|
Peta lokasi Kabupaten Kutai |
Blog Slamet Priyadi - Minggu, 13 Juli 2013 - 00:06 WIB - Pada masa tanah Kutai diperintah oleh Meruhum Surga Tanah, konon Gunung
Sorokan masih merupakan sebuah perkampungan bernama kampung Selo’kan. Mantik atau tetua kampungnya bernama Patih Idan.
Suatu
ketika Meruhum Surga Tanah, pergi meninjau kampung Selo’kan untuk melihat
keadaan rakyatnya secara langsung. Setelah melihat secara langsung kondisi dan
keadaan rakyatnya di kampung Selo’kan, Meruhum Surga Tanah memerintahkan kepada
Patih Idan untuk membuatkan lunas (sampan)
untuk dirinya. Perintah dari Meruhum Surga Tanah selaku sang penguasa Kutai
yang menguasai kampung Selo’kan dan masih berada di wilayah kekuasaannya, maka perintah itu harus segera dilaksanakan oleh Patih Idan.
Patih Idan pun memerintahkan pula kepada semua warga Selo’kan agar rakyatnya
membuat sampan untuk sang penguasa,
Meruhum Surga Tanah.
Alkisah,
maka beberapa hari kemudian sampan pesanan sang Meruhum Surga Tanah selesai
dikerjakan. Patih Idan pun segera menyerahkannya kepada Meruhum, akan tetapi
setelah sampan itu diterima, ternyata Meruhum minta dibuatkan satu buah lagi. Segera perintah ini pun dikerjakan. Patih Idan
bersama beberapa penduduk Selo’kan segera menebang pohon untuk membuat sampan satunya
lagi. Akan tetapi batang kayu yang ditebangnya jatuh menimpa sampan yang sudah
selesai dibuat sebelumnya hingga terbelah dua.
Agar
peristiwa ini tidak membuat gusar dan marah sang Meruhum, maka Patih Idan
menyuruh untuk membuat sampan pengganti.
Beberapa lama kemudian selesailah dua buah sampan dibuat dan Patih Idan
menyerahkannya kepada Meruhum Surga Tanah.
Rupa-rupanya
sang Meruhum masih belum puas menerima persembahan dua buah sampan tersebut.
Maka diperintahkannya agar Patih Idan dan rakyat kampung Selo’kan mampu
menghidupkan api di dalam air. Mendengar perintah Meruhum yang tidak masuk
akal, di luar kodrat manusia dan pasti
akan menyengsarakan rakyatnya itu, Patih Idan pun berkata kepada Meruhum, “Tuan, menurut pendapat hamba, itu tidak
mungkin bisa dilakukan oleh hamba dan rakyat Selo’kan karena sesungguhnya itu
tidak masuk akal dan di luar kondrat kita sebagai manusia.”
Mendengar
jawaban Patih Idan seperti itu, betapa sangat gusar dan marahnya sang Meruhum Surga
Tanah. Maka ia pun pergi meninggalkan Patih Idan dan rakyat kampung Selo’kan
yang hanya bisa menanti dan menerima resiko dari tindakan apa yang akan dilakukan
Meruhum. Saat meninggalkan Kampung Gunung Selo’kan, Meruhum Surga Tanah berkata
dengan murka dan marah besar, “Kalian
tunggu dan lihat saja nanti akibat dari penolakan atas perintahku, wahai rakyat
Selo’kan.”
Menurut
cerita, sesampainya Meruhum di Tenggarong, maka ia menyiapkan para sepangannya (pasukan). Setelah segala
sesuatunya sudah selesai disiapkan secara matang, maka berangkatlah Meruhum
bersama suku-suku Bugis yang telah diangkat menjadi sepangan menuju kampung
Gunung Selo’kan untuk memberi pelajaran kepada Patih Idan dan rakyatnya yang
telah berani melanggar perintahnya.
Maka
terjadilah peperangan yang sengit antara Patih Idan bersama rakyat kampung
Gunung Selo’kan melawan sang penguasa Kutai dan para sepangannya yang
terdiri dari suku-suku Bugis. Karena tak
seimbang, Patih Idan beserta rakyatnya kucar kacir dibuatnya. Kampung Gunung
Selo’ka luluh lantak hingga musnah.
Konon,
Patih Idan beserta tiga orang anaknya, satu masih seorang dara, dan dua orang
lelaki yang masih kecil-kecil sempat lari menyelamatkan diri dari kejaran
pasukan Meruhum. Sedangkan istrinya ikut tewas bersama-sama sebagian besar
rakyat Gunung Selo’kan.
Patih
Idan dan ketiga orang anaknya terus melarikan diri ke dalam hutan. Setelah
menemukan tempat persembunyian yang dianggap aman, dibuatlah pondok untuk tempat tinggal. Untuk
menghidupi ketiga anaknya Patih Idan berburu binatang di sekitar hutan tempat
persembunyiannya.
Suatu
ketika saat ketiga anaknya sedang bermain-main di sekitar pondok mereka, Patih
Idan pergi meninggalkan ketiga anaknya untuk berburu karena sebagian sisa
perbekalan makan turut musnah dalam pertempuran. Saat anak-anak Patih Idan
bermain-main, anak daranya melihat musang putih. Maka ditangkapnyalah musang
tersebut lalu dimasak untuk dimakan bersama kedua saudaranya. Sedangkan untuk
ayahnya ditinggalkan sepotong.
Menjelang
senja Patih Idan dengan beberapa ekor hewan hasil buruannya tiba di pondok
mereka. Akan tetapi betapa terkejut dan herannya Patih Idan, karena di sana tak
dijumpai ketiga anak-anaknya. Demikian pula dengan pondok tempat tinggal
mereka, semuanya tak kelihatan hilang tak tentu rimbanya. Terpikir olehnya
ketiga anak-anaknya tersesat saat bermain. Akan tetapi itu tidak mungkin karena
pohon-pohon yang tumbuh di sekitar pondok yang sudah dikenalnya benar masih
berdiri kokoh dan masih tumbuh di situ tidak berubah. Maka berteriaklah sekeras-kerasnya Patih Idan
memanggil-manggil ketiga nama anaknya, “Haaai...ketiga
anak-anakku, dimanakah kaliaaan...!” Anak perempuannya menjawab keheranan, “Di sini ayah, di pondok! Kenapa ayah
berteriak seperti itu?”
”Ayah tidak
melihat kalian semua dan pondok kita pun ayah tak melihatnya, apakah yang
terjadi?”
Tanya Patih Idan tambah keheranan.
“Mustahil, ayah! Kami bertiga tidak
kemana-mana sepanjang pagi sampai sore ini. Akan tetapi memang tadi ada musang
putih kutangkap lalu aku masak untuk makan kami bertiga!”
Terbersit
pikiran pada Patih Idan, mungkin akibat makan musang putih itulah bisa terjadi
hal yang demikian. Maka sekali lagi Patih Idan bertanya kepada anak daranya, “Apakah ananda melihat diri ayah?” “Melihat,
ayah! Bukankah ayah sedang berdiri di situ,” jawab anak daranya sambil
menunjuk ke arah ayahnya berdiri.
“Jika demikian,
adakah sisa sepotong daging musang itu lagi buat ayah?” Tanya ayahnya
lagi kepada putrinya.
“Ada, ayah! Tadi
sengaja ananda sisakan sepotong untuk ayah.”
“Jika begitu,
coba masukkan ke mulut ayah,” kata Patih Idan sambil menggerakkan
telunjuknya ke arah mulutnya yang sudah dingangakkan. Maka sisa sepotong daging
musang putih tersebut oleh anak dara Patih Idan, dimasukkan ke mulut ayahnya.
Setelah
memakan daging musang putih yang diberikan oleh anak daranya, barulah nampak
semuanya. Patih Idan dapat melihat ketiga anak-anaknya, pondok tempat
tinggalnya. Sejak saat itu Patih Idan dan ketiganya gaib di tempat itu, daerah
Gunung Selo’kan.
Menurut
cerita rakyat setempat, pada saat-saat tertentu mereka kadang-kadang bisa
mendengar suara-suara orang berdendang di situ. Diduga Patih Idan dan
anak-anaknya yang hilang secara gaib itu hidup dan berkembang terus di Gunung
Selo’kan hingga tempat itu menjadi sebuah perkampungan. Sampai sekarang masih
dipercaya di Gunung Selo’kan itu ada perkampungan gaib yang dipimpin oleh Patih
Idan. Konon, kadang-kadang pula mereka melihat sebuah telaga yang di sekitarnya
ditumbuhi bunga-bunga anggrek dan ada pula orang-orang yang sedang mandi di
telaga itu.
Oleh
karena untuk menuju ke sana jalannya yang tidak ditumbuhi pepohonan dan
bunga-bunga anggrek itu berbelit-belit, sulit dan berkelok-kelok maka orang
menyebut tempat itu bernama Gunung Selo’kan yang lama kelamaan menjadi Gunung
Sorokan, sampai sekarang.
Sumber:
Depdikbud, Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Pemda Kutai 1979
Posted:
Slamet Priyadi