![]() |
Sutan |
Puji dan
syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas segala rahmat
dan nikmat-Nya. Hari ini adalah hari peluncurun novel-novel karya
Sutan Zaili Asril. Salam hormat saya kepada Sutan Zaili Asril, sosok
pekerja keras, cerdas, kreatif dan senantiasa berpikir tajam dan membangun
dalam tiap persoalan. Rasanya tak mungkin kita untuk menyembunyikan
apresiasi kepada seorang Sutan Zaili Asril, yang untuk selanjutnya saya singkat
menjadi SZA.
Bila Sumatera Utara melahirkan Sutan Takdir
Alisyahbana (STA), seorang sastrawan besar Nusantara dalam buah karya “Layar
Terkembang”, “Dian tak Kunjung Padam”, maka Sumatera Barat pada era terkini
melahirkan sastrawan berkelas, yakni Sutan Zaili Asril atau SZA. Dan, dua
tokoh ini adalah pengarang besar yang memberi warna terhadap kesusastraan
Indonesia…
Keterampilan menulis, bukan soal teoritis.
Menulis adalah kepandaian praktis. Sulit bagi dunia untuk melahirkan
orang-orang yang pintar menulis, karena sekolah menulis itu belum ada. Adakah
sekolah khusus untuk melahirkan penyair? Melahirkan pengarang? Saya rasa
tidak. Seseorang yang mempunyai kemampuan menulis adalah seseorang yang
diamanahi Tuhan untuk cakap menulis. Ia menjadi seorang yang muncul, bukan
seorang yang “lahir” atau dilahirkan!
Sekalipun sama-sama menulis, namun penulis,
pengarang dan wartawan itu berbeda ruang. Penulis menghasilkan tulisan.
Pengarang menghasilkan karangan. Wartawan menghasilkan berita. Istilah
tulisan dipakai untuk menyatakan sebuah karya tulis. Tulisan disusun berdasarkan
pernyataan gagasan orang lain. Penulis menyusun kembali hal-hal yang sudah dikemukakan
oleh orang lain itu disebut penulis. Fondasi tulisannya adalah analisis dan
paparan sebuah masalah atau peristiwa faktual. Misal; tajuk, essay,
feature dan lainnya. Sementara, sebuah karangan; lantainya fantasi,
imajinasi atau rekaan. Misalnya berbentuk cerita pendek (cerpen) dan novel.
Pembuat tulisannya lebih tepat disebut pengarang; bukan penulis. Sedangkan
wartawan, membuat tulisan berdasarkan fakta dan data yang tidak beraroma pendapat
pribadi atau opini.
Zaili atau SZA, apakah seorang wartawan semata?
Penulis? Pengarang? Tidak! Seorang wartawan, belum tentu seorang penulis atau
seorang pengarang. Seorang penulis belum tentu seorang wartawan atau seorang
pengarang. Seorang pengarang belum tentu seorang penulis atau seorang
wartawan.
Tapi SZA adalah salah seorang penulis terlengkap
yang dimiliki Indonesia. Beda dengan STA yang hanya sebagai pengarang semata.
Namun, SZA adalah penulis tiga profesi; ya wartawan, ya penulis, ya pengarang.
Untuk itu, kita bangga pada sosok SZA yang lahir darah Minangkabau tacinto.
Ternyata SZA bukan sosok penulis tiga profesi
semata, tapi makin sempurna manakala SZA juga dikenal bertangan dingin dalam
mengelola perusahaan pers. Di tangan SZA, Padang Ekspres menjadi koran
nasional yang menggurita hingga pelosok Sumatera Barat. Tak lengkap surat
kabar sebelum membaca Padek. Padek menjelma menjadi surat
kabar referensi bacaan bagi orang Sumatera Barat. Untuk melihat Sumatera Barat
dari kaca mata massa, buka saja Padek…
Begitu juga, dengan Posmetro, Rakyat
Sumbar, bahkan tangan dingin SZA juga berhasil mengukuhkan Padang TV
di Padang, Dharmasraya TV di Dharmasraya, Triarga TV di Bukittinggi
menjadi televisi lokal yang memberi informasi bermanfaat, memberi kecerdasan
di ruang pendidikan media yang sekaligus menjadi inspirasi bagi pemirsa.
Lama saya merenungkan tentang seorang Sutan
Zaili Asril dalam ruang karya yang selalu memberi pengetahuan dan membuka
ruang cakrawala pembaca. Zaili, sejak masa remaja, saya sudah mengenalnya.
Ketika saya bertugas di Bali, Zaili adalah wartawan Kompas untuk Pulau
Dewata. Tulisan-tulisan Zaili, sungguh menjadi inspirasi bagi masyarakat Bali.
Dan ketika saya menjadi Ketua Masyarakat Minang di Bali, Zaili juga dikenal
sebagai aktivis rantau untuk kegiatan sosial urang awak.
Diam-diam saya kagum pada keuletan dan kegigihan SZA yang selalu ingin berbuat
dan berkarya.
SZA layak menjadi panutan para penulis kita, para
wartawan kita dan para pengarang kita. Dan saya berharap, semoga Padek
Group menjadi labor bagi anak muda pekarya di Sumatera Barat. Adat sebuah berita adalah fakta dan data. Adat
kepenulisan, analisis dan ketajaman melihat persoalan. Adat karangan, imajinatif
yang berfantasi di ruang pikiran yang mempengaruhi pikiran dan perasaan
orang lain.
Berita adalah fakta dan data, kata orang
kebenaran tidak memihak, kebenaran yang sesungguhnya berpihak pada kebenaran
itu sendiri. Namun kebenaran yang paling hakiki adalah kebenaran Ilahi. SZA,
selama di Kompas adalah wartawan yang penuh dengan karya jurnalistik
yang diperhitungkan secara nasional. Ia memenangkan penghargaan jurnalistik
Kalpataru tahun 1989. Atas karya jurnalistiknya yang cukup monumental
berjudul “DAS Musi: Batang Hari Sembilan” yang terdiri atas empat laporan
dimuat Harian Pagi Kompas di dua halaman tengah harian itu.
Saya pembaca tulisan Cucu Magek Dirih ini.
Tulisannya bernas, jernih dan cerdas, serta kaya dengan referensi. Jelas benar
tergambar di situ, betapa luas dan dalamnya pengetahuan sang penulisnya. Dan
yang lebih membuat kita hormat manakala, SZA diam-diam sedang mengembangkan
jurnalisme Islami yang artinya memberi kabar, mengungkap kabar yang diawali
dengan niat baik, bukan niat buruk mencelakakan orang atau berunsur dendam.
Tidak begitu konsep SZA. Saya amati itu, SZA adalah seorang tokoh atau pelaku
karya tulis yang objektif!
Dan belakangan saya amati, SZA juga sedang
memberi virus sastra dalam konsep jurnalistiknya yang kita sebut dengan jurnalistik
sastrawi. Di mana, teknik penulisan reportase yang ditulis dengan gaya sastra
yang bertutur atau naratif, sehingga enak untuk dibaca.
Selamat juga kepada keluarga besar Padek
Group yang telah berhasil menjadi sebuah media surat kabar terkemuka
yang tak lepas dari tangan cerdas seorang SZA…
Malam ini terasa begitu indah. Begitu bergelora.
Seakan Bumi Minangkabau ikut menyambut karya ini dengan gembira. Sudah lama
kita tak mendengar buah karya pengarang Minangkabau yang menjadi prasasti
dalam pustaka sastra Indonesia. Malam ini, di Hotel Grand Inna Muara Padang,
Cucu Magek Dirih akan meluncurkan lima dari tujuh novelnya. Ini luar
biasa. Membuat satu novel saja minta ampun susahnya, tapi ini lima. Kelima novel itu berjudul Revolusi Kaum Guci,
Jalan Terjal dan Berliku, dan Mimpi-mimpi Myan—yang
merupakan trilogi Revolusi Kaum Guci. Lalu Prahara di Surau Kaki Bukit,
dan Penelokan. Kelima novel itu relatif tebal dengan jumlah halaman di
atas 300 halaman. Dan dua novel lagi, berjudul Aku Anak
Pemberontak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (AAP-PRRI), dan
Sitti Basulam. Dua novel yang terakhir mengambil tema sejarah dan
mengambil pelataran peristiwa sejarah (AAP-PRRI mengambil pelataran PRRI,
dan Sitti Basulam mengambil pelataran Gerakan 30 September 1965/PKI). Saya mengharapkan, novel-novel karya SZA menjadi
bahan bacaan wajib bagi anak-anak di sekolah. Mengapa? Revolusi Kaum Guci
adalah novel yang tak bisa dilepaskan dari persoalan keadatan, pikiran dan perubahan
sosial lainnya. Dan muatan budayanya kental. Ini bisa menjadi bahan
referensi bagi anak-anak sekolah dalam mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau. Bahkan saya mengamati, novel-novel karya SZA
adalah novel yang memberi pembaruan dalam dunia sastra kita. Kaya dengan
pengetahuan dan pembuka cakrawala bagi pembacanya. Dan juga bermuatan
sejarah. Dan seakan-akan karya fiksi SZA berfakta di tengah kehidupan sosial
kita. SZA berhasil menyusun imajinasi menjadi sesuatu yang mirip nyata
sekalipun rekaan semata.
Kita sambut kehadiran novel karya SZA, semoga
memperkaya ruang pikiran pembaca dalam semangat cinta atau gemar membaca. Kalau dapat, tak hanya sekadar penyemarak
pustaka sastra Indonesia, tapi novel karya SZA juga mampu dan menjadi alat
bagi pembaca dalam semangat gemar menulis.
Atas nama Pemerintah Provinsi kami memberikan
apresiasi plus kepada SZA yang telah ikut membangun dunia sastra kita.
Membangun dunia sastra atau dunia kepenulisan sama artinya dengan membangun
pikiran. Membangun pikiran dan perbuatan, sama juga artinya dengan membangun
kecerdasan serta karakteristik anak bangsa. Dan saya yakin, bahkan bertambah yakin; ternyata
hidup adalah pikiran dan perbuatan. Apa yang kita dapati pada saat ini tak
lebih dari hasil olah pikir dan perbuatan masa lalu, dan apa yang kita pikirkan
dan perbuat pada saat ini, adalah untuk masa mendatang.
Terbaca oleh saya, ternyata sejak remaja SZA
sudah berpikir untuk menjadi pengarang dengan melakukan perbuatan yang
menghasilkan karya-karya karangan. Tapi, sebelum menuju ke dunia
kepengarangan, SZA melewati dulu sebuah jembatan “jurnalistik” dan bisnis
pers, untuk kemudian berdermaga di “istana pikiran” atau berlabuh di dunia
karangan.
Berbahagialah SZA yang sampai pada cita-cita
untuk menghasilkan karya novel. Dan mirip SZA, pada masa remaja dulu saya juga
bercita-cita jadi wartawan, penulis atau pengarang. Sebelum memulai karir di
pemerintahan, saya bekerja memburu berita. Memotret peristiwa.
Menulis dan melaporkannya ke surat kabar tempat saya jadi wartawan dulu.
Tapi takdir berkata lain. Saya tak diciptakan untuk jadi wartawan, tapi jadi
wakil gubernur. Kalau jadi penulis, seperti SZA, dalam kesibukan saya
sempatkan menulis beberapa buku. Suatu hari nanti, saya juga ingin membukukan
karangan-karangan saya dalam bentuk puisi. Karena salah satu hobi saya adalah
menulis puisi atau pantun.
Saya meyakini, sebuah karya tulisan jauh lebih
panjang usianya daripada pembuatnya. Karya Robohnya Surau Kami, Layar
Terkembang, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Siti Nurbaya
(Kasih Tak Sampai) hingga kini masih hidup dan terus dibaca, dan
pengarangnya terkenang sepanjang risalah kita….
Selamat SZA…. Semoga SZA senantiasa dilimpahkan rahmat dan
nikmat Yang Kuasa dan selalu diberi kesehatan yang kuat, sehingga berpantang
tidak berkarya sebelum ajal tiba… Soal hidup, bukan soal seberapa usia kita,
tapi adalah soal apa-apa yang dapat kita lakukan dan kita perbuat bagi orang
banyak dengan menghasilkan berbagai karya yang bermanfaat… Beruntunglah,
orang yang tak pernah berhenti berkarya di atas dunia. Bahwa hidup yang mulia adalah hidup yang selalu
menghasilkan karya dan bermanfaat bagi orang banyak…, bukan sebaliknya! (*)
[ Red/Administrator ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar