Diceritakan
Oleh Kak Sita Rose
|
Sri Pogowanti dan Siluman Ular Sawah |
Senin, 15 Desember 2014 – 14:44 WIB – Di tepian sungai Pogowonto hiduplah sepasang suami
istri bernama Pak Pogo dan Nyi Suwanti. Sudah bertahun-tahun mereka menikah
akan tetapi belum juga dikaruniai seorang anak satu pun juga, padahal mereka
sangat mendambakannya. Mereka sudah
berupaya kesana-kemari. Berobat kian-kemari, bertanya sana-sini kepada
orang-orang yang dianggap pintar dalam hal spiritual, akan tetapi upayanya itu
seakan sia-sia karena sampai sekarang ia belum juga diberikan kepercayaan oleh
Tuhan untuk momong seorang anak.
Pekerjaan sehari-hari pak Pogo dan istrinya adalah mencari
ikan, bertani dan bercocok tanam padi di sawah serta menjaga kebersihan sungai
Pogowonto dari sampah-sampah dan kotoran yang bisa mengganggu kejernihan dan
kebersihan serta keindahan alam sekitar sungai. Pekerjaan itu dilakukannya
dengan penuh dedikasi tinggi, penuh keikhlasan dan tanpa pamrih semata-mata
karena sangat mencintai kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan. Mereka
melakukan itu semua karena merasa sungai Pogowonto adalah sebagai sumber
penghidupannya yang harus selalu dijaganya setiap saat.
Suatu ketika pak Pogo di dalam tidurnya bermimpi
berjumpa dengan seorang kakek tua berpakaian hitam-hitam, berikat kepala hitam,
berjenggot, berkumis, dan berambut panjang berwarna putih. Dalam mimpinya orang
tua itu berpesan kepada pak Pogo:
“Pogo, aku adalah yang baurekso (penguasa, penunggu) sungai Pogowonto ini, jika kamu
sungguh-sungguh ingin memiliki seorang anak, temuilah ular sawah penunggu hutan
bambu yang berada di ujung sungai ini. Mintalah sepotong rebung bambu darinya,
lalu masak dan makanlah bersama-sama istrimu, karena rebung bambu itulah yang
kelak membuat istrimu hamil mengandung seorang anak yang kau idam-idamkan”.
Setelah berkata demikian orang tua itu lenyap seketika.
Mimpi itu telah membuat pak Pogo terjaga dari
tidurnya, padahal hari masih tengah malam. Ia pun bangun dari tempat tidurnya,
menggosok-gosokkan matanya yang masih sedikit terpejam, lalu membangunkan
istrinya yang masih tidur lelap. Sejenak kemudian, istrinya pun bangun seraya
berkata kepada pak Pogo:
“Ada apa pak? Kau membangunkan aku, ini kan masih
tengah malam, pak?”
“Bangunlah, istriku! Barusan aku telah bermimpi
bertemu dengan penguasa sungai Pogowonto ini”. Pak Pogo berdiam sejenak, lalu
melanjutkan kata-katanya, “Dalam mimpi itu pak tua itu berpesan kepadaku, bahwa
jika ingin memiliki anak, kita bersama-sama harus makan rebung bambu yang
ditunggui oleh ular sawah yang berada di hutan bambu sana di ujung sungai Pogowonto
ini”.
Mendengar penjelasan dari suaminya tentang pesan dari
orang tua penguasa sungai Pogowonto, tentang sesuatu yang harus dikerjakannya
agar memiliki anak lewat mimpinya itu,
betapa riang hati istrinya karena menurutnya itu sebagai pertanda bahwa kelak
ia akan diberikan seorang anak yang memang sudah diidam-idamkannya selama ini.
Maka kepada suaminya ia pun langsung berkata:
“Pak, kalau begitu esok pagi-pagi benar, kau langsung
menemui ular sawah itu, mohonlah kepadanya agar mau memberikan satu rebung
bambu saja untuk dimasak buat sarapan kita pagi hari ini!” Demikian kata Nyi
Suwanti kepada suaminya dengan wajah penuh kegembiraan.
“Baiklah bu, besok pagi-pagi benar aku akan segera
berangkat menemui ular sawah penunggu pohon bambu itu!” Jawab Pak Pogo kepada
istrinya.
Setelah berkata kepada istrinya, pagi-pagi benar, saat
sang surya pagi mulai terbit, pak Pogo berangkat menuju hutan bambu yang berada
tak begitu jauh dari tempat tinggalnya, di ujung tepian sungai Pogowonto.
Setiba di sana ia langsung menuju ke hutan, berjalan di jalan setapak di tengah
pematang sawah yang saat itu padinya mulai menguning. Di hutan itu, ia tengok
kiri-kanan, matanya nanar tajam mencari rebung bambu yang ditunggui oleh ular
sawah sebagai mana pesan yang disampaikan pak tua dalam mimpinya kemarin malam.
Ketika matanya menatap ke sebelah kanan, ia melihat ular sawah yang besar
tubuhnya tidak seperti biasanya. Ular sawah itu besarnya tiga kali lipat dari ular
sawah yang biasa dilihatnya. Dengan suara mendesis ular itu bicara kepada pak
Pogo:
“Wahai manusia, aku adalah penunggu hutan bambu ini,
apa yang kau cari di sini?”
“Ya, ular sawah penunggu hutan bambu, aku minta maaf sebelumnya
karena telah mengusik keberadaanmu. Aku sudah lama tak mempunyai keturunan, dan
aku dan istriku sangat mendambakan seorang anak. Semalam, aku mendapat pesan
dari pak tua penguasa sungai Pogowonto lewat mimpiku, jika ingin memiliki anak
harus makan rebung bambu yang ada di hutan ini dengan memintanya secara
baik-baik dari ular sawah yang melilitnya”. Demikian penjelasan dari Pak Pogo
kepada ular sawah penunggu hutan bambu.
“Oh, begitukah?” jawab ular sawah pendek sambil
menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang, lalu melanjutkan kata-katanya lagi,
“Akan tetapi perlu kau ketahui manusia, itu tidak semudah yang engkau pikirkan,
karena ada syarat berupa janji yang harus kau penuhi nanti setelah berhasil
memiliki anak, apakah kau mau melakukannya?” demikian kata ular sawah kepada
pak Pogo.
Pak Pogo terdiam sejenak mendengar persyaratan janji
yang harus ditepati setelah berhasil memiliki seorang anak. Ia jadi ingat
istrinya yang selalu menyuruhnya agar berupaya keras mencari bagaimana caranya
mendapatkan seorang anak. Akhirnya
dengan tak berpikir panjang lagi, ia pun menyetujui syarat yang diberikan oleh
ular sawah itu dengan berkata:
“Baiklah ular sawah, aku setuju dengan syarat yang kau
berikan. Akan tetapi janji apakah yang harus aku penuhi setelah mempunyai anak
nanti?”
“Mudah saja manusia, sekarang akan aku katakan
syaratnya, dan dengarkanlah baik-baik! Yang pertama, jika anakmu laki-laki maka
kau beruntung, aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Yang kedua, jika anakmu
lahir perempuan, maka kau harus menyerahkannya kepadaku setelah berusia
sembilan tahun. Apakah kau setuju? Pikirkanlah baik-baik, agar tak ada
penyesalan nanti!” demikianlah syarat yang diutarakan ular sawah kepada pak
Pogo dengan jelas dan tegas.
Mendengar persyaratan itu Pak Pogo sedikit terkesima,
terutama dengan persyaratan yang kedua. Dalam hatinya ia berkata, “apakah
istriku akan menyetujui dengan syarat yang kedua ini?” Akan tetapi demi
hasratnya yang begitu besar untuk memiliki seorang anak, maka ia pun menyetujui
kedua syarat yang diberikan oleh ular sawah penunggu hutan bambu itu, “ya
mudah-mudahan saja anak yang lahir nanti laki-laki, sehingga tak ada masalah di
kemudian hari.” Demikian pikir pak Pogo dalam hati.
“Baik ular sawah, aku setuju dengan kedua syarat itu.
Dan, aku janji jika anak yang lahir dari istriku nanti adalah perempuan aku
akan menyerahkannya kepadamu.” Jawab pak Pogo kepada ular sawah.
“Sekarang, kau ambil saja rebung bambu ini! Oya tunggu
sebentar, aku akan memantrai terlebih dahulu rebung ini agar kelak setelah kau
makan bersama-sama istrimu tak lama kemudian istrimu akan hamil.” Setelah
memantrai rebung bambu itu dengan desisnya yang cukup panjang, ular sawah
penunggu hutan bambu itu lenyap tanpa bekas. Sejenak kemudian, pak Pogo pun
memangkas rebung bambu yang telah dimantrai oleh ular sawah itu dengan golok
panjang yang dibawanya dari rumah tadi. Ia juga memotong pelepah daun pisang yang
berada di sekitar situ untuk membukus rebung bambu yang telah dipangkasnya
tadi. Setelah memasukkan kembali golok kesarungnya, lalu rebung bambu dibungkus
dengan daun pisang, dan ia pun segera kembali pulang menemui istrinya di rumah.
Menjelang sore, sampailah pak Pogo di pondoknya. Ia langsung
meletakkan rebung bambu di bawah pintu
masuk rumahnya, kemudian menuju bilik kamarnya, mengetuk pintu lalu membuka
pintu kamar dan menemui istrinya yang memang sedang menantikan dirinya sambil
tidur-tiduran. Melihat suaminya telah
kembali, Nyi Suwanti langsung menanyakan suaminya:
“Pak, aku gembira sekali kau telah kembali! Bagaimana
pak? Apakah kau berhasil menemui ular sawah penunggu hutan bambu itu, dan
bagaimana dengan rebung bambunya, pak? Tanya Nyi Suwanti sambil bangun dari
tempat tidur dan menggamit tangan suaminya. Pak Pogo membalas gamitan tangan
istrinya dengan memeluk tubuh istrinya lalu duduk di pinggir tempat tidur
seraya menjawab pertanyaan istrinya:
“Istriku, rupanya segala sesuatunya berjalan lancar
sebagaimana yang kita inginkan, dan rebung bambu itu aku letakkan di bawah
pintu depan sebelum aku masuk tadi”.
“Oya, begitukah? Jika demikian langsung kita siangi
saja rebung itu, dan kita masak sore ini juga, bagaimana, pak?”
“Aku setuju, bu. Sebaiknya memang begitu, lebih cepat
lebih baik sebab aku sudah tak sabar ingin memiliki seorang anak darimu, bu!”
demikian kata-kata penuh cumbuan yang diucapkan pak Pogo sambil mencubit dagu
istrinya yang teramat dicintainya itu. Nyi Suwanti pun menjawabnya pula dengan
penuh mesra:
“Hi, hi, hi,... bapak ini bisa saja, gombal, akh!
Lebih baik sekarang aku memasak rebung bambu itu saja.” demikian kata-kata Nyi
Suwanti dengan penuh sikap kemanjaan kepada suaminya, Pak Pogo.
Singkat cerita, mereka berdua pun asyik menikmati
rebung bambu yang sudah dimasaknya itu dengan sepiring nasi putih yang di makan
bersama-sama. Sepiring berdua, seperti judul lagunya Hamdan ATT, penyanyi
dangdut yang terkenal itu. Sebulan kemudian mulai nampak ada perubahan pada
diri Nyi Suwanti. Ia sering muntah-muntah dan perutnya pun mulai sedikit
membesar. Melihat perubahan ini pak Pogo sangat gembira karena ia tahu istrinya
mengidam dan sedang hamil mengandung janin bayi yang sangat diidam-idamkannya
selama ini.
Tepat pada bulan kesembilan lewat sembilan hari, Nyi
Suwanti, istri pak Pogo melahirkan seorang bayi perempuan mungil, beranbut
hitam pekat, sedikit keriting dengan mata tajam yang menandakan bahwa bayi itu
kelak akan menjadi wanita yang cerdas. Pak Pogo sangat bahagia sekali melihat
istrinya melahirkan bayinya dengan lancar, sehat dan tidak mendapat halangan
satu apapun. Ia memberi nama bayinya itu, Sri
Pogowanti. Kata “Sri” diambil dari nama seorang Dewi Pelindung yang turun
ke dunia menjelama jadi ular sawah untuk melindungi bumi persawahan padi
penduduk dari hama tikus yang suka merusak dan memakan tanaman padi yang siap
akan dipanen. Sedangkan “pogowanti” adalah gabungan nama dirinya sendiri, Pogo
dan nama istrinya Suwanti. Akan tetapi ada yang masih menganjal dalam
pikirannya, karena bayi yang dilahirkan istrinya berjenis kelamin perempuan. Ia jadi ingat
akan janjinya kepada ular sawah penunggu hutan saat bertemu di hutan bambu
dahulu, yang akan bersedia menyerahkan anaknya kepada ular sawah setelah
berusia sembilan tahun jika anak yang dilahirkan berkelamin perempuan. Tetapi
janji yang harus dipenuhinya itu belum pernah dikatakan dan diberikatahukan
kepada istrinya, Nyi Suwanti. “Akh, biarkanlah yang terjadi maka terjadilah,
aku tetap tak akan membuka rahasia ini
kepada istriku. Aku tak mau membuat istriku jadi susah karena memikirkan hal
ini”. Demikian pikir pak Pogo dalam hati.
Hari-hari berjalan terus, dari hari ke hari, dari
minggu ke Minggu, bulan ke bulan, dan dari tahun berganti tahun, maka tak
terasa Sri Pogowanti yang dulu kecil bayi mungil kini sudah berusia sembilan
tahun. Kemungilan dan kecantikannya semakin bertambah. Rambutnya bagaikan
mayang terurai, panjang hingga sebahu, kulitnya kuning langsat, suaranya lembut
bagaikan buluh perindu. Meski usianya masih sembilan tahun akan tetetapi bentuk
tubuhnya seperti orang dewasa, sehingga membuat terpesona bagi siapa saja yang
melihatnya.
Pada suatu malam saat pak Pogo dan istrinya tertidur
lelap, mereka berdua serentak terjaga. Mereka mendengar suara desis panjang
dengan kata-kata yang cukup membuat berdiri bulu roma. Ya, itu adalah suara
desis ular sawah penunggu hutan bambu yang datang menagih janji kepada pak
Pogo, karena pak Pogo ternyata melupakan janjinya untuk menyerahkan anak
perempuannya, Sri Pogowanti:
“Pogo, kau lupa akan janjimu sendiri bahwa akan
menyerahkan anakmu kepadaku jika terlahir perempuan. Ini sudah sembilan tahun
berlalu, aku menagih janji akan mengambil anakmu untuk kujadikan tumbal makananku.”
“oya, ya, ya, ya,... ular sawah, tentu aku tidak lupa,
maafkanlah aku! Ular sawah, aku mohon sekali ini saja, maafkanlah kami! Beri
kami waktu barang sepekan untuk merundingkan masalah ini kepada istri dan anak
kami, Nyi Suwanti dan Sri Pogowanti.”
Baik, Pogo! Aku masih memberimu kesempatan. Akan tetapi
jika sepekan ini kau tak datang ke hutanku, aku akan datang kembali ke sini
untuk merampas anakmu yang cantik itu.” Demikian ancaman ular sawah kepada pak
Pogo. Nyi Suwanti yang sama sekali tidak mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya, menjadi terheran-heran, terkesemima melihat ular sawah yang cukup
besar melebihi bentuk ular sawah sesungguhnya. Ia pun lalu bertanya kepada
suaminya:
“Pak, sebenarnya ada perjanjian apakah antara bapak
dengan ular sawah besar itu? Mengapa ular itu meminta anak kita, Sri
Pogowanti?”
Sambil menggaruk-garuk telinga kirinya yang terasa
gatal, pak Pogo menjawab pertanyaan istrinya. Sementara di bilik kamar
putrinya, Sri Pogowanti melihat, menyaksikan semua kejadian yang baru saja
terjadi, dan mendengar ancaman ular sawah yang akan mengambil dirinya untuk
dijadikan mangsa:
“Maafkan aku, bu! Aku memang sudah mengadakan
kesepakatan dengan ular itu, dan berjanji akan meyerahkan putri kita jika sudah
berusia sembilan tahun, sesuai dengan janji yang telah aku sepakati dengan ular
itu.” Pak Pogo terdiam sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya. “Ini memang
kesalahanku karena tidak terus terang mengatakannya kepadamu, istriku! Yakh,
pada waktu itu aku tidak berpikir panjang karena keinginan kita yang terlalu
besar untuk memiliki seorang anak sehingga menuruti saja syarat yang diberikan
oleh ular sawah itu!”
Mendengar semua penjelasan suaminya, Nyi Suwanti
semakin penasaran lalu ia pun bertanya lagi kepada suaminya:
“Ada perjanjian apakah bapak dengan ular sawah itu?
Oleh karena setahu aku, bapak hanya meminta rebung bambu dari ular sawah itu sesuai
petunjuk dari bapak tua yang datang dalam mimpi, bahwa kita akan memiliki
seorang anak jika kita berdua memakan rebung bambu yang kita peroleh dari ular sawah yang berada
di hutan bambu sana!” demikian tutur Nyi Suwanti kepada suaminya dengan mimik
wajah yang penuh keheranan.
“Ya, bu! Ular sawah itu sesungguhnya adalah salah satu
siluman penunggu hutan bambu. Pada waktu itu, saat aku meminta rebung bambu, ular
siluman itu mau memberikannya tetapi ada syarat yang harus dipenuhi dan aku
menyepakatinya. Ular sawah siluman penunggu hutan bambu itu berkata, “Jika anakmu laki-laki maka kau beruntung,
aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Dan yang kedua, jika anakmu lahir
perempuan, maka kau harus menyerahkannya kepadaku setelah berusia sembilan
tahun. Apakah kau setuju? Pikirkanlah baik-baik, agar tak ada penyesalan
nanti!” demikianlah syarat yang diutarakan ular sawah itu kepadaku dengan
jelas dan tegas.
“Lalu, sekarang kita harus bagaimana untuk mengatasi
semua ini, pak? Terus terang aku tak mau putri kita Sri Pogowanti menjadi
korban dimangsa ular itu, aku tak mau kehilangan anak kita, pak!”
Tenanglah, bu! Masih ada kesempatan, masih ada sisa
waktu enam hari lagi mencari jalan keluarnya. Semoga Tuhan akan memberi
petunjuk kepada kita, berdoalah, bu!”
Ketika pak Pogo sedang berupaya meredam kecemasan dan
kekhawatiran istrinya yang begitu takut akan kehilangan putri satu-satunya yang
sangat dikasihinya itu, muncul Sri Pogowanti menghampiri kedua orang tuanya
lalu berkata:
“Bapak, ibu! Aku sudah melihat dan menyaksikan sendiri
semua kejadian tadi, dan aku pun sudah mendengar kata-kata ancaman dari sang
ular sawah itu, juga segala perbincangan bapak dan ibu. Bapak, ibu tak usah khawatir!
Aku sama sekali tak takut dan tidak gentar barang sedikitpun. Biarkan ular
siluman itu datang lagi atau nanti Sri Pogowanti saja yang menemui ular itu di
hutan bambu sana!”
Nyi Suwanti dan pak Pogo sedikit terperanjat dengan
kehadiran putrinya Sri Pogowanti, mereka berdua lalu memeluk putrinya yang
masih berusia 9 tahun. Mereka berdua sama sekali tak menyangka dengan sikap dan
kata-kata yang diucapkan putrinya itu yang sedikit pun tak nampak ketakutan.
Memang, Sri Pogowanti meskipun usianya baru 9 tahun, tapi penampilan fisiknya
sudah seperti gadis dewasa, berani, dan nampak memiliki kecerdasan yang lebih
dari anak-anak seusianya. Selain itu, Sri Pogowanti juga anak yang baik, hormat
dan selalu patuh kepada kedua orang tuanya. Hal inilah yang menjadikan Pak Pogo
dan Nyi Suwanti sangat menyintai putrinya
dan khawatir dan sangat takut kehilangan putrinya yang hanya semata
wayang itu.
“Oh, putriku Sri Pogowanti sungguh ibu takut akan
kehilanganmu! Bagaimana nanti jika kau dimangsa ular siluman itu?” demikian
kata-kata penuh kekhawatiran Nyi Suwanti kepada putrinya. Hal yang sama
dirasakan pula oleh pak Pogo yang merasa paling bersalah dengan kejadian
semacam ini, ia tak bisa berkata banyak. Dengan mulut bergetar ia menyapa
putrinya itu, “Ya, anakku! Maafkanlah bapakmu ini”.
“Bapak, ibu tak usah takut dan khawatir aku akan tewas
dimangsa ular siluman itu karena sebelumnya aku sudah mengetahui semua yang
akan terjadi, dan aku juga sudah tahu dengan kesepakatan perjanjian bapak
dengan ular itu yang akan menyerahkan aku setelah berusia 9 tahun.”
“Oya, lalu dari siapakah kau bisa tahu akan semua ini,
anakku?” demikian tanya pak Pogo dan Nyi Suwanti serempak kepada putrinya.
“Dari Eyang Pogowonto yang sering menemani aku saat
bermain mencari ikan di sungai!”
“Sri Pogowanti putriku, apakah kau mengenal dengan
Eyang Pogowonto itu, bagaimanakah rupanya dan ciri-cirinya?” Tanya pak Pogo
kepada putrinya seraya memegang kedua pundak Sri Pogowanti.
“Bapak, ibu tentu saja Sri mengenalnya dengan akrab
karena sejak aku berusia 7 tahun, Eyang Pogowonto sudah menemani aku setiap
kali pergi ke sungai. Bahkan sering melindungi aku dari ular-ular berbisa yang
akan mematukku, juga membantu aku menangkap ikan di sungai!”
“Lalu bagaimana dan seperti apakah ciri-ciri dan raut
muka Eyang Pogowonto itu, anakku?” Pak Pogo kembali bertanya kepada putrinya
dengan tak sabar karena pertanyaannya masih satu yang belum dijawabnya.
“Eyang Pogowonto itu meski wajahnya sudah sepuh (tua)
sekali tetapi nampak kekar dan gagah. Rambutnya panjang, berkumis dan
berjanggut panjang dan sudah putih semua. Berbaju warna hitam, bercelana hitam dan
memakai kalung hitam di lehernya. Terkadang menggunakan tongkat kayu berwarna
hitam pula yang digunakan untuk menunjuk ikan-ikan di sungai yang akan ditangkapnya
ketika membantu aku mencari ikan, bapak!” Sri Pogowanti diam sejenak lalu
melanjutkan kata-katanya lagi, “Bahkan Eyang Pogowonto juga selalu berkata dan berjanji
akan melindungi aku, ibu dan bapak dari bermacam-macam kejahatan yang akan
mengganggu dan membahayakan keluarga kita.”
“Oya,...ya,...ya,... Istriku, jika demikian Eyang
Pogowonto itu adalah orang tua yang hadir dalam mimpiku itu.” Berkata pak Pogo
kepada istrinya, dan dalam hati ia mengucapkan kata-kata terima kasih kepada
Eyang Pogowonto karena selama ini ternyata orang tua tersebut telah melindungi
putrinya bahkan keluarganya.
“Iya, pak! Kita harus berterima kasih banyak kepada
Eyang Pogowonto yang telah melindungi keluarga kita itu.”
“Akan tetapi,
bu! Bagaimana caranya dan dengan apa kita harus mengucapkan tanda terima kasih
kepada Eyang Pogowonto itu? Baiklah, bu! Sebaiknya sekarang kita beristirahat
dulu karena hari sudah semakin larut malam. Oya, Sri Pogowanti! Tidur dan
beristirahatlah besok baru kita pikirkan lagi bagaimana caranya untuk
menyelamatkan diri dari siluman ular sawah yang akan datang enam hari lagi!”
Beberapa saat kemudian mereka pun beranjak ke biliknya
masing-masing untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi dalam benak pikirannya,
pak Pogo masih bertanya-tanya dan belum mengerti dengan sikap Eyang Pogowonto
sang baurekso sungai Pogowonto yang begitu baik menjaga dan melindungi
keluarganya terutama putrinya, Sri Pogowanti. Lama pertanyaan-pertanyaan itu
mengganggu pikirannya tetapi karena matanya semakin mengantuk, akhirnya ia
pulas juga tertidur dengan menyimpan banyak pertanyaan yang belum didapat jawabannya.
Dalam tidurnya kembali Pak Pogo bermimpi
didatangi oleh orang tua sang baurekso
sungai Pogowonto, Eyang Pogowonto. Dalam mimpinya Eyang Pogowonto berpesan agar
membiarkan saja putrinya Sri Pogowanti pergi mendatangi hutan bambu menemui
ular siluman sawah yang akan memintanya untuk dijadikan tumbal. Hal itu karena
Sri Pogowanti selain memang dijamin keselamatannya oleh Eyang Pogowonto, Sri
Pogowanti juga telah diberi mantra pelindung jin, setan dan lain sebagainya
oleh Eyang Pogowonto.
“Pogo cucuku, kau tak usah khawatir dengan keselamatan
putrimu Sri Pogowanti, karena aku akan selalu menjaga dan melindunginya dari
berbagai macam bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, percayalah padaku.
Dan, biarkan dia menemui ular siluman hutan bambu itu, putrimu itulah yang
kelak akan membuat insyaf siluman ular untuk tidak berbuat jahat lagi bahkan
akan menjadi penjaga padi yang setia seumur hidupnya. Siluman ular sawah itulah
yang akan membasmi semua hama padi dan perusak tanaman, khususnya ladang kebun
dan tanah persawahanmu.” Eyang Pogowonto terdiam sejenak, saat itu Pak Pogo
bertanya kepada Eyang Pogowonto akan ihwalnya kenapa sang baurekso sungai
Pogowonto itu bersikap baik kepada keluarganya,
“Akan tetapi eyang, kenapa Eyang...” Belum selesai pak
Pogo melanjutkan kata-katanya, Eyang Pogowonto melanjutkan pesan-pesannya,
“Sudahlah Pogo, aku tahu apa yang ada dalam benak pikiranmu, kau ingin bertanya
kenapa aku begitu baik kepadamu dan keluargamu? Pogo cucuku, itu semua karena
kau telah menjaga kebersihan sungai dan lingkungan alam di sekitar sungai
Pogowonto ini dengan baik. Kau pun tak bosan-bosan memberitahukan akan arti
kebersihan, kesehatan, dan keasrian, serta kelestarian alam kepada masyarakat
desa di sekitar sungai Pogowonto ini. Itu artinya, kau telah membantuku dalam
menjaga kelestarian sungai ini Demikian
pesan Eyang Pogowonto kepada Pak Pogo dalam mimpinya.” Selesai menyampaikan
pesan-pesannya kepada pak Pogo, Eyang Pogowonto pun lenyap seketika.
Setelah mendengar pesan dan penjelasan dari Eyang
Pogowonto lewat mimpinya, pak Pogo baru menyadari apabila yang dilakukan selama
bertahun-tahun dalam menjaga kebersihan sungai dan lingkungan alam sekitar
sungai Pogowonto mendapatkan apresiasi yang sedemikian tinggi dari sang
baurekso penguasa sungai Pogowonto, Eyang Pogowonto.
Suara kokok ayam yang bersahut-sahutan menjelang pagi
membangunkan dan menyadarkan pak Pogo dari mimpinya. Segera ia pun beranjak
dari tempat tidurnya lalu membangunkan istrinya untuk membuatkan secangkir kopi
dari buah kopi yang baru dipetik di kebunnya dua hari lalu. Setelah meletakkan secangkir kopi di meja
yang terbuat dari kayu sono keling, Nyi Suwanti menuju bilik kamar Sri
Pogowanti, putri satu-satunya yang sangat dikasihinya itu. (Bersambung!)
Bumi Pangarakan
senin, 15 Desember 2014-8:53 wib