Pewarta: I Ketut Sutika
Tari Joged Legong Bisama yang dibawakan anak perempuan belum dewasa ini merupakan tari Bali sakral dan langka yang sudah jarang dipagelarkan. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana) |
"Tari Bali sangat diikat oleh nilai-nilai budaya Hindu Bali"
"Sebelum agama Hindu masuk ke Bali, masyarakat setempat yang masih primitif telah memiliki jenis-jenis tari yang berfungsi untuk menolak bala yang hingga kini masih dijumpai di daerah pedesaan dan pegunungan," kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, di Denpasar, Sabtu. Akan tetapi, kata kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana itu, runtuhnya Kerajaan Majapahit pada permulaan abad XV, membawa berkah terhadap keberadaan kesenian di Bali yang dikembangkan oleh pelarian seniman-seniman dari Jawa.
Pada zaman kejayaan kerajaan Bali, abad XV-XIX, tarian-tarian Bali mengalami masa keemasan dengan terciptanya sejumlah drama tari, di antaranya dramatari Gambuh yang dinilai sebagai sumber tari Bali yang berkembang sesudahnya.
"Sebagai hasil olah cipta, rasa, serta karsa masyarakat dan seniman Bali, tari Bali sangat diikat oleh nilai-nilai budaya Hindu Bali," katanya.
Berdasarkan Seminar Tari Sakral dan Profan pada 1971, masyarakat Bali mengklasifikasikan seni tari menjadi tiga, yakni Tari Wali, Tari Bebali, dan Tari Balih-balihan.
Tari Wali merupakan jenis-jenis tari Bali yang berfungsi sakral, hanya dapat dipentaskan pada tempat, waktu, dan suasana yang dianggap suci.
Tari Bebali adalah tarian seremonial yang dipentaskan melengkapi ritual keagamaan.
Tari Balih-Balihan adalah seni pertunjukkan bersifat sekuler yang disajikan di arena profan.
Ia mengatakan bahwa tari sebagai refleksi dari organisasi sosial, sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan.
Selain itu, tari merupakan aktivitas rekreasi dan hiburan sekaligus sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis dan refleksi dari kegiatan ekonomi, ujar Kadek Suartaya.
Editor: Ella Syafputri
COPYRIGHT © 2014