Jumat, 21 Desember 2012

Sutan Zaili Asril: “Pemberi Warna Sastra Indonesia” Oleh : Muslim Kasim Wakil Gubernur Sumbar Padang Ekspres • Jumat, 21/12/2012 11:31 WIB


Sutan

Puji dan syukur kita panjatkan ke ha­dirat Tuhan Yang Ma­ha Kuasa. Atas se­gala rahmat dan nik­mat-Nya. Hari ini ada­lah  hari pelu­n­cu­run novel-novel kar­ya Sutan Zaili As­ril. Sa­lam hormat saya ke­pada Sutan Zaili As­ril, sosok pekerja keras, cerdas, kreatif dan senantiasa berpi­kir tajam dan membangun dalam tiap persoalan. Rasanya tak mungkin kita untuk me­nyem­­bunyikan apresiasi kepada seorang Su­tan Zaili Asril, yang untuk selanjutnya saya sing­­kat menjadi SZA. 

Bila Sumatera Utara mela­hir­­kan Sutan Takdir Alisyah­bana (STA), seorang sastrawan besar Nu­santara dalam buah karya “La­yar Terkembang”, “Dian tak Kun­jung Padam”, maka Su­ma­tera Barat pada era terkini me­la­­hirkan sastrawan berkelas, yak­­ni Sutan Zaili Asril atau SZA. Dan, dua tokoh ini adalah pe­nga­rang besar yang memberi warna terha­dap kesusastraan Indonesia…

Keterampilan menulis, bu­kan soal teoritis. Menulis adalah ke­pandaian praktis. Sulit bagi du­nia untuk melahirkan orang-orang yang pintar menulis, ka­rena sekolah menulis itu belum ada. Adakah sekolah khusus un­tuk me­lahirkan penyair? Me­la­hirkan pe­ngarang? Saya rasa ti­dak. Sese­orang yang mem­pu­nyai kemam­puan menulis ada­lah seseorang yang diama­nahi Tu­han untuk cakap menulis. Ia men­jadi seorang yang muncul, bu­kan seorang yang “lahir” atau dilahirkan!

Sekalipun sama-sama me­nu­lis, namun penulis, peng­a­rang dan wartawan itu berbeda ruang. Penulis menghasilkan tu­li­san. Pengarang meng­hasilkan ka­rangan. Wartawan meng­ha­sil­k­an berita. Istilah tulisan dipa­kai untuk menyatakan sebuah kar­ya tulis. Tulisan disusun ber­da­­sarkan pernyataan gaga­san orang lain. Penulis menyusun kem­bali hal-hal yang sudah di­kemukakan oleh orang lain itu dise­but penu­lis. Fondasi tulisan­nya adalah ana­lisis dan paparan se­buah ma­sa­lah atau peristiwa fak­tual. Mi­sal; tajuk, essay, feature dan lain­nya. Sementara, se­buah kara­ngan; lantainya fan­tasi, imajinasi atau rekaan. Mi­sal­nya berbentuk cerita pen­dek (cer­pen) dan novel. Pem­buat tu­lisannya lebih tepat di­se­but pe­ng­a­rang; bukan penu­lis. Se­dang­kan wartawan, mem­buat tulisan ber­dasarkan fakta dan data yang ti­dak beraroma pen­dapat pri­badi atau opini.

Zaili atau SZA, apakah se­orang wartawan semata? Penu­lis? Pengarang? Tidak! Seorang wartawan, belum tentu seorang pe­nulis atau seorang pengarang. Se­orang penulis belum tentu se­orang wartawan atau seorang pe­ngarang. Seorang pengarang be­lum tentu seorang penulis atau seorang wartawan.

Tapi SZA adalah salah se­orang penulis terlengkap yang di­miliki Indonesia. Beda dengan STA yang hanya sebagai penga­rang semata. Namun, SZA ada­lah penulis tiga profesi; ya war­ta­wan, ya penulis, ya penga­rang. Un­tuk itu, kita bang­ga pada so­sok SZA yang lahir darah Mi­nang­kabau tacinto.

Ternyata SZA bukan sosok p­e­nulis tiga profesi semata, tapi ma­kin sempurna manakala SZA juga dikenal bertangan dingin da­lam mengelola perusahaan pers. Di tangan SZA, Padang Ekspres menjadi koran nasional yang menggurita hingga pelosok Su­matera Barat. Tak lengkap su­rat kabar sebelum membaca Pa­dek. Padek menjelma men­jadi surat kabar referensi bacaan bagi orang Sumatera Barat. Untuk melihat Sumatera Barat dari kaca mata massa, buka saja Padek

Begitu juga, dengan Pos­metro, Rakyat Sumbar, bahkan tangan dingin SZA juga berhasil mengukuhkan Padang TV di Pa­dang, Dharmasraya TV di Dhar­­masraya, Triarga TV di Bu­kittinggi menjadi televisi lokal yang memberi informasi ber­man­faat, memberi kecer­dasan di ruang pendidikan media yang sekaligus menjadi inspirasi bagi pemirsa.

Lama saya merenungkan ten­tang seorang Sutan Zaili Asril da­lam ruang karya yang selalu mem­­beri pengetahuan dan mem­­­buka ruang cakrawala pem­­baca. Zaili, sejak masa remaja, saya sudah mengenalnya. Ketika saya bertugas di Bali, Zaili adalah wartawan Kompas untuk Pulau Dewata. Tulisan-tulisan Zaili, sungguh menjadi inspirasi bagi masyarakat Bali. Dan ketika saya men­jadi Ketua Masyarakat Mi­nang di Bali, Zaili juga dikenal sebagai aktivis rantau untuk kegiatan sosial urang awak. Diam-diam saya kagum pada keuletan dan kegigihan SZA yang selalu ingin berbuat dan berkarya.

SZA layak menjadi panutan para penulis kita, para wartawan kita dan para pengarang kita. Dan saya berharap, semoga Padek Group menjadi labor bagi anak muda pekarya di Sumatera Barat. Adat sebuah berita adalah fak­ta dan data. Adat kepe­nuli­san, analisis dan keta­jaman me­li­hat persoalan. Adat kara­ngan, ima­jinatif yang berfantasi di ruang pikiran yang mem­penga­ru­hi pikiran dan perasaan orang lain. 

Berita adalah fakta dan data, kata orang kebenaran tidak me­mi­hak, kebenaran yang sesung­guh­­nya berpihak pada kebe­naran itu sendiri. Namun kebe­naran yang paling hakiki adalah ke­be­naran Ilahi. SZA, selama di Kom­pas adalah wartawan yang pe­nuh dengan karya jurnalistik yang diperhitungkan secara na­sio­nal. Ia me­menangkan peng­h­ar­gaan jur­­na­listik Kalpa­taru ta­hun 1989. Atas karya jur­na­lis­tik­nya yang cu­kup monumental ber­j­udul “DAS Musi: Batang Ha­ri Sem­bilan” yang terdiri atas empat lapo­ran dimuat Harian Pagi Kompas di dua halaman tengah harian itu.

Saya pembaca tulisan Cucu Magek Dirih ini. Tulisannya bernas, jernih dan cerdas, serta kaya dengan referensi. Jelas benar tergambar di situ, betapa luas dan dalamnya pengetahuan sang penulisnya. Dan yang lebih mem­buat kita hormat mana­kala, SZA diam-diam sedang me­ngem­bangkan jurnalisme Islami yang artinya memberi kabar, me­ngungkap kabar yang diawali dengan niat baik, bukan niat buruk mencelakakan orang atau berunsur dendam. Tidak begitu konsep SZA. Saya amati itu, SZA adalah seorang tokoh atau pelaku karya tulis yang objektif!

Dan belakangan saya amati, SZA juga sedang memberi virus sastra dalam konsep jurnalis­tik­nya yang kita sebut dengan jur­nalistik sastrawi. Di mana, tek­nik penulisan reportase yang di­tulis dengan gaya sastra yang ber­­tutur atau naratif, sehingga enak untuk dibaca.

Selamat juga kepada keluar­ga besar Padek Group yang telah ber­­hasil menjadi sebuah media su­­r­at kabar terkemuka yang tak le­pas dari tangan cerdas seorang SZA…

Malam ini terasa begitu indah. Begitu bergelora. Seakan Bu­mi Minangkabau ikut me­nyam­but karya ini dengan gem­bira. Sudah la­ma kita tak men­de­­ngar buah karya pengarang Mi­­nangkabau yang menjadi pra­sasti dalam pus­taka sastra In­donesia. Malam ini, di Hotel Grand Inna Muara Pa­dang, Cu­cu Magek Dirih akan me­lun­cur­kan lima dari tujuh no­velnya. Ini luar biasa. Membuat satu no­vel saja minta ampun susah­nya, tapi ini lima. Kelima novel itu berjudul Re­volusi Kaum Guci, Jalan Ter­jal dan Berliku, dan Mimpi-mim­pi Myan—yang merupakan trilogi Revolusi Kaum Guci. Lalu Prahara di Surau Kaki Bukit, dan Penelokan. Kelima novel itu relatif tebal dengan jumlah halaman di atas 300 halaman. Dan dua novel lagi, berjudul Aku Anak Pemberontak Peme­rin­tah Revolusioner Repu­blik In­donesia (AAP-PRRI), dan Sitti Ba­sulam. Dua novel yang terak­hir mengambil tema seja­rah dan me­ngambil pelataran peristiwa se­jarah (AAP-PRRI mengambil pe­lataran PRRI, dan Sitti Basu­lam mengambil pelataran Gera­kan 30 September 1965/PKI). Saya mengharapkan, novel-no­vel karya SZA menjadi bahan ba­caan wajib bagi anak-anak di se­kolah. Mengapa? Revolusi Kaum Guci adalah novel yang tak bisa dilepaskan dari per­so­alan keadatan, pikiran dan pe­ru­ba­han sosial lainnya. Dan mua­tan buda­yanya kental. Ini bisa men­jadi bahan referensi bagi anak-anak se­kolah dalam mata pe­lajaran Bu­daya Alam Mi­nang­kabau. Bahkan saya mengamati, no­vel-novel karya SZA adalah no­vel yang memberi pembaruan da­lam du­nia sastra kita. Kaya de­n­gan pe­ngetahuan dan pem­bu­ka ca­kra­­wala bagi pem­baca­nya. Dan juga bermuatan sejarah. Dan se­akan-akan karya fiksi SZA ber­fak­ta di tengah kehidupan so­sial kita. SZA berhasil me­nyusun ima­jinasi menjadi sesuatu yang mi­rip nyata sekalipun rekaan se­mata. 

Kita sambut kehadiran novel karya SZA, semoga memperkaya ruang pikiran pembaca dalam semangat cinta atau gemar membaca. Kalau dapat, tak hanya seka­dar penyemarak pustaka sastra In­donesia, tapi novel karya SZA juga mampu dan menjadi alat bagi pembaca dalam semangat gemar menulis.

Atas nama Pemerintah Pro­vinsi kami memberikan apre­siasi plus kepada SZA yang telah ikut membangun dunia sastra kita. Membangun dunia sastra atau dunia kepenulisan sama ar­tinya dengan mem­bangun piki­ran. Membangun pikiran dan per­buatan, sama juga artinya de­ngan membangun kecerdasan serta karakteristik anak bangsa. Dan saya yakin, bahkan bertambah yakin; ternyata hidup adalah pikiran dan perbuatan. Apa yang kita dapati pada saat ini tak lebih dari hasil olah pikir dan perbuatan masa lalu, dan apa yang kita pikirkan dan per­buat pada saat ini, adalah un­tuk masa mendatang. 

Terbaca oleh saya, ternyata sejak remaja SZA sudah berpikir un­tuk menjadi pengarang de­ngan melakukan perbuatan yang menghasilkan karya-karya ka­rangan. Tapi, sebelum menuju ke dunia kepengarangan, SZA me­lewati dulu sebuah jembatan “jur­nalistik” dan bisnis pers, un­tuk kemudian berdermaga di “istana pikiran” atau berlabuh di dunia karangan.

Berbahagialah SZA yang sampai pada cita-cita untuk menghasilkan karya novel. Dan mirip SZA, pada masa remaja dulu saya juga bercita-cita jadi war­tawan, penulis atau penga­rang. Sebelum memulai karir di pe­­­merintahan, saya bekerja mem­­­­buru berita. Memotret pe­ri­s­­­ti­wa. Menulis dan mela­por­ka­n­­nya ke surat kabar tempat saya jadi wartawan dulu. Tapi tak­dir berkata lain. Saya tak diciptakan untuk jadi wartawan, tapi jadi wakil gubernur. Kalau jadi penulis, seperti SZA, dalam ke­sibukan saya sempatkan me­nu­­­lis beberapa buku. Suatu hari nan­­ti, saya juga ingin mem­bu­kukan karangan-karangan saya dalam bentuk puisi. Karena sa­lah satu hobi saya adalah me­nulis puisi atau pantun.

Saya meyakini, sebuah karya tu­lisan jauh lebih panjang usia­nya daripada pembuatnya. Kar­ya Robohnya Surau Kami, La­yar Terkembang, Anak Pera­wan di Sarang Penyamun, Siti Nur­baya (Kasih Tak Sampai) hing­­ga kini masih hidup dan te­rus dibaca, dan pengarangnya ter­kenang sepan­jang risalah kita….

Selamat SZA…. Semoga SZA senantiasa di­lim­pahkan rahmat dan nikmat Yang Kuasa dan selalu diberi ke­se­hatan yang kuat, sehingga ber­pantang tidak berkarya sebe­lum ajal tiba… Soal hidup, bukan soal seberapa usia kita, tapi adalah soal apa-apa yang dapat kita lakukan dan kita perbuat bagi orang banyak dengan meng­ha­silkan berbagai karya yang ber­manfaat… Beruntunglah, orang yang tak pernah berhenti ber­karya di atas dunia.  Bahwa hidup yang mulia adalah hidup yang selalu meng­ha­silkan karya dan bermanfaat bagi orang banyak…, bukan se­baliknya! (*)

[ Red/Administrator ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar