11.
Ndan bhagnan kari
panndduputra ri Wiratta tekapira nararyya Kecawa.
Yekan coka
langonikang hewan akunnddah anangis asekel cucurnika.
Mangka jring
malume ddawuh puddak i pannddan ika maki lusu haneng watu.
Ho hoh cabdaninikang
walik taddahasih padda manangis i pangnikang tahen.
|
11.Tetapi merekaitu kecewa, sebab atas permintaan raja Kresna
putera-putera Pandawa tinggal di Wirata. Maka dari sebab itu keindahan di
jalan-jalan menjadi susah dan gundah; burung-burung cucur menangis
tersedu-sedu. Pada waktu itu pohon jering menjadi layu, sedangkan bunga pudak
runtuh dari pohon pandan yang melaju di atas batu. “Heh, heh” demikianlah
bunyinya burung walik, sedangkan burung kedasih menangis di atas dahan-dahan
pohon.
|
12.
Kapwaca
lengenging Gajahwaya ri tan padulurira nararyya Pannddawa.
Honya n campaka
manglugas kusuma paksha malabuha jurangikang parung.
Lampus tanjung
ikangenes layat agantungan i panawanging jaring-jaring.
Tan patma
bhramarakusanangisi laywaning asana manutryyaking banu.
|
12.Segala
keindahan di Astina bersusahhati, karena raja-raja Pandawa tidak ikut. Ada
beberapa pohon cempaka yang menanggalkan bunga-bunga, karena dengan paksa
ingin menjatuhkan diri di dalam jurang yang dalam. Pohon tanjung mati, karena
sangat susah; bunga-bunganya runtuh dan bergantungan dijaring laba-laba.
Lebah yang tidak bersemangat menjadi susah dan menangisi bunga-bunga angsana
yang laju dan terbawa oleh ombak air.
|
13.
Mangka nyasa ni
pancuranyapadda coka ri tayanira sang Dananjaya.
Hyangnyalek
magegeh mulat kapenetan ri kapati ni lumutnikang watu.
Sangsara ng
karacakecap mulat i mannddaganika ri pipinya tan padon.
Kares-res ni susuhnya
mati manulad tiwa-tiwa ni mukarjjuneng cilla.
|
13.Pada waktu itu
balai kambang yang memancurkan air (merasa) susah, karena Dhananjaya (Arjuna)
tidak ada. Dewa (yang berkuasa di tempat tersebut merasa cemas) tercengang
dan terkejut, karena melihat lumut-lumut di atas batu mati. Dengan susah hati
siput-siput masuk dan keluar dari rumah siputnya dan melihat, bahwa boreh di
atas pipinya itu tidak berfaedah. Karena kesusahan hati siput-siput itu
meninggal dan tindakannya itu menyerupai upacara pembakaran mayat di depan
muka sang Arjuna yang digambarkan di atas batu.
|
14.
Tan mangka
kalakonikang rawa-rawa n masemu lumihat ing wwanging sabha.
Tiranyapned
arajasakayu suwarnna welas-arepikagelang kuning.
Mangka
tunjungikasekar wali pingul-pingulanika paddapajeng pingul.
Sarwwecchan
pachuring suhun bras ika yan pabanu-banu manganti ring renek.
|
14.Keindahan
rawa-rawa tidak serupa biasa pada waktu melihat orang-orang yang berkumpul di
tempat permusyawaratan. Tepinya sangat indah dengan bunga-bunga rajasa dan
bunga emas yang menimbulkan rasa kasihan, karena rupanya kuning seperti
gelang tembaga. Begitu pun keadaannya bunga tunjung yang setelah terbuka
kemudian tertutup lagi; tertutupnya itu seperti payung yang ditutup. Sangat
indahlah suara curing seperti bunga suhun beras (memakai kembang), yang
menunggu di tepi rawa untuk mandi.
|
15.
Singgih ya
maparek purangjrah ahalep-halep anulari rehnikang henu.
Bannanyasuragatulis
makalasa baritu wunnika sinang rateng.
Mangka tingkah i
padmaraganika sahya sasekar apajeng-pajeng dadu.
Tan pacri teka
ring petung gadding ebunya padda tumut apawwahan gadding.
|
15.Sungguhlah indah, ketika ia mendekati kota, karena ia memberikan
keelokannya kepada segala yang berkumpul ada di jalan. Pohon bana merupakan
bantal yang disulam dan mempergunakan
tikar yang beraneka warna. Buah wuni kemerah-merahan karena telah masak. Begitu
pula bunga padma yang merah, karena berkembang indah bunganya menyerupai
payung merah tua. Pohon bambu kuning kehilangan indahnya, begitu pula sama
keadaannya dengan tunas-tunas muda yang berbuah gading.
|
16.
Iwir tan wruh
ring unadhikangalasa pinndda bisu tuli watunya ring jurang.
Honnya ng kumbang
i kembanging rangin adoh wruha ri resep i pushpaning seddah.
Anggeng cengga
manuknya codda nacad ing syung atuha ri kalangwaning wukir.
Tekwan tan kahananwelas-arep
ulah ni sepahanika tan lumis mata.
|
16.Rupa-rupanya
hutan itu tidak mengetahui keadaan, batu-batu di jurang seolah-olah tidak
dapat berbicara dan tuli. Ada beberapa kumbang di atas bunga rangin karena
agak jauh tempatnya untuk dapat melihat keindahan bunga sirih. Burung Cengga
terus menerus berbunyi, sedangkan burung coda mencela burung beo, karena ia
mengira merupakan puncak dari keindahan bukit. Keindahan sepahan sirih sangat
menyedihkan, sehingga ia tidak menghiraukan sesuatu hal.
|
Sumber:
Prof.
Dr. R.M. Sutjipto Wirjosupatro:
“Kakawin Baratha-Yuddha” Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1968 – Penerbit
Bhratara – Jakarta.
Posted:
Slamet
Priyadi di Kp. Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar