Seni Budaya Nusantara – Selasa, 27
Januari 2015 – KETIKA SAYA masih di
sekolah dasar, saya suka sekali menonton film cowboy. Ketika itu film yang saya
tonton tidak bersuara alias bisu, meskipun begitu saya dan teman-teman
sekampung sangat menyukainya karena pada saat itu film layar lebar memang belum
seperti sekarang. Bagi saya pada waktu
itu, film yang bagus adalah film yang ceritanya ada tembak-tembakan antara
jagoan dan para bandit, ada nona(non) yang diculik para bandit kemudian
datanglah jagoan menolong si Non. Terjadilah perkelahian, kejar-kejaran di atas
kuda sambil menembakkan pistolnya ke arah lawan, ada “duel” perkelahian satu
lawan satu baik dengan tangan kosong maupun adu kecepatan menembak dengan
pistol. Adapun film Indonesia yang paling aku suka pada saat itu diantaranya
adalah “Abang Puase” dan “Nyai Dasima”, Si Conat, Harun Pahlawan Aceh.
Pada
setiap ada hajatan di kampung dengan menanggap film, saya dan teman-teman tak
pernah absen untuk menonton meskipun dengan resiko kena marah dari orang tua
dan gebukan rotan yang terasa pedih di pantat karena pergi nonton tak pernah
bilang. Itulah resiko sebuah hobi menonton film di era tahun enampuluhan sampai
tahun tujuhpuluhan ketika aku masih kanak-kanak.
Sobat,
film merupakan kerja seni yang demikian kompleks karena di dalamnya melibatkan
banyak komponen seperti teknologi, industry, seni rupa, musik, seni peran dan
sebagainya yang kesemuanya itu dikelola
dan dipertanggung jawabkan secara kualitas oleh seorang sutradara. Bagus dan jeleknya sebuah karya film, diterima
atau ditolaknya sebuah film oleh masyarakat, pertanggungjabannya terletak pada
seorang sutradara.
Mari
kita simak, apa saja yang harus dikerjakan dan dipersiapkan oleh seorang
sutradara dalam membuat karya film yang saya cuplik dari buku karya Usmar
Ismail, “Mengupas Film” halaman 159 berikut ini:
1. Menyelesaikan manuskrip menjadi suatu rencana
kerja yang lengkap dengan bangunan montage-nya .
2. Memilih para pelakon, para pemain.
3. Bersama-sama dengan ahli dekor beserta
kameraman dan ahli pengambil suara, merancang dekoryang diperlukan. Mencari
tempat-tempat atau lokasi yang baik dan tempat untuk lokasi shooting.
4. Bersama-sama dengan kameraman merancang
sudut-sudut penglihatan kamera serta kemungkinan-kemungkinannya.
5. Menyusun suatu rencana ambilan (opname
prograamma) yang berarti memisahkan adegan-adegan yang berlaku pada satu tempat
menjadi satu kesatuan dan menetapkan satu kalender kerja.
6. Mengatur permainan.
7. Mengamat-amati hasil usaha laboratoriumyang
mengerjakan film yang baru diambil dan memeriksa cetakan pertama (werk copie).
8. Montage.
Dengan
demikian sutradara adalah satu-satunya orang yang menjadi central pengatur
pembuatan film dari awal sampai akhir. Kendati demikian, film adalah karya seni
bersama yang memerlukan banyak ahli bagi tiap cabang pekerjaannya. Yakh,
sedikitnya staf pekerja, selain dari sutradara, harus terdiri dari seorang
asisten sutradara yang berkewajiban memimpin pekerjaan-pekerjaan sebelum
opname.
Seorang
kameraman dan asistennya, seorang pengambilan
suara dan asistennya, seorang ahli listrik dan asistennya, seorang ahli
dekor dan pembantunya, seorang pemegang skrip yang harus mencatat segala
sesuatu mengenai jalannya opname, panjangnya suatu ambilan, adanya persambungan
yang logis antara ambilan-ambilan dan adegan –adegan (continuity) dan lain
sebagainya, seorang pemimpin opname, seorang ahli rias dan pakaian (property),
seorang ahli montage. Daftar seperti ini bisa diperpanjang lagi, akan tetapi
kebanyakan film studio di Indonesia memakai staf hanya empat, lima orang saja yang masing-masing merangkap empat
atau lima macam pekerjaan dengan alas an ekonomis dan efisien. Benar ekonomis,
benar efisien, akan tetapi hal tersebut belum tentu bagus jika ukurannya adalah
kualitas.
Selasa, 27 Januari 2015 - 21:08 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Bogor