoda. Berkali-kali burung itu terbang rendah, dan pada akhirnya ia dapat ditangkap. Mara lalu memberikan burung itu kepada adiknya yang menerimanya dengan senang seraya berkata :
“Kak Mara, potong saja burung ini lalu dibakar untuk santapan kita!”
“Sabarlah dulu, adikku!”
Mara mendengar sayup-sayup suara kokok ayam. Rupanya hutan tempat mereka bermalam tidak jauh dari sebuah kampung. Spontan dia pun berkata kepada adiknya :
“Nila, tinggallah kau di sini! Kakak akan mencari api dan sedikit nasi untukmu. Selama kakak pergi kau jangan kemana-mana. Tunggu kakak kembali!”
“Baiklah, kak! Aku akan tetap di sini menanti kak Mara kembali pulang.”
Mara meninggalkan adiknya. Di perjalanan timbul rasa was-was. Untuk kembali, sudah tanggung. Ia tiba di pinggir kampung. Dilihatnya adasebuah kebun. Sayur dan buah dalam kebun itu tumbuh subur. Dilihatnya ada yang punya kebun. Didekatinya orang itu dengan maksud meminta api. Tapi apa yang terjadi? Mara justru dituduh pencuri oleh sang pemilik kebun itu :
“Nah..., rupanya engkau yang sering mencuri tanamanku. Sekarang kau tak dapat lari lagi,” kata orang itu kepada Mara.
“Aku bukan pencuri. Bukan aku yang mencuri hasil kebunmu.”
“Ah, kau jangan berbohong. Tanamanku sering hilang, pasti kau ambil. Sekarang kau tertangkap, tak mau mengakui.”
Mara menjadi bingung dan sedih. Ia teringat akan diknya yang ditinggal. Mara akhirnya dipuku sampai pingsan oleh orang kampung itu.
Kalau mati, buang saja ia ke laut. biar dimakan ikan hiu,” kata orang-orang kampung itu.
Kampung itu bernama kampung Parlinggan Cahaya. Rupanya orang kampung itu betul-betul marah. Tanaman mereka selalu dicuri orang. Tapi, sayang mereka salah duga. Dikiranya Maralah yang selama ini mencuri tanaman nya. Mereka balas dendam. Mara dihajar sampai pingsan.
Mara diikat pada sebatang kayu dan dibuang ke hutan. Rupanya sudah kehendak Tuhan, Mara terdampar di sebuah pantai.
Tersadar dari pingsannya. Mara mencoba untuk bangun. Dirasakan badannya sakit. Rupanya hidung dan kepalanya luka karena dipukul oleh orang kampung itu. Ia berusaha membersihkan lukanya yang mengeluarkan darah.
Perasaannya mulai cemas dan gelisah. Ia sedih dan khawatir kepada adiknya, si Nila. Ia mencoba berjalan untuk mencari adiknya.
Negeri Palinggan Cahaya diperintah oleh seorang raja bernama Puspa Indra. Raja itu mempunyai seorang putra mahkota bernama Mangendra Sari. Permaisuri raja bernama Putri Manda Ratna. Pada suatu hari Mangendra Sari bermohon izin kepada ayahnya untuk berburu :
“Ayahanda, ananda ingin berburu, sudah lama rasanya hamba tidak berburu. Rasanya, hamba rindu untuk makan daging burung,” tukas Mangendra seraya menyembah ayahnya.
Beberapa saat kemudian seperangkat keperluan berburu pun dipersiapkan. Setelah lengkap, Perdana Menteri, pengawal, dan rombongan lainnya ikut dalam perburuan itu. Setelah beberapa lama berjalan, rombongan tiba di tempat perburuan. Mereka pun langsung melakukan perburuan, tetapi sampai siang hari tak seekor pun binatang buruan yang lewat di hutan itu. Hal ini membuat Mangendra Sari penasaran. Sementara cuaca saat itu dirasa begitu panas. Maka bertanyalah Mangendra Sari kepada Perdana Menteri :
“Paman Perdana Menteri, cuaca begitu panas, hamba merasa haus sekali. Dan, hamba heran, kenapa tak ada satu pun hewan buruan yang lewat di hutan ini?”
“Entahlah, tuanku! Ini tak seperti biasanya. Oh,ya! Hamba akan mencari air dulu.” Kata Perdana Menteri seraya memerintahkan kepada anak buahnya membawakan air minum untuk sang putra mahkota.
Perdana Menteri dan beberapa pengawal pergi mencari air. Setelah sekian lama, mencari barulah Perdana Menteri dan beberapa pengawal menemukan sebuah sendang kecil yang airnya begitu amat jernih.  Dan di dekat sendang itulah Nila dan kakaknya Mara, yang dihukum buang oleh ayahnya, Maharaja Indra Angkasa beristirahat. Sang Perdana Menteri mencoba mendekati Nila yang sedang duduk beristirahat sambil memakan umbut rotan. Perdana Menteri dan beberapa pengawalnya setengah tak percaya jika di tengah hutan ada seorang putri yang begitu cantik jelita sendirian ditengah hutan :
“Putri siapakah dia berada di tengah belantara sendirian saja?” kata Perdana Menteri dalam hatinya. “Apa mungkin ia seorang diri saja berada di tengah belantara ini, siapakah yang tega meninggalkan putri yang cantik jelita ini?”
Perdana Menteri mencoba mendekati Putri Nila yang sedang duduk menunggu kakaknya, Mara yang sedang pergi ke kampung seberang. Sementara burung  bersayap indah hasil tangkapan dari kakaknya itu masih berada digenggamannya. Setelah dekat, Perdana Menteri pun menyapa putri Nila :
“Wahai Tuan Putri yang cantik jelita, siapakah namamu, dan dari manakah asalmu, kenapa Tuan Putri berada di tengah hutan seperti ini?”  sapa Perdana Menteri kepada Putri Nila yang seketika terkejut mendengarnya. Ia sungguh tak menyangka jika sudah ada orang di dekatnya. Ia tetap diam tak menjawab pertanyaan sang Perdana Menteri. Hanya matanya nanar menatap sang Perdana Menteri. Tiba-tiba dengan tak terasa air matanya mengalir membasahi pipinya. Melihat ini, sang Perdana Mentri kembali ke rombongan lalu menceritakan kepada para pengawalnya semua apa yang dilihat dan dialaminya. Setelah melepaskan dahaganya, Mangendra minta diantar ke tempat putri Nila berada.
Sesampai di tempat putri Nila berada, Mangendra bukan main senangnya hati Mangendra. Ia melihat betapa cantiknya Putri Nila. Mangendra lalu mendekati dan menyapanya.
Singkatlah cerita Mangendra sudah mengetahui semua hal ikhwal sang putri. Mangendra pun membujuk Putri Nila agar mau diajaknya pulang. Ia pun berkata kepada Perdana Menteri :
“Paman Perdana Menteri, bawalah Tuan Putri ini pulang ke istana!”  perintah Mangendra kepada Sang Perdana Menteri.
Sesampai di istana dilaporkan semua apa yang telah terjadi. Mendengar itu betapa suka cita hati sang Baginda dan sang Permaisuri :
“Dimana anak itu? Suruh ia masuk!” kata Baginda.
Setelah melihat putri Nila, alangkah bahagianya hati baginda lalu dipanggilnya inang pengasuh :
“Inang, persalinkanlah pakaian anakku ini dengan pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah . Kau rawatlah putriku ini dengan sebaik-baiknya, jangan bedakan dia dengan Ananda Mangendra Sari!” Begitu pun sang Permaisuri berpesan kepada inang pengasuh.
“Baik, akan hamba jaga dan rawat ia dengan sebaik-baiknya. Apalagi ia anak yatim piatu,” kata inang pengasuh.
Bukan main suka cita hati Nila Kusuma, hidup di dalam istana itu. Ia menjadi putri raja yang sangat disayangi. Tingkah lakunya yang baik menambah suka bagi setiap orang yang melihatnya.

Gambar 3
Pesta perkawinan Mangendra Sari dengan Putri Mayang Mengurai
Kedua pengantin duduk di pelaminan

Namanya diganti dengan nama Putri Mayang Mengurai. Ke mana pun ia pergi selalu diikuti oleh inang pengasuh dan dayang-dayang lainnya.
Pada suatu ketika Baginda Raja dan Permaisurinya bermaksud memperistrikan putra mahkotanya, Mangendra. Maka dipanggilnyalah Putri Mayang Terurai :
“Putriku Mayang Mengurai,”  Baginda Raja mulai berkata.
“Marilah duduk di sini dekat ibunda, Ayahanda akan mengatakan sesuatu kepadamu. Ayahanda berharap Ananda mau menerimanya.”
Baginda Raja pun menceritakan keinginannya untuk memperistrikan Putranya Mangendra dengannya. Putri Mayang Mengurai nampak tersenyum bahagia tanda ia amat senang dan menerima semuanya itu.
Pada hari yang telah ditentukan dipersiapkanlah segala sesuatunya. Segala macam tabuhan, dan bunyi-bunyian untuk memeriahkan pesta perkawinan selama tujuh hari, tujuh malam. Ia merasakan kebahagiaan yang teramat sangat dipersunting oleh Mangendra putra mahkota. Akan tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Ia teringat akan kakaknya Mara yang amat disayanginya. Suaminya, Mangendra merasa bingung. Maka disampaikannyalah masalah tersebut kepada ayah-bundanya. Putri Mayang Mengurai dipanggil dan diminta untuk menceritakan apa gerangan yang terjadi. Putri Mayang Mengurai menceritakannya dengan terus terang dari awal hingga akhir. Mendengar itu pahamlah Baginda Raja lalu berkata :
“Jika demikian halnya, baik kita cari di mana kakakmu Si Mara itu berada, dan Kakanda sendiri yang akan memimpin pencarian itu.”  Kata Mangendra Sari, suami Mayang Mengurai.
“Kanda, bolehkah Adinda ikut dalam pencarian?” pinta Putri Mayang Mengurai kepada Suaminya.
“Tidak Dinda, Dinda tidak boleh ikut, biarlah kakanda dan rombongan yang mencari. Dinda menunggu saja di istana bersama Ayah dan Bunda.
Putri Mayang Mengurai pun mengurungkan niatnya. Ia hanya mengantar suaminya dan rombongan pengawal sampai di perbatasan negeri. Setelah suami dan rombongan tak kelihatan kembalilah ia ke istana.
Untuk menambah semangat pencarian Baginda Raja menjanjikan, “Bagi siapa saja yang menemukan Mara Karma akan dianugerahi satu negeri.” Semua raja, perdana menteri, dan pengawal berkeliling mencari Mara Karma. Tidak ada tempat yang tidak dilewati, gunung, rimba belantara, dan gua menjadi tujuan. Tapi Mara Karma tidak juga ditemukan.  
_________________________
Senin, 20 Oktober 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997

Minggu, 20 Oktober 2019

Atika Sya'rani: MARA KARMA 2 "MAHARAJA INDRA ANGKASA"

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Minggu, 20 Oktober 2019 - 18.41 WIB


2. MAHARAJA INDRA ANGKASA

Selama tiga hari di rumah luka Ayah Mara sudah sembuh. Ayah sudah merasa tidak betah di rumah. Keinginannya untuk mencari kayu sudah mulai lagi. Walaupun persediaan kayu masih cukup, Ayah sudah bermaksud mencari kayu lagi.
“Mara, sudah siap?” tanya Ayah.
“Sudah Ayah,” jawab Mara.
“Kalau sudah siap, mari kita berangkat,” kata Ayah.
Parang, kapak, dan bekal dimasukkan Mara ke dalam keranjangnya. Ayahnya membawa keranjang dan bambu tempat air minum. Mereka akan mencari kayu agak jauh dari tempat biasanya. Mereka akan mencari lahan yang baru. Sudah diperkirakan pulangnya agak lebih sore.
Seperti biasanya, sambil menuju tempat tujuan, Mara dan Ayah memotong kayu bakar yang mereka temukan. Mereka tidak memotong kayu yang besar-besar. Mereka mencari kayu yang kecil-kecil saja. mereka tidak merusak lingkungan.
“Ayah, lihat itu sarang burung,” kata Mara.
“Itu sarang burung tampua,” jawab Ayah.
“Sarang burung itu tidak pernah rendah. Selalu tinggi,” tambah Ayah.
“Rupanya daerah ini daerah burung, ya, Yah. Kudengar banyak bunyi kicau burung. Aku senang di sini, Ayah,” kata Mara.
“Nah, itu sebabnya kita jangan menebang pohon sembarangan, kata Ayah. “Pohon itu tempat tinggal burung-burung itu. Tempat mereka membuat sarang. Buah pohon itu makanannya,” tambah Ayah. Sambil mendengar kicauan burung, Mara dan ayahnya terus mencari kayu. Kayu-kayu yang sudah dipotong mereka biarkan. Mereka melanjutkan perjalanan. Apabila diperjalanan mereka menemukan buah, itu kebetulan saja.
“Mara, di tempat yang banyak burung biasanya ada pohon buah-buahan. Lihat itu, burung kecil. Paruhnya panjang, warna bulunya merah dan indah. Itu namanya burung madu. Burung itu menghisap madu bunga. Tugasnya mulia. Ia bertugas sebagai penyebar serbuk sari. Dari penyerbukan itu, terjadi pembuahan. Ada burung yang pekerjaannya mematuk-matuk kayu. Itu namanya burung patuk kayu atau tokok kayu,” kata Ayah.
“Dalam hutan ini banyak sekali jenis burungnya,” tambah ayah.
“Kalau burung pipit tidak ada di sini, ya, Yah?” tanya Mara.
“Ada juga, tetapi tidak banyak. Burung pipit itu pemakan padi. Dia lebih banyak hidup di sekitar persawahan,” jelas Ayah.
”Di sini banyak burung pemakan buah atau bangkai,” tambah Ayah.
Hari sudah bertambah siang. Perut sudah terasa lapar. Haus pun sudah mulai terasa. Mara dan ayahnya beristirahat sebentar. Mereka menikmati bekal yang dibawa. Mereka mencari tempat yang ada airnya. Setelah makan mereka salat. Kewajiban itu tetap dilakukan di mana pun mereka berada. Sesudah melepas lelah, mereka melanjutkan perjalanannya.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Kayu yang mereka cari sudah banyak.
“Mara, hari sudah sore. Mari kita pulang. Ayah rasa kayu sudah cukup banyak.”
“Baiklah, Ayah. Kita harus bergegas pulang. Kalau tidak, kita kemalaman nanti. Aku rasa perjalanan kita ini yang terlama.”
Keduanya pun pulanglah. Hari bertambah petang. Matahari di barat sudah memerah. Itu pertanda hari hampir senja. Sewaktu Mara dan ayahnya pergi mencari kayu, ibunya menggali ubi talas termasuk salah satu makanan utama mereka.
Sewaktu ibunya menggali ubi talas, ada sesuatu yang aneh. Tanah yang digali berongga di dalamnya, dan sebagian tanahnya lonsor.
“Ah, ada apa ini?” si Ibu bertanya dalam hati.
“Apakah ini lubang ular atau apa?” kata Ibu bercampur cemas.
Namun, ibu tetap menggalinya. Ibu harus berhati-hati, khawatir lubang ular. Kalau bukan, khawatir lubang lama yang sudah tertimbun. Timbunan itu pdat. Tanahnya dapat longsor. Bisa-bisa ia terperosok ke dalamnya.
Tak lama kemudian Ibu merasakan ada benda keras. “Apa pula ini, batu atau besi ?”
Penggalian itu diteruskannya. Lubang itu diperbesar. Dengan demikian, mudah ia mengetahui apa yang ada di dalamnya.
“Kendi...kendi siapa ini? apa mungkin ada orang yang menyimpannya? Atau batu berbentuk kendi?” pikir Ibu.
Bermacam-macam pikirannya. Setelah tergali tiga perempat bagian, terlihat bentuknya. Ibu mengangkat kendi itu ke permukaan. Namun, tidak kuat karena sebagian masih tertanam.
“Nila!”, panggil Ibu. “Kemari, tolong Ibu.”
“Ada apa, Bu?”
“Kemari sebentar, tolong angkat ini!”
Nila datang dengan berlari-lari. Dijumpainya ibunya yang sedang berusaha mengeluarkan sesuatu dari lubang. Setelah dekat baru terlihat benda yang sedang digali ibunya.
“Tolong Nila, kau pegang di sini; ibu akan menggali sebelah sini.” Tak lama kemudian, benda itu dengan mudah digoyang dan diangkat.
Setelah itu kendi digotong ke sumur. Kendi itu disikat dan dicuci bersih. Setelah hilang tanahnya, kendi itu dibawa ke dalam rumah. Mereka dengan senang menunggu kedatangan Mara dan Ayah.
Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat mereeka pulang.
“Nah, itu mereka datang,” teriak Nila.
“Wah, Bu, banyak mereka membawa kayu.”
“Keranjang Kak Mara dan eranjang Ayah pun penuh. Itu, ada yang dibawa pakaipikulan berdua.”
“Rupanya hari ini mereka beruntung. Mereka mendapat kayu yang luar biasa banyaknya. Lihat Ibu, Ayah dan Kak Mara keberatan tampaknya. Aku bantu, ya bu?!” kata Nila sambil berlari.
“Ya, begitu tampaknya!” kata ibunya yang sudah tidak terdengar oleh Nila.
Tak lama kemudian Mara dan Ayah tiba di rumah. Ibu menyongsong mereka. Nila membantu Mara. Ayah menurunkan kayu dari pikulannya. Setelah melepaskan lelah, Mara dan Ayah pergi ke sumur. Setelah mandi mereka makan bersama. Pada waktu santai Ibu menceritakan peristiwa yang terjadi tadi siang.
“Yah, Ibu mendapatkan kendi. Kendi itu tertanam dalam tanah.” “Semula Ibu mau menggali umbi talas. Tapi aneh tanahnya lonsor. Ibu penasaran, tanah yang longsor Ibu angkat ke atas. Lama-kelamaan ada benturan benda keras. Rupanya ada sebuah kendi.”
“Ya, Yah! Tadi aku membantu Ibu untuk mengangkatnya. Kendi itu cukup berat. Warnanya sudah kehitam-hitaman dan berkarat. Tapi tadi sudah aku cuci,” kata Nila.
“Nila, mari kita angkat kendi itu!” kata Ibu.
Sementara ayah duduk tenang sambil menikmati talas rebus, Ibu dan Nila mengambil kendi itu. Kelihatan mereka keberatan membawanya.
“Ini, Yah!” kata Nila dan Ibunya serempak.
“Bawa kemari kendi itu. Ayah akan melihatnya dulu. Jangan-jangan ada penjahat atau orang lain yang menyimpannya. Satu saat nanti akan diambilnya. Jika itu benar, kendi itu harus dikembalikan pada tempatnya.”
“Kita tidak boleh mengambil barang orang lain.”
Kendi itu diberikan kepada Ayah. Setelah diteliti Ayah tidak percaya. Kendi itu ternyata kendi yang sudah berkarat. Berarti sudah cukup lama tersimpan dalam tanah.
“Kendi ini sudah cukup lama terpendam di dalam tanah,” katanya. “Lihat karatnya sudah cukup tebal. Jelas ini bukan disimpan dalam waktu setahun dua tahun tapi tampaknya sudah puluhan tahun,” kata sang Ayah lebih lanjut.
“Baiklah, kita coba buka. Apa isinya?”
Keluarga itu ingin mengetahui apa sebenarnya isi kendi itu. Apakah kendi itu kosong? Diguncang-guncang tak terdengar apa-apa. Kemungkinan sekali kendi itu kosong. Namun mereka tetap mencoba untuk membukanya.
Setelah berusaha sekuat tenaga, kendi itu berhasil dibuka, dan apa yang terlihat? Mereka terperangah hampir tak percaya, apa benar yang mereka lihat? Isi kendi itu berserakan di lantai. Emas dan permata banyak sekali. Gemetar bercampur haru hati mereka bertanya-tnya. “Milik siapakah semua harta perhiasan ini?” mereka semua mencoba merenungkannya.
“Wah, mungkin ini rezeki kita, Ayah?!” kata Nila.
“Ah, jangan berpikir seperti itu, itu belum tentu,” kata Ayah.
“Tapi, mungkin saja, Yah!” kata Mara mempertegas ucapan adiknya, Nila.
“Ayah, mungkin saja ini memang rezeki dari Tuhan untuk keluarga kita,” kata istrinya seraya lanjutkan kata-katanya:
“Akh, masa di dalam hutan ini ada orang yang menyimpan emas dan permata sebanyak ini !” apa lagi kendi itu sudah amat berkarat, dan jika dilihat dari karatnya, kendi itu sudah tertanam puluhan tahun lamanya. Memang seringkali ditemukan harta karun. Kadang-kadang ditemukan di kebun belakang rumah.”
“Dan rupanya kali ini kita yang mendapat bagian!” Jawab sang Ayah.

Image (Sastra daerah, Mara Karma)
Gambar 2
Keluarga Si Miskin mengelilingi
Kendi yang ditemukan

Betapa bahagianya keluarga itu. Mereka membayangkan betapa banyak harta dan kekayaannya. Mereka sudah merencanakan pindah dan tinggal di kampung. Semenjak mereka tinggal di kampung, banyak sudah orang kampung yang dibantu, terutama yang tak mampu.
Setiap penduduk kampung datang memohon bantuan Si Miskin pasti dibantunya. Lama-kelamaan terkenallah keluarga itu ke keseluruh kampung. Si Miskin yang kaya. Orangnya sabar dan selalu tawakal serta suka membantu.
Keadaan seperti itu berjalan cukup lama. Akhirnya, penduduk di kampung itu menjadikan Si Miskin sebagai pemimpinnya.
Pada suatu ketika kesepakatan itu terlaksana. Si Miskin diangkat menjadi pemimpin negeri dengan kedudukan sebagai maharaja.
Setelah sekian lama dinobatkan sebagai Maharaja. Si Miskin berganti nama menjadi Maharaja Indra Angkasa. Istrinya berganti nama menjadi Putri Ratna Dewi. Wilayah itu diberi nama Puspa Sari. Sejak itu nama Si Miskin hilang. Dia lebih dikenal dengan nama, Maharaja Indra Angkasa.
Saudagar-saudagar kaya dan raja-raja di sekitarnya mengagumi kebijaksanaannya. Mereka rela dan patuh kepada Maharaja Indra Angkasa. Mereka merasa lebih aman dan tenteram di bawah kepemimpinannya. Rakyatnya hidup penuh kebahagiaan dan serta berkecukupan.
Kedua putra mahkota yang gagah perkasa. Putri Nila Kusuma menjadi seorang putri yang cantik jelita.
Berita keadilan Maharaja Indra Angkasa terdengar ke seluruh pelosok tanah air. Rupanya ada raja yang merasa iri padanya. Pada suatu hari terdengar kabar bahwa Maharaja Indra Angkasa akan mengundang para para ahli nujum. Beliau minta dinujumkan bagaimana nasibnya di kemudian hari.
Berita itu terdengar oleh seorang raja yang iri hati. raja itu mencari akal bagaimana caranya untuk merusak nama Maharaja Indra Angkasa. Seluruh ahli nujum yang ada di negeri itu dikumpulkannya. Ahli nujum dihasutnya untuk menhancurkan Kerajaan Puspa Sari.
Setelah ahli nujum berkumpul, ia memberikan petunjuk:
“Hai saudara-saudara ahli nujum, apabila kalian diminta oleh Maharaja Indra Angkasa menujum hari esok kerajaannya, katakan padanya bahwa putri mahkota akan membawa malapetaka baginya. Oleh sebab itu, sebaiknya dibunuh!”
Karena ahli nujum diberi hadiah istimewa, semua yang dikatakan raja itu dikutinya. Pada hari yang telah ditetapkan ahli nujum pun berkumpul di istana Puspa Sari. Maharaja Indra Angkasa berdiri dengan gagahnya. Dia memandang ke sekelilinng. Ia merasa bahagia. Setelah menjelaskan maksudnya, iapun menyampaikan keinginannya :
“Saya minta agar semua ahli nujum mengajukan pendapatnya!” kata Maharaja Indra Angkasa.
Maka semua ahli nujum yang sudah terkena hasutan dari salah seorang raja yang iri dan benci kepada Maharaja Indra Angkasa bersama-sama menghadap Sang Maharaja Indra mengemukakan pendapatnya dan berkata, bahwa sang putri raja akan membawa malapetaka terhadap kerajaan. Oleh sebab itu, sang putri sebaiknya dibunuh.
Setelah pertemuan itu usai Maharaja Indra Angkasa sangat masygul hatinya. Apa iya putri kesayangannya itu akan membawa malapetaka baginya. Berhari-hari pikirannya menjadi kacau antara percaya dan tidak. Tidak tega hatinya membunuh anak sendiri. Apalagi, belum jelas kesalahannya. Maka Maharaja pun mengatakan kepada permaisurinya :
“Permaisuriku, bagaimana pendapatmu mengenai apa yang dikatakan oleh para ahli nujum?”
“Akh, aku tidak begitu percaya, kanda.”
“Bukankah kedua anak kita itu sudah diajarkan sejak dulu untuk berbuat baik?!”
“Menurutku, selama ini mereka tidak pernah melakukan yang tidak benar.”
Keadaan dalam istana menjadi risau. Semuanya ikut memikirkan. Setelah berunding, diambil kesepakatan putri raja tidak dibunuh, melainkan dibuang.
“Ibunda tersayang,” Kata Mara “Aku tidak tega adikku, Nila dibuang. Daripada aku tinggal merana di istana, lebih baik aku menemaninya.”
Kedua hati orang tuanya bertambah gundah gulana. Mereka tak dapat berkata apa-apa. Setelah mereka timbang-timbang dengan masak, dikabulkanlah permintaan putra mahkotanya.

Jumat, 18 Oktober 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997