MINGGU, 02 DES. 2012 - Slamet Priyadi Blog: Sesungguhnya pada masa perkembangan kepribadian anak,
dongeng perlu bahkan mutlak diperlukan. Karena daya imajinasi pada masa-masa
atau priode ini sangat berperan, sebab antara realita dan khayalan belum bisa
dipisahkan dalam kehidupan anak. Dongeng yang didengarkan seperti Gadis
Cilik dan Korek Api dan Putri Salju dari HC Handersen, Kancil
Yang Cerdik dan lain-lain, semuanya itu merupakan bagian dari
dunia anak-anak yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Oleh karena itu
logis saja apabila sejak dahulu anak-anak sangat menggandrungi dongeng, dan
orang tua seyogyanya senang untuk menceritakan dongeng kepada anak-anaknya.
Melalui dongeng inilahlah anak secara tidak langsung dapat
mempelajari, memahami dan menghayati segala bentuk nilai-nilai, norma-norma dan
kaidah-kaidah kehidupan seperti: keberanian, kecerdikan, kejujuraakan,
kebahagiaan, kelicikan, kebodohan dan sebagainya. Dengan dongeng secara
positif bisa mengembangkan kepribadiannya. Anak bisa menghargai kecerdikan si kancil dalam cerita si
kancil yang cerdik di mana anak merasakan betapa kerbau yang telah menolong
buaya yang tertindih pohon merasa tertipu dan tak berdaya, karena kemudian
buaya hendak memangsanya. Di sini si anak dapat merasakan dan menghargai
kecerdikan si kancil yang mampu menolong kerbau dari terkaman sang buaya karena
kecerdikannya.
Dongeng itu tidak perlu logis. Yang penting bagi orang tua
yang ingin mendongengkan anak-anaknya perlu memilih dongeng yang mengandung
nilai-nilai pendidikan yaitu cerita dongeng yang dapat mengembangkan
kepribadian anak dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tingkat perkembangan anak
dan tuntutan masyarakat dan lingkungan di mana anak berada.
Jelaslah, dongeng selain mampu mengembangkan kepribadian
dan imajinasi anak, juga berfungsi untuk mengakrabkan hubungan antara anak
dengan orang tua. Hal ini terbukti dengan seringnya kakek, nenek, ayah, ibu
kita dahulu menceritakan dongeng-dongeng yang mengandung nilai-nilai kesetiaan,
kejujuran, kesabaran, dan keberanian yang memukau anak-anak dan cucu-cucunya,
sehingga anak merasakan adanya hubungan batin yang mendalam, akrab dengan kedua
orang tua maupun kakek dan neneknya.
Minggu, 30 Januari 2011
Rosita S.Priyadi di Pangarakan Bogor
Artikel terkait:
“ASAL MULA BANYUWANGI” Diceritakan oleh Sita
Di
pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh Sri Baginda Prabu
Menak Prakosa. Ia mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Ia juga mempunyai
seorang putra yang gagah, cakap, dan tampan parasnya bernama Raden Banterang.
Raden Banterang inilah yang kelak menjadi putera mahkota menggantikan ayahnya
sebagai raja. Ia sangat ditakuti dan disegani rakyatnya. Akan tetapi ada
sedikit kelemahan pada dirinya sebagai seorang pangeran yang kelak menjadi
raja. Wataknya pemberang dan cepat marah, bahkan tak segan-segan ia member
hukuman yang berat kepada hambanya jika tidak menuruti perintahnya.
Suatu
ketika Raden Banterang berburu khewan bersama pengiringnya. Dalam perburuan
tersebut secara tak disengaja ia berpisah dengan para pengiringnya. Raden
Banterang tersesat sampai jauh ke dalam hutan hingga akhirnya tiba di sebuah
sungai. Di tepi sungai itu nampak seorang gadis berparas cantik seperti putri
raja sedang memetik bunga, Raden Banterang sangat terpesona dengan kecantikan
paras gadis tersebut. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Sedang mimpikah aku ini, mengapa di tengah hutan selebat ini, di tepi
sungai pula, ada seorang putri cantik seorang diri saja tanpa ditemani oleh
siapa-pun?” Maka bertanyalah Raden
Banterang kepada gadis tersebut:
“Wahai
Tuan Putri yang cantik jelita, siapakah Tuan ini? Mengapa Tuan Putri berada di
tempat ini sendirian saja? Manusia atau Dewikah Tuan Putri ini?”
Mendengar
sapaan yang tak diduga dari Raden Banterang, gadis itu sangat terkejut, ia sama
sekali tak menyangka jika di tengah hutan tempat ia bersembunyi masih saja ada orang
yang mengetahuinya. Gadis itu pun lalu menjawab dengan mimik muka ketakutan:
“Saya
manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di sini bersembunyi karena takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu
kerajaan kami diserang oleh kerajaan musuh. Ayah saya tewas gugur terbunuh
dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya mengembara seorang
diri sampai akhirnya bersembunyi di tempat ini.”
“Benarkah Tuan Putri adalah putri Raja Klungkung?” Tanya Raden Banterang kepada gadis
itu.
“Benar
yang Tuan katakana, saya adalah Surati putri Raja Klungkung yang gugur itu.”
Raden
Banterang diam beberapa saat. Sesungguhnya ia mengetahui bahwa yang menyerang
kerajaan Klungkung adalah kerajaan yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.
Mendengar cerita gadis tersebut Raden Banterang menjadi iba. Selanjutnya putri
raja Klungkung dibawa ke istana. Tak lama kemudian oleh Raden Banterang, putri
raja Klungkung itu dinikahinya, dan mereka berdua hidup bahagia.
Rakyat
kerajaan Menak Prakosa semuanya ikut berbahagia karena Raden Banterang mendapat
istri yang selain cantik dan elok rupawan, elok pula perangainya. Berkat
keelokan perangai dan budi pekerti Dewi Surati putrid raja Klungkung itu, sifat
pemarah Raden Banterang berangsur-angsur lenyap. Suatu ketika Dewi Surati
berjalan-jalan di luar istana. Secara tak disengaja ia berjumpa dengan seorang
laki-laki kumal berpakaian compang-camping layaknya seorang pengemis. Laki-laki
itu berteriak-teriak memanggil namanya:
“Surati,
Surati!”
Alangkah
terkejutnya Dewi Surati mendengar teriakan yang memanggil-manggil namanya.
Dipandangnya laki-laki itu secara saksama. Akhirnya Dewi Surati mengenali wajah
laki-laki itu yang tak lain adalah kakaknya sendiri yang sudah lama berpisah
sejak penyerbuan kerajaan Klungkung dikalahkan oleh kerajaan Prabu Menak
Prakosa. Dewi Surati pun mendekati saudara laki-lakinya itu yang memang sudah
lama dirindukannya. Berkatalah Dewi Surati kepada saudaranya itu:
“Aduh,
kakanda tercinta! Adinda tidak mengira kalau kita dapat bersua lagi. Adinda
menyangka kakanda sudah gugur di medan tempur saat menghadapi serangan musuh
bersama-sama ayahanda tercinta. Kiranya Sang Dewata Agung masih melindungi kita
berdua.”
“Surati, sungguh adinda tidak tahu malu. Mengapa adinda
mau diperistri oleh laki-laki yang sesungguhnya adalah pembunuh ayahanda
sendiri. Sungguh aku mengutukmu Surati. Sekarang kakanda akan menuntut balas
atas kematian ayah kita. Maukah adinda membantu kakanda?”
Mendengar
ucapan kakaknya yang mengajak untuk membalaskan dendamnya, Dewi Surati tegas
menjawab:
“Maaf kakanda, adinda tidak bisa membantu kakanda karena
Raden Bantering adalah seseorang yang telah menolong hamba dalam kesusahan,
dialah yang telah menyelamatkan adinda dari berbagai penderitaan saat
bersembunyi sendiri di tengah hutan, dan Raden Banterang pun sekarang sudah
menjadi suami adinda tercinta. Maaf, sekali lagi maaf kakanda, adinda tidak
bisa mengabulkan permintaan kakanda untuk membalaskan dendam.”
Mendengar
semua penuturan itu, kakak kandung Dewi Surati Nampak kecewa sekali. Ia
menggerutu dalam hatinya, “Awas kau
Surati, rupanya kau telah mengkhianati keluarga kita sendiri.”
Suatu
hari Raden Banterang pergi berburu, saat sedang mengejar seekor kijang, datang
seorang pengemis menghampiri Raden
Banterang seraya berkata:
“Tuanku
Raden Banterang, sejak tadi hamba mencari tuanku di hutan ini. Percayalah pada
hamba tuanku, bahwa jiwa tuanku sangat terancam bahaya. Ada seseorang yang
ingin membunuh tuanku. Orang itu adalah permasuri Tuanku sendiri Dewi Surati.
Tadi hamba melihat dengan mata kepala hamba sendiri, permaisuri bersama seorang
laki-laki merencanakan pembunuhan terhadap Tuanku. Cepat kembali Tuanku, jika masih
tak percaya pada hamba buktikanlah nanti, di bawah peraduan permaisuri ada
sebilah keris pusaka kerajaan Klungkung yang diperuntukan untuk membunuh Tuanku.”
Setelah berkata demikian pengemis itu bergerak cepat hilang di balik
semak-semak. Raden Banterang sangat terkejut mendengar berita dari seorang
pengemis yang tiba-tiba saja datang menhampirinya. Ia sungguh percaya dengan
apa yang dikatakan pengemis itu meskipun hati kecilnya mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh pengemis itu adalah bhong belaka.
Raden
Banterang pun bergegas pulang kembali ke istana. Sesampai di istana Ia langsung
memeriksa peraduan permaisurinya. Apa yang dilihat, benar saja di bawah
peraduan itu terdapat keris pusaka kerajaan Klungkung. Alangkah panasnya hati
Raden Banterang melihat semua kenyataan ini. Ternyata apa yang dikatakan
pengemis di hutan tadi adalah benar. Artinya permaisurinya sendiri telah
mengkhianatinya, bersekongkol dengan saudara laki-lakinya untuk membunuh
dirinya. Kemarahan Raden Banterang pun sudah tak bisa dikendalikan lagi. Lalu
diajaknyalah permaisurinya Dewi Surati ke muara sebuah sungai. Di sana Raden
Banterang menceritakan semua apa yang didengar dari seorang pengemis yang
mengatakan tentang rencana pembunuhan kepada dirinya saat berburu di hutan.
Raden Banterang berkata kepada Dewi Surati dengan nada penuh kemarahan:
“Inikak
balasanmu kepada semua kebaikanku, Surati?”
“Adinda berani bersumpah, sungguh! Seujung kuku pun
sekali-kali hamba tidak melakukan seperti yang kakanda tuduhkan itu.” Mendengar
jawaban Dewi Surati kemarahan Raden Banterang malah bertambah. Ia membentak
Dewi Surati sambil memperlihatkan keris yang ditemukannya di bawah peraduan
Dewi Surati:
“Diam kau, pendusta! Lihatlah, apa
ini yang kupegang, keris pusaka ayahandamu, bukan?!”
“Kakanda
Raden Banterang, itu memang keris ayahandaku, keris pusaka kerajaan Klungkung.
Akan tetapi, demi Dewata Yang Agung pusaka itu hanya diwariskan dan dipegang
oleh kakak hamba. Sungguh hamba tidak mengerti kenapa keris pusaka itu sekarang
bisa ada di tangan kakanda Raden Banterang?” Dewi Surati berupaya
menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, kemudian melanjutkan kata-katanya
lagi:
“Raden
Banterang, adinda berani bersumpah bahwa adinda masih istri yang setia kakanda.
Memang adinda akui, kakak hamba datang menemui hamba di luar istana untuk
meminta bantuan hamba untuk membunuh kakanda Raden Banteran. Tetapi semua itu
hamba tolak, hamba tidak mau.”
Raden
Banterang tetap tidak mau mempercayai dengan semua kata-kata yang diucapkan
oleh permaisurinya Dewi Surati dengan tulus itu, maka Raden Banterang pun
menghunus keris yang ada di pinggangnya itu membunuh Dewi Surati.
“Baiklah, baiklah…jika kakanda sudah
tak mempercayai adinda, adinda rela mati menemui ajal di sungai ini. Akan
tetapi harap kakanda camkan baik-baik, bahwa jika nanti air sungai ini berbau
harum mewangi itu berarti adinda tidak bersalah, sebaliknya jika air sungai ini
berbau busuk itu tandanya hamba bersalah.”
Sebelum
keris itu menghujam ke perutnya, Dewi Surati melompat ke sungai lalu menghilang.
Tewas tenggelam di dasar sungai. Akan tetapi saat itu juga tercium bau aroma
yang sangat harum mewangi di sekitar sungai itu. Raden Banterang berteriak dengan suara
gemetar,
“Banyuwangi…!Banyuwangi…! Istriku ternyata tidak berdosa…istriku tidak
berdosa!”
“Banyuwangi…!”
Teriak seorang pengemis dalam waktu yang
hampir bersamaan.
“Hai,
Raden Banterang! Aku adalah kakaknya. Istrimu Dewi Surati memang tidak berdosa.
Ia menolak membantuku untuk membunuhmu. Banyuwangi itulah tanda cinta
sucinya.”
Setelah
berkata demikian, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang menyesali
perbuatannya. Mengapa ia terburu nafsu tanpa terlebih dahulu menyelidikinya
dengan cermat. Ia sangat menyesali perbuatannya yang telah membuat maut kepada
istrinya yang sangat dicintainya itu. Akan tetapi seperti pepatah bilang,
menyesal pun tak berguna lagi. Sampai sekarang daerah tempat Dewi Surati
menghilang dikenal dengan nama BANYUWANGI. Banyu berarti air dan Wangi berarti
harum. Banyuwangi berarti air yang harum. (Referansi:
MB. Rahimsyah, Cerita Rakyat Nusantara, CV. Beringin 55, Surakarta).
Fairytale addition to being able to develop the child's personality and imagination, it also serves to familiarize the relationship between children and parents
BalasHapusDongeng selain mampu mengembangkan kepribadian dan imajinasi anak, juga berfungsi untuk mengakrabkan hubungan antara anak dengan orang tua.