Blog Ki Slamet 42 : "Seni Budaya Nusantara"
Senin, 30 September 2019 - 05.06 WIB
Senin, 30 September 2019 - 05.06 WIB
BAB V
PELAKSANAAN AKSI
PEREBUTAN KEKUASAAN
PEMBERONTAKAN PARTAI
KOMUNIS INDONESIA
MELALUI GERAKAN 30
SEPTEMBER
A.
AKSI BERSENJATA
GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI
PADA
AWAL OKTOBER 1965
1.
Di Tingkat
Pusat dan Di Jakarta
Pada tanggal 1
Oktober 1965 sekitar pukul 01.30 Letkol Inf. Untung dengan diikutiSjam, Pono,
Brigjen TNI Soepardjo, dan Kolonel Inf. A. Latief tiba di Lubang Buaya. Ia
membberikan perintah pelaksanaan kepada semua komandan pasukan agar segera
berangkat menuju ke sasaran masing-masing yang telah ditetapkan. Di dalam
perintah pelaksanaan tersebut ditetapkan pula Pondok Gede sebagai daerah
pemunduran. Ditetapkannya Pondok Gede sebagai daerah pemunduran itu karena
daerah tersebut berada di wilayah tugas Mayor Udara Sujono, Komandan Resimen
Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma
yang letaknya berdekatan dengan daerah basis latihan LubangBuaya.
a.
Pembagian
Tugas Pasukan Penculik
1)
Pasukan
Pasopati
Tugas
Pasukan Pasopati adalah menculik para jendral pimpinan TNI-AD dan membawanya ke
Lubang Buaya. Kekuatan bersenjata yang tergabung dalam pasukan Pasopati terdiri
atas satu batalyon Infantri (minus) dari brigade Kolonel Inf. A. Latief, satu
Kompi Tjakrabirawa dari batalion pimpinan Letkol. Untung, satu peleton dari
batalion Infanteri pimpinan Mayor Inf. Sukirno/Kapten Inf. Kuncoro, dan
peleton-peleton sukwan PKI.
Lettu
Inf. Dul Arief yang bertindak sebagai pimpinan pasukan Pasopati segera
mengumpulkan pasukan dalam formasi yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
sebagai berikut :
a) Pasukan
yang ditugasi menculik Jendral TNI A.H. Nasution di bawah pimpinan Pelda
Djahurup, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan lebih kurang satu kompi
pasukan bersenjata dan satu peleton sukwan PKI.
b) Pasukan
yang ditugasi menculik Letjen TNI A. Yani di bawah pimpinan Peltu Mukidjan,
anak buah Kolonel Inf. A. Latief, dengan kekuatan lebih kurang satu kompi
pasukan bersenjata dan dua regu Sukwan PKI.
c) Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjen TNI Soeprapto di bawah pimpinan Serda Sulaiman,
anak buah Letkol Inf. Untung, dengan
kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan
PKI.
d) Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjen TNI S. Parman di bawah pimpinan Serma Satar, anak
buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan
bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
e) Pasukan
yang ditugasi menculik Mayjen TNI Haryono M.T.
dipimpin oleh Serma Bungkus, anak buah Letkol Inf. Untung, dengan
kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan bersenjata dan kelompok sukwan PKI.
f) Pasukan
yang ditugasi menculik Brigjen TNI Sutojo S. di bawah pimpinan Serma Surono,
anak buah Letkol Inf. Untung, dengan kekuatan lebih kurang satu peleton pasukan
bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
g) Pasukan
yang ditugasi menculik Brigjen TNI D.I. Pandjaitan di bawah pimpinan Serda
Sukardjo, anak buah Kapten Inf. Kuntjoro, dengan kekuatan lebih kurang satu
peleton pasukan bersenjata dan satu kelompok sukwan PKI.
2)
Pasukan
Bima Sakti
Kekuatan
bersenjata yang dialokasikan kepada pasukan Bima Sakti terdiri atas satu
batalion Infantri (minus) dipimpin oleh Mayor Inf. Bambang Supeno, dan satu
Batalion Infanteri (minus) yang dipimpin oleh Kapten Inf. Kuntjoro, empat
batalion sukwan PKI, dan satu kompi Infanteri (plus) pimpinan Kapten Inf.
Suradi, berasal dari Brigif pimpinan Kolonel Inf. A. Latief. Pasukan Bima Sakti
ini dipimpin oleh Kapten Inf. Suradi,
bertugas pokok menguasai kota Jakarta yang telah dibagi menjadi enam sektor,
yaitu :
a) Sektor
Jakarta Pusat/Kompleks Istana Kepresidenan,
b) Sektor Jatinegara,
c) Sektor
Senen dan Kemayoran,
d) Sektor
Tanjung Priok,
e) Sektor
Kebayoran Lama, dan
f) Sektor
Grogol.
Sejak
dini hari, Jumat tanggal 1 Oktober 1965 pasukan Bima Sakti telah menduduki dan
menguasai objek-objek vital dan daerah-daerah penting di sekitar lapngan
Monumen Nasional. Di antara objek-objek vital yang dianggap penting sebagai
sarana penyiaran kegiatan Gerakan 30 September adalah gedung Studio RRI Jakarta
di Jalan Merdeka Barat. Jakarta Pusat, dan gedung Telekomunikasi di Jalan Merdeka
Selatan, Jakarta Pusat.
3)
Pasukan
Gatotkaca
Kekuatan
bersenjata yang tergabung dalam pasukan Gatotkaca terdiri atas satu batalioon
pimpinan Mayor Udara Soejono dan pasukan-pasukan sukwan dan sukwati PKI.
Pasukan ini di bawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno berkedudukan di
basis gerakan Lubang Buaya. Satuan ini berfungsi sebagai pasukan cadangan yang
bertugas menampung tawaran hasil penculikan serta melakanakan pembunuhan dan
penguburan korban-korban penculikan. Tugas tambahannya ialah mengerjakan tugas-tugas
yang diperintahkan oleh Mayor Udara Sujono dalam kedudukannya sebagai perwira
logistik bagi kepentingan seluruh gerakan.
Sukwan dan Sukwati
PKI yang bergabung dalam pasukan
Gatotkaca terdiri atas anggota-anggota PR dan Gerwani yang pernah mendapat
latihan di Lubang Buaya dengan kekuatan 2000 orang. Pada tanggal 30 September
1965, setelah mengikuti pengarahan yang diberikan oleh Letkol Inf. Untung.
Mayor Udara Gathut Soekrisno selaku pimpinan pasukan lalu mengumpulkan
anggotanya dan berpidato mengorbarkan kebencian terhadap apa yang mereka sebut
penghalang dan penyeleweng revolusi, yaitu “Dewan Jendral” yang akan merebut
kekuasaan dari Presiden Soekarno.
b.
Aksi
Penculikan
1)
Usaha penculikan terhadap Jendral TNI
A.H. Nasution
Pasukan yang ditugasi menculik Jendral TNI
A.H. Nasution di bawah pimpinan Pelda Djahurup dengan berkendaraan truk
berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 menuju
kediaman Jendral A.H. Nasution di jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta, mereka
membunuh pengawal yang bertugas di tempat kediaman kediaman Dr. Leimena, yaitu
Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun.
Ibu
Nasution ketika mengetahui ada sejumlah
orang bersenjata masuk secara paksa ke dalam rumah segera mengunci pintu
kamar dan memberitahu Jendral TNI A.H. Nasution tentang datangnya orang-orang
berseragam yang mungkin bermaksud tidak baik. Bapak Nasution kurang yakin akan
eterangan Ibu Nasution dan segera membuka pintu kamar. Ketika melihat pintu
dibuka, anggota penculik segera melepaskan tembakan ke arah Jendral TNI A.H.
Nasution. Seketika itu beliau menjatuhkan diri ke lantai, dan Ibu Nasution
cepat-cepat menutup dan mengunci pintu kamar
kembali. tembakan pasukan penculik diarahkan langsung ke daun pintu kamar.
Sementara
itu Ade Irma Suryani, puttri bungsu Jendral TNI A.H. Nasution yang masih
berumur 5 tahun, oleh pengasuhnya dilarikan ke luar kamar dengan maksud hendak
diselamatkan, tetapi baginya, seorang penculik melepapaskan tembakan otomatis
dan mengenai Ade Irma Suryani. Jendral TNI A.H. Nasution didorong oleh Ibu
Nasution untuk keluar dari kamar melalui pintu menuju ke pagar tembok. Sambil
menggendong Ade Irma Suryani yang terluka, Ibu Nasution menghadapi para
penculik yang sudah berada di ruang tengah. Sementara itu, dengan memanjat
tembok samping rumah, Jendral TNI A.H. Nasution berhasil menyelamatkan diri.
Salah
seorang ajudan Jendral TNI A.H. Nasution, yakni Lettu Czi. Piere Andrea Tendean
yang pada malam itu menginap di paviliun, terbangun karena kegaduhan di luar
kamar. Ia keluar untuk memeriksa apa yang terjadi, tetapi ia ditangkap oleh
gerombolan penculik dan diseret ke salah satu kendaraan Pasukan penculik
kemudian meninggalkan tempat dan kembali ke Lubang Buaya.
2) Penculikan
terhadap Letjen TNI A. Yani
Pasukan
yang bertugas menculik Men/Pangad Letjen TNI A. Yani dipimpin oleh Peltu
Mukidjan berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul
03.00. setiba di rumah Letjen TNI A. Yani di jalan Latuharhary Nomor 6 Jakarta,
beberapa anggota penculik segera masuk ke pekarangan rumah. Regu pengawal yang
ama sekali tidak menaruh curiga atas kedatangan mereka, seketika itu juga
dilucuti. Sebagian pasukan penculik menuju kediaman Letjen A. Yani dan mengetuk
pintu yang dibukakan oleh seorang pembantu rumah tangga. Ibu Yani malam itu
sedang berada di kediaman resmi Men/Pangad di Taman Suropati. Sementara itu
putri kedua Letjen TNA A. Yani terbangun mendengar adanya keributan, tetapi
tidak berani keluar dari kamar. Yang keluar dari kamarnya adalah putra beliau
yang berusia 11 tahun, yang segera membangunkan ayahnya. Letjen TNI A. Yani pun
segera keluar.
Salah
seorang anggota pasukan penculik menyampaikan berita bahwa beliau dipanggil
Presiden. Ketika beliau menjawab bahwa hendak mandi dan berpakaian lebih
dahulu, maka salah seorang anggota penculik mengatakan, “Tidak usah”, sambil mendorongkan senjatanya. Melihat sikap kurang
ajar anggota penculik tersebut beiau sangat marah dan memukulnya hingga jatuh,
beliau membalik hendak menutup pintu kaca yang menghubungkan ruang belakang
dengan kamar makan, tetapi seketika itu juga Serda Gijadi, salah seorang
anggota pasukan penculik, menembak beliau dari belakang dengan senjata Thomson
dan tujuh butir peluru menembus tubuh beliau sehingga roboh.
Praka
Wagimin menyeret Letjen TNI A. Yani yang berlumuran darah itu keluar kediaman
dan dimasukkan ke dalam salah satu kendaraan. Selanjutnya, mereka berangkat
menuju Lubang Buaya.
3) Penculikan
terhadap Mayjen TNI Soeprapto
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjen TNI Soeprapto dipimpin oleh Serda Sulaman berangkat
dari Lubang Budaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00. pasukan
penculik memasuki halaman rumah Mayjen TNI Soeprapto di Jalan Besuki Nomor 19.
Jakarta dan mengetuk pintu. Mayjen TNI Soeprapto terbangun dan setelah pasukan
penculik menyatakan dari Tjakrabirawa, beliau keluar dari kamarnya dan membuka
pintu ruangan depan. Di teras sudah menunggu beberapa orang pasukan pencuik.
Serda Sulaiman, komandan pasukan penculik mengatakan bahwa Mayjen TNI Soeprapto
diperintahkan untuk menghadap Presiden Soekarno dengan segera. Oleh beliau mereka diperintahkan
menunggu karena akan berganti pakaian terlebih dahulu. Para penculik
melatarangnya dengan kasar, bahkan mendorong serta memaksanya keluar. Beberapa
orang penculik memegangi tangannya dan menaikkannya dengan paksa ke dalam
sebuah truk yang telah tersedia. Pasukan penculik meninggalkan tempat itu
dengan membawa Mayjen TNI Soeprapto menuju ke Lubang Buaya.
4) Penculikan
terhadap Mayjen TNI S. Parman
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjen TNI S. Parman dipimpin oleh Serma Satar,
berangkat dari Lubang Budaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00.
setiba di kediaman Mayjen TNI S. Parman di Jalan Samsurizal Nomor 32, Jakarta,
mereka memasuki pekarangan rumah dengan melompat pagar. Karena keributan itu,
Mayjen TNI S. Parman terbangun dan menduga ada perampokan di rumah tetangganya.
Beliau keluar dari kamar dengan maksuduntuk memberi bantuan. Ketika membuka
pintu ruang depan, di luar telah menunggu para penculik yang mengatakan bahwa
beliau diperintahkan untuk menghadap Presiden Soekarno. Beliau mengatakan akan
memenuhi panggilan tersebut dan kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dua
orang penculik mengikutinya dari belakang dengan sangkur terhunus. Beliau minta
agar mereka menunggu saja di ruang tengah, tetapi tidak diindahkannya.
Ibu
S.Parman mulai curiga akan tingkah laku mereka yang demikian kasar. Beliau
menanyakan surat perintah panggilan dari Istana Presiden. Seorang di antara
mereka menjawab bahwa surat perintah tersebut ada pada Pelda Yanto di luar.
Usaha Ibu S. Parman untuk melihat surat perintah tersebut tidak berhasil karena
surat perintah itu memang tidak pernah ada. Bahkan, beliau ditodong dengan
sangkur. Dengan berpakaian lengkap, Mayjen TNI S. Parman keluar kamar. Sambil
melangkah, beliau meminta Ibu S. Parman agar menelpon Letjen TNI A. Yani, untuk
melaporkan kejadian tersebut. ternyata kabel telepon sudah diputus. Mayjen TNI
S. Parman dimasukkan ke dalam kendaraan pasukan penculik dan dibawa ke Lubang
Buaya.
5) Penculikan
terhadap Mayjen TNI Haryono M.T.
Pasukan
yang bertugas menculik Mayjen TNI Haryono M.T. dipimpin oleh Serma Bungkus
berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00.
setibanya di kediaman Mayjen TNI Haryono M.T. di jalan Prambanan Nomor 8,
Jakarta, Serma Bungkus memberitahu Ibu Haryono
bahwa Bapak dipanggil oleh Presiden. Ibu Haryono yang menemui para
penculik tidak menaruh curiga sama sekali, kemudian menyampaikannya kepada
Mayjen TNI Haryno M.T. yang masih berada di kamar tidur. Beliau merasa curiga
dan melalui Ibu Haryono, beliau memerintahkan agar mereka itu datang lagi
sekitar pukul 08.00. Serma Bungkus memaksa agar beliau berangkat pada malam itu
juga. Karena menyadari adanya sesuatu tidak wajar, beliau menyuruh istri serta
putra-putranya pindah ke kamar sebelah. Sementara itu, Serma Bungkus dan
beberapa anggota berteriak meminta beliau untuk segera keluar.
Oleh
karena beliau tidak memenuhi permintaan tersebut, mereka melepaskan tembakan ke
pintu yang terkunci. Pintu terbuka dan mereka memasuki kamar tidur. Pada saat
itu beliau berusaha merebut senjata salah seorang anggota pasukan penculik,
tetapi gagal dan bersamaan dengan itu beliau ditusuk beberapa kali dengan
sangkur. Beliau roboh bermandikan darah dan kemudian diseret ke luar rumah dan
dimasukkan ke dalam sebuah truk yang telah tersedia. Salah seorang putra
bungsunya yang mengikuti pasukan penculik itu menyeret ayahnya ke luar, dipukul
dengan popor senjata hingga terjatuh. Pasukan penculik kemudian membawa Mayjen
TNI Haryono M.T. menuju ke Lubang Buaya.
6) Penculikan
terhadap Brigjen TNI Sutojo S.
Pasukan
yang bertugas menculik Brigjen TNI Sutojo S, dipimpin oleh Serma Surono
berangkat dari Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00.
sebagian anggota penculik memasuki bagian
belakang rumah kediaman beliau di jalan Sumenep Nmor 17, Jakarta melalui
garasi sebelah kanan. Dengan todongan sangkur mereka meminta kepada pembantu
rumah tangga untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju ke kamar tengah. Setelah
membuka pintu, para penculik menerobos masuk dan mengatakan kepada Brigjen TNI
Sutojo S. bahwa beliau dipanggil Presiden. Kemudian para penculik membawa
beliau dengan paksa ke Lubang Buaya.
7) Penculikan
terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan
Pasukan
yang bertugas menculik Brigjen TNI D.I. Panjaitan dipimpin oleh Serda Sukardjo
berangkat dari Lubang Buaya pada tangggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 03.00.
para penculik membuka pintu kediaman Brigjen TAN D.I. Panjaitan di Jl.
Hasanuddin Nomor 53 Jakarta dengan paka, kemudian menembak dua Jakarta dengan
paksa, kemudian menembak dua orang keponakan beliau yang sat itu sedang tidur
di lantai atas. Salah seorang di antaranya tewas. Setelah itu para penculik
berteriak memanggil Brigjen D.I. Panjaitan supaya keluar, untuk menghadap Presiden.
Semula beliau tidak mau keluar, tetapi karena adanya ancaman para penculik,
yang akan membunuh seisi rumah kalau beliau tidak mau kelua, maka beliau
kemudian keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan mengenakan pakaian
seragam.
Setiba
di halaman, beliau tidak dapat menahan amarahnya atas sikap para anggota
pasukan penculik terhadapnya. Beliau dipukul dengan popor senjata hingga jatuh.
Pada saat itu juga dua orang anggota penculik yang menembaknya dengan senjata
otomatis.
Brigjen
TNI D.I. Panjaitan gugur pada saat itu juga dan jenazahnya dimasukkan ke dalam
salah satu kendaraan yang telah disiapkan. Sementara itu, seorang anggota
polisi berpangkat Agen Polisi (Bharada) karena mendengar letusan senjata api,
mendatangi tempat kejadian. Setibanya di tempat kejadian ia langsung ditangkap
oleh para penculik dan ikut di bawa ke Lubang Buaya.
c.
Konsolidasi
Pelaksanaan Penculikan
1) Penyerahan
Hasil Penculikan
Seluruh
korban penculikan dibawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada
pasukan Gatotkaca. Lettu Inf. Dul Arief selaku pimpinan pasukan Pasopati segera
meninggalkan Lubang Buaya sekitar pukul 06.30 menuju Cenko I di gedung Penas
untuk melaporkan hasil penculikan serta lolosnya Jendral TNI A.H. Nasution dari
usaha penculikan tersebut. hadir pada
saat pelaporan itu para pimpinan pelaksana Gerakan 30 Seotember, yakni Sjam,
Pono, Kolonel Inf. A. Latief, Letkol Inf. Untung, Letkol Udara Heru Atmodjo,
dan Mayor Udara Sujono.
Beberapa
saat kemudian datang Brigjen TNI Soepardjo, Mayor Inf. Soekirno, dan Mayor Inf.
Bambang Soepeno. Ketiga perwira ini bersama Letkol Udara Heru Atmodjo, kemudian
atas perintah Sjam berangkat ke Istana Merdeka untuk melapor dan menjemput
serta membawa Presiden Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
2) Penyiksaan
dan Pembunuhan
Sesuai
dengan fungsinya sebagai komandan pasukan cadangan, Mayor Udara Gathut
Soekrisno telah menyusun kedudukan pertahanan Kepada satuan-satuan dibagikan
peralatan dan erlengkapan berupa pakaian dan senjata. Oleh karena senjata yang tersedia
dianggap belum mencukupi, Mayor Udara Gathut Soekrisno memerintahkan Serma
Udara Maoen membongkar dengan paksa gudang senjata milik Korud V yang terletaj
di Mampang Prapatan. pembongkaran dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul
02.30.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 sekita pukul 05.30 pasukan Gatotkaca di bawah pimpinan
Mayor Udara Gathut Soekrisno menerima penyerahan hasil-hasil penculikan dari
pasukan Pasopati. Sementara itu sejak sekitar pukul 05.00 para sukwan PKI yang
di antaranya terdapat para sukwati Gerwani, menunggu datangnya kendaraan yang
membawa para korban penculikan, di dekat sebuah sumur tua di basis gerakan
mereka di daerah Lubang Buaya. Korban penculikan terdiri atas empat orang yang
matanya ditutup dengan kain merah dengan kedua belah tangannya diikat ke
belakang, serta tiga orang lainnya lagi dalam keadaan meninggal.
Keempat
orang yang masih hidup itu disiksa sehingga akhirnya meninggal. Selanjutnya
para sukwan PKI melemparkan korban-korban itu ke dalam sumur. Sumur itu
ditimbun dengan sampah dan tanah yang kemudian di atasnya ditanami pohon pisang
untuk menghilangkan jejak.
2.
Di
Jawa Barat
Dengan
dihancurkannya Gerakan 30 September di Jakarta, maka pada pada tanggal 5
Oktober 1965, Ismail Bakri dan kawan-kawan menilai bahwa Gerakan 30 September
di Jawa Barat telah gagal sehingga markas di Bandung harus ditinggalkan,
setelah semua dokumen dibakar. Kepada anggota CDP PKI Jawa Barat
diperintahkannya untuk memimpin konsolidasi di daerah-daerah. Di daerah ini PKI
hanya sempat membentuk Dewan Revousi untuk Jawa Barat yang berkedudukan di
daerah Banten. Walaupun Banten termasuk daerah administrasi Propinsi Jawa
Barat, tetapi menyimpang dari kelaziman, PKI secara khusus telah membentuk CDB
tersendiri yang diketuai oleh Suryaatmdja. CDB Banten ini meliputi
kabupaten-kabupaten Serang, Pandeglang, Rangkasbitung, dan Tanggerang. Oleh
karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1965, secara khusus Sudisman telah mengutus
Dahlan Rivai meneruskan perintah CC PKI agar Letkol Inf. Pratomo membentuk
Dewan Revolusi Kabupaten Pandeglang dengan anggota yang terdiri atas
tokoh-tokoh yang menurut penilaian PKI dapat bekerja sama dengan mereka.
Pada petang harinya
Letkol Inf. Pratomo bersama-sama dengan tokoh-tokoh PKI setempat telah
membentuk Dewan Revolusi Kabupaten Pandeglang yang diketuainya sendiri. Dalam
usahanya untuk membentuk Dewan Revolusi di daerah-daerah Letkol Inf. Pratomo
memanfaatkan jabatannya sebagai Komandan Kodim Pandeglang untuk memerintahkan
anggota-anggotanya agar mendirikan Dewan Revolusi di daerah wewenangnya
masing-masing.
Pada tanggal 2
Oktober 1965 sesudah Gerakan 30 September gagal, maka untuk menghilangkan
jejaknya dalam pembentukan Dewan Revolusi, Letkol Inf. Pratomo pada pagi itu
juga berupaya mendirikan apa yang disebut Koordinator Keamanan Kabupaten
Pandeglang. Ternyata usaha tersebut gagal sehingga ia harus melarikan diri dan
bergabung dengan “basis revolusi” PKI di Blitar Selatan.
3.
Di
Jawa Tengah
a. Semarang
Pada tanggal 1
Oktober 1965, sekitar pukul 07.30 Pangdam VII/Diponegoro, Brigjen TNI
Surjosumpeno, setelah mendengar pengumuman dari Gerakan 30 September melalui
siaran RRI Jakarta, segera mengadakan rapat staf yang dihadiri oleh para
pimpinan daerah, yaitu Gubernur, Pangdak, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan,
dan Ketua Front Nasional. Dari Staf Kodam sendiri yang tidak hadir ialah
Kolonel Inf. Sahirman, As I/Intel, dan Kolonel Inf. Marjono , As III /Pers,
sedangkan Letkol Inf. Usman Usman Sastrodibroto, As V/Ter menghadiri rapat ini
dengan berpakaian dinas lapangan (PDL) dan bersenjata. Dalam pengarahannya,
Pangdam VII /Diponegoro untuk mengumumkan kepada rakyat agar tetap tenang,
sedangkan Panglima sendiri segera berangkat ke Magelang dan Salatiga untuk memberikan
pengarahan yang sama.
Pada tanggal 1
Oktober 1965, saat Pangdam VII/Diponegoro sedang menuju Salatiga, sekitar pukul
13.00 Kolonel Inf. Sahirman menyiarkan pengumuman melaui RRI Semarang yang
menyatakan dukungannya terhadap Gerakan 30 September dan dibentuknya Dewan
Revolusi Daerah Jawa Tengah. Ia sendiri menjadi Ketua Dewan Revolusi Daerah
tersebut. dengan pengumuman itu, Kolonel Inf. Sahirman jelas merupakan pimpinan
Gerakan 30 September di daerah Jawa Tengah. Pengumuman itu disusul oleh Keputusan
Nomor I, yang menyatakan bahwa ia mengangkat Letkol Inf. Usman
Sastrodibroto sebagai “pimpinan Kodam
VII/Diponegoro baru mengetahui adanya pengumuman Dewan Revolusi Jawa Tengah itu
ketika tiba di Salatiga. Di Salatiga pun
terjadi gerakan yang menahan Komandan Korem 073/Makutarama, Kolonel Inf.
Sukardi. Oleh karena itu, Panglima segera kembali ke Semarang.
Di Semarang, Pangdam
VII/Diponegoro mendapati markas komandonya telah diduduki pihak pemberontak.
Sekitar pukul 14.00 Panglima segera kembali ke tempat kediaman resminya untuk
menghindari penangkapan oleh pasukan pemberontak. Di sana, Panglima baru
memperoleh gambaran yang jelas mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam
komandonya, tetapi tetap belum dapat mengetahui siapa kawan dan siapa lawan di antara
perwira-perwiranya. Pada tanggal 2 Oktober 1965, sekitar pukul 02.00, Pangdam
VII/Diponegoro memerintahkan Kolonel Inf. Sahirman untuk datang ke kediamannya. Kolonel Inf. Sahirman menolak
perintah tersebut, tetapi berjanji akan datang pada pagi hari bersama
kawan-kawannya.
Memenuhi saran yang
diberikan oleh Perwira Stafnya yang loyal, termasuk Letkol Inf. Suprapto yang
telah kembali dari Sala, Pangdam VII/Diponegoro pada tanggal 2 Oktober 1965
dini hari berangkat ke Magelang. Sesampainya di Magelang sekitar pukul 05.30
Panglima memerintahkan kepada Dan Yon Kavaleri 2 Magelang, Letkol Kav. Yasin
Husein, bergerak bersama-sama menuju ke Semarang. Pada hari itu juga Semarang
dapat dikuasai kembali, sedangkan tokoh-tokoh PKI melarikan diri dan terbunuh.
Namun, sebelumnya, pada tanggal 2 Oktober 1965 itu juga sekitar pukul 06.00
pagi, melalui RRI Semarang, Kolonel Inf. Sahirman telah sempat menyiarkan
pengumuman Nomor: Peng-2/Gerak 30 Sept/1965, yang isinya tidak lain adalah
isu-isu yang telah disusun oleh CC PKI/Biro Khusus PKI. Isi pengumuman itu
adalah sebagai berikut :
1)
Bahwa di daerah-daerah tingkat II
(kabupaten) di Jawa Tengah telah dilancarkan gerakan pembersihan terhadap
pengikut-pengikut gerakan dan simpatisan-simpatisan “Dewan Jendral”, begitu
juga di daerah Istimewa Yogyakarta,
2)
Bahwa kejahatan-kejahatan “Dewan
Jendral” yang mematuhi perintah-perintah Badan Intelijen Amerika (CIA) dan
tingkah laku mereka yang suka hidup mewah dan berfoya-foya di atas penderitaan
rakyat telah membangkitkan rasa jijik dan kemarahan di kalangan massa tamtama,
bintara, dan perwira yang sangat meluas dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro dan
masyarakat pada umumnya,
3)
bahwa sejak beberapa lama
pengikut-pengikut “Dewan Jendral” telah menyatukan kegiatan-kegiatan mereka
dengan anasir-anasir kontra Revolusioner lainnya di Jawa Tengah dan memadukan
kegiatan teror dengan pengacau ekonomi dalam rangka persiapan untuk melancarkan
kudeta kontra–revolusioner lainnya di Jawa Tengah dan memadukan kegiatan teror
dengan pengacau ekonomi dalam rangka persiapan
untuk melancarkan kudeta kontra-revolusioner secara nasional.
4)
Bahwa langkah-langkah yang diputuskan
oleh komando Gerakan 30 September pusat untuk memberikan kenaikan pangkat
secara menyeluruh kepada para tamtama dan bintara, serta penyederhanaan tingkat
kepangkatan dalam TNI-AD telah mendapat sambutan hangat dari seluruh anggota
Kodam VII/Diponegoro, dan
5)
Atas dasar instruksi komando Gerakan
30 September Pusat itu, di Jawa Tengah dinyatakan berlakunya kenaikan pangkat
tersebut sejak dikeluarkannya instruksi komando Gerakan 30 September Pusat.
b. Di Surakarta dan Wonogiri
Pada tanggal 1
Oktober 1965 pagi hari, Joseph Rabidi
alias Tobing —Kepala Biro Khusus PKI Sala— bersama rekannya dari Semarang,
bernama Darsono menemui Mayor Inf. Kaderi, seorang perwira yang telah dibina
oleh Slamet Giri alias Sorojudo dan oleh Djojo Pratjedo, Kepala Biro Khusus PKI
untuk daerahSurakarta. Darsono membawa surat dari Kepala Biro Khusus Sudarmo
yang berisi permintaan kepada Mayor Inf. Kaderi, Dan Yon “K”, Brigif-6 Sala
agar membawa pasukan ke Semarang. Sepanjang hari itu Josep Rahidi alias Tobing
berama seorang anak buahnya yang bernama Kirman alias Kirmani alias Ting Lie
mendatangi perwira-perwira lainnya yang telah dibinanya. Joseph Rabidi membawa
surat dari Djojo Pratjedo yang isinya mendesak perwira-perwira yang telah
dibinanya itu untuk mendukung Gerakan 30 September dengan suatu gerakan diSala.
Para perwira tersebut pada prinsipnya setuju. Akan tetapi, pada waktu Joseph
Rabidi menyodorkan kepada mereka konsep dokumen yang isinya mendukung Gerakan
30 September di Sala dan meminta supaya mereka menandatanganinya, tak
seorangpun yang berani mengambil tanggung jawab. Letkol Inf. Iskandar, seorang
Pamen Kodam II/Bukit Barisan, yang menjelang 1 Oktober 1965 kembali ke Sala
dengan alasan cuti, bersedia menandatangani dokumen tersebut. pernyataan
dukungan terhadap Gerakan 30 September tersebut kemudian disiarkan melalui RRI
Sala.
Dalam pada itu,
Walikota Sala, Oetomo Ramelan, seorang tokoh PKI mengumumkan dukungannya kepada
Gerakan 30 September dalam kedudukannya sebagai Ketua Front Nasional Sala.
Pengumuman dukungan tersebut juga ditandatangani oleh Sekretaris Front Nasional
Sala. S.K. Wirjono yang menjadi anggota PKI. Sementara itu, di Wonogiri
pertemuan organisasi-organisasi massa PKI, seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, dan
Lekra mengeluarkan resolusi mendukung Gerakan 30 September dan Dewan Revolusi.
Pada hari itu di rumah Bupati Wonogiri, Brotopranoto diadakan rapat Front
Nasional yang dipimpin oleh Bupati sendiri dan dihadiri oleh Mayor Inf. Suroso.
Pertemuan tersebut berhasil membentuk Dewan Revolusi dengan Mayor Inf. Suroso,
sebagai Ketuanya, dan Bupati sebagai Wakil Ketua, sedangkan peserta rapat
lainnya sebagai anggota.
Pada tanggal 4
Oktober 1965 pimpinan PKI Sala mengadakan pertemuan dengan dua orang anggota
CDB Jawa Tengah, yang dihadiri juga oleh Oetomo Ramelan, untuk membentuk
Komando Wilayah (Korwil). Menurut mereka komando tersebut harus terbentuk juga
di daerah lain. Setiap Korwil memiliki
suatu task force yang
dinamakan Kelompok Kerja Inti (KKI). Rapat juga memutuskan agar Suranto, Ketua
PR Sala, mempersiapkan para anggota PR agar setiap saat dapat dikerahkan. PR
mempunyai pasukan inti yang dinamakan Regu Kerja Pemuda (RKP).
Pada tanggal 21
Oktober 1965 yaitu sehari setelah dibekukannya PKI oleh Pangdam VII/Diponegoro,
SOBSI melakukan pemogokan di pabrik tembakau Klaten. Hari-hari berikutnya
pengikut-pengikut PKI menempatkan rintantangan-rintangan di sepanjang jalan
dari Tegalrejo ke Delangu dan beberapa jalan lainnya di sekitar
Gondangwinangun, Sukoharjo, dan Boyolali. Mereka juga melucuti senjata polisi
di Pos Polisi Manisrenggo
Pada tanggal 23
Oktober 1965, PKI mulai melakukan teror dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh
golongan nasionalis dan agama, baik yang berada di dalam maupun di sekitar kota
Sala. Kawat-kawat telepon, antara Boyolali, Sala, Wonogiri dan Tawangmangu
mereka putuskan. Namun, karena rakyat ternyata tidak mendukung PKI, akhirnya
PKI sama sekali tidak mampu untuk melakukan perlawanan.
4.
Di
Daerah Istimewa Yogyakarta
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 pagi, setelah mendengar pengumuman dari Gerakan 30
September melalui RRI Jakarta, Dan Rem 072/Pamungkas, Kolonel Inf. Katamso,
segera mengumpulkan stafnya dan memberikan pengarahan tentang situasi. Dalam
pengarahannya yang dilakukan sekitar pukul 09.00 itu, Kolonel Inf. Katamso
menyatakan bahwa ia tidak mau percaya kepada apa yang dikatakan oleh Gerakan 30
September dan komandonya akan tetap loyalkepada Presiden Soekarno. Kolonel Inf.
Katamso juga melarang pers dan radio menyiarkan informasi-informasi yang
bersumber dari gerakan tersebut.
Pada
siang harinya Kolonel Inf. Katamso mendengarkan pengumuman Gerakan 30 September
Jawa Tengah dari RRI Semarang. Setelah itu ia mengumpulkan stafnya sekitar pukul 14.00 untuk menyampaikan
apa yang diketahuinya mengenai perkembangan keadaan di Jakarta dan Semarang,
yaitu bahwa Gerakan 30 September telah membentuk Dewan Revolusi. Kolonel Inf.
Katamso sekali menegaskan pendiriannya
bahwa gerakan di Jakarta dan Semarang itu merupakan pemberontakan, oleh karena
itu, ia tidak mau berhubungan dengan mereka.
Perkembangan
situasi berikutnya ialah bahwa Wirjomartono kemudian mendeak Mayor Inf. Moeljono
untuk segera membentuk Dewan Revolusi di daerah Istimewa Yogyakarta dan
mengangkat dirinya sebagai Ketua. Untuk melakukan ini Mayor Inf. Moeljono harus
segera menyingkirkan Dan Rem 072/Pamungkas, Kolonel Inf. Katamso.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 18.00 Mayor Inf. Wisnuradji memerintahkan
anak buahnya, Peltu Soenardi, untuk
menculik Kolonel Inf. Katamso dari kediamannya dan juga mengambil Kepala
Stafnya, Letkol Inf. Soegijono, dari Markas Korem 072/Pamungkas. Kedua orang
tersebut dibawa ke sebuh lubang yang sudah disiapkan dan para pembunuh telah
siap menunggu. Kedua perwira tersebut dijerat dengan kawat dan kemudian dipukul
kepalanya dengan kaki mortir. Keduanya kemudian dikubur bersama dalam satu
lubang.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 malam hari, Wirjomartono mengadakan rapat dengan
kawan-kawannya bertempat di markas Korem yang telah mereka kuasai. Rapat ini
dihadiri oleh Mayor Inf. Moeljono dan Mayor Inf. Wisnuradji. Selaku Pemimpin
Biro Khusus PKI YogyakartaWirjomartono mendiskusikan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Jakarta dan tindakan-tindakan apa yang segera diambil di Yogyakarta.
Selesai
rapat, Mayor Inf. Moeljono menandatangani pengumuman pertama dari Gerakan 30
September di Yogyakarta yang memberitahukan kepada rakyat bahwa Dewan Revolusi
telah terbentuk. Pengumuman ini disiarkan oleh RRI Yogyakarta yang mereka
kuasai. Selanjutnya, disusul oleh pengumuman-pengumuman yang lain, salah satu
di antaranya Pengumuman nomor : 3/10/1965 yang disiarkan tanggal 2 Oktober
1965. Pengumuman ini menyiarkan pelaksanaan Gerakan 30 September di Jakarta,
disertai isu yang seolah-olah direstui oleh Presiden Soekarno. Pengumuman
tersebut disusun oleh D.N. Aidit sendiri dan diserahkan kepada Wirjomartono
ketika D.N. Aidit tiba di Yogyakarta pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi hari.
Kemudian, Wirjomartono menyerahkannya kepada Mayor Inf. Moeljono.
Sementara
itu, pada tanggal 2 Oktober 1965 itu juga, Parsidi seorang anggota Comite Seksi
Kota provinsi (CS Kopro) PKI Yogyakarta memimpin demonstrasi yang mendukung
Dewan Revolusi. Demonstrasi itu benar-benar demonstrasi PKI karena pengikutnya
terdiri atas anggota-anggota SOBSI, CGMI, dan IPPI.
Pada
tanggal 3 Oktober 1965, setelah terbukti Gerakan 30 September menemui kegagalan
di mana-mana, Wirjomartono menemui Mayor Inf. Moeljono dan mendesaknya agar
tetap mempertahankan kedudukannya dalam gerakan di Yogyakarta. Akan tetapi,
Mayor Inf. Moeljono mulai ragu-ragu dan bersiap-siap untuk meninggalkan
Yogyakarta. Pada sore hari, tanggal 4 Oktober 1965, Wirjomartono mengumpulkan
lagi para pimpinan kudeta di Yogyakarta, yaitu Mayor Inf. Moeljono dan Mayor
Inf. Wisnuradji. Wirjomartono menganjurkan kepada kedua perwira itu untuk
menemui Pangdam VII/Diponegoro, jika beliau datang ke Yogyakarta dalam rangka
melantik pejabat Komandan Korem 072/Pamungkas yang baru dan agar para perwira
itu menjelaskan kepada Pangdam VII/Diponegoro tentang apa yang telah mereka
lakukan. Akan tetapi, pada sore hari berikutnya Wirjomartono mengubah
gagasannya itu dan menganjurkan kepada Mayor Inf. Moeljono untuk melarikan diri
dan bersembunyi di Sala. Wirjomartono menawarkan rumahnya sendiri untuk tempat
bersembunyi. Twaran itu diterima oleh Mayor Inf. Moeljono, tetapi karena merasa
tidak aman di sana, ia kemudian pindah ke sebuah desa di luar Boyolai dan
akhirnya tertangkap.
5.
Di
Jawa Timur
Pada
tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 09.00 setelah mendengar dimulainya
Gerakan 30 September, Rustomo segera mengirim kurir untuk menemui petugas Biro
Khusus PKI Malang, Jember, dan Madiun agar segera melaksanakan gerakan
bersenjata di daerah masing-masing. Di samping itu, Rustomo memerintahkan Peltu
Sudono untuk menyusun teks dukungan terhadap Gerakan 30 September dan
mengumumkannya melalui RRI Surabaya. Pengumuman tersebut dilaksanakan pada
tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 13.00 oleh Peltu Sudono sendiri melalui
RRI Surabaya yang telah diduduki dan dikawal oleh Kapten Inf. Kasmidjan bersama
pasukan bersenjatanya. Upaya menghadap Pangdam VIII/Brawijaya tidak terlaksana,
karena pada weaktu itu beliau sedang berada di Jakarta. Di samping itu,
kesatuan yang diharapkan dari luar Surabaya ternyata tidak ada.
Setelah
Rustomo pada tanggal 3 Oktober 1965 mengetahui bahwa Gerakan 30 September 1965
telah ditumpas oleh operasi-operasi pengamanan yang dilakukan oleh ABRI di
bawah pimpinan Mayjen TNI Soeharto, maka Rutomo dan kawan-kawannya menyadari
bahwa rencna gerakannya di Jawa Timur telah gagal. Oleh karena itu, pada
tanggal 6 Oktober 1965 Rustomo mengadakan rapat yang dihadiri oleh Soewardi
alias Djojo, Ketua CDB PKI Jatim. Di dalam rapat itu dibahas kegagalan gerakan
di Jatim yang telah dipersiapkan demikian matang. Rapat juga dihadiri oleh
Roeslan Widjajasastra dan Munir—anggota CC PKI—yang bertugas membantu CDB Jatim
menyiapkan dukungan terhadap Gerakan 30 September. Dalam hubungan itu, rapat
mengambil keputusan sebagai kosekuesi terhadap gerakan mereka dengan
tindakan-tindakan sebagai berikut :
a.
Mengerahkan massa PKI yang ada di
Surabaya untuk menjaga kantor CDB PKI dan kantor lainnya dari serbuan golongan agama,
dan
b.
Mengirim delegasi ke pejabat-pejabat
Pemerintah Daerah untuk mencari jalan keluar mengatasi situasi yang menjafi
tegang.
Karena
usaha itu tidak satu pun yang berhasil dilaksanakan dan satuan-satuan Kodam
VIII/Brawidjaja diikuti oleh massa mulai mengambil tindakan-tindakan terhadap
orang-orang PKI, maka Rustomo dan kawan-kawannya segera melarikan diri.
6.
Di
Sumatra Utara
Menurut
Perkiraan PKI akan tersedia sejumlah kekuatan militer untuk mendukung gerakan
dan PKI sendiri telah menyiapkan PR dan massa PKI di beberapa derah, antara
lain di Medan, Deli Serdang, Langkat, dan Simalungun. Lebih lanjut dalam rapat
ditetapkan bahwa Tanah Karo, Dairi, Langkat, dan Labuhan Batu akan menjadi
daerah pemunduran, jika keadaan memaksa. Hari-H DAN Jam-J dimulainya gerakan
akan ditentukan dari Jakarta dan tanggal 5 Oktober dijadikannya sebagai
ancar-ancar Komando dari Jakarta akan disampaikan melalui siaran-siaran RRI
Jakarta. Ketika Gerakan 30 September dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 1
Oktober 1965, ternyata PKI dan pendukung-pendukungnya tidak mampu melakukan
gerakan yang mereka inginkan, baik di Sumatra Utara pad umumnya maupun di kota
Medan pada khususnya.
Dengan
demikian, meskipun PKI telah merencanakan gerakan-gerakan di Sumatra Utara,
tetapi karena Gerakan 30 September yang dilaksanakan di Jakarta dengan tepat
dapat digagalkan, akhirnya tidak satu gerakan pun dapat dilaksanakannya.
7.
Di
Sumatra Barat
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 —setelah mereka mendengar siaran RRI Jakarta— Baharudin
Hanafi memimpin pertemuan dengan keputusan berikut :
1)
Pada tanggal 2 Oktber akan dicetuskan
gerakan di Sumatra Barat;
2)
Kolonel Sumedi ditugasi mengumumkan
dukungannya terhadap Dewan Revolusi. Kalau tidak ada, namanya akan dicantumkan;
dan
3)
Pasukan Yon 132 Ki Raiders Batusangkar
menunggu Lubuk Alung.
Rencana
gerakan tersebut gagal dilaksanakan sesudah mereka mendengar pengumuman bahwa
Jendral Soeharto berhasil menguasai keadaan. Para pimpinan pasukan ragu-ragu
dan takut menggerakkan pasukannya, sedangkan pimpinan PKI masing-masing
berusaha untuk menyelamatkan diri.
8.
Di
Riau
Rencana
gerakan tidak dapat dilaksanakan karena gagalnya Gerakan 30 September di
Jakarta. Abdullah Alihami dan Soetjipto serta tokoh-tokoh lainnya kemudian
melarikan diri. Dalam pelarian dan persembunyiannya Abdullah Alhami tetap
berikhtiar untuk meronrong Pemerintah dengan berbagai usaha dan kegiatan. Akan
tetapi, tidak satu pun dari semua rencana gerakan itu terlaksana hingga ia
tertangkap beserta tokoh-tokoh lainnya pada tanggal 27 Oktober 1967.
9.
Di
Bali
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 Wihadji dan Tamuri Hidayat mengadakan pertemuan dengan
tokoh-tokoh PKI, antara lain S. sardiono, Pudjo Prasetijo di Denpasar, serta
beberapa orang perwira pertama TNI-AD yang telah dibina oleh PKI. Rapat pada
pagi hari itu memutuskan untuk melakukan gerakan-gerakan dalam rangka mendukung
Gerakan 30 September.
Sasaran
gerakannya adalah menduduki tempat-tempat dan instalasi-instalasi vital di
Bali, seperti RRI, Postel, lapangan udara, dan objek-objek vital lainnya di
kota Denpasar. Juga diputuskan untuk melakukan penculikan terhadap
pejabat-pejabat sipil dan militer yang dianggap akan merintangi usaha mereka.
Pada kesempatan itu, mereka juga menyusun konsep personel Dewan Revolusi untuk
Bali. Konsep personel itu direncanakan akan diumumkan pada tanggal 2 Oktober
1965. Kegiatan-kegiatan PKI di Bali untuk melakukan rencana gerakan juga
dilaksanakan di kota Singaraja. Rencana gerakan mereka itu ternyata tidak dapat
dilaksanakan karena tidak mendapat dukungan yang nyata.
10.
Di Kalimantan
Selatan
Pada
tanggal 1 Oktober 1965, hari Jumat pagi, Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat,
Brigjen TNI Amirmachmud, setelah mendengar siaran RRI Jakarta yang menyiarkan
tentang Gerakan 30 September, segera memanggil semua anggota stafnya untuk membicarakan
dan membahas siaran Gerakan 30 September tersebut. pada hari itu, sesudah
dibahas secara mendalam, Pangdam X/Lambung Mangkurat berkesimpulan bahwa
Gerakan 30 September bukanlah persoalan intern TNI-AD, melainkan adalah suatu
kudeta. Amar Hanafiah, sekretaris I CDB PKI Kalimantan Selatan pada pagi hari
itu pula menyatakan bahwa Gerakan 30 September didukung oleh tokoh-tokoh di
Jakarta dan kepada Pangdam X/Lambung Mangkurat, Amar Hafiah menganjurkan dengan
nada mendesak agar Brigjen TNI Amirachmud jangan menoak keanggotaan Dewan
Revolusi dan di Kalimantan Selatan harus segera dibentuk Dewan Revolusi.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 15.00 waktu setempat, RRI Banjarmasin
telah menyiarkan penegasan Brigjen TNI Amirmachmud berikut :
a.
Brigjen TNI Amirmachmud beserta
jajaran Kodam X/Lambung Mangkurat tetap taat dan mematuhi perintah Paduka yang
Mulia Presiden/Panglima Tertinggi Bung Karno;
b.
Seluruh jajaran Kodam X/Lambung
Mangkurat agar tetap tenang dan waspada serta tetap tenang dan di posnnya masing-masing
dan waspada serta tetap di posnya masing-masing.
Pengumuman Brigjen
TNI Amirmachmud ini kemudian disusul instruksi Gubernur/KDH Kalimantan Selatan
Letkol Inf. H. Aberani Sulaiman kepada seluruh Kepala Daerah Tingkat II dan
Walikota Banjarmasin untuk tetap tenang dan berdiri di belakang PYM Presiden
Soekarno dan mengambil tindakan tegas terhadap pengkhianatan. Daerah Tingkat II
diharap selekasnya melaporkan keadaan daerah masing-masing. Pada tanggal 1
Oktober 1965 sekitar pukul 19.00 waktu setempat, Deputi Panglima Komando Antar
Daerah (Koanda) Malanda II Wilayah Kalimantan dalam perintah hariannya yang
ditandatangani oleh Kepala Staf Koanda Brigjen TNI Moenadi, di samping
menyatakan tetap setia dan berdiri di belakang Presiden/Panglima Tertinggi
ABRI, juga memerintahkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar :
a.
Hanya menaati perintah-perintah
melalui saluran hierarkhi dari atasan yang berhak dan berwenang, dan
b.
Segera mengambil tindakan tegas
terhadap anasir-anasir yang akan dapat mengacaukan keamanan pada umumnya.
Rakyat Kalimantan
Selatan yang selama ini dalam keadaan bingung dan tidak tahu apa yang terjadi,
dengan dikeluarkannya pernyataan dan perintah itu merasa lega. Bagi PKI sikap
tegas yang dinyatakan oleh Pangdam X/Lambung Mangkurat bukan hanya
menghilangkan harapannya untuk membentuk Dewan Revolusi, tetapi sekaligus
merupakan satu pukulan yang mematikan.
Pada tanggal 6
Oktober 1965, berbagai parpol dan ormas serta Sekber Golkar mengadakan
pertemuan dan pada akhir pertemuan menuntut agar PKI dibubarkan karena PKI dan
ormas-ormasnya adalah dalang dan pelaku Gerakan 30 September. Untuk memenuhi
tuntutan rakyat Kalimantan Selatan, Pepelrada Kalimantan Selatan pada tanggal
16 Desember 1965 mengeluarkan keputusan bahwa PKI dan ormas-ormasnya dinyatakan
bubar di seluruh Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan.
11.
Di
Nusa Tenggara Timur
Pada tanggal 1
Oktober 1965 dibuat konsep pembentukan Dewa Revolusi NTT dan konseptornya
adalah tahun P. Rissi, Sekretaris CDB PKI.
Pada tanggal 1
Oktober 1965 konsep itu diserahkan kepada Letkol Inf. Soetarmadji, perwira yang
sudah sejak lama dibna oleh PKI melalui R. Amir Tjipto Prawiro, Kepala Studio
RRI Kupang. Mungkin karena konsep itu dianggap terlalu jelas bahwa yang
menyusun adalah orang PKI, maka dapat dipastikan tidak akan mendapat sambutan
dari masyarakat. Karena itu, konsep itu akhirnya diubah oleh Letkol Inf.
Soetarmadji. Tokoh-tokoh daerah yang dimasukkan dalam susunan Dewan Revolusi
tidak semua mengetahuinya karena mereka itu memang tidak pernah dihubungi,
kecuali para anggota PKI dan simpatisannya.
Akhirnya, sesudah
rakyat NTT mendengar peristiwa di Jakarta dan sekaligus mengetahui bahwa Dewan
Revolusi merupakan gerakan yang mengkhianati perjuangan bangsa Indonesia dan
didalangi oleh PKI, maka kemarahan rakyat tidak dapat dibendung lagi. Pada
tanggal 10 Oktober 1965 rakyat beramai-ramai mencabut papan nama PKI di Kupang
dan menyerbu rumah-rumah para tokoh PKI.
Puncak dari
kemarahan rakyat diwujudkan dalam bentuk apel siaga pada tanggal 10 November
1965 bertempat di lapangan Merdeka Kupang yang dihadiri oleh ribuan massa
dengan tema menumpas Gerakan 30 September. Mayor Inf. Basir ditunjuk oleh
Pangdam XVI/Udayana sebagai Komandan Pemulihan Keamanan. Pangdam XVI/Udayana sebagai Komandan Pemulihan Keamanan.
12.
Kegiatan
PKI di Daerah Lain
Pada umumnya CDB dan
Biro Khusus PKI di daerah-daerah lain setelah mendengar siaran Gerakan 30 September
tersebut tidak berhasil melakukan kegiatan yang mendukung gerakan tersebut
karena tidak memperoleh dukungan seperti yang mereka harapkan. Kegagalan
Gerakan 30 September di daerah juga disebabkan oleh cepatnya Gerakan 30
September di Jakarta ditumpas oleh pasukan-pasukan Kostrad di bawah pimpinan
Mayjend TNI Soeharto.
B.
KEKACAUBALAUAN
PENGENDALIAN
OLEH CC PARTAI KOMUNIS INDONESIA
Gerakan
30 September yang oleh CC PKI dirancang seolah-olah sebagai pergolakan di dalam
tubuh TNI-AD, pada dasarnya akan ditindaklanjuti dengan serangkaian tindakan
politik yang mencakup empat hal sebagai berikut :
1. Memaksa
Presiden Soekarno untuk dibawa ke Pangkalan Udara Hali Perdanakusumah,
2. Memaksa Presiden Soekarno merestui
tindakan Gerakan 30 September seolah-olah
sebagai tindakan sekelompok anggota TNI-AD yang tidak puas terhadap
kepemimpinan TNI-AD,
3.
Memaksa Presiden Soekarno untuk
merestui pembentukan Dewan Revolusi dan semua keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi, dan
4.
Memaksa Presiden Soekarno mengambi
berbagai keputusan politik yang akan membawa PKI ke dalam kekuasaan politik di
Indonesia.
Berbagai
rangkaian tindak lanjut politik tersebut diawali dengan penugasan dari Gerakan
30 September kepada Brigjen TNI Soepardjo, Mayor Inf. Bambang Soepeno serta
Letkol Udara Heru Atmodjo untuk menjemput dan membawa Presiden Soekarno dari
Istana ke Pangkalan Halim Perdanakusumah. Sebagaimana telah diuraikan di depan
dalam rangka persiapan gerakan 30 September, Mayor Udara Sujono telah
menyiapkan kedudukan Cenko II untuk menggantikan Cenko I apabila kegiatan
penculikan telah dilaksanakan.
Di
samping Cenko II, Mayor Udara Sujono menetapkan pula rumah Sersan Suwardi yang
terletak sekitar 500 meter dari Cenko II sebagai tempat kedudukan D.N. Aidit
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan tertinggi Gerakan 30 September,
yaitu memberikan perintah baik di bidang politik maupun di bidang militer yang
harus dilaksanakan oleh Sjam.
Perkembangan
yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 ternyata tidak sesuai dengan rencana
Gerakan 30 September, karena Presiden Soekarno pada tanggal 30 September malam,
setelah kembali dari menghadiri Musyawarah Besar Teknik (Mubestek) di Istana
Olah Raga Senayan, ternyata tidak bermalam di Istana, tetapi menginap di rumah
Ny. Dewi Soekarno di Jl. Gatot Subroto. Demikian pula kepergian Presiden
Soekarno ke Halim Perdanakusumah pada keesokan harinya adalah keputusan beliau
sendiri. Beliau tidak berani memasuki Istana mengingat adanya pemusatan pasukan
di sekitar monumen Nasional, baik di rumah Ny. Dewi Soekarno, di rumah Haryati
Soekarno maupun di rumah-rumah lain yang disarankan oleh Kolonel CPM Maulwi
Saelan, semuanya dinilai tidak aman.
Sementara itu, Brigjen TNI Soepardjo yang
kemudian pada sekitar pukul 10.00 berhasil menemui Presiden Soekarno di Ko Ops
Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah hanya mampu berperan sebagai kurir
pimpinan Gerakan 30 September dan tidak dapat melaksanan tugas-tugas yang
dirancang oleh pimpinan tersebut. D.N. Aidit dan Bono yang berada di rumah
Sersan Suwardi serta Sjam dan Pono yang berada di Cenko II di Kompleks Hlim
Perdanakusumah sebagai pimpinan pelaksanaan Gerakan 30 September tidak dapat
tampil secara terbuka untuk menjaga agar peranan PKI sebagai dalang Gerakan 30
September tidak terbongkar. Dengan situasi seperti itu, D.N. Aidit, Sjam, Pono,
dan Bono yang berada di Kompleks Halim Perdanakusumah tidak mampu mengembangkan
gerakan, ketika Presiden Soekarno memerintahkan Brigjen TNI Soepardjo untuk
menghentikan gerakan guna mencegah terjadinya pertumpahan darah.
Pada
sisi lain, ketika Pangkostrad Mayjen TNI Soeharo berhasil mengkonsolidasikan
satuan-satuan yang berada di Markas Kostrad dan upaya menyadarkan satuan-satuan
yang telah terhasut oleh Gerakan 30 September menunjukkan tanda-tanda
keberhasilan, maka perimbangan kekuatan bersenjata beralih menjadi tidak
menguntungkan bagi Gerakan 30 September. Oleh karena itu, meskipun D.N. Aidit
memerintahkan kepada Sjam agar melanjutkan gerakan, tetapi perintah tersebut
tidak dapat dilaksanakan.
Demikian
pula Laksdya Udara Omar Dhani, setelah mengeluarkan Perintah Harian yang
bernada mendukung Gerakan 30 September tidak dapat melakukan kegiatan-kegiatan
lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan Gerakan 30 September. Hal itu
sebagai akibat adanya perintah Presiden Soekarno untuk mencegah terjadinya
pertumpahan darah dan tidak adanya dukungan dari unsur-unsur di lingkungan
TNI-AU sendiri. Perintah Harian Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani yang
dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober1965 yang bernada mendukung Gerakan 30
September oleh beberapa pejabat teras TNI-AU dianggap sebagai kekeliruan. Oleh
karena itu, Men/Pangau Laksdya Omar Dhani pada tanggal 2 Oktober 1965
mengeluarkan pernyataan yang bernada meralat Perintah Harian yang dikeluarkan
sehari sebelumnya.
Situasi
semakin tidak menguntungkan bagi Gerakan 30 September ketika pada tanggal 1
Oktober 1965, sekitar pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto menyampaikan pidato
radio, yang intinya menjelaskan bahwa apa yang menyebut dirinya Gerakan 30
September adalah kegiatan pengkhianatan terhadap revolusi. Untuk sementara,
sehubungan dengan belum jelasnya nasib Letjen TNI A. Yani dan pejba-pejabat
teras TNI-AD lainnya yang diculik oleh gerombolan Gerakan 30 September, beliau
bertindak sebagai pimpinan sementara TNI-AD
Pada
tanggal 1 Oktober 1965 malam, dengan menyadari kegagalan rencananya, D.N. Aidit
atas bantuan Laksda Omar Dhani berhasil meninggalkan Pangkalan Udara Halim
Perdanakusumah pada tanggal 2 Oktober1965 menuju ke Yogyakarta pada sekitar
pukul 02.00. demikian pula Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani meninggalkan
Halim Perdanakusumah dan setelah mengamati situasi Jakarta dari udara selama 6
jam, ia menuju ke Pangkalan Udara Iswahyudi (Maospati) Madiun. Tokoh-tokoh
pimpinan Gerakan 30 September lainnya berpencar meninggalkan Pangkalan Udara
Halim Perdanakusumah, sedangkan pasukan pendukung Gerakan 30 September yang mengundurkan diri
ke Pondok Gede menghentikan perlawanannya pada tanggal 2 Oktober sekitar pukul
14.00.
Cenko
I adalah tempat Sjam, sebagai Pimpinan pelaksana gerakan militer dan
melaksanakan operasinya sesuai dengan keputusan dan petunjuk Ketua CC PKI D.N.
Aidit, kemudian bertindak selaku pimpinan tertinggi Gerakan 30 September.
Adapun yang digunakan sebagai Cenko I adalah gedung Penas yang terletak di
Jalan Jakarta Bypass (sekarang Jalan Jendral D.I. Panjaitan) di samping Cenko
I, oleh Mayor Udara Sujono diperiapkan pula Cenko II sebagai cadangan, yitu
rumah Sersan Udara Anis Suyatno di dalam kompleks Pangkalan Udara Halim
Perdankusumah. Di samping itu, rumah Komodor Udara Susanto juga telh disiapkan
sebagai tempat VIP untuk Presiden Soekarno. Anggota Cenko terdiri atas Sjam
sebagai pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan pelaksana
gerakan. Letkol Inf. Untung sebagai komandan gerakan militer, Brigjen TNI
Soepardjo dan Kolonel Inf. A. Latief sebagai pembantu, Mayor Udara Sujono
sebagai penghubung dengan D.N. Aidit, dan Letkol Udara HeruAtmodjo sebagai
pembantu. Mereka telah berada di tempat saat gerakan akan dimulai. Pada tanggal
1 Oktober 1965, sekitar pukul 01.30, Letkol Inf. Untung diikuti para anggota
Cenko lainnya pergi ke Lubang Buaya—setelah terlebih dahulu menjemput Kolonel
Inf. A. Latief di Cawang—untuk selanjutnya meneliti persiapan akhir serta
menyampaikan perintah-perintah dalm rangka gerakan yang akan segera
dilaksanakan.
Setelah
gerakan untuk menculik dan membunuh perwira tinggi pimpinan TNI-AD selesai
dilaksanakan, maka Sjam yang berada di Cenko I selaku pimpinan pelaksana
gerakan, memerintahkan Mayor Udara Sujono untuk segera melaporkan kepada Ketua
CC PKI D.N. Aidit yang berada di rumahSersan Udara Suwardi. Selanjutnya Sjam
memerintahkan Brigjen TNI Soepardjo, Mayor Inf. Bersama Letkol Udara Heru
Atmodjo, Mayor Inf. Soekirno, dan Mayor Inf. Bambang Soepeno untuk segera
berangkat ke Istana Merdeka dengan tugas melapor kepada Presiden Soekarno
tentang adanya gerakan dari perwira-perwira muda TNI-AD untuk menyelamatkan
revolusi dari kudeta “Dewan Jendral”. Nada ucapan Sjam kepada Brigjen TNI
Soepardjo mengandung perintah bahwa, apabila perlu, membawa Presiden Soekarno
dengan paksa ke Halim Prdanakusumah.
Sesuai
dengan petunjuk D.N. Aidit selaku pimpinan tertinggi Gerakan 30 September
—setelah berakhirnya siaran warta berita RRI Jakarta pukul 07.00 pada tanggal 1
Oktober 1965— telah disiapkan pengumuman pertama tentang adanya Gerakan 30
September. Sesudah pengumuman pertama berhasil disiarkan, pada sekitar pukul
14.00 Letkol Inf. Untung —sebagai Komandan Gerakan Militer— mengumumkan lewat
RRI Jakarta :
1.
Dekrit Nomor I tentang pembentukan
Dewan Revolusi Indonesia;
2.
Keputusan Nomor I tentang Susunan
Dewan Revolusi Indonesia; dan
3.
Keputusan Nomor 2 tentang Penurunan
dan Penaikan Pangkat.
Nama-nama
yang tercantum di dalam susunan Dewan Revolusi Indonesia tersebut merupakan
gabungan antara nama tokoh-tokoh PKI dan nama tokoh-tpkoh yang bukan
pendukung/pengikut PKI.
Nama
tokoh-tokoh yang disebut dalam Dewan Revolusi yang bukan pendukung/pengikut PKI
ini pada dasarnya merupakan manipulasi PKI, karena yang bersangkutan sama
sekali tidak tahu-menahu dan bahkan tidak menyetujui Gerakan 30 September
tersebut.
Dengan
demikian, Dewan Revolusi yang dibentuk oleh Gerakan 30 September merupakan
upaya PKI untuk menipu rakyat dengan memanipulasinama tokoh-tokoh, baik
politik, masyarakat maupun ABRI yang anti-komunis. Pada tanggal 1 Oktober 1965
sekitar pukul 09.00—karena hari telah siang dan ternyata di Gedung Penas banyak
pekerja—Cenko I ditinggalkan oleh pimpinan Dewan Revolusi dan pindah ke Cenko
II, di rumah Sersan Udara Anis Suyatno. Brigjen TNI Soepardjo yang ditugasi
untuk menghadap Presuden Soekarno tidak berhasil menemui beliau di Istana
Merdeka. Letkol Udara Heru Atmodjo kemudian kembali ke HalimPerdanakusumah dan
dari Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dhani, Brigjen TNI Supardjo dijemput oleh
Letkol Udara Heru Atmodjo dari Istana menuju ke Halim Perdankusumah dengan
menggunakan helikopter. Presiden Soekarno dengan kemauan beliau sendiri tiba di
Pangkalan Halim Perdanakusumah sekitar pukul 09.00 melalui jalan darat. Brigjen
TNI Soepardjo melaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa ia dan kawan-kawannya
telah mengambil tindakan terhadap para perwira tinggi pimpinan TNI-AD.
Pada
tengah hari Brigjen TNI Soepardjo kembali ke Cenko II sambil membawa perintah
Presiden yang intinya agar menghentikan gerakan dan jangan ada pertumpahan
darah. Perintah itu kemudian didiskusikan oleh pimpinan pelaksana Gerakan 30
September yang berkumpul di Cenko II dan dalam diskusi tersebut Sjam
berpendapat bahwa perintah tersebut dapat menimbulkan suasana ragu-ragu di
kalangan pimpinan gerakan. Mengingat perintah itu tidak menguntungkan Gerakan
30 September, maka diputuskan untuk tidak mematuhi perintah Presiden Soekarno
tersebut.
Pada
tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 18.00, Cenko II menerima laporan bahwa
sebagian pasukan Gerakan 30 September telah mundur ke Pondok Gede yang sejak
semula ditetapkan sebagai daerah pemunduran. Pada saat yang sama, diterima
laporan bahwa Pasukan Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)
telah bergerak untuk menguasai Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Karena
perkembangan baru ini, pimpinan Cenko II mengadakan pembicaraan dan menyimpulkan
bahwa gerakan telah gagal. Oleh karena itu, diputuskan bahwa pimpinan Gerakan
30 September akan mundur ke daerah pemunduran terakhir, yaitu Pondok Gede.
Sjam
kemudian mempertimbangkan pentingnya D.N. Aidit selaku pimpinan tertinggi
Gerakan 30 September untuk diselamatkan agar dapat terus memimin partai dan
melanjutkan gerakan. Menurut pendapat Sjam, mundurnya D.N. Aidit bersama dengan
mereka ke Pondok Gede akan berbahaya. Oleh karena itu, ia mengemukakan gagasan
agar D.N. Aidit terbang ke Yogyakarta. Petelah pembicaraan selesai, Sjam
bersama Mayor Udara Sujono menemui D.N. Aidit untuk melaporkan kesimpulan yang
telah diambil oleh pimpinan Pelakdsana Gerakan 30 September tentang kegagalan
gerakan tersebut. atas dasar itu, D.N. Aidit memerintahkan agar Gerakan 30
September tetap meneruskan kegiatan perlawanannya.
D.N.
Aidit berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 2 Oktober 1965 sekitar pukul02.00
dengan pesawat Dakota TNI-AU. Meskipun D.N. Aidit menyatakan kepada Komandan
Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta, bahwa kunjungannya ke Jakarta adalah
selaku Menteri Koordinator (Menko) yang diutus oleh Presiden Soekarno, ia
menolak diantar menemui Pejabat-Pejabat Pemerintah Daerah . ia langsung minta
diantar menemui seorang tokoh PKI Yogyakarta. Begitu juga selama di Jawa Tengah
D.N. Aidit tidak pernah menemui Pejabat Pemerintah Daerah, kecuali Soejono
Atmo, Wakil Gubernur Jawa Tengah dan Utomo Ramelan Walikota Solo, yang
kedua-duanya adalah tokoh PKI Jawa Tengah.
Sesudah
mengantar D.N. Aidit naik ke pesawat terbang, Sjam bersama-sama Brigjen TNI
Soepardjo meninggalkan Pangkalan Halim Perdanakusumah menuju Pondok Gede untuk
mengatur perlawanan selanjutnya. Namun, pada tanggal 2 Oktober setelah terjadi
kontak senjata, pada sekitar pukul 13.00 seluruh pimpinan Gerakan 30 September
mengambil kesimpulan bahwa gerakan mereka di Jakarta telah gagal total karena
tidak mampu bertahan dan tidak mampu melawan tekanan pasukan RPKAD dan
unsur-unsur Kostrad lainnya.
Pimpinan
30 September menyadari tidak mampunyamelanjutkan perlawanan. Oleh karena itu,
mereka memutuskan untuk meneruskan kegiatannya dengan cara lain.dengan buyarnya
kekuatan bersenjata Gerakan 30 September, maka para anggota pimpinan pelaksana
gerakan membubarkan diri. Sjam, Pono, dan Brigjen TNI Soepardjo pada tanggal 2
Oktber 1965 sekitar pukul 14.00 meninggalkan Pondok Gede untuk menyelamatkan
diri menuju rumah Pono di daerah Kramat Pulo, Jakarta Pusat. Kemudian, mereka
menemui Sudisman di markas darurat CC PKI di kelurahan Kayuawet, Jakarta Pusat
untuk menjelaskan tentang kegagalan gerakan dan membahas langkah-langkah
selanjutnya.
Brigjen
TNI Soepardjo, yang semula berada di rumah Pono di daerah Kramat Pulo,
berpindah-pindah tempat sekitar daerah itu dan akhirnya pindah ke daerah
Tanjung Priok. Kolonel Inf. A. Latief bersama Letkol Inf. Untung dan Kapten
Inf. Suradi melarikan diri ke arah selatan sampai di desa Cipayung. Pasar Rebo
Jakarta. Setelah menanam senta-senjatanya di dalam tanah, pada tanggal 4
Oktober 1965 mereka pindah ke desa Kebon Nanas, Bogor. Pada tanggal 5 Oktober
1965 Kolonel Inf. A. Latief kembali ke Jakarta untuk mencoba mencari hubungan
dengan Presiden Soekarno melalui Brigjen TNI Soepardjo. Karena usahanya tidak
berhasil, pada tanggal 9 Oktober 1965 menginap di rumah iparnya di pejompongan,
Jakarta. Setelah dua malam berada di tempat persembunyiannya itu, ia berhasil
ditangkap. Sebelum tertangkap, ia telah mengirim surat kepada Mayjen TNI
Pranoto Reksosamodro untuk meminta perlindungan, dan jika dianggap perlu agar
dikirim ke luar negeri.
Letkol
Inf. Untung dari Kebon Nanas, Bogor kembali ke Jakarta pada tanggal 10 Oktober
1965. Selanjutnya bersama Kolonel Inf. A. Latief ia pergi ke rumah Sjam untuk
membicarakan kegiatan selanjutnya. Selama di Jakarta Letkol Inf. Untung
berpindah-pindah tempat, yaitu di Polonia, Jatinegara, Utan Kayu, dan
Pejompongan. Kemudian ia melarikan diri ke Jawa Tengah, tetapi sesampainya di
Tegal ia ditangkap oleh rakyat dan pada tanggal 13 Oktober 1965 diserahkan
kepada Polisi Militer Tegal. Letkol Udara Heru Atmodjo pada tanggal 2 Oktober
1965, dengan kereta api berangkat menuju ke Jawa Timur dan selanjutnya
meninggalkan Jawa Timur menuju Biak, Irian Jaya dengan tujuan menyembunyikan
diri. Mayor Udara Sujono sejak tanggal 2 Oktober 1965 hanya berpindah-pindah
rumah di sekitar Kramat Jati, kemudian berhasil menuju biak, Irian Jaya, untuk
bersembunyi. Letkol Udara Heru Atmodjo. Letkol Udara Heru Atmodjo dan Mayor
Udara Sujono akhirnya berhasil ditangkap.
_____________________
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Senin, 30 September 2019 – 02.48 WIB
Bumi Pangarakan, Lido - Bogor