Sabtu, 28 September 2019

"BUKU GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI BAB IV"

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Minggu, 29 September 2019 - 11.10 WIB

Image "Buku G 30 S PKI (Foto: SP)

BAB IV
PERSIAPAN PEREBUTAN KEKUASAAN/
PEMBERONTAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA
MELALUI GERAKAN 30 SEPTEMBER

A.               PKI MELAKSANAKAN APA YANG MEREKA SEBUT”PENINGKATAN SITUASI OFENSIF”, TAHUN 1964-1965

Setelah penyusupan penyusupan kader-kader PKI ke dalam tubuh aparatur negara, termasuk ABRI, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan mencapai taraf yang oleh PKI dinilai cukup kuat, maka PKI mulai melaksanakan kegiatan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner, yang meliputi hal-hal berikut :

1.          Sabotase, Aksi Sepihak, dan Aksi Teror
Upaya PKI untuk menciptakan suasana revolusioner, selain dilakukan melalui kegiatan-kegiatan politik yang menghebat, juga melalui kegiatan-kegiatan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah :
a.           Tindakan sabotase terhadap Transportasi Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh Kereta Api
Tindakan sabotase yang dilakukan kaum komunis terhadap srana-sarana vital Pemerintah mulai terlihat sejak bulan Januari 1964. Pada tanggal 11 Januari 1964 rangkaian kereta api rute selatan melanggar sinyal dan langsung masuk stasiun Purwokerto, Jawa Tengah sehingga menabrak rangkaian gerbong yang berhenti di stasiun tersebut.
Kemudian, pada tanggal 6 Febuari 1964, kasus tabrakan antara dua rangkaian kereta api juga terjadi di Kaliyasa, Solo, Jawa Tengah. Pada tanggal 30 April 1964, peristiwa yang sama terjadi pula di Kroya, Jawa Tengah, tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964 di Cipapar, Jawa Barat.
Menyusul kemudian kasus-kasus lepas dan larinya gerbong-gerbong dari  pangkalan lokomotifnya di Tanah Abang tanggal 18 Agustus 1964, di Bandung tanggal 31 Agustus 1964, dan di Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964. Seminggu kemudian, yaitu pada tanggal 18 Oktober 1964 di daerah yang sama (Tasikmalaya) terjadi kasus kecelakaan yang menerima 20 rangkaian gerbong kereta api yang mengangkut peralatan militer.
Hasil interogasi oleh aparat keamanan menunjukkan bahwa kasus-kaus kecelakaan seperti tersebut di atas merupakan tindakan kesengajaan (sabotase) yang bertendensi politik. Para pelaku adalah anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) yang merupakan organisasi yang berada di bawah naungan sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

b.          Aksi-Aksi Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia)
Setelah krgiatan HUT ke-44 PKI yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 23 Mei 1964, Ketua CC PKI D.N. Aidit disertai 58 tokoh PKI, termasuk di dalamnya anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang berafiliasi dengan PKI, mengadakan gerakan “turun ke bawah” (turba) yang sekaligus melakukan penelitian. Tujuan penelitian itu adalah untuk membuktikan bahwa petani di daerah Jawa sangat miskin dan sangat potensial untuk digerakkan mendukung program PKI melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di desa-desa.
Untuk dapat mempengaruhi kelompok petani miskin tersebut, PKI menggunakan dalih membela mereka, melakukan kampanye yang menuntut dilaksanakannya Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian, yaitu Undang-Undang No. 2/1960, dan Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu Undang-Undang No. 5/1960. Sejalan dengan kampanye tersebut, untuk mempertajam pertentangan kelas sesuai doktrin Marxisme-Leninisme, PKI mengkampanyekan pula sikap anti “Tujuh Setan Desa”. Adapun yang dimaksud PKI dengan sebutan “Tujuh Setan Desa” adalah: tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang Ijon, kapitalis birokrat (kabir), bandit desa, dan pemungut/pengumpul zakat.
Dalam melaksanakan kampanye melawan apa yang mereka sebut “Tujuh Setan Desa”, PKI dengan gencar melakukan aksi massa dan aksi sepihak secara sistematis dan terencana sebagai berikut:

1)      Aksi Massa BTI di Jawa Tengah
Meskipun di daerah  Kabupaten Klaten tidak terdapat orang kaya yang dapat digolongkan tuan tanah, PKI memutuskan aksi-aksi massa BTI dimulai dari daerah ini. Keputusan politik ini ditetapkan dalan Konfrensi BTI Cabang Klaten yang berlangsung pada tanggal 11 – 13  Maret 1964.
Kasus pertama yang mengawali aksi massa oleh BTI adalah terjadinya konflik fisik antara kurang lebih 1.000 orang sesama petani di desa Kingkang, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, pada tanggal 26 Maret 1964. Atas hasutan tokoh-tokoh PKI setempat ratusan massa anggota BTI melakukan pengeroyokan terhadap seorang petani bernama Partosoekardjo sehububgan dengan urusan sewa-menyewa dengan Kartodimedjo. Kasus serupa terjadi pula di desa Kraguman, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, yaitu sekitar 200 orang anggota BTI membabat padi milik seorang petani dengan paksa. Demikian pula, terjadi aksi-aksi sepihak di wilayah Kecamatan Trucuk dan Prambanan, Kabupaten Klaten pada awal Juli 1964 yang semuanya didalangi oleh BTI.

2)          Aksi Massa BTI di Jawa Barat
Rentetan aksi-aki massa BTI berikutnya terjadi di area kehutanan milik negara di hutan Kanticala dan Tugu, Kabupaten Indramayu, di daerah Jawa Barat. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 1964 terjadi pengeroyokan dan penganiayaan terhadap 7 anggota polisi kehutanan, yang menjaga perkebunan milik negara, oleh lebih kurang 2.000 massa anggota BTI dan PR di daerah tersebut.
Demikian pula, pada tanggal yang sama terjadi kasus serupa di hutan Telagadua dan Pejengkolan. Di tempat itu lebih dari 1.500 massa BTI dan PR menangkap dan menganiaya 3 orang petugas kehutanan yang sedang menjaga tanaman milik negara.

3)          Aksi Massa BTI di Jawa Timur
Sementara itu , di desa Gayam, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 15 Januari 1965 terjadi gerakan aksi massa yang dilakukan oleh BTI. Sekitar 1.000 orang anggota BTI menyerbu dan menganiaya seorang petani bernama Soedarmo yang sedang mengerjakan lahan sawahnya dengan alasan bahwa sawah yang digarap Soedarmo merupakan sawah sengketa. Kepala desa setempat yang bermaksud melerai peristiwa tersebut dikeroyok dan dianiaya hingga mengalami luka-luka.

4)          Aksi sepihak BTI di Sumatra Utara
Aksi yang sama terjadi pula di Kabupaten Smalungun, Sumatra Utara, yang terkenal dengan peristiwa Bandar Betsy. Massa BTI secara liar menyerobot tanah perkebunan milik PerusahaanPerkebunan Negara (PPN) di daerah Bandar Betsy dan menanaminya, antara lain dengan pohon pisang. Untuk menertibkan penyerobotan tersebut, pihak perkebunan pada tanggal 14 Mei 1965 berusaha membersihkan tanaman yang ada dengan taraktor. Namun, secara kebetulan traktor tersebut terbenam dan mogok. Soedjono, Pelda TNI-AD, petugas di PPN yang berusaha menarik keluar traktor yang terbenam tiba-tiba didatangi dan dikroyok sekitar 200 orang BTI dan PR. Pelda Soedjono melawan, tetapi dia dihantam dengan linggis dan dicangkul kepalanya hingga gugur dalam menjalankan tugasnya. Sambil menyerang, para pengeroyok mengejek dan memaki Pelda Soedjono sebagai “Tentara Nekolim”. Aksi sepihak yang dilakukan terhadap Pelda Soedjono tersebut merupakan uji coba terhadap pihak TNI-AD.

c.           Aksi-Aksi Teror

1)          Peristiwa Kanigoro Kediri
Pada tanggal 13 Jsnuari 1965 sekitar pukul 04.30 subuh, lebih kurang 3.000 anggota massa PKI yang dipimpin Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat (PR) Daerah Kediri, Soerjadi, mengadakan teror dengan melakukan penyerbuan terhadap para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PI) yang sedang mengadakan mental training (pelatihan memtal) di Desa Kanigoro, Kediri, Jawa Timur. Pada kesempatan itu massa PR/PKI melakukan pemukulan dan penganiayaan terhadap para Kiai dan iman Mesjid serta merusak rumah ibadah, bahkan menginjak-nginjak Kitab Suci Al Qur’an.
Sambil melakukan penyerbuan, mereka menerikkan kata-kata antara lain: “Ganyang Santri”, “Ganyang Masjumi”, “Ganyang Sorban”, “Ganyang Kapitalis”, “Ganyang kontra revolusi”, “Dulu waktu peristiwa Madiun besar kepala, kini rasakan pembalasan”.

2)          Perusahaan Kantor Jawa Timur
Menjelang dilaksanakannya aksi Gerakan 30 September, pada tanggal 27 September 1965 di Kantor Gubernur Kepala Daerah Jawa Timur, Surabaya, Gabungan Organisasi Wanita Surabaya (GOWS) mendesak agar Pemerintah Daerah (Pemda) Jawa Timur menerima delegasi yang akan datang untuk menyampaikan resolusi menurut penurunan harga.
Setelah beberapa saat para Pejabat Pemda Jawa Timur menunggu delegasi GOWS, ternyata yang datang bukan utusan GOWS, melainkan massa anggota PKI yang terdiri atas ormas-ormas Pemuda Rakyat (PR), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGM), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mereka memenuhi halaman kantor Gubernur dan menyerbu ke dalam kantor melalui pintu dan jendela, kemudian memecahkan kaca-kaca jendela, pot-pot bunga, serta menghancurkan, pot-pot bunga, serta menghancurkan perabotan kantor secara tidak terkendali. Selanjutnya, gerobolan massa dengan sikap beringas mencari Gubernur, yang oleh para pembantunya telah diamankan dari amukan massa PKI.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan kemudian dapat diketahui bahwa tujuan demonstrasi massa PKI tersebut adalah untuk menangkap Gubernur—yang dijabat oleh seseorang Perwira Tinggi AD, Brigjen TNI Wiyono—yang dijabat oleh seorang Perwira Tinggi AD, Brigjen TNI Wijono—kemudian akan mengaraknya diiringi berbagai hiasan untuk selanjutnya dibunuh. Aksi teror ini merupakan uji coba kekuatan PKI terhadap kewibawaan Pemda Tingkat I Jawa Timur.

3)          Aksi Massa dan Demonstrasi Anti Amerika
Dalam upayanya meningkatkan situasi revolusioner, PKI memanfaatkan situasi anti Neo-Kolonialisme-Imoperialisme (Nekolim) dengan menempatkan merika Serikat dan Inggris sebagai sasarannya.
Pada awal Desember 1964 sejumlah massa pendukung PKI mengadakan demonstrasi untuk memprotes kehadiran dan kegiatan kantor penerangan Amerika Serikat, United States Information Service (USIS) di seluruh Indonesia. Dalam aksi massanya, mereka menghancurkan perpustakaan USIS yang berada di Jakarta dan Surabaya.
Pada tanggal 10 Desember 1964 unsur-unsur buruh Postel/SOBSI di Jakarta dan kota-kota lain menyita berbagi penerbitan USIS . tekanan-tekanan politik PKI tersebut di beberapa daerah berhasil memaksa Pemerintah RI menutup cabang-cabang kantor USIS, termasuk perpustakaan Ford Foundation di Yogyakarta.
Dalam hubungan ini, surat kabar PKI Harian Rakjat edisi 11 Desember 1964 menulis bahwa kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia tersebut benar-benar patriotik. Sementara itu, pada tanggal yang sama , 11Desember 1964, Kantor Berita Antara menyiarkan adanya tuntutan agar semua kegiatan USIS di seluruh Indonesia dilarang dan seluruh anggota Peace Corp (Korp perdamaian) Amerika Serikat diusir dari Indonesia.
Pada tanggal yang sama, Wakil Ketua Umum Panitia Aksi Pemboikotan film-film Amerika, Ny. Oetami Soeryadarma menuntut agar American Notion Pictures Association of Importers (AMPA) dibubarkan. Untuk memperkuat tuntutan Ny. Oetami Soryadarma tersebut, pada tanggal 28 Febuari 1965 sejumlah massa PKI berdemonstrasi di depan kediaman Dubes Amerika Serikat, Howard P. Jones. Seminggu kemudian Gerwani mengirim telegram kepada Presiden Soekarno dan Menlu Dr. Soebandrio agar menyatakan persona non grata terhadap Direktur AMPAI, Bill Palmer, dan sekaligus mengusirnya dari Indonesia.
Dalam pada itu, sebagai akibat agitasi anti Amerika Serikat yang dilakukan PKI, pada tanggal 16 Maret 1965, sekitar 1.000 massa pendukung PKI dengan tidak terkendali menuju ke kantor AMPAI sambil meneriakkan slogan-slogan: “Tutup kantor AMPAI”, “Usir Bill Palmer Agen CIA”, “Go home Yankee”, “Go home Ambassador Jones”, dan lain-lain.
Selama berlangsungnya demonstrasi anti Amerika oleh massa komunis, Radio Peking (RRC) dalam siarannya menyatakan, “Para demonstran mengeluarkan pernyataan yang intinya bahwa AMPAI adalah alat subversi dan agresi imperialisme di bidang kebudayaan yang bertujuan melemahkan revolusi Indonesia.”
Dua minggu setelah peristiwa demonstrasi di kantor AMPAI Jakarta, pada tanggal 1 April 1965 sejumlah massa pendukung PKI menyerang vila milik Direktur AMPAI di Tugu Puncak, Bogor meskipun Bill Palmer sendiri pada saat itu tidak berada di tempat.

4)          Aksi Pengganyangan terhadap Manifes Kebudayaan oleh PKI
Pada tanggal 17 Agustus 1963, 22 sastrawan dan cendekiawan non-komunis mencetuskan Manifes Kebudayaan yang oleh PKI disingkat “Manikebu”. Manifes Kebudayaan tersebut dimaksudkan sebagai wadah budayawan yang ingin memurnikan kegiatan-kegiatan budaya dari pengaruh politik. Dengan konsep tujuan seperti itu, kelompok Manifes Kebudayaan diperhitungkan oleh PKI sebagai kerikil tajam yang membahayakan gerak dan langkah PKI dalam upaya menunggangi kegiatan-kegiatan budaya untuk kepentingan politiknya.
Reaksi pertama diperlihatkan oleh tokoh-tokoh Lembaga Kebudayaan Takyat (Lekra)/PKI dan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)/PNI, yakni Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Media pers PKI menuduh kelompok Manifes Kebudayaan sebagai kontra revolusi sehingga mereka menuntut agar tokoh kelompok Manifes Kebudayaan, Drs. H.B. Yassin yang juga menjabat sebagai Lektor UI, segera disingkirkan.
Lebih dari itu tatkala Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI) yang beranggotakan banyak unsur kelompok Manifes Kebudayaan menyelenggarakan pertemuan di Jakarta dari tanggal 1 – 7 Maret 1964 telah dicobagagalkan oleh Lekra dan LKN tetapi tidak berhasil. PKI kemudian mengerahkan massa untuk berdemonstrasi menuntut pembubaran kelompo Manifes Kebudayaan. Pada tanggal 8 Mei 1964 Presiden Soekarno melarang seluruh kegiatan kelompok Manifes Kebudayaan yang dianggap tidak sejalan dengan Manipol.

2.          Agitasi dan Propaganda
Rangkaian aksi massa PKI dalam rangka menciptakan situasi ofensif revolusioner lebih ditingkatkan lagi  melalui agitasi dan propaganda dengan tujuan untuk lebih membakar emosi massa. Dalam rangka upaya tersebut, PKI menggunakan unsur-unsur pers yang sudah didominasi PKI, antara lain Kantor Berita Antara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Melalui tokoh-tkoh utamanya, PKI  membangkitkan semangat progresif revolusioner dengan melakukan pidato-pidato di segala forum kegiatan, baik pemerintahan maupun non pemerinttahan. Dengan menggunakan tema-tema, seperti “Ganyang Malaysia”, “Ganyang Kapbir”, “Ganyang Nekolim”, dan jargon-jargon politik lainnya yang dibuat oleh PKI, PKAI memotivasi solidaritas kaum dan para simpatisannya untuk mewujudkan situasi “ofensif revolusioner sampai ke puncaknya”.
Slogan-slogan politik tentang kehebatan PKI dan mewarnai kehidupan politik di mana-mana sehingga gambaran apa yang disebut sebagai situasi “ofensif revolusioner” betul-betul sangat mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat pada saat itu. PKI juga memanfaatkan proggram pendidikan kader revolusi dan kader Nasakom yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui Front Nasional.
berbagai agitasi dan propaganda yang bertujuan membangkitkan situasi ofensif revolusioner tersebut, antara lain adalah sebagai berikut :

a.           Pernyataan Ketua CC PKI D.N. Aidit
1)          Dalam sambutan tertulis pada sidang Pleno III Pengurus Besar Pemuda Rakyat di Surabaya, Ketua CC PKI mengomandokan supaya setiap insan revolusioner di dalam negeri memperhebat ofensif revolusioner di segala bidang untuk membangun situasi “revolusioner bidang untuk mengembangkan situasi revolusioner sampai ke puncaknya dengan cara membersihkan kaum kapitalis birokrat dan kaum koruptor di semua pimpinan dan aparatur negara.
2)          Di depan apel kesiapsiagaan Dwikora tanggal 2 April 1965, antara lain mengatakan bahwa, “Manipol harus dibela dengan sennjata, Manipol tidak bisa dibela hanya dengan tangan kosong. Oleh karena itu, latihan militer penting bagi orang revolusioner manipolis dengan tujuan membela Manipol dengan senjata.”
3)          Pada saat berlangsungnya peringatan HUT PKI ke-45 di Stadoin Utama Senayan (pada saat itu bernama Gelang Olah Raga Bung Karno), Jakarta, tanggal 23 Mei 1965, Ketua CC PKI mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan “ofensif revolusioner sampai ke puncaknya”. Pada kesempatan HUT tersebut terpampang poster-poster raksasa, dan slogan-slogan tertulis yang menyeramkan, seperti “Ganyang Tujuh Setan Desa”, “Ganang Tiga Setan Kota”, “Ganyang Kapbir”, “Intensifkan Konfrontasi dengan Malaysia”. “Bantu Vietnam Utara”. “Ganyang Kebudayaan Ngak-Ngik-Ngok”, “Adakan Pemilu II”, “Laksanakan Manipol dan Dekon Secara Konsekuen”, dan “Sekarang Juga Bentuk Angkatan V.” Selain itu, juga dipajang dengan format raksasa gambar-gambar Bung Karno, D.N. Aidit, Lenin, Mao Tse Tung, dan KarlMarx sebagai hiasan
4)          Pada peringatan HUT ke-20 Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1965, Politbiri CC PKI mengeluarkan seruan/pernyataan, antara lain sebagai berikut :
“Kita sekarang hidup dalam situasi revolusioner berkat kebangkitan dan perkembangan kekuatan massa rakyat, terutama buruh dan tani yang semakin besar dan sukses dalam situasi revolusioner seperti dibuktikan pada akhir-akhir ini. rakyat dapat mencapai kemenangan-kemenangan besar dan penting artinya. Kita yakin bahwa dalam situasi revolusioner yang sudah matang dan sudah sampai kepada puncaknya, rakyat pasti dapat mencapai tujuan kemenangan yang fundamental. Oleh karena itu menjadi kewajiban kita untuk bekerja lebih keras guna mengembangkan situasi revolusioner yang sekarang ini sampai ke puncaknya. Dan jalan yang harus kita tempuh dalam hal ini tidak ada lain kecuali harus melancarkan lagi ofensif revolusioner di segala bidang.”
5)          di depan para sukarelawan Departemen PeneranganRI, di Jakarta pada tanggal 9 September 1965, Ketua CC PKI, antara lain mengatakan sebagai berikut :
“...kita berjuang untuk sesuatu yang pasti akan lahir. Kita kaum revolusioner adalh bagaikan bidan daripada bayi masyarakat baru itu. Sang bayi lahir dan kita kaum revolusioner menjaga supaya lahirnya baik dan sang bayi cepat jadi besar.”
6)          Di depan sidang Dewan Nasional SOBSI tanggal 14 September 1965 Ketua CCPKI, antara lain mengatakan sebagai berikut :
“...yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota. Kalau revolusi mau tumbuh dengan subur, kita harus menyingkirkan kaum dinasti ekonomi atau Kapbir dan setan kota dari segenap aparatur politik dan ekonomi negara.”
7)          Pada tanggal 22 September 1965 di hadapan karyawan BNI, antara lain, mengatakan :
“Kabinet sekarang belum Nasakom, hanya mambu Nasakom. Oleh karena itu Kabinet berporos Nasakom harus segera dibentuk.”
8)          Pada tanggal 24 September 1965 di hadapan massa anggota Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), antara lain, mengatakan sebagai berikut:
”...jangan hanya berjuang untuk satu ikan asin, tetapi berjuang juga naar de politieke macht. Jangan menjadi landasan, jadilah palu godam. Perjuangan untuk Kabinet Nasakom dengan menteri-menteri yang dikenal dan dicintai dan didukung rakyat. Jangan seperti sekarang mereka hanya hidup dari distribusi kewibawaan Bung Karno. Bila ini berhasil, kaum proletar tidak akan kehilangan sesuatu apa pun kecuali belenggu mereka...”
9)          Pada tanggal 27 September 1965 kepada para anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), antara lain berseru :
“Hati kita lebih daripada lapar, kita tidak akan menyerahkan nasib kita kepada setan kota, kita akan ganyang dan kalahkan setan kota.”
10)     Pada tanggal 29 September 1965 di hadapan para peserta Kongres Kongres III CGMI, antara lain berseru :
“Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbut, berbuat. Bertindak dan berbuat dengan berani, berani. Sekali lagi, berani!”

b.           Pernyataan Moh. Munir, Ketua Umum DPP SOBSI di depan massa Sarbupri tanggal 26 September 1965, antara lain menyatakan sebagai berikut :
“...jadikanlah perkebunan-perkebunan untuk markas pertahanan.”
c.            Pernyataan Dr. Soebandrio Menlu/Kepala BPI/Waperdam I di depan Kongres Sarbupri awal September 1965, antara lain mengatakan sebagai berikut :
“Klas buruh Indonesia termasuk buruh perkebunan, harus berpegang teguh pada ajaran Bung Karno tentang perjuangan klas buruh, yaitu menggunakan aksi-aksi sosial ekonomi sebagai ‘senam revolusioner’ agar otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh menjadi kuat untuk kemudian ‘naar de politieke macht’ untuk kemudian menuju kekuatan politik......”

d.           Pernyataan Wakil Sekjen Pengurus Besar Front Nasional/Anggota Politbiro CC PKI, Amir Anwar Sanusi di hadapan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1965, antara lain mengatakan sebagai berikut :
“Kita sedang dalam situasi di mana Ibu Pertiwi dalam keadaan ‘hamil tua’. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan dalam Manipol. Sang bidan adalah massa rakyat Manipolis. Sukwan adalah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan bayi yang akan dilahirkan.”
e.           Koran PKI, Harian Rakyat, dengan nada penuh ancaman menulis dalam tajuknya tanggal 30 September 1965, antara lain sebagai berikut :
“Dengan menggaruk kekayaan negara, setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhaddap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di depan umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.”

Semua kegiatan agitasi dan propaganda tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan sikap-sikap emosional, kebencian terhada orang-orang kaya dan alat negara, serta membangkitkan nafsu melakukan tidakan-tindakan kekerasan dalam rangka membakar aksi massa menjelang gerakan bersenjata.

B.    AKSI FITNAH TERHADAP PIMPINAN TNI-ANGKATAN DARAT, TAHUN 1965

Setelah PKI secara politis berhasil memperlemah lawan-lawan nya, baik yang berada dalam partai-partai politik, ormas-ormas maupun perorangan, maka tinggallah satu kekuatan sebagai penghambat utama bagi pelaksanaan program politiknya, yakni ABRI, khususnya TNI-AD. Oleh karena itu, PKI di samping mengintensifkan pelaksanaan metode ketiga dari MKTB, juga menyusun konsep-konsep kegiatan yang bertujuan melemahkan posisi pimpinan TNI-AD. Dalam rangka upaya inilah PKI menyusun suatu fitnah politik yang ditujukan kepada perwira-perwira tinggi TNI-AD.

1.          Isu “Dewan Jendral”, Mei 1965
Dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD, PKI melancarkan isu Dewan Jendral diciptakan oleh Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membuat citra buruk terhadap pimpinan TNI-AD di mata masyarakat. Isi Dewan Jendral disebarluaskan melalui anggota-anggota PKI yang aktif bekerja dalam berbagai lingkungan.
Agar isu tersebut sampai kepada Presiden Soekarno, Soedjarwo Harjowisastro, anggota PKI DPR-GR telah meneruskan isu tersebut seolah-olah sebagai informasi kepada Kepala Staf BPI, Brigjen Pol Soetarto, yang juga menjadi  pendukung PKI.
Di lingkungan internal PKI sendiri isu “Dewan Jendral” juga disebarluaskan sebagai materi situasi politik bagi anggota-anggota PKI sendiri dengan tujuan menanamkan kebencian dan sikap permusuhan terhadap pimpinan TNI-AD.
Dikatakan bahwa “Dewan Jendral” terdiri atas sejumlah Jendral TNI-AD, antara lain adalah Jendral TNI A.H. Nasution, Mayjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, Mayjen TNI Harjono M.T, Brigjen TNI Sutojo S, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, dan Brigjen TNI Sukendro yang mempunyai sikap anti PKI.
Ke dalam, D.N. Aidit , Ketua CC PKI, di dalam diskusi dan rapat-rapat resmi politbiro, selalu menggambarkan dan menegaskan bahwa ia percaya “Dewan Jendral” tersebut benar-benar ada dan merupakan kelompok Jendral TNI-AD yang menjadi musuh PKI. Oleh karena itu, isu tentang adanya “Dewan Jendral” tersebut oleh Politbiro CC PKI diperlakukan pula sebagai informasi dan dijadikan dasar dalam menentukan langkah-lngkah kebijaksanaan yang diambil.
Untuk kepentingan keluar, Isu “Dewan Jendral” terus diintensifkan dalam bentuk desas-desus yang mendiskreditkan pimpinan TNI-AD, dengan menyebutkannya seolah-olah “Dewan Jendral” adalah kelompok Perwira Tinggi TNI-AD yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno dan mempunyai kegiatan politik menilai kebijaksanaan Presiden Soekarno.
Biro Khusus mengembangkan terus isu tersebut sehingga mencapai bentuk yang akhirnya dapat diterima oleh pihak luar sebgai sesuatu yang seolah-olah benar-benar ada, terutama oleh Presiden Soekarno. Biro Khusus berhasil menyiarkan isu tersebut dan akhirnya mendapat tanggapan luas karena dianggap membahayakan negara. Isu tentang “Dewan Jendral” tersebut mulai terdengar pada bulan Mei 1965.
Penyebarluasan isu dilakukan melalui berbagai saluran. Saluran penyebarluasan isu ke daerah, di sampingmelalui Biro Khusus, dilaksanakan pula melalui CDB. Penyebarluasan isu tersebut ke dalam lembaga resmi, seperti DPR, DPA, Front Nasional, dan sebagainya, dilakukan melalui fraksi-fraksi PKI di dalam lembaga-lembaga tersebut.
Organisasi-organisasi yang bernaung di bawah PKI dimanfaatkan pula sebagai corong untuk menyebarluaskan isu “Dewan Jendral” ke dalam masyarakat. Lingkup pengembangann isu “Dewan Jendral” adalah sebagai berikut :

a.           Penyebaran isu yang menyatakan tentang adanya “Dewan Jendral” di dalam tubuh TNI-AD yang mempunyai tugas khusus memikirkan usaha-uaha dalam rangka menghadapi kegiatan yang bersifat “kiri”. Dengan isu tersebut, PKI ingin menciptakan kesan bahwa TNI-AD merupakan kekuatan yang bersifat “kanan” (pendukung Nekolim) dan anti PKI.
b.           Diisukan bahwa “Dewan Jendral” yang disebut sebagai kekuatan “kanan” itu mempunyai tujuan antara lain adalah menilai kebijaksanaan Presidem Soekarno selaku Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Pada lingkup ini PKI ingin memberi kesan bahwa “Dewan Jendral” adalah sebuah badan dalam TNI-AD yang tidak dapat dijamin loyalitasnya kepada PBT. Tujuannya ialah menghilangkan kepercayaan terhadap TNI-AD dan mengadu domba antara TNI-AD dan Presiden Soekarno.
c.            Dilontarkan isu bahwa “Dewan Jendral” bekerja sama dengan Imperialis, dalam rangka upaya PKI menyebarluaskan kesan kepada masyarakat seolah-olah TNI-AD telah mengkhianati perjuangan rakyat Indonesia. Isu ini semakin berkembang dengan tersiarnya “dokumenGilchrist” pada bulan Mei 1965.
d.           Pada sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa “Dewan Jendral” akan merebut kekuasaan dari Presiden Sekarno dengan memanfaatkan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Kemudian, untuk lebih meyakinkanmasyarakat mengenai kebenarannya, PKI telah menciptakan isu “Kabinet Dean Jendral”. Adapun isu “Kabinet Dewan Jendral” disebutkan mempunyai susunan sebagai berikut :

1)    Perdana Mentri           : Jendral TNI A.H. Nasution
2)    Wakil Perdana Menteri/
Menteri Pertahanan     :  Letjen TNI A. Yani
3)    Menteri Dlam Negeri   :  Hadi Subeno
4)    Menteri Luar Negeri    :  Roeslan Abdulgani
5)    Menteri hubungan
Dagang Luar Negeri    :  Brigjen TNI Sukendro
6)    Menteri Jaksa Agung   :  Mayjen TNI S. Parman

e.           Di dalam rangka menyiapkan Gerakan 30 September, Biro Khusus secara intensif menggarap oknum-oknum anggota ABRI yang telah dibinanya dengan brifing-brifing situasi politik yang intinya sebagai berikut :
1)    Ada Dewan Jendral yang akan mengadakan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno dan
2)    Perlu ada gerakan militer untuk mendahului rencana “Dewan Jendral” tersebut.
Bentuk pengembangan Isu “Dewan Jendral”  menjadi rencana matang akan adanya gerakan dari “Perwira-perwira yang berpikiran maju” mendahului rencana “Dewan Jendral”, diinformasikan pula kepada Men/Pangau Laksda Udang Omar Dhani oleh Letkol Udara Heru Atmodjo dan Brigjen TNI Soepardjo, pada tanggal 30 September 1965. Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani mendengar informasi tersebut tidak berusaha mencegahnya, bahkan memberi petunjuk kepada Brigjen TNI Soepardjo untuk mengutamakan keselamatan Presiden Soekarno dan pada tanggal 30 September 1965 malam memutuskan untuk tidur di Komando Operasi Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.

2.          Isu “Dokumen Gilchrist”
Bersamaan dengan penyebarluasan isu “Dewan Jendral”, tersiar pula isu adanya “Dokumen Gilchrist, yang nama lengkapnya adalah Sir Andrew Grilchrist adalah Duta Besar Inggris di Jakarta  yang bertugas pada tahun 1963-1966.
Pada tanggal 15 Mei 1965, Dr. Soebandrio dalam kedudukannya sebagai Kepala BPI menerima sebuah surat anonim melalui pos Jakarta. Surat itu terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berupa pengantar dari si pengirim yang isinya menyatakan adanya pengiriman sebuah dokumen yang berguna bagi revolusi. Bagia kedua sebagai lampiran berupa surat yang diketik tanpa tanda tangan atau pun paraf dari si pembuatnya. Yang ada hanyalah ketikan nama Gilchrist. Surat itu diketik pada formulir surat yang biasa digunakan oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan seolah-olah dibuat oleh Duta Besar Inggris, Gilchrist yang ditujukan kepada Sekjen Kementerian Luar Negeri Inggris. Surat tersebut seolah-olah memuat laporan Duta Besar Inggris, Gilchrist, mengenai koordinasinya dengan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta dalam menangani situasi di Indonesia. Di dalam surat tersebut tertulis kata-kata our local army frien, yang memberi kesan seolah-olah ada kerja sama antara unsur-unsur TNI-AD dengan Inggris, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim.
Dr. Soebandrio kemudian menyerahkan surat itu kepada Kepala Staf BPI Brigjen Pol. Soetarto untuk diperiksa. Setelah surat diterima, Brigjen Pol. Soetarto tidak mengadakan pameriksaan tentang otentik atau tidaknya dokumen itu di laboratorium Departemen Angkatan Kepolisian. Konsep surat yang memuat nama Gilchrist itu dikembalikan kepada Dr. Soebandrio disertai penjelasan bahwa formulir yang digunakan untuk pembuatan dokumen itu adalah otentik karena sama dengan formulir yang pernah disita oleh BPI pada tahun1963 dari para demonstran terhadap Gedung Kedutaan Besar Inggris. Dr. Soebandrio kemudian memerintahkan Kepala Staf BPI Brigjen Pol. Soetarto  untuk memperbanyak “dokumen Gilchrist” itu.
Pada tanggal 26 Mei 1965 Dr. Soebandrio membawa dokumen itu kepada Presiden Soekarno. Kemudian Presiden Soekarno memerintahkan Dr. Soebandrio untuk mengumpulkan semua Panglima Angkatan di Istana Merdeka. Keesokan harinya, lebih kurang pukul 10.00 hadir para Panglima Angkatan yang terdiri atas Men/Pangad Letjen TNI A. Yani, Men/Pangal Laksdya R.E. Martadinata, Men/Pangau yang diwakili oleh Laksda Udara Sri Muljono Herlambang, Men/Pangak Irjen Pol. Soetjipto Joedodihardjo, dan Dr. Soebandrio. Sementara Presiden Soekaarno membacakan dokumen tersebut, Dr. Soebandrio membagi-bagikan fotokopinya kepada hadirin.
Setelah pembagian selesai, Presiden Soekarno meminta penjelasan kepada Letjen TNI A. Yani adakah anggota-anggota TNI-AD yang mempunyai hubungan dengan Inggris dan Amerika yang selanjutnya dijawab oleh  Letjen TNI A. Yani bahwa tidak ada. Kemudian Presiden Soekarno menanyakan pula desas-desus tentang adanya “Dewan Jendral” yang menilai kebijaksanaan beliau. Pertanyaan itupun dijawab pula dengan tidak ada.
Dengan telah dilakukannya pertemuan tersebut, TNI-AD menganggap bahwa syak wsangka dalam kaitan dengan dokumen terebut dan masalah “Dewan Jendral” telah dijernhkan. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Dr. Soebandrio telah memperbanyak apa yang disebut “dokumen Gilchrist” dan membawanya ke luar negeri sewaktu ia menyertai Presiden Soekarno menghadri Konfrensi Asia-Afrika II yang sedianya akan diadakan pada pertengahan tahun 1965 di aljazair. Dr. Soebandrio membagi-bagikan fotokopi “Dokumen Gilchrist” itu kepada para anggota delegasi negara-negara peserta yang sedang berada di Kairo. Dengan demikian, isu adanya “Dokumen Gilchrist” telah meluas ke luar negeri.
Sebagai Kepala BPI, Dr. Soebandrio seharusnya melakukan penelitian secara cermat lebih dahulu dan tidak langsung melaporkannya kepada Presiden Soekarno. Dengan melaporkannya langsung kepada Presiden Soekarno, Dr. Soebandrio telah melakukan tindakan menguntungkan garis politik dan strategi PKI.

C.                KEPUTUSAN CC PKI UNTUK MELANCARKAN PEREBUTAN KEKUASAAN

1.          Pelatihan Kemiliteran PKI di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta, Bulan Juli – September 1965

Dalam rangka pembentukan sukarelawan-sukarelawati Dwikora, Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani mengeluarkan Instruksi tanggal 10 Maret 1965 mengenai dibentuknya Pertahanan Sipil (Hansip) bagi setiap Komando Pangkalan Udara. Atas dasar instruksi tersebut, Mayor Udara Sujono selaku Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP) mengirim Instruksi melalui radiogram bersandi kepada semua batalion di tiap-tiap Komando Regional Udara (Korud) yang isinya, antara lain berbunyi sebagai berikut :
 “Setiap Dan YON supaya segera menyiapkan tim-tim pelatih untuk melaksanakan pelatihan. Pelatihan harus telah selesai sebelum bulan Oktober 1965 menjelang diadakannya Konferensi Asia-Afrika II. Untuk itu, agar prioritas diberikan kepada Ormas Buruh dan Tani.”
Rencana penyelenggaraan pelatihan di Pangkalan Udara Kalijati, Tasikmalaya, Semplak, Bogor tidak dapat dilaksanakan karena timbulnya reaksi dari tiap-tiap Komando Rayon Militer (Koramil) oleh karena itu, Mayor Udara Sujono memutuskan untuk memusatkan pelatihan Hansip di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta dengan susunan sebagai berikut :

a.           Pimpinan dan Staf   :
1)    Mayor UdaraSujono sebagai Komandan
2)    Mayor Udara Gathut Soekrisno sebagai Wakil Komandan
3)    Mayor Udara Sukarto Kartono, S.H, sebagai Staf
b.           Tempat                     : di Lubang Buaya, Pondok Gede
c.            Peralatan                  : diusahakan dari gudang TNI AU
d.           Pelatih                      : terdiri atas para anggota yang telah lulus kursus Kader Nasakom, sejumlah sekitar 40 orang ditambah dengan sejumlah anggota Front Nasional Pusat.

Pelatihan tersebut berlansung mulai tanggal 5 Juli 1965 sampai dengan saat meletusnya Gerakan 30 September. Pelatihan yang semulaberlaku bagi Hansip Pangkalan Udara itu, sejak angkatan yang kedua telah diubah oleh Mayor Udara Sujono menjadi Wahna Krida Ketahanan Revolusi (Hada Hanrev). Lama pelatihan bagi setiap angkatan tidak sama, rata-rata hanya seminggu sampai 10 hari. Mereka yang dilatih adalah para kader Ormas PKI, seperti Serikat Buruh Angkatan Udara (Serbaud), BTI, CGMI, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), PR, Universitas Respublica (Ureca), SBKA, SB Postel, SOBSI, Partai Indonesia (Partindo), Buruh/Tani non partai, dan mereka yang bersimpati kepada PKI. Mereka yang berasal dari berbagai daerah itu tidak diasramakan, tetapi tinggal di kemah-kemah dan di rumah-rumah rakyat sekitar tempat pelatihan itu.
Sejak datang  sampai selesainya mengikuti pelatihan dan kembali ke tempat asalnya mereka menggunakan nama samaran. Segala kebutuhan selama mengikuti pelatihan dan seleksi penerimaan meskipun resminya merupakan kewenangan Mayor Udara Sujono, tetapi pada praktiknya kewenangan tersebut berada di tangan petugas-petugas PKI, seperti Nico dan CGMI, Djohar dari PR, Kasiman dari SBSI, Hanafi dan Hartono dari Sembaud, serta Hartoyo dari BTI, Tokoh-tokoh CC PKI, antara ain Tjogito dan Sunardi menjadi pengajar pada pelatihan-pelatihan tersebut. para peserta yang meraih nilai baik mengikuti penyempurnaan pengetahuan dan pelatihan khusus di bidang intelijen selama 4 hari.
Pada bulan Agustus 1965 bertempat di Rawabinong, sekitar satu kilometer dari Lubang Buaya, diselenggarakan pelatihan khusus bagi para kader yang dikirim oleh CDB PKI Jawa Barat, sejumlah 120 orang dan kader-kader BTI Jakarta sejumlah 80 orang. Pada awal September 1965 juga di tempat yang sama diadakan pelatihan khusus bagi kader-kader tingkat pusat sejumlah 26 orang, termasuk Nico, Djohar, dan Kasiman.
Menjelang meletusnya gerakan, para peserta yang mempunyai prestasi baik dalam mengikuti pelatihan dipanggil kembali ke Lubang Buaya untuk diikutsertakan daam gerakan. Pemanggilan tersebut dilaksanakan dalam beberapa gelombang sehingga pada tanggal 28 September 1965 mencapai sekitar 2000 orang. Mereka selanjutnya disusun dalam satuan-satuan dan digabungkan  dalam pasukan Pasopati, Bimasakti, dan Gatotkaca. Sesuai dengan keputusan CC PKI kepada Njono (Ketua CDB DKI Jakarta Raya)tanggal 28 Agustus 1965, pelatihan kemiliteran bagi unsur-unsur PKI yang diselenggarakan di Lubang Buaya itu menjadi bagian dari rencana Gerakan 30 September.

2.          Rapat dan Diskusi Politbiro CC PKI, Buan Agustus 1965 

Sejak kembali dari perlawatannya ke luar negeri pada awal tahun 1965 kondisi kesehatan Presiden Soekarno agak mundur. Kondisi demikian terus berlanjut sampai dengan bulan Juli 1965. Untuk mengatasi kondisi kesehatan Presiden Soekarno itu telah ditugasi Tim Dokter Indonesia, selain itu juga didatangkan Tim Dokter dari RRC yang berjumlah 8 orang. Tim Dokter RRC tiba di Jakarta pada tanggal 22 Juli 1965 dan kemudian pulang ke RRC pada tanggal 1 September 1965.
Atas perintah Presiden Soekarno, pada tanggal 31 Juli 1965 Dr. Soebandrio mengirim kawat pribadi kepada Duta Besar Republik Indonesia di Moskow, yang berisi pesan agar D.N. Aidit dan Njoto yang sedang dalam perjalanan ke Moskow, Peking, dan Hanoi segera kembali ke Jakarta.
Pada tanggal 4 Agustus 1965 Presiden Soekarno jatuh sakit muntah-muntah dan pingsan. Informasi tentang kondisi kesehatan Presiden Soekarno itu diketahui oleh D.N. Aidit pada saat ia berada di Peking. Sehubungan dengan informasi tersebut, D.N. Aidit menunda perlawatannya ke Hanoi dan kembali ke Jakarta. Ketika kembali ke Jakarta pada tanggal 5 Agustus  1965 D.N. Aidit membawa pula dua orang dokter RRC yang kemudian digabungkan dengan tim dokter RRC yang sudah tiba lebih dahulu. Dari Peking ia tiba di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1965 ia segera pergi ke Bogor untuk menengok Presiden Soekarno. Ia menjenguk lagi Presiden Soekarno pada tanggal 8 Agustus 1965 di kamar tidur beliau dan setelah itu mengadakan pembicaraan yang cukup lama dengan tim dokter RRC di ruangan lain di Istana Bogor.
Menurut keterangan tim dokter RRC terdapat dua kemungkinan sehubungan dengan sakitnya Presiden Soekarno, yaitu :
a.           Melihat kesehatan Presiden Soekarno yang semakin memburuk ada kemungkinan beliau akan wafat.
b.           Apabila ternyata Presiden Soekarno sembuh kembali, beliau akan menjadi lumpuh.

Setelah mendapat informasi dan tim dokter RRC itu, D.N. Aidit menyelenggarakan rapt Politbiro, yaitu D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, Sudirman, ir. Sakiman, Amir Anwar Sanusi, dan Njono, yang juga menjadi ketua CDB Jakarta Raya (CDR). Dalam rapat Politbiro ini, D.N. Aidit menjelaskan tentang sakitnya Presiden Soekarno.
d.n. Aidit membuat evaluasi bahwa pertentangan antara TNI-AD dan PKI hingga saat itu masih dapat dicegah untuk tidak muncul secara fisik karena masih kuatnya kepemimpinan Presiden Soekarno. Pertentangan fisik tidak akan dapat dicegah apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau apabila kepemimpinan itu menjadi tidak efektif lagi. Dalam situasi seperti itu, TNI-AD-LAH yang mempunyai kemampuan untuk menggulung PKI. Oleh karena itu, sebelum hal itu terjadi, PKI harus melaksanakan langkah-langkah agar TNI-AD dapat dilumpuhkannya.
Sehubungan dengan evaluasi D.N. Aidit tersebut di atas, maka pada tanggal 12 Agustus 1965 ia memanggil Sjam, Kepala Biro Khusus Central untuk mempersiapkan langkah-langkah menyusun kekuatan bersenjata guna mendahului memberikan pukulan kepada TNI-AD, dan mengupayakan agar gerakan yang akan dilancarkan itu bersifat terbatas, seolah-olah merupakan persoalan intern Angkatan Darat. Instruksi D.N. Aidit itu segera dibahas oleh Sjam bersama Pono dan Bono.
Meskipun Bung Karno kemudian sembuh dan masih dapat berpidato pada Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1965, namun PKI menganggap pidato tersebut sebagai “pidato pamitan”. Oleh sebab itu, rencana CC PKI untuk mendahului gerakan dengan melumpuhkan TNI-AD tetap dilanjutkan. Peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965 yang sesuai petunjuk Soekarno kepada Panitia HUR ke-20 ABRI akan diselenggarakan mengesankan telah dimanfaatkan oleh PKI untuk menyebar fitnah seolah-olah “Dewan Jendral” akan mengadakan kudeta pada sekitar tanggal 5 Oktober 1965.
Peneliti Biro Khusus Central untuk memilih perwira-perwira ABRI yang telah dibina PKI guna ditunjuk sebagai Komandan Pelaksana dilanjutkan. Pertemuan yang dilakukan beberapa kali akhirnya berhasil menyusun nama-nama yang akan menjadi Komandan Pelaksa gerakan. Susunan nama yang kemudian dilaporkan kepada D.N. Aidit pada tanggal 26 Agustus 1965 dan disetujui adalah sebagai berikut :
a.           Letkol Inf. Untung (Dan Yon Pengawal Presiden),
b.           Kolonel Inf. A. Latief (Dan Brigif),
c.            Mayor Udara Sujono (Dan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan),
d.           Mayor Inf. Agus Sigit (Dan Yonif) dan
e.           Kapten Art. Wahyudi (Dan Yon Arhanud).

Setelah mendapat laporan tentang nama-nama perwira ABRI yang dapat diserahi memimpin gerakan miiter, D.N. Aidit lalu mengadakan rapat kedua yang merupakan rapat Polibiro yang diperluas. Dalam rapat ini, selain anggota-anggota Politbiro dikutsertakan pula calon-calon anggota Polibiro, yaitu Peris Pardede dan Rewang. Dalam rapat
ada dua kekuatan yang saling berhadapan, yaitu PKI dan TNI-AD. Kekuatan ini masih belum berbenturan satu samalain karena masih ada “tameng”, yaitu Presiden Soekarno. Yang bertemu baru “tanduknya”, tetapi apabila “tameng” itu sudah tidak ada lagi, kepala dengan kepala pasti beradu, demikian penilaian D.N. Aidit. Masalahnya ialah siapakah yang sebenarnya bisa mengetahui lebih dahulu, jika seandainya Presiden Soekarno tidak dapat lagi menjalankan kepemimpinannya. Apabila TNI-AD yang mengetahui lebih dahulu, mereka pasti akan bertindak, dan PKI pasti akan dimusnahkan. Oleh karena itu, persoalannya ialah didahului atau mendahului. Bagi PKI mendahului melumpuhkan TNI-AD akan lebih menguntungkan.
Menurut D.N. Aidit, untuk mendahului melakukan gerakan terdapat dua masalah pokok yang perlu dipecahkan oleh Politbiro CC PKI, yaitu :
Pertama, memang dicata adanya “para perwira yang berpikiran maju”, yaitu perwira-perwira ABRI yang telah berhasil dibina PKI, yang menentang pimpinan TNI-AD. Gerakan yang menentukan adalah gerakan di Jakarta, tetapi pada kenyataannya “para perwira yang berpikiran maju” itu yang paling lemah justru berada di Jakarta.
Kedua, “para perwira yang berpikiran maju” yang dapat dimanfaatkan pada umumnya masih bersikap ragu-ragu.
Selanjutnya D.N. Aidit menilai bahwa pengaruh partai di kalangan Angkatan Bersenjata umumnya dicerminkan oleh kekuatan partai di daerah itu. Jadi, pengaruh PKI di Jawa adalah baik, kecuali Jakarta Raya, dan yang terbaik adalah di Jawa Tengah. D.N. Aidit menilai TNI-AD tidak kompak karena menurutnya terdapat perbedaan pendapat antara Jendral TNI A.H. Nasution dan Letjen TNI A. Yani. TNI-AL dan Polri dapat dinetralkan karena masing-masing mempunyai persoalan intern, sedangkan TNI-AU yang dapat diharapkan untuk memberikan dukungannya. Akhirnya, dengan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di atas D.N. Aidit berkesimpulan bahwa imbangan kekuatan yang menguntungkan PKI karena perwira-perwira yang mendukung PKI diperkirakan telah menguasai sepertiga dari kekuatan TNI-AD.
D.N. Aidit juga mengemukakan bahwa pengalaman menunjukkan bahwa apabila kekuatan kudeta sudah mencakup sepertiga dari seluruh kekuatan bersenjata yang ada, dan gerakan tersebut didukung oleh masa, maka kudeta pasti akan berhasil. Di luar Jawa pengaruh PKI umumnya lemah, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan Angkatan Bersenjata. Namun, kunci kemenangan adalah di Jawa. Siapa yang berhasil menguasai Jawa, dialah yang menang. D.N. Aidit mengambil contoh gerakan PRRI/Permesta yang praktis telah menguasai beberapa pulau di luar Jawa, tetapi karena Jawa tidak dikuasainya, maka PRRI/Permesta gagal.
Rapat Politbiro yang diperluas, setelah mengadakan tanya jawab, memahami uraian D.N. Aidit sebagai berikut :
a.           Percaya bahwa “Dewan Jendral” benar-benar ada, dan percaya bahwa “Dewan Jendral” akan merebut kekuasaan pada sekitar tanggal 5 Oktober 1965 karena informasi adanya “Dewan Jendral dikatakan bersumber dari Brigjen Pol. Sutarto, Kepalan Staf BPI. (Adalah merupakan suatu ironi bahwa Kepala Staf BPI, Brigjen Pol Sutarto mendapat informasi tentang adanya “Dewan Jendral”, dan “Dewan Jendral” yang akan merebut kekuasaan pada sekitar 5 Oktober justru dari Soedjarwo Hardjowisastro, anggota PKI yang ditugaskan di DPR-GR);
b.           Gerakan militer untuk mendahului  memukul “Dewan Jendral” akan dilanjutkan dengan pembentukan Dewan Revolusi sebagai kekuasaan politik tertinggi di Indonesia; dan
c.            Analisis tentang keseimbangan kekuatan militer antara kekuatan pendukung “Dewan Jendral” dan kekuatan penentang “Dewan Jendral”  yang dibuat oleh D.N. Aidit diterima sebagai kebenaran.

Pada tanggal 28 Agustus 1965 D.N. Aidit mengadakan rapat yang ketiga yang juga merupakan rapat Polibiro yang diperluas. Dalam rapat ini diputuskan bahwa Politbiro :
a.        Membenarkan adanya aksi mendahului rencana “Dewan Jendral” dalam bentuk operasi militer, dan membentuk Dewan Revolusi untuk menggantikan Kabinet Dwikora;
b.        Soal-soal militer diserahkan kepada D.N. Aidit;
c.         Soal-soal politik umum dan pembagian kader-kader untuk daerah-daerah diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro CC PKI (D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Njoto);
d.        Menyiapkan 2000 tenaga cadangan tempur dan tugas tersebut diserahkan kepada Njono, Ketua CDB Jakarta Raya atu Comite Djakarta Raja (CDR)

Sebagai tindak lanjut keputusan itu, beberapa anggota CC PKI dikirim ke pelbagai daerah, seperti M.H. Lukman dan Ir. Sakiman ke Jawa Tengah. Suwardiningsih ke Sumatra Selatan, Peris Pardede ke Sumatra Utara, Asmu (BTI), Ruslan Widjajasastra dan Munir (SOBSI) ke Jawa Timur, Njoto (CDR) tetap berada di Jakarta karena harus membantu persiapan dan pelaksanaan gerakan. Tugas mereka yang dikirim ke daerah itu adalah memberikan petunjuk-petunjuk berikut kepada CDB :
a.        Untuk secara terus-menerus , sejak instruksi diberikan, mendengarkan siaran RRI Jakarta, dan
b.        Untuk mendukung pembentukan Dewan Revolusi di daerah masing-masing, apabila lelah dibentuk Dewan Revolusi Pusat sesuai berita yang disiarkan oleh RRI Jakarta.
Melalui jalur Biro Khusus, Sjam memberi petunjuk kepada petugas-petugas Biro Khusus Daerah agar menggerakkan anggota-anggota ABRI yang sudah dibinanya sebagai imbanggan bagi gerakan fisik bersenjata dilaksanakan di Jakarta.

D.   BIRO KHUSUS PKI SEBAGAI PENGGERAK
PEREBUTAN KEKUASAAN

Sebagai tindak lanjut keputusan Politbiro CC PKI tanggal 28 Agustus 1965, PKI melakukan langkah-langkah berikut :

1.          Rapat Persiapan CC PKI, Bulan Agustus-September 1965
Sejak akhir Agustus 1965 sampai dengan 29 September 1965 pimpinan kolektif Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilaporkan kepada Ketua CC PKI D.N. Aidit untuk mendapatkan keputusan dan instruksinya. Sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI, gerakan yang akan dilakukan itu dipimpin oleh Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan, dan Ketua Biro Khusus Central PKI, Sjam sebagai pimpinan pelaksana gerakan, sedangkan Pono sebagai wakil pimpinan pelaksana gerakan, serta Walujo sebagai pimpinan bagian observasi.
Berdasarkan instruksi CC PKI D.N. Aidit kepada pimpinan pelaksana gerakan, maka berturut-turut sejak tanggal 6 September 1965 diadakan rapat-rapat yang dihadiri oleh pimpinan Biro Khusus PKI dan anggota ABRI yang telah dibina oleh PKI, sebagai berikut :
a.           Rapat pertama, diselenggarakan pada tanggal 6 September 1965, dihadiri oleh Sjam, Pono, Letkol Inf. Untung, Kolonel Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono, Mayor Inf. Agus Sigit, dan Kapten Art. Wahjudi bertempat di rumah Kapten Art. Wahjudi di Jakarta. Acara rapat, antara lain, membalas situasi umum dan sakitnya Presiden Soekarno, uraian mengenai rencana “Dewan Jendral” yang akan melakukan kudeta pada sekitar 5 Oktober 1965, serta perlunya rencana “Dewan Jendral” itu digagalkan.
b.           Rapat kedua, diadakan pada tanggal 9 September 1965, dihadiri oleh orang-orang yang sama di rumah Kapten Art. Wahjudi. Tampil sebagai pembicara, antara lain Sjam yang menanyakan adakah pendapat lain dari hadirin mengenal penjelasan pada rapat pertama. Oleh Sjam kemudian diminta persetujuan bersama untuk turut serta dalam gerakan mengenai taktik pelaksanaan gerakan, titik beratnya mencakup masalah-masalah :
1)    Perwujudan organisasi,
2)    Pengamatan terhadap kesatuan-kesatuan yang ada di Jakarta,
3)    Kekuatan yang dapat digunakan dalam gerakan,
4)    Tenaga-tenaga yang dicalonkan sebagai pimpinan dan yang ditunjuk sebagai pelaksana gerakan.
c.            Rapat ketiga, diselenggarakan pada tanggal 13 September 1965, dihadiri oleh orang-orang yang sama bertempat di rumah Kolonel Inf. A. Latief di Cawang, Jatinegara Jakarta. Keptusan rapat, antra lain sebagai berikut :
1)    Peninjauan kesatuan yang ada di Jakarta.
2)    Menerima tambahan kekuatan dari pasukan yang dipimpin Mayor Udara Sujono,
3)    Polri dan TNI-AL harus di netralkan dalam gerakan ini.
4)    Sasarannya adalah para perwira tinggi pimpinan TNI-AD anggota “Dewan Jendral”, dan
5)    Prioritas adalah objek-objek vital yang menjadi sasaran gerakan.

d.           Rapat keempat, diadakan pada tanggal 15 September 1965 dihadiri oleh orang-orang yang sama di rumah Kolonel Inf. A. Latief, antara lain membahas hal-hal berikut :
1)    Persoalan kesatuan-kesatuan yang akan diajak serta dalam geakan, antara lain, terdiri atas pasukan pimpinan Mayor Udara Sujono, pasukan Letkol Inf. Untung, pasukan pimpinan Kolonel Inf. A. Latief , serta bantuan dari Kapten Art. Wahjudi yang belum ada kepastiannya,
2)    Diperoleh informasi bahwa akan datang dua batalion pasukan dari Jawa engah dan Jawa Timur ke Jakarta dalam rangka HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, yang akan membantu gerakan. Dianjurkan oleh Sjam kepada yang hadir agar pada rapat yang akan datang sudah ada keterangan yang konkret mengenai kekuatan yang dapat digunakan dalm gerakan ini, demikian pula mengenai pembahasan soal organisasi.
e.           Rapat kelima, diselenggarakan pada tanggal 17 September 1965, dihadiri oleh orang-orang yang sama di rumah Kolonel Inf. A. Latief, dan telah menyimpulkan beberapa hal berikut :

1)    Kekuatan yang dapat digunakan untuk gerakan adalah :
a)    Satu batalion yang disediakan oleh Kolonel Inf. A. Latief,
b)    Satu batalion yang disedikan oleh Mayor Udara Sujono,
c)     Satu kompi yang disediakan oleh Kapten Art. Wahjudi, dan
d)    Satu kompi yang disediakan oleh Letkol Inf. Untung.
2)    Oleh Sjam dinyatakan bahwa satu batalion dari Jawa Timur dan satu batalion dari Jawa Tengah juga sudah dapat diajak turut serta dalam gerakan ini, dan
3)    Diputuskan bahwa dalam rapat berikutnya sudah dapat ditentukan pembagian tugas masing-masing.
f.             Rapat keenam, diselenggarakan pada tanggal 19 September 1965, bertempat di rumah Sjam, Jalan Pramuka, Jakarta, dihadiri oleh orang-orang yang sama, tanpa Mayor Inf. Agus Sigit yang oleh Kolonel Inf. A. Latief dilaporkan sakit. Rapat ini, antara lain, membahas organisasi gerakan di bidang politik, militer, dan observasi, sedangkan Sjam ditunjuk sebagai koordinatornya.

Susunan organisasi gerakan ditentukan sebagai berikut :
1)    Bidang politik dipimpin oleh Sjam dan Pono;
2)    Bidang militer dipimpin oleh Letkol Inf. Untung dan Kolonel Inf. A. Latief dengan susunan pasukan yang terdiri atas :
a)    Bagian penggempur.
b)    Bagian teritorial.
c)     Bagin logistik/perhubungan, cadangan/bantuan.
Pasukan penggempur diberi nama Pasopati dibawah pimpinan Lettu Inf. Dul Arief, anak buah Letkol Inf. Untung. Pasukan teritorial diberi nama Bima Sakti dibawah pimpnan Kapten Inf. Suradi, anak buah Kolonel Inf. A. Latief, sedangkan pasukan cadangan diberi nama Gatotkaca di bawah pimpinan Mayor Udara Gathut Soekrisno.
3)    Bidang observasi dipimpin oleh Bono.
g.           Rapat ketujuh, berlangsung tanggal 22 September 1965 dihadiri oleh orang-orang yang sama, kecuali Mayr Inf. Agus Sigit dan Kapten Art. Wahjudi, bertempat di rumah Sjam, dan antara lain membicarakan hal-hal berikut :
1)    Penentuan sasaran bagi setiap pasukan :
a)    Pasopati dengan sasaran para perwira tinggi pimpinan TNI-AD;
b)    Bima Sakti dengan sasaran RRI, Kantor Besar Telkom, dan penguasaan teritorial; dan
c)     Gatotkaca menyelenggarakan koordinasi kegiatan di Lubang Buaya dan menghimpun tenaga cadangan.
2)    Jakarta dibagi menjadi 6 sektor.
3)    Ditetapkan oleh Sjam agar Letkol Inf. Untung menghubungi pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah setelah mereka setelah mereka itu berada di Jakarta.
h.           Rapat kedelapan, pada tanggal 24 September 1965 , dihadiri oleh orang-orang yang sama, seperti pada rapat ketujuh bertempat di rumah Sjam dan hal-hal yang dibahas, antara lain adalah sebagai berikut :
1)    Pemantapan kesanggupan serta kesediaan tenaga-tenaga yang telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan-pasukan yang akan digerakkan;
2)    Pemberitahuan sektor-sektor yang penyelesaiannya diharapkan dalam waktu singkat;
3)    Persiapan bagi gerakan;
4)    Persoalan tempat komando bagi pimpinan gerakan dan penentuan daerah pemunduran, ysitu kompleks Halim dan daerah Podok Gede; dan
5)    Penenteuan tempat komando, yaitu di gedung PN Areal Survey (Penas) dan selanjutnya disebut Central Komando (Cenko).
i.              Rapat kesembilan, pada tanggal 26 September  1965, dihadiri oleh orang-orang yang sama dengan pada rapat kedelapan, bertempat di rumah Sjam, sedangkan pembicaraan berkisar pada hal-hal berikut :
1)    Laporan Mayor Udara Sujono tentang persiapan Cenko di Gedung Penas;
2)    Persiapan daerah pemunduran di Halim dan Pondok Gede;
3)    Penentuan Cenko I  di gedung Penas dan Cenko II di rumah Sersan Udara Anis Sujatno di komplek Halim;
4)    Kesimpulan yang menyangkut rencana pelaksanaan gerakan.
Dengan selesainya segala persiapan gerakan, maka diputuskan untuk mengadakan pemeriksaan (inspeksi) secara menyeluruh.
j.              Rapat kesepuluh, pada tanggal 29 September 1965, dihadiri oleh orang-orang yang sama seperti pada rapat yang kesembilan di rumah Sjam, dengan hasil sebagai berikut :
1)    Pemeriksaan organisasi gerakan militer dan tenaga cadangan/bantuan serta pasukan dari luar Jakarta;
2)    Penentuan sasaran gerakan, serta pengamanan para perwira tinggi pimpinan TNI-AD setelah diambil  tindakan;
3)    Putusan perubahan hari-H dan jam-J yang dibuat oleh Sjam bagi gerakan yang rencana semula akan dilakukan pada esok  dinihari tanggal 30 September 1965 pukul 04.00, menjadi tanggal 1 Oktober 1965 menjelang dinihari. Nama gerakan tetap tidak berubah, yaitu Gerakan 30 September. Perubahan tersebut diputuskan oleh Sjam, karena ternyata pada malam tanggal 29 September 1965, persiapan dinilai belum tuntas, antara lain karena komandan-komandan pasukan yang akan memimpin pelaksanaan penculikan belum seluruhnya berkumpul pada jam yang telah ditetapkan;
4)    Ditentukan agar semua komandan gerakan sudah berada di Cenko Penas pada tanggal 30 September 1965 pukul 23.00; dan
5)    Penyampian oleh Sjam pada rapat tersebut bahwa gerakan itu akan melahirkan Dewan Revolusi sebagai kekuasaan politik tertinggi Indonesia.

Dari rangkaian kegiatan rapat-rapat persiapan oleh pimpinan PKI tersebut terlihat jelas bahwa PKI, khususnya Biro Khusus PKI, adalah menjadi perencana gerakan. Dari awal mula sudah direncanakan agar gerakan tersebut dilaksanakan secara terbatas untuk memberikan kesan seolah-olah masalah merupakan masalah intern TNI-AD.

2.          Pertemuan antara Kepala Biro Khusus Central PKI dan Kepala Biro Khusus Daerah PKAI, September 1965

a.           Jakarta Raya, tanggal 4 September 1965
Sebagai lanjutan dari instruksi Politbiro CC PKI untuk penyusunan kekuatan, Sjam Kepala Biro Khusus Cetral PKI memanggil Kepala Biro Khusus Daerah Jakarta Ray, Endro Sulistyo. Dalam pertemuan pertama yang diadakan pada tanggal 4 September 1965 oleh Sjam dikemukakan hal-hal berikut :
1)    Situasi dan tugas-tugas yang harus dijalankan oleh Biro Khusus Daerah dalam rangka gerakan yang akan dilancarkan,
2)    Keputusan Politbiro CC PKI tentang diadakannya gerakan untuk melumpuhkan “Dewan Jendral”. Kepala Biro Khusus Daerah diperintahkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang diberikan dan agar dimulai dengan pemeriksaan kekuatan. Ternyata kekuatan yang tersedia dari Biro Khusus Daerah Jakarta Raya masih emah karena belum mantapnya pembentukan grup-grup pada badan-badan dinas ABRI dan kesatuan yang setingkat dengan Kodam, dan
3)    Kepala Biro Khusus Daerah Jakarta tetap diminta bantuannya dalam gerakan ini.
b.           Jawa Barat, tanggal 8 September 1965
    Pertemuan kedua diadakan pada tanggal 8 September 1965 dengan Kepala Biro Khusus Daerah Jawa Barat, Harjana alias Lie Tung Tjong, bertempat di rumah Sjam. Pada pertemuan itu diberikan penjelasan tentang :
1)    Situasi umum dan petunjuk mengenai tugas-tugas yang harus dilakukan oleh Biro Khusus Daerah Jawa Barat dalam rangka gerakan,
2)    Kekuatan Biro Khusus Daerah Jawa Barat dilaporkan masih lemah karena masih belum satu pun kesatuan yang dapat dipengaruhi untuk diajak turut serta dalam gerakan, dan
3)    Instruksi yang diberikan oleh Sjam agar mengikuti siaran RRI Jakarta secara terus-menerus.
c.            Jawa Timur, tanggal 13 September 1965
Pertemuan ketiga, pada tanggal 13 September 1965 dengan Kepala Biro Khusus Daerah Jawa Timur, Rustomo, diadakan di rumah Sjam. Dalam pertemuan itu Sjam mengemukakan persoalan yang sama. Dilaporkan oleh Kepala Biro Khusus Daerah Jawa Timur bahwa telah ada anggota-anggota dari satuan yang akan mengikuti HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965, yang telah dapat dibina.
d.           Jawa Tengah, tanggal 15 September 1965
Pertemuan keempat, pada tanggal 15 September 1965 dengan Kepala Biro Khusus Daerah Jawa Tengah, Salim alias Darmo alias Tikno, diselenggarakan di rumah Sjam. Laporan dan petunjuk yang disampaikan adalah sebagai berikut :
1)    Laporan Salim bahwa telah ada anggota-anggota dari satuan yang akan mengikuti HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965 yang telah dapat dibina, dan
2)    Intruksi Sjam kepada Kepala Biro Khusus Daerah Jawa Tengah dan kelompok-kelompok di Jawa Tengah, agar selalu mengikuti siaran RRI Jakarta.
e.           Sumatra Barat, tanggal 17 September 1965
Pertemuan kelima, tanggal 17 September 1965 dengan Kepala Biro Khusus Daerah Sumatra Barat, Rival, diadakan di rumah Sjam. Pada pertemuan itu telah dilaksanakan hal-hal berikut :
1)    Membicarakan situasi dan instuksi Politbiro CC PKI tentang rencana gerakan,
2)    Membahas masalah organisasi
3)    Pernyataan kesanggupan Rivai selaku Kepala Biro Khusus Daerah Sumatra Barat untuk melaksanakan instruksi Kepala Biro Khusus Central, dan
4)    Instruksi Sjam kepada Kepala Biro Khusus Sumatra Barat untuk selalu mendengarkan siaran RRI Jakarta.
f.             Sumatra Utara, tanggal 20 September 1965
Pertemuan keenam, pada tanggal 20 September 1965 dengan Kepala Biro Khusus Daerah Sumatra Utara, Amir alias Nazir, di rumah Sjam. Acara yang dibicarakan sama seperti denan Kepala Biro Khusus Daerah lainnya. laporan dan petunjuk yang diberikan adalah sebagai berikut :
1)    Pernyataan kesanggupan Amir meskipun menurut laporan yang disampaikannya ternyata Biro Khusus Daerah Sumatra Utara belum cukup  kuat, dan
2)    Instruksi Sjam kepada Kepala Biro Khusus Daerah Sumatra Utara agar selalu mendengarkan siaran RRI Jarta.

Dari serangkaian hasil pertemuan yang dilakukan secara maraton dengan Kepala Biro Khusus Daerah, ternyata bahwa kekuatan pasukan di Jakarta tidak besar meskipun dapat dihimpun lebih kurang 6 batalion pasukan campuran. Intruksi-instruksi yang diberikan Sjam kepada setiap Kepala Biro Khusus Daerah dalam rangka pelaksanaan gerakan adalah sebagai berikut :
a.           Supaya di daerah masing-masing dibentuk komando sebagai pimpinan daerah dan komando ini harus dikepalai oleh Biro Khusus Daerah setempat;
b.           Supaya dipersiapkan tenaga-tenaga untuk menjadi anggota Dewan Revolusi Daerah;
c.            Untuk gerakan di daerah supaya dibentuk kekuatan militer yang terdiri dari unsur ABRI;
d.           Gerakan di daerah supaya dapat menguasai jawatan-jawatan/instansi vital di daerahnya;
e.           Untuk dapat mengetahui dimulainya geraka, supaya selalu mengikuti siaran RRI Jakarta; dan
f.             Bahwa instruksi ini sifatnya rahasia dan hanya didiskusikan dalam lingkungan Biro Khusus dDaerah setempat saja.

E.     PERSIAPAN GERAKAN
PEREBUTAN KEKUASAAN, SEPTEMBER 1965

1.          Di Tingkat Pusat dan di Jakart Raya

a.           Struktur Organisasi dan Pengendalian Perebutan Kekuasaan
Sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI, maka Sjam, Pono, dan Bono bersama-sama dengan Letkol Inf. Untung, Kolonel Inf. A. Latief dan Mayor Udara Sujono telah menyusun organisasi gerakan dengan susunan sebagai berikut :
1)          Pimpinan: D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan yang menggariskan bidang politik dan militer,
2)          Pimpinan Pelaksana: Sjam sebagai pimpinan pelaksana gerakan yang menyusun, mengatur, dan memimpin pelaksanaan instruksi Poliybiro. Dasar pertimbangan Politbiro menunjuk Sjam sebagai Pimpinan Pelaksana Gerakan adalah sebagai berikut :
a)          Sjam adalah Kepala Biro Khusus Central yang ditugasi membina anggota ABRI. Biro Khusus Central adalah merupakan aparat yang langsung berada di bawah ketua CC PKI;
b)          Pribadi Sjam belum dikenal oleh masyarakat umum, serta Biru Khusus itu tidak pernah diperkenalkan ke luar. Gerakan yang direncanakan hanya diketahui secara terbatas pada kelompok anggota pimpinan saja dan
c)           Biro Khusus Central pada hakikatnya adalah suatu organ PKI yang mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan olegal PKI dalam bentuk gerakan militer. Oleh karena itu, partai mempertimbangkan bahwa satu-satunya jalan pelaksanaan harus melalui Biro Khusus Central yang sudah sejak lama merupakan aparat rahasia PKI.
3)           Pimpinan Militer: Letkol Inf. Untung, Kolonel Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono dan Brigjen TNI Soepardjo ditunjuk untuk memimpin gerakan militer serta mengorganisasikan pasukan dalam kesatuan-kesatuan tempur, teritorial, dan cadangan. Penunjukan atas diri mereka itu dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa :
a)          Letkol Inf. Untung bertugas di lingkungan istana dan taat kepada PKI,
b)         Kolonel Inf. A. Latief mempunyai pengaruh dan telah berpengalaman menggerakkan pasukan serta taat kepada PKI,
c)          Mayor Udara Sujono mempunyai pengaruh dalam pasukan di samping taat kepada PKI, dan
d)          Brigjen TNI Soepardjo banyak memiliki pengalaman militer dan taat kepada PKI.
Brigjen TNI Soepardjo adalah Panglima Komando Tempur yang bertugas di daerah Kalimantan Barat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Ia kembali ke Jakarta pada tanggal 29 September 1965 dengan alasan untuk menengok anak yang sedang sakit dan untuk berkonsultasi dengan Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani selaku Panglima Komando Mandala Siaga. Ia adalah seorang pendukung PKI yang setia sehingga ketika Sjam memberikan tugas partai (PKI) kepadanya, dalam Gerakan 30 September, ia patuh dan melaksanakannya. Ia pada tanggal 30 September 1965 menginformasikan kepada Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani akan adanya gerakan dari perwira-perwira yang menentang “Dewan Jendral” untuk mendahului rencana perebutan kekuasaan yang akan dilakukan oleh “Dewan Jendral”.
4)          Pimpinan politik: Sjam dan Pono menerima menerima tugas politik dari pimpinan tertinggi gerakan, yaitu menyampaikan garis-garis politik ketua CC PKI D.N. Aidit kepada pimpinan bidang militer dan informasi/observasi.
5)          Pimpinan Bidang Observasi: Bono alias Walujo memimpin pengumpulan informasi/data mengenal keadaan politik dan militer di Jakarta untuk disampaikan kepada Sjam.
6)          Dewan Revolusi: Pada pertengahan bulan September 1965, Ketua CC PKI D.N. Aidit menginstruksikan kepada Biro Khusus untuk menyusun konsep Dewan Revolusi sebagai badan politik dari gerakan bersenjata tersebut. setelah konsep disusun dan diajukan kepadanya, ketua CC PKI D.N. Aidit mengadakan beberapa perubahan tentang beberapa nama dan mengembalikan lagi konsep tersebut kepada Sjam pada tanggal 30 September 1965 malam. Pedoman yang dipakai dalam menyusun personel Dewan Revolusi bertujuan untuk memberikankesan bahwa Dewan ini mewakili dan mencakup semua golongan masyarakat, baik sipil maupun militer, khususnya yang sesuai dengan gagasan Nasakom. Selain itu, nama-nama pejabat-pejabat dan tokoh-tokoh di luar Jawa pun dimasukkan agar tidak menimbulkan kesan Jawa sentris. Pencantuman nama pejabat-penjabat tertentu, seperti beberapa Panglima Kodam adalah sekadar untuk meyakinkan anggota-anggotanya. Pejabat-pejabat itu tidak tahu-menahu tentang rencana PKI tersebut. komposisi dewan dibuat sedemikian rupa, seolah-olahmencerminkan tidak adanya dominasi orang komunis. Dewan Revolusi, yang melaksanakan setiap keputusan Ketua CC PKI, berfungsi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan bersifat sementara. Dewan ini merupakan pemegang kekuasaan peralihan dari periode setelah Kabinet Dwikora didemisionerkan dan sebelum diganti dengan pemerintahan baru yang akan dibentuk oleh Dewan  Revolusi. Setelah pemerintahan baru dibentuk, selesailah tugas Dewan Revolusi ini
7)          Dewan Militer
       Selain menyusun Dewan Revolusi, Biro Khusus Central juga mempunyai tugas membentuk apa yang disebut Dewan Militer. Dewan ini hanya terdiri atas D.N. Aidit , Sjam, dan beberapa perwira yang mempunyai kedudukan tinggi atau para perwira yang dianggap berpengaruh. Rapat Dewan Militer ini untuk pertama kalinya diadakan pada tanggal 30 September 1965 malam di rumah Sjam. Para perwira yang disebut menjadi anggota Dewan Militer adalah Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro dan Mayor Udara Sujono yang fungsinya membeberikan pendapat-pendapat dari sudut militer mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan Gerakan 30 September.
b.           Sasaran gerakan
Sasaran utama gerakan pasukan Pasopati  adalah Jendral TNI A.H. Nasution , Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Haryono M.T. , Mayjen TNI Harjono M.T., Mayjen TNI Soeprapto, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Mayjen TNI S. Parman, dan Brigjen TNI Sutojo S. pasukan Bima Sakti mendudukki objek-objek penting yang telah ditentukan, sedangkan pasukan Gatotkaca menerima hasil-hasil dari pasukan Pasopati.
c.        Penentuan Hari-H dan Jam-J
  Sjam melaporkan kepada Ketua CC PKI D.N. Aidit tentang selesainya persiapan gerakan pada tanggal 28 September 1965 dan penentuan rencana hari-H dan jam-J tanggal 30 September 1965 pukul 04.00. Ketua CC PKI D.N. Aidit setelah menyetujui rencana tersebut, memberikan nama gerakan tersebut Gerakan 30 September. Namun, Sjam selaku pimpina pelaksana gerakan dalam rapat kesepuluh tanggal 29 September 1965 telah mengubah hari-H dan jam-J menjadi tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.00 menjelang dini hari. Perubahanini, sebagaimana diuraikan di muka, disebabkan belum berkumpulnya seluruh komandan satuan yang akan melaksanakan penculikan pada tanggal 29 September 1965 sesuai dengan  jam yang telah ditetapkan. Walaupun demikian, sesuai dengan rencana semula, gerakan yang dilaksanakam 1 Oktober 1965 tersebut tetap diberi nama gerakan 30 September.
d.     Kegiatan-Kegiatan Menjelang Hari-H DAN Jam-j
Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan, melalui Biro Khusus Central memerintahkan Letkol Inf. Untung untuk melakukan persiapan-persiapan terakhir pelaksanaan gerakan tersebut. selanjutnya, pada tanggal 30 September 1965 kira-kira pukul 10.00, bertempat  di Lubang Buaya telah berlangsung suatu pengarahan yang diberikan oleh Letkol Inf. Untung kepada para pimpinan pelaksana gerakan. Hadir di situ, antara lain Kolonel Inf. A. Latief, Mayor Udara Sujono, Mayor Inf. Bambang Supeno, Kapten Inf. Suradi, Mayor Udara Gathut Soekrisno, Kapten Inf. Kuntjoro, Lettu Inf. Dul Arief, serta Sjam dan Pono. Dalam pengarahan tersebut, antara lain, dikemukakan tentang akan diadakannya gerakan pendahuluan guna memberu  pukulan yang menentukan pada kekuatan dari yang mereka sebut “Dewan Jendral”. Gerakan tersebut diberi nama Operasi Takari dengan kekuatan satu divisi yang diberi nama Divisi Ampera. Dalam pembagian tugas tersebut telah ditentukan pula lokasi Cenko, tanda-tanda pengenal, dan kode-kode, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan operasi. Pengarahan itu sudah dinyatakan sebagai perintah pelaksanaan gerakan. Namun, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 01.30 – sebelum pasukan penculik bergerak – perintah tersebut diulang kembali.
Pada hari Kamis tanggal 30 September 1965, sekitar pukul 21.00, diadakan rapat Dewan Militer di rumah Sjam di Jalan Pramuka, Jakarta, yang di hadiri oleh D.N. Aidit, Sjam, Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro, dan Mayor Udara Sujono. Inti dari materi yang dibicarakan ialah sebagai berikut :
1)    Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan mengadakan pengerebekan terakhir atas seluruh persiapan gerakan;
2)    Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan mengesahkan adanya Dewan Militer;
3)    Ketua CC PKI D.N. Aidit sebagai pimpinan tertinggi gerakan menyerahkan daftar susunan Dewan Revolusi yang akan diumumnkan kemudian, dan yang sebelumnya harus ditandatangani oleh tiap-tiap ketua dan Wakil Ketua Dewan Revolusi; dan
4)    Ketua CC PKI D.N. Aidit selanjutnya menginstruksikan agar seluruh petugas segera menuju ke pos masing-masing.
Hadir pula di luar ruang rapat: Soejono Pradigdo, Hamim alias Asep Surjaman, Kusno (ajudan D.N. Aidit), Pono, dan Bono. Rapat selesai kira-kira pukul 23.00. kemudian D.N. Aidit diantar oleh Mayor Udara Sujono ke rumah Sersan Udara Suwardi di Kompleks Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, sedangkan Bono aliasWalujo terlebih dahulu menjemput Iskandar Subekti dan kemudian bergabung dengan D.N. Aidit, pimpinan tertinggi gerakan. Sjam dan kawan-kawan menuju Cenko I di gedung Penas untuk melaksakan tugas-tugas sebagai pimpinan pelaksana gerakan.

2.          Di daerah Jawa Barat

Untuk mempersiapkan dukungannya terhadap Gerakan 30 September di Daerah Jawa Barat, Kepala Biro Khusus Central PKI pada awal September 1965 telah menginstruksikan kepada Harjana alias Urdin atau Lie Tung Tjung Tjong—Kepala Biro Khusus Jawa Barat—untuk melaksanakan persiapan-persiapan yang diperlukan. Instruksi yang sama telah pula diberikan oleh Sudisman, selaku Sekretaris CC PKI kepada Ketua CDB Pki Jawa Barat, Ismail Bakri. Pada pertengahan September 1965 itu Harjana telah memerintahkan petugas-petugas Biro Khusus Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan juga anggota-anggota ABRI yang dibinanya di Ciamis untuk menyiapkan komposisi Dewan Revolusi di daerah masing-masing. Di samping itu, Ismail Bakri, selaku Ketua CDB PKI Jawa Barat, pada awal September 1965 juga mengadakan Sidang Dewan Harian CDB PKI Jawa Barat. Di dalam sidang itu, diputuskan koordinator-koordinator untuk gerakan sebagai berikut :
a.     S. Suryana ditugasi sebagai koordinato untuk daerah kota Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis;
b.     Sutardi mengkoordikasikan gerakan di Indramayu, Kuningan, dan Majalengka;
c.      Suganda ditunjuk selaku koordinator untuk daerah Bogor, Sukabumi, dan Cianjur; dan
d.     Mustafa sebagai koordinator untuk daerah Bekasi, Karawang, dan Subang.

3.          Di Daerah Jawa Timur
Dalam hubungan dengan strategi PKI untuk melemahkan TNI-AD di daerah Kodam VIII/Brawijaya, Rustom--Ketua Biro Khusus PKI Jawa Timur—pada bulan Juni 1965 melapor kepada Sjam di Jakarta tentang beberapa anggota TNI-AD yang dapat dibina di daerah Jawa Timur.
Pada tanggal 25 – 31 Agustus 1965 di Jarta, Rustomo mengikuti rapat rapat atas panggilan Ketua Biro Central PKI. Rapat itu dihadiri pula oleh Pono dan Bono. Dalam rapat tersebut, Rustomo menerima instruksi untuk segera membentuk komando kesatuan di tingkat propinsi dan tempat lain yang dipandang perlu dengan tujuan agar dapat mempersatukan dan menggerakkan kesatuan TNI-AD yang telah dibina, menentukan objek vital yang menjadi sasaran, dan mengadakan pemilahan anggota di lingkungan TNI-AD yang pro dan yang menghalangi program PKI.
Selanjutnya, pada bulan September 1965 dengan mengambil tempat di rumah Soma, Wakil Ketua Biro Khusus PKI Jawa Timur, Rustomo mengadakan pertemuan dengan petugas-petugas Biro Khusus PKI Jawa Timur guna menyusun komando kesatuan propinsi dengan Rustomo sebagai Ketua.
Sebaga kelanjutkan pertemuan tersebut, Rustomo menngadakan rapat untuk mematangkan rencana yang sudah disusun dan mempersiapkan serta melaksakan gerakan bersenjata di daerah Madiun, Jember, Surabaya serta agar perwira-perwira yang sudah dibina PKI mengirimkan sebagian dari pasukannya untuk membantu gerakan di Surabaya jika telah tiba saatnya.
Pada tanggal 22 September 1965 Rustomo meneruskan perintah yang diterima dari Ketua Biro Khusus Daerah. Perintah itu adalah sebagai berikut :
a.     Mempertegas instruksi Biro Khusus Centra yang terdahulu.
b.     Supaya daerah selalu mengikuti siaran RRI Jakarta mengenai saat dimulainya gerakan bersenjata.
c.      Agar menyusun tim yang mempunyai tugas :
1)    Menyusun Dewan Revolusi;
2)    Menghadap Pangdam VIII/Brawijaya pada saat dimulainya gerakan; dan
3)    Membuat pernyataan mendukung Dewan Revolusi.
d.     Menguasai gedung-gedung vital setelah gerakan dimulai seperti markas-markas Komando Militer, RRI, kantor Telepon, Telegram, stasiun-stasiun kereta api, gedung-gedung resmi, serta penangkapan pejabat-pejabat penting, antara lain Gubernur Wiyono.
Sebagai pelaksanaan perintah Rustomo tersebut di atas, maka pada tanggal 27 September 1965 Biro Khusus Daerah Jawa Timur mengadakan rapat dan mengambil keputusan, antara lain, sebagai berikut :
a)    Kapten Inf. Soembodo dan Kapten Inf. Kasmidjan ditugasi menghadap Pangdam VIII/Brawijaya untuk meminta kesediaannya agar mendukung Dewan Revolusi, dan
b)   Peltu Sudono ditugasi membuat teks-teks pendukung Dewan Revolusi dan mengumumkannya melalui RRI Surabaya.

4.          Di daerah Istimewa Yogyakarta
Di Yogyakarta pimpinan Biro Khusus PKI  Wirjomartono juga telah berhasil menggarap beberapa perwira yang ada di daerah tersebut, antara lain Mayor Inf. Moeljono.
Pada tanggal tanggal 29 September 1965 Wirjomartono menemui Mayor Inf. Moeljono serta meneruskan isu “Dewan Jendral” yang akan mengadakan kudeta dan keputusan Plitbiro CC PKI untuk melakukan gerakan melumpuhkan pimpinan TNI-AD. Untuk itu, di daerah Istimewa Yogyakarta perlu dilakukan gerakan mendukung gerakan di Jarta nanti. Akhirnya, Wirjomartono meminta kepada Mayor Inf. Moeljono untuk melakukan gerakan yang direncanakan Politbiro CC PKI, jika waktunya tiba dan menanyakan kesediaannya mengambil alih pimpinan Korem 072/Pamungkas. Mayor Inf. Moeljono menyatakan kesediaannya. Setelah itu Wirjomartono menuju ke tempat Mayor Inf. Wisnuradji dan meminta kepadanya untuk membantu Mayor Inf. Moeljono jika gerakan dimulai. Hari berikutnya, sekali lagi, Wirjomartono menemui Mayor Inf. Moeljono untuk mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka gerakan yang akan dilakukan.

5.          Di Daerah Sumatra Barat
Pada pada tanggal 18 September 1965, Rival alias Baharudin Hanafi, Ketua Biro Khusus Central kepada anggota Biro Khusus Daerah Sumatra Barat, antara lain mengenai perkembangan situa politik, sakitnya Bung Karno, adanya “Dewan Jendral”, dan rencana gerakan di Jakarta. Instruksinya, antara lain mengadakan gerakan pendukung paling lambat dari kedua setelah gerakan di Jakarta dilancarkan dan untuk selalu mengikuti iaran RRI Jakarta.
Beberapa hari kemudian, Baharudin Hanafi memimpin rapat-rapat para anggota Biro Khusus Daerah Sumatra Barat dengan menyertakan beberapa anggota militer, antara lain Letkol Soekirno (Dan Dodik X) dan Letkol Bainal (Kasmada Hansip Sumatra Barat) dalam rangka menyiapkan gerakan pendukung. Persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a.     Mengadakan pengumuman untuk menarik golongan lain,
b.     Membentuk Dewan Revolusi dengan komposisi yang luas, dan
c.      Menggerakkan  kekuatan militer guna menguasai objek-objek vital seperti RRI dan telekomunikasi, serta mengusahakan agar tidak timbul pertumpahan darah.

6.          Di Daerah Sumatra Utara
Dalam bulan September 1965, Muhammad Nazir alias Amir, Ketua Biro Khusus PKI Sumatra Utara, dipanggil oleh Ketua Biro Khusus Central di Jakarta. Kepadanya diberikan informasi tentang adanya “Dewan Jendral” dan instruksi CC PKI/Biro Khusus Central untuk melaksanakan gerakan melumpuhkan “Dewan Jendral” itu ia diperintahkan untuk melakukan persiapan guna melaksanakan gerakan militer di Sumatra Utara dalam rangka mendukung kudeta di Jakarta. Untuk itu, ia ditugasi membentuk Dewan Revolusi daerah dan Grup Komando.
Grup Komando harus segera bergerak jika gerakan telah dimulai di Jakarta. Tugasnya adalah menyingkirkan pimpinan TNI-AD di Sumatra Utara. Untuk melaksanakan tugas tersebut Mohammad Nazir dibantu oleh Wirjoatmodjo, anggota CC PKI yang merangkap sebagai Wakil Ketua Biro Khusus Daerah Sumatra Utara. Serangkaian pertemuan telah diadakan dengan perwira-perwira TNI-AD  yang telah dibina oleh PKI.
Pertemuan yang sangat menentukan itu berlangsung pada tanggal 25 September 1965. Pertemuan diadakan dua kali, pertama pada petang sampai malam harinya dan yang kedua pada tengah malam. Dalam pertemuan pertama mereka menyusun personel Dewan Revolusi dan Grup Komando.
Rapat kedua mengesahkan susunan personel Dewan Revolusi dan Grup Komando tersebut. rapat ini juga membuat perkiraan tentang kekuatan militer yang akan bergerak dan akan mendukung gerakan. perkiraan ini didasarkan atas pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan oleh Letkol Inf. Maliki kepada beberapa perwira di daerah Tanjung Balai dan Pematang Siantar serta di daerah Kisaran.

7.          Di Daerah Riau  
Pada tanggal 11 September 1965, di kantor CC PKI Jakarta Abdullah Alihami, Skretaris I  CDB PKI Riau, menerima instruksi untuk melakukan gerakan di daerahnya, yakni di Riau, dalam rangka mendukung gerakan di Jakarta. Setibanya di Pekan Baru, ia membicarakan instruksi tersebut dengan Soetjipto, Biro Khusus PKI Riau. Pada waktu itu diputuskan bahwa Abdullah Alihami bertanggung jawab mengenai hal-hal politis dan Soetjipto bertanggung jawab mengatur gerakan-gerakan militer.
Pada tanggal 23 September 1965 Abdullah Alihami memanggil Sidang Dewan Harian CDB PKI Riau. Dalam sidang itulah ia menyampaikan informasi dan instruksi CC PKI Jakarta. Pada keesokan harinya, tanggal 24 Agustus 1965, ia mengadakan pertemuan dengan Soetjipto dan menugasinya untuk membentuk Dewan Revolusi Riau, sedangkan Komando Gerakan Militer akan diserahkan kepada Komando Gerakan Militer akan diserahkan kepada Kolonel Inf. Somedi seorang perwira yang telah dibina PKI.

8.          Di Daerah Bali
Untuk melakukan gerakan dalam membantu Gerakan 30 September di Jakarta, CC PKI mengirimkan wihadji ke Denpasar, sedangkan Tamuri Hidayat, seorang pensiunan bintara TNI-AD yang telah dibina oleh PKI diharapkan akan membantu usahanya. Sesuai dengan instruksi CC PKI yang disampaikan oleh Wihadji beberapa hari sebelumnya.

9.          Di Daerah Nusa Tenggara Timur
Pada pertengahan bulan September 1965, CC PKI mengirim Sardjono, anggota DPR-GR Fraksi PKI ke Kupang untuk menyampaikan instruksi Politbiro CC PKI. Pada tanggal 27 September 1965 Th. P. Rissi, Sekretaris CDB PKI Nusa Tenggara Timur (NTT), tentang persiapan Dewan Revolusi NTT dan menetapkan siapa-siapa yang duduk di Dewan Revolusi tersebut. rapat juga memutuskan mengenai penyingkiran para pejabat dan alim ulama.

                                                     ________________
  
S u m b e r :
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan 30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya

—KSP42—
Minggu, 29 September 2019 – 11.14 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar