Blok Ki Slamet: Seni Budaya Nusantara
Kamis, 26 September 2019 - 00.55 WIB
Kamis, 26 September 2019 - 00.55 WIB
PEMBERONTAKAN PARTAI
KOMUNIS INDONESIA
(Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya)
BAB I
U M U M
Dalam minggu pertama bulan Oktober 1965
rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian berita Radio Republik Indonesia
(RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkat tertinggi pemerintahan
di Ibukota Jakarta.
Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965
secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00 pagi,
memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965di Ibukota
Republik Indonesia, Jakarta, telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan
Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel
Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden
Soekarno. Sejumlah besar Jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang
penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut
dan “Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerkan
tersebut “ditujukan kepada Jendral-Jendral anggota apa yang menamakan dirinya
Dewan Jendral”. “Komandan Gerakan 30 September” itu menerangkan bahwa akan
dibentuk “Dewan Revolusi Indonesia” di tingkat Pusat yang diikuti oleh “Dewan
Revolusi Propinsi”, “Dewan Revolusi Kbupaten”, “Dewan Revolusi Kecamatan” dan
“Dewan Revolusi Desa”.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00 hari itu
juga memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”.
Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “Komando Gerakan 30 September”,
yaitu Letnan Kolonel Untung sebagai “Komandan”, Brigjen Supardjo, Letnan
Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas
sebagai “Wakil Komandan”.
Siaran kedua ini memuat dua keanehan. Dari
sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigadir Jendral menjadi
Wakil dari seorang Letnan Kolonel. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini
ternyata juga bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat”, oleh
karena dalam “Dekrit No.1” tersebut diumumkan bahwa: “Untuk sementara waktu,
menjelang pemilihan umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 45, Dewan Revolusi Indonesia” menjadi sumber daripada
segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran ketiga, pada pukul 19.00 hari itu
juga, Radio Republik Indonesia Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando
cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) , Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa “Gerakan 30
September” tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah menculik
beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih kekuasaan
negara, atau coup, dari PYM Presiden/ Panglima Tertinggi Abri/Pemimpin Besar
Revolusi dan melempar Kabinet Dwikora
kekedudukan demisiones. Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang telah
diculik adalah: Letnan Jendral A. Yani, Mayor Jendral Soeprapto, Mayor Jendral
S. Parman, Mayor Jendral Haryono M.T., Brigadir Jendral D.I. Pandjaitan, dan
Brigadir Soetoyo Siswomihardjo. Sesuai dengan prosedur tetap Angkatan Darat, Mayor
Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat
dipegang oleh beliau.
Kemudian pada tengah malam tanggal 1 Oktober
1965 itu juga, menjelang tanggal 2 Oktober, RRI menyiarkan Pengumuman
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa beliau
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusia.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 1965,
pukul 01.30, RRI Jakarta menyiarkan pidato Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kembali bahwa beliau berada
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang tampuk pimpinan Negara serta
tammpuk pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau mengumumkan bahwa
tanggal 2 Oktober beliau telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata
bersama Wakil Perdana Menteri Kedua, Dr. Leimena, dan pejabat penting lainnya.
Pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan beliau, dan tugas
sehari-hari dijalankan oleh Mayor Jendral Pranoto Reksosamodra, Asisten III
Men/PANGAD, Panglima Kostrad, ditunjuk untuk melaksanakan pemulihan keamanan
dan ketertiban.
Sesuai dengan pidato Presiden tersebut di
atas, pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima Kostrad Mayor Jendral
Soeharto mengumumkan bahwa mulai saat itu Pimpinan Angkatan Darat
dipeganglangsung oleh PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Beliau sendiri
masih diberi tugas untuk mengembalikan keamanan sebagai sediakala.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 pukul 20.00 RRI
Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayor Jendral Soeharto setelah menyaksikan
pembongkaran tujuh jenazah jendral dan satu jenazah perwira pertama yang
diculik “Gerakan 30 September” pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah
tersebut diketemukan dalam keadaan rusak di dalam sebuah sumur tua di desa
Lobang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Daerah itu
digunakan sebagai lokasi latihan Sukarelawan dan Sukarelawati yang berasal dari
Pemuda Rakyat(PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) oleh oknum-oknum
Angkatan Udara. Kedua organisasi ini, PR dan Gerwani, adalah “organisasi
mantel” Partai Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira yang ditangkap oleh
oknum-oknum Cakrabirawa di kediamannya masing-masing, dibawa ke lokasi latiha
PR Dan Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh. Gerakan 30 September
ternyata ke luar merupakan aksi Cakrabirawa, ke dalam merupakan aksi PR dan
Gerwani.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 itulah diketahui
untuk pertama kalinya kejelasan mengenai “Geraka 30 September” tersebut.
gerakan itu ternyata terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejak
tahun 1951 membangun kembali kekuatannya setelah terlibat dalam pemberontakan
terhadap Republik Indonesia dalam bulan September 1948 di kota Madiun, Jawa
Timur.
Rangkaian Sidah Makamah Militer Kuar Biasa
(Mahmilub) untuk mengadili mereka yang terlibat dalam kudeta tersebut telah
mengungkapkan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini terbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi
sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kudeta berdarah pada awal bulan Oktober
1965 tersebut. oleh karena itu “Gerakan 30 September” tersebut disebut secara
lengkap sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia”, atau disingkat
“G30S/PKI”.
Pengungkapan perana PKI dalam sidang
mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam masyarakat Indonesia,
yang berujung dengan ditetapkannya Ketetapan Majeis Permuyawaratan Rakyat
Sementara No. TAP-XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pelaksanaan Ketetapan Permusyawaratan Rakyat
Sementara tersebut mengandung implikasi adanya kewajiban idiologis untuk
memurnikan Pancasila, yang sejak tahun 1959 telah disalahtafsirkan sebagai
gabungan dari paham Nasionlisme, Agama dan Komunis (“Nasakom”). Tugas pemurnian
ini baru seesai dalam tahun 1978, dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. TAP-II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (“Eka Prasetia Pancakarsa”). Dalam tahun ini pula
dimulailah rangkaian penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
tersebut, bermula dari Pegawai Negeri disusul oleh pimpinan organisasi sosial
politik dan organisasi masyarakat,
diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.
Dengan pertimbangan bahwa ajaran yang
bersumber dari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah merupakan ancaman
laten terhada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan bahwa
oleh karena kegiatan mempelajari ancaman paham Komunisme/Marxisme-Leninisme
secara ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara
terpimpin di bawah kendali Pemerintah, maka dengan Instruksi Presiden No. 10
Tahun 1982 telah diinstruksikan kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan Nasional
untuk Eselon I pada departemen-departemen dan instansi-instansi pemerintahan
lainnya. Penataraan Kewaspadaan Nasional ini kemudian diluaskan kepada lapisan
lainnya dalam masyarakat, baik secara khusus maupun sebagai bagian dari
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Buku Putih ini memuat fakta dan analisis
secara komprehansif dan integral mengenai latar belakang aksi dan penumpasan
G30S/PKI, baik untuk digunakan dalam masyarakat sebagai referensi dalam
penataran kewaspadaan nasional, maupun sebagai publikasi resmi Pemerintah
Republik Indonesia Indonesia untuk masyarakat umum mengenai gerakan tersebut.
Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri
sejak masuknya paham Komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia awal abad ke-20,
penyusupannya ke dalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan
komunisme internasional. Dalam hal-hal yang mendasar dari politik PKI di
Indonnesia terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan
komunisme internasional itu.
Ditinjau dari keseluruhan latar belakang
ini, aksi G30S/PKI dapat dibagi dalam tiga babak, yaitu babak pertama aksi
subversi untuk menyusup ke dalam kalangan lain dan untuk merusak kesetiaan
rakyat terhadap Pemerintah yang berlangsung dari tahun 1954 sampai dengan tahun
1965, babak kedua upaya percobaan kudeta, perebutan kekuasaan pemerintah, dari
bulan Juli – Oktober 1965, dan babak ketiga pemberontakan bersenjata melawan
Pemerintah Republik Indonesia yang sah dari tahun 1966 sampai tahun 1968.
Penumpasan G30S/PKI mencakup penumpasannya
secara fisik dengan menghancurkan pimpinan, organisasi, dan gerakan
bersenjatanya; penumpasannya secara konstitusional dengan melarang paham
Marxisme/Leninisme-Komunisme; dan penumpasan secara ideologis dengan mengadakan
penataran Kewaspadaan Nasional.
_____________________
BAB II
TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA
PARTAI KOMUNIS DI
INDONESIA
A.
PERIODE
SEBELUM TAHUN 1945
1.
Indische
Sociaal Democratische Vereniging sebagai
Embrio dari Partai Komunis Indonesia
Pada tahun 1913,
menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis
berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda dari
negeri Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan
anggota Sociaal Democratische Arbeiders
Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula-mula ia
bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelblad, sebuah surat kabar milik sindikat
perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai
sekretaris pada Semarangsche Haandels
Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di
semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, vereniging van Spooren Tramsweg Personeel (VSTP).
Di kemudian hari Sneevliet
berhasil menanamkan pengaruhnya ke dalam organisasi VSTP tersebut dan membawa
VSTP ke arah aktivitas-aktivitas yang radikal, atau setidak-tidaknya menjadikan
VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di Hindia Belanda, antara lain
melalui surat kaba VSTP, Devolharding
(keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang
Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914
bersama J.A. Brandssteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi
Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian,
mereka menerbitkan majalah Het Vrije
Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme.
Selain majalah Het Vrije Woord, ISDV
juga menerbitkan surat kabar Soeara
Mardika dan kemudian Soeara Rakjat.
Tulisan-tulisan yang
menyebarluaskan Marxisme, baik melalui media surat kabar ISDV maupun
kegiatan-kegiatan lainnya pada saat itu belum begitu mendapat perhatian dari
Pemerintah Hindia Belanda karena belum merupakan ancaman terhadap kelangsungan
pemerintahannya. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa tulisan-tulisan
tersebut akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. Di samping itu,
kemungkinan ISDV dapat memperluas pengaruhnya di wilayah jajahan sangat
diragukan mengingat adanya hambatan agama, bahasa, ras, dan suku yang
berbeda-beda.
2.
Infiltrasi
Komunis ke dalam Sarekat Islam, melalui Taktik Keanggotaan Rangkap
Sejak kebangkitan
nasional tahun 1908, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat
Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang berkembang pesat di Indonesia.
Sneevliet sendiri sangat menyadari adanya hambatan bagi ISDV untuk menanamkan
ajaran Marxisme di Hindia Belanda. Untuk dapat melaksanakan upaya tersebut,
Sneevliet memanfaatkan organisasi SI. Caranya adalah dengan memasukkan anggota
ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi ISDV atau
dengan sistem “keanggotaan rangkap”. Dengan sistem keanggotaan rangkap inilah,
ISDV menyebarkan pengaruhnya ke dalam organisasi SI. Pada tahun 1917 Sneevliet
dan kawan-kawannya telah mempunyai
pengaruh yang kuat di kalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa
beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, di antaranya Semaoen yang pada
tahun 1917 menjadi salah seorang pimpinan SI Cabang Semarang dan Darsono
seorang wartawan yang menjadi anggota AI. Keduanya dinilai sebagai seorang muda
yang berdedikasi dan berambisi di bidang politik. Dengan memasuki ISDV
sekaligus juga sebagai anggota SI, kedua orang ini menjadi penyebar Maxisme ke
kalangan masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1917
golongan kolonialis melaksanakan revolisi Rusia. Peristiwa ini kemudian
dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet yang dengan terang-terangan
menyerukan agar penganut Marxisme di Indonesia mengikuti Rusi. Selain menyusupi
SI, ISDV secara rahasia juga mengadakan penyusupan ke semua lapisan masyarakat
Indonesia, termasuk pergerakan kaum buruh, bahkan di kalangan tentara Belanda.
Aktivis ISDV yang juga menamakan dirinya kaum merah, memperalat serdadu-serdadu
dan pelaut-pelaut untuk berdemonstrasi melawan polisi. Demikian juga surat
kabar ISDV membuat hasutan-hasutan, agar dikobarkan pemberontakan dan
dikibarkan bendera merah. ISDV mendorong pula tokoh-tokoh nasionalis dan
organisasi, seperti Boedi Oetomo,
Insulinde, dan SI untuk menuntut Pemerintah Hindia Belanda menggantikan Volksraad dengan parlemen Rakyat. Hal
ini membuat Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan
jalan mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda pada tahun 1918, kemudian menyusul
Brandsteder pada tahun 1919, Baars pada tahun 1921, dan sisa-sisa kelompok
radikal pada tahun 1923.
3.
Munculnya
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai Bagian dari Jaringan Komunis
Internasional
Ketika Sneevliet dan
Brandsteder diusir dari Hindia Beanda, Semaoen dan Darsono yang telah menjadi kader komunis hasil pembinaan
Sneevliet muncul sebagai pimpinan ISDV. Ketika SDAP di Negeri Belanda pada
tahun 1918 memaklumkan perubahan partainya menjadi Partai Komunis Belanda,
beberapa anggota ISDP mengusulkan untuk mengikuti langkah SDAP itu. Adapun
perubahan SDAP menjadi Partai Komunis Belanda itu sangat erat kaitannya dengan
keberhasilan Renovolusi Bolsjewik di Rusia tanggal 1 Oktober 1917. Revolusi
tersebut telah memberikan angin segar kepada penganut Marxisme di seluruh dunia
yang menyerukan agar keberhasilan revolusi di Rusia diikuti dengan revolusi
dunia.
Lenin
menggariskan bahwa untuk tercapainya revolusi dunia hendaknya didirikan partai
komunis di tiap negara. Sebagai tanggapan atas penggarisan Lenin tersebut,
dalam Kongres ISDV VII pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI di Semarang
diusulkan oleh Baars agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern). Dengan
melalui perdebatan yang sengit dalam Kongres ISDV tersebut, akhirnya diadakan
pemungutan suara yang hasilnya 33 suara setuju, 2 suara mebolak, dan 1 suara
blangko. Dalam kongres tersebut disusunlah pengurus Perserikatan Komunis Hindia
Belanda dengan Ketua Semaoen, Wakil Ketua, Darsono; Sekretaris, P. Bergsma;
Bendahara, H.W. Dekker; dan Urusan Keanggotaan, Baars. Perubahan ISDV menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dikomentari oleh Baars bahwa “hanya
dengan diktator proletariat, satu-satunya cara untuk membangun masyarakat
sosialis”.
Dalam Kongres II
Komintern bulan Juli – Agustus 1920 di Petrograd dan Moskow, Sneevliet – yang
setelah diusir dari Hindia Belanda dan tinggal di Cina – hadir sebagai wakil
dari Perserikatan Komunis di Hindia Belanda menggunakan nama samaran Maring,
walaupun di saat itu Perserikatan Komunis di Hindia Belanda belum resmi menjadi
anggota komintern. Dalam kongres tersebut Sneevliet alias Maring berusaha
meyakinkan Komintern agar Perserikatan Komunis di Hindia Belanda disetujui
tetap bekerja sama dengan SI sebagai taktik untuk memenangkan kom unis. Pada
dasarnya Komunis menentang gerakan Pan-Islamisme
karena dianggap sebagai gerakan borjuis-nasional yang menentang Marxisme di
seluruh dunia. Namun, kongres kemudian dapat menyetujui Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda untuk tetap bekerja sama dengan pihak mana pun dalam setiap
lingkungan masyarakat sebagai taktik untuk mencapai tujuan.
Persetujuan kongres
tersebut digunakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk bekerja
sama dengan organisasi-organisasi lain dan mengizinkan juga anggota-anggota
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk duduk dalam Volksraad. Namun, Keputusan Kongres II Komintren yang tetap
menentang Pan-Islamisme, telah
menimbulkan kesulitan bagi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dalam
hubungannya dengan SI karena kelompok yang anti komunis dalam SI menuduh bahwa
keputusan tersebut berarti memusuhi Islam secara keseluruhan.
Pada bulan Desember
1920 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dengan suara mutlak menerima 21
syarat Komintern untuk menjadi anggota, yang isinya, antara lain sebagai
berikut :
a.
Pengakuan secara konsisten terhadap
dikttor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya.
b.
Pemutusan kerja sama secara
menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari
partai.
c.
Melaksanakan perjuangan dengan metode
kombinasi legal dan ilegal.
d.
Bekerja secara sistematis di dalam
negara, militer, organisasi buruh reformis, dan parlemen borjuis.
e.
Setiap partai anggota Komintren
adalah partai komunis dan dibentuk atas prinsip sentralisme demokrasi.
f.
Semua keputusan dari Kongres
Komintren da Executive Committee of
Communist International (ECCI), yang merupakan komite pelaksana Keputusan
Kongres Komintern, akan mengikat terhadap semua partai yang berafiliasi dengan
Komintern.
g.
Komintren dan ECCI juga terikat untuk
mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda
tempat bekerja dan berjuangnya dan secara umumm resolusi yang diajukan mengenai
suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu memungkinkan.
Pertentangan di
dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober
1921 di Surabaya. Fraksi Komunis yang dipimpin oleh Semaoen dan Tan Malaka
(seorang ahli agitasi propaganda komunis) berusaha mengendalikan dan menguasai
jalannya kongres, tetapi usaha mereka ini ditentang oleh salah seorang tokoh
SI, yaitu H. Agus Salim (orang yang berpandangan modern dan pembela disiplin
organisasi).
H. Agu Salim
menjawab semua argumen Semaoen dan Tan Malaka dengan mengatakan, ‘Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan
sosialisme sejak seribu ratus tahun sebelum Karl Marx’. Selain itu, ia
mengajukan resolusi kepada Kongres untuk melarang setiap anggota SI menjadi
anggota partai lain, dan supaya kaum komunis yang menjadi anggota SI
mengundurkan diri.
Sejak itu muncullah
sebutan SI Merah bagi anggota-anggota SI yang beraliran Marxis dan SI
Putimuncul secara terbukah bagi anggota SI yang menentang Marxisme. Inilah
untuk pertama kalinya kekuatan Islam menentang komunisme secara terbuka di
Indonesia. Dalam langkah selanjutnya golongan komunis dalam SI selalu
membayangi saingannya. Tan Malaka menyebut peristiwa itu sebagai suatu “krisis
besar dalam tubuh SI yang menguntungkan komunis”. Kepada Komintren pada tahun
1923 Tan Malaka melaporkan bahwa Perserikatan Komunis di Hindia Belanda telah
menguasai lebih dari 20 seksi dalam SI dan dinyatakannya bahwa dari 100.000
anggota SI, 30.000 di antaranya adalah anggota komunis aktif. Perpecahan di
dalam tubuh SI ini tampaknya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Bahkan, pada
bulan Maret 1923, dalam Kongres II Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
diputuskan untuk bersaing melawan SI sebagai organisasi politik yang haluannya
berbeda. Sebagai konsekuesinya SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat
dan menyatakan dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru. Selain
itu, juga dipandang perlu untuk melebarkan aktivitasnya sampai ke luar Jawa
dengan membuka cabang di Padang dan
Makasar.
Pertumbuhan dan
aktivitas Perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang smakin radikal – terutama
dari kelompok pimpinan Alimin dan Muso – dalam menjalankan garis partai dari
Moskow semakin menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
cukup waspada akan besarnya massa di bawah kepemimpinan dan pengaruh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dengan mulai mengambil tindakan-tindakan
untuk memisahkan para pemimpin dari massanya, dengan cara mengusir para
pemimpinnya dari Hindia Belanda. Tan Malaka sebagai tokoh Perserikatan Komunis
di Hindia Belanda diusir pada tahun1922, Semaoen serta Darsono bersama-sama
kaum radikal Belanda lainnya diusir pada tahun 1923. Tokoh-tokoh komunis Hindia
Belanda tersebut tersebar di Asia dan Eropa sebagai agen Kmintren atau
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda atau agen kedua-duanya. Namun Semaoen
dan Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun itu juga.
Dengan adanya
pengusiran tokoh-tokoh pimpinanPerserikatan Komunis di Hindia Belanda tersebut,
maka terjadilah kemerosotan kepemimpinan karena kurangnya tenaga-tenaga inti
yang dapat menanamkan ideologi partai dan disiplin, sehingga berakkibat timbulnya
tindakan sendiri-sendiri berupa aksi-aksi teror tanpa adanya instruksi dari
pimpinan. Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mulai melakukan konsolidasi
kembali setelah Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun 1923.
Cababg-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda bertambah luas dan pada
bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan Kongres di
Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk pertam
kalinya.
Setelah itu, PKI
berhasil tumbuh mmenjadi partai poitik yang memiliki massa pengikut yang
semakin besar. Meskipun demikian, PKI belum dapt melakukan kontrol dan
menanamkan disiplin serta idiologi pada massa pengikutnya.
Tindakan-tindakan
keras pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi Sarekat Rakyat menyebabkan Kongres
PKI pada bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta mengambil keputusan untuk
melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
4.
Pergolakan
Rakyat Tahun 1926 – 1927
Setelah PKI merasa
bahwa pengaruhnya di dalam tubuh SI cukup besar, maka PKI mulai memanfaatkan
pengaruhnya untuk menggerakkan massa rakyat, dengan menggunakan bendera SI
untuk melakukan pergolakan fisik melawan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini
yang memang merupakan salah satu tujuan perjuangan SI untuk mengusir penjajah
Belanda, sedangkan tujuan perjuangan PKI adalah mewujudkan masyarakat komunis
di Indonesia. Upaya PKI tersebut berhasil mencetuskan pergolakan rakyat di
beberapa tempat, yaitu pada tanggal 12 – 14 November 1926 di Karesidenan
Jakarta, tanggal 12 November – 5 Desember 1926 di Banten, tanggal 12 – 18
November 1926 di Priangan, tanggal 17 – 23 November 1926 di Surabaya, tanggal
12 November 1926 di Surakarta, tanggal 12 November – 15 Desember 1926 di
Kediri, dan tanggal 1 Januari – akhir Febuari 1927 di Silungkang, Sumatra Barat.
Pergolakan rakyat
ini semuanya dapat diatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Banyak tokoh komunis
dan nasionalis ditangkap dan dipenjarakan, bahkan ada yang dibuang ke Digul,
Tanh Merah, Irian Jaya (Papua), tetapi tokoh komunis Alimin dan Muso berhasil
melarikan diri.
Pada tahun 1935
Komintren mengirim kembali seorang tokoh komunis ke Hindia Belanda, yakni Muso.
Dengan bantuan Djoko Sudjono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, ia melakukan kegiatan
bawah tanah, tetapi rupa-rupanya kegiatan tersebut tidak menghasilkan sesuatu.
Muso sendiri pada tahun 1936 melarikan diri lagi ke luar hegeri dengan alasan
merasa tidak aman di Indonesia.
B.
PERIODE
PROKLAMASI DAN
PERANG
KEMERDEKAAN TAHUN 1945 - 1949
1.
Absennya
PKI dalam Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dalam Perjuangan
Kemerdekaan
Sejak gagalnya
pergolakan rakyat melawan Pemerintah Hindia Belanda dalam tahun 1926-1927,
kegiatan PKI tidak muncul kembali. demikian pula setelah pecahnya Perang Dunia
kedua dalam tahun 1939 di Eropa dan dalam tahun 1941 di Asia Timur, serta
didudukinya Indnesia oleh pasukan Jepang.
Menurut pandangan
gerakan komunisme internasional, dalam perang dunia ini yang berhadapan adalah
musuh-musuh komunisme, yaitu kubu kapitalisme Eropa Barat-Amerika Serikat
berhadapan dengan kubu naziisme-fasisme Jerman, Itali dan Jepang. Dalam taraf
awal, Uni Soviet sebagai “tanah air sosialisme” mengambil sikap netral dan
mengadakan perjnjian tidak saling menyerang dengan Jerman Nazi. Namun dalam
tahun 1940 Jerman Nazi justru menyerang Uni Soviet, yang secara militer tidak
siap menghadapi serangan ini. uni Soviet menerima bantuan militer dalam jumlah
besar dari Amerika Serikat dalam rangka program “Lend Lease”.
Untuk membenarkan
kebijaksanaan kerja sama Uni Soviet dengan kubu kapitalisme, gerakan komunisme
internasional menyusun doktrin Dimitrov yang
isinya membenarkan kerja sama kubu komunisme internasional dengan kubu
kapitalisme dalam menghadapi musuh bersama, yaitu kubu naziisme dan fasisme.
Doktrin Dimitrov ini dianut sampai tahun 1947, yaitu saat dianutnya kembali
Doktrin Zhdanov, yaitu dilanjutkannya politik garis keras terhadap kubu
kapitalisme.
Penganut-penganut-penganut
paham komunisme di Indonesia, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin menyesuaikan
diri dengan doktrin gerakan komunisme internasional tersebut.
Setelah didudukinya
Indonesia oleh bala tentara Jepang pada tahun 1942, Mr. Amir Sjarifuddin,
seorang penganut faham komunisme terselubung yang pada saat itu secara resmi
menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) berkooperasi dengan dengan
Pemerintah Hindia Belanda, dan menerima dana rahasia untuk melakukan gerakan
inteljen bagi kepentingan Hindia Belanda selama pendudukan Jepang. Amir
Sjarifuddin tertangkap oleh Kenpeitai Jepang dan dijatuhi hukuman mati. Akan
tetapi, atas permintaan Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, ia diselamatkan.
Sejak itu tidak ada tokoh komunis Indonesia yang menunjukkan aktivitasnya,
sampai tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Tidak ada tokoh komunis yang duduk dalam Badan Penyidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI)
maupun aktivitas-aktivitas lain dalam memperjuangkan kemerdekaan dan
tercetusnya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Aktivitas-aktivitas
PKI mulai muncul sejak tahun 1947, ketika Komunisme internasional kembali
kepada doktrin Zhdanov dan sesuai dengan garis tersebut PKI menentang semua
langkah diplomatik RI dengan Belanda. Demikianlah, dalam tahun-tahun sulit
menjelang Proklamasi Kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan, baik gerakan
Komunis Internasional maupun PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai sikap yang
menguntungkan Republik Indonesia. Dalam tahun 1948, gerakan komunis
internasional ini bahkan mendatangkan Muso dan Suripto yang kemudian melakukan
pemberontakan di daerah Madiun pada tahun 1948.
Dengan demikian,
baik dalam persiapan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maupun dalam
penyusunan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 serta selama Perang Kemerdekaan
1945-1949, PKI tidak pernah ikut serta. Bahkan kehadirannya kemudian lebih
banyak merugikan bangsa dan negara Republik Indonesia.
2.
Pemberontakan
Lokal PKI terhadap Pemerintahan Republik Indonesia
a.
Peristiwa Tiga
Daerah di Jawa Tengah, pada bulan Desember 1945
Pada akhir Oktober
sampai dengan awal Desember 1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang
dikenal dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal, Brebes, dan
Pemalang yang berpusat di Desa Talang, Kabupaten Tegal. Para petualang politik
berhaluan komunis berhasil menghimpun massa dan berupaya merebut kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia secara kekerasan di tiga daerah tersebut. massa
di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota
Tegal masih dalam penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII (TKR
XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah dilakukan serangan
pembersihan oleh Resimen TKR XVII, Situasi keamanan di tiga daerah tersebut
berhasil dipulihkan.
Pada tahun-tahun
berikutnya, orang-orang komunis secara perseorangan menyusupi
organisasi-organisasi non komunis. Mereka masuk bukan untuk membantu, melainkan
untuk memanfaatkan organisasi tersebut agar dapat menyusun kekuatan baru guna
merebut kekuasaan pada saat yang tepat di kemudian hari. Dalam kehidupan
politik pada saat itu, kaum komunis bersikap pasif dan belum muncul secara
legal ke permukaan melalui kegiatan-kegiatan terbuka. Mereka hanya menampilkan
individu-individu untuk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), badan
pemerintahan, atau partai-partai politik dengan menyembunyikan identitas
dirinya.
Taktik bersembunyi
dan tertutup itu sepenuhnya disetujui oleh kader-kader komunis yang ada.
Sebagian orang-orang komunis, dipimpin Mohammad Jusuf, menentang sikap lunak
tersebut. pada bulan Januari 1946, mereka tampil dan bergerak secara terbuka
melakukan pemberontakan di daerah Cirebon melawan Pemerintah Republik
Indonesia. Pada bulan Febuari 1946 peberontakan golongan komunis itu dapat
digagalkan. Orang-orang komunis yang tidak setuju dengan pemberontakan tersebut
“mengutuk” penyelewengan yang dilakukanoleh Mohammad Jusuf.
Sesudah terjadinya
“pemberontakan Mohammad Jusuf”, maka beberapa orang pimpinan komunis dari tahun
1926 kembali ke Indonesia dari luar negeri. Dalam tahun 1946 Sardjono yang kembali
dari persembunyiannya di Australia mengambil alih pimpinan golongan komunis dan
secara resmi PKI muncul di permukaan. Setelah Sardjono muncul, Alimin kembali
ke Indonesia dari Cina. Kemudian disusul oleh beberapa intelektual muda
Indonesia yang berhaluan komunis dari Negeri Belanda yang memperoleh bantuan
angkutan dari Pemerintah Belanda. Di antara kaum intelektual muda komunis
tersebut termasuk Abdul Madjid Djojodiningrat, Setiadjit, dan Maruto Darusman.
Setiba di Indonesia tidak semua intelektual muda komunis tersebut langsung
masuk PKI. Abdul Madjid Djojodiningrat masuk Partai Sosialis di bawah pimpinan
Sutan Sjahrir, Setiadjit masuk Partai Buruh, dan hanya Maruto Darusman yang
masuk PKI.
b.
Pemberontakan PKI
Madiun, pada bulan September 1948
Pada tahun 1947 terjadi perubahan dalam
strategi gerakan Komunis Internasional yang dipimpin oleh Stalin. Strategi
komunis yang menganjurkan front persatuan antara semua kekuatan anti fasis
ditinggalkan diganti dengan strategi baru yang secara tegas membagi dunia dalam
dua kubu, yakni “kubu imperialis yang anti demokrasi” dipimpin Amerika Serikat
dan “kubu anti imperialis yang demokratis” dipimpin oleh Uni Soviet. Pergantian
strategi itu dijalankan dengan pembentukan Biro Informasi Komunis yang lazim
disebut Cominform (Communist Information
Bureau) pada tanggal 22 September 1947 di Warsawa. Sebagai akibat penetapan
strategi baru tersebut, partai-partai komunis di seluruh dunia berganti haluan.
Di Perancis dan Italia yang mempunyai partai komunis terbesar di lingkungan
negara-negara non-komunis, dilancarkan pemogokan-pemogokan umum. Sesudah
jatuhnya Cekoslovakia ke tangan partai komunis pada bulan Febuari 1948, seluruh
Eropa Timur berada di bawah dominasi Unni Soviet.
Sementara itu Mr. Amir Sjarifuddin yang
menjabat sebagai Perdana Menteri Pertahanan, menyusun sebuah konsep tentara
model tentara merah Uni Soviet. Konsep Mr. Amir Sjarifuddin itu ditolak oleh
Jenderal Sudirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo yang lebih dulu menegaskan
bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI) adalah tentara rakyat dan tentara
pejuang, bukan tentara model asing, apalagi model tentara merah, Mr. Amir
Sjarifuddin sebagai Menteri Pertahanan mempunyai kekuasaan untuk tetap
meneruskan dan merealisasikan konsepnya itu. Ia menciptakan Pendidikan Politik
Tentara (Perpolit), lembaga yang memberikan pendidikan politik, atau sejenis
komisaris dalang angkatan bersenjata politik di negara-negara komunis. Tujuan
Perpolit adalah untuk menanamkan pengaruh komunis di kalangan anggota tentara.
Anggota Perpolit diberi pangkat militer. Mereka terdiri atas tokoh-tokoh
komunis, seperti Sukono Djojopratiknjo dan kawan-kawan lainnya, yang sealiran
dengan Mr. Amir Sjarifuddin. Di sampin Perpolit, Mr. Amir Sjarifuddin berusaha
menghimpun laskar dalam wadah Biro Perjuangan, yang dipimpin oleh Ir. Sakirman
dan Djokosujono yang keduanya juga tokoh komunis.
Pada bulan Juli 1947, Presiden Soekarno
mengeluarkan keputusan untuk menggabungkan TRI dan laskar-laskar menjadi TNI
(Tentara Nasional Indonesia). Penggabungan llaskar menjadi TNI ini sangat
merugikan kepentingan kaum komunis. Oleh karena itu, kaum komunis berusaha
terus untuk mempunyai kekuatan bersenjata yang berada dalam pengaruhnya. Untuk
itu, pada bulan Agustus 1947, Mr. Amir Sjarifuddin membentuk apa yang disebut TNI
Masyarakat danDirektorat Jenderal Angkatan Laut di Lawang yang dipimpin oeh
Atmadji, bekas Sekretaris Gerindo. Direktorat Jenderal ini membentuk Tentara
Laut Republik Indonesia ( TLRI).
Melalui organisasi-organisasi tersebut kaum komunis berusaha mewujudkan
tujuannya untuk dapat membentuk kekuatan bersenjata.
Usaha-usaha kaum komunis menguasai dan
menempatkan TNI di bawah kekuasaannya dapat digagalkan oleh Panglima Besar
Jenderal Sudirman dan kepala stafnya, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kaum
komunis kemudian mengubah taktiknya, yakni dengan mencoba menguasai TNI melalui
jalur parlementer.
Pada akhir Desember 1947, Z. Baharuddin,
anggota KNIP dan kawan separtai Mr. Amir Sjarifuddin, menyampaikan kepada
Pemerintah mosi Rasionalisasi Angkatan Perang yang berisi hal-hal berikut :
1)
Rasionalisasi dalam kesatuan Angkatan
Perang (dalam struktur komando dan pimpinan Angkatan Perang).
2)
Menteri Pertahanan bertanggung jawab
penuh terhadap masalah Angkatan Perang, baik dalam hal organisasi maupun dalam
hal siasat.
Tujuan mosi itu
sebenarnya ialah untuk menguasai Angkatan Perang sebagamana telah lama
diidam-idamkan oleh kaum komunis. Dengan mengingat kondisi Angkatan Perang pada
saat itu, tampaknya mosi ini cukup
simpatik dan rasional. Partai-partai ini rupanya menyetujui mosi itu karena
mereka tidak memahami apa yang menjadi tujuan kaum komunis yang sesungguhnya.
Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin sudah barang tentu menerima baik mosi tersebut dan
berjanji untuk melaksanakannya.
Sementara itu,
setelah persetujuan Renville yang dihasilkan oleh Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin
ditolak oleh KNIP, Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin jatuh. Kabinet baru dibentuk
dan dipimpin oleh wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta pada awal tahun 1948.
Peristiwa ini merupakan titik balik dari gerakan kaum komunis, baik dari segi
politik maupun dari segi militer. Dengan jatuhnya Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin,
gagasan rasionalisasi yang dilanjutkan oleh Kabinet Drs. Mohammad Hatta
dilaksanakan atas dasar konsepsi yang justru mencegah berkembangnya pengaruh
golongan komunis di dalam Tentara Nasional Indonnesia. Kebijaksanaan Kabinet
Drs. Mohammad Hatta ini dikenal dengan kebijaksanaan reorganisasi dan
rasionalisasi Angkatan Perang (Re-Ra). Melalui kebijaksanaan Re-Ra tersebut,
Drs. Mohammad Hatta berusaha membersihkan anasir komunis dari tubuh Angkatan
Perang. Sudah barang tentu PKI menentang dan berusaha keras untuk
menggagalkannya.
Sementara itu, PKI
mengadakan penyusupan ke dalam tubuh Partai Sosialis yang dipimpin Sutan
Sjahrir. Akibatnya, dalam partai ini kemudian terjadi perpecahan sehingga
terbentuk kelompok yang pro komunis dan kelompok yang menolak dipengaruhi
komunis. Sutan Sjahrir kemudian keluar dan bersama sayap kanan mendirikan
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
Selama dengan
pelaksana strategi baru golongan komunis, Mr. Amir Sjarifuddin beruaha
menghmpun seluruh kekuatan kekuatan golongan kiri yang terdiri atas kelompok
yang menentang Re-Ra. Kelompok itu ialah PKI, Partai Sosialis Sayap Kiri,
Partai Buruh, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI) bergabung dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada bulan Febuari1948.
Di tengah-tengah
keterangan yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan FDR yang memuncak pada tahun
1948 itu, Suripto seorang tokoh komunis muda yang ditugasi Pemerintah pada
waktu Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin untuk menjajaki kemungkinan pembukaan
hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa Timur sambil menghadiri Kongres
Pemuda di Praha pulang untuk melakukan konsultasi dengan Pemerintah. Ia membawa
seorang skretaris bernama Suparto, yang ternyata orang tersebut adalah Muso
tokoh Partai Komunis yang telah melarikan diri ke Moskow sejak 1926, dan
kembali ke Indonesia pada tahun 1935, tapi lari lagi ke Moskow pada tahun 1936.
Tidak lama setelah kedatangannya, Suparto alias Muso segera mengambil alih
pimpinan kaum komunis Indonesia dan mencetuskan konsepsinya dengan nama “Jalan
Baru Republik Indonesia”. Konsepsi Muso berisi dua pokok sebagai berikut :
1)
Hanya boleh ada satu partai berlandaskan Marxisme-Leninisme. Oleh
karena itu , partai-partai yang bernaung dalam FDR harus menyatukan diri dengan
partai kelas pekerja.
2)
Partai Komunis harus mengadakan Front
Persatuan Nasional yang dikendalikan olehnya sendiri. Konsep ini dilaksanakan
dengan patuh oleh Mr. Sjarifuddin, Setiadjit, dan lain-lainnya sehingga semua
partai dalam FDR bergabung dengan PKI.
Selanjutnya, pada
tanggal 1 September 1948 Comite Central Partai Komunis Indonesia
(CCPKI) pertama terbentuk dengan Muso sebagai Ketua PKI menggantikan Sardjono.
Muso membentuk Polit Biro dan Mt. Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Skretaris
Urusan Pertahanan, Suripto memegang Urusan Luar Negeri, M.H. Lukman seorang
tokoh muda, memimpin Sekretariat Agitasi dan Propaganda (Agitprop). Tokoh muda
lainnya D.N. Aidit dipercaya untuk memimpin Utusan Perburuhan. Orang muda
ketiga, yaitu Njoto diangkat menjadi wakil PKI dalam Badan Pekerja KNIP.
Tokoh-tokoh komunis
mengadakan pidato-pidato yang bernada membakar emosi massa di Yogyakarta,
Sragen, Solo dan Madiun. Aksi-aksi untuk mendeskreditkan pemerintah Republik
Indonesia dilancarkan, dan SOBSI melaksanakan pemogokan di Delangu. Sementara
itu Muso di depan rakyat banyak senantiasa menggembar-gemborkan janji-janji
muluk PKI, sedangkan pegawai-pegawai pemerintah dan tokoh-tokoh partai yang
bukan PKI dijadikan sasaran terornya.
Aksi-aksi kerusuhan
lain kemudian menyusul. Aksi-aksi kerusuhan oleh PKI di kota Solo diwarnai oleh
penculikan, pembunuhan, dan teror bersenjata. Kolonel Soetarto, Panglima Divisi
IV/Panembahan Senopati, dibunuh karena tidak setuju dengan rencana
pemberontakan PKI, kemudian disusul pembunuhan terhadap dr. Muwardi, pimpinan
Barisan Banteng.
Pada tanggal 17
September 1948 pasukan-pasukan yang menentang Re-Ra karena hasutan PKI mulai
melakukan serangan terbuka. Dengan bantuan kesatuan TLRI dan Pesindo, mereka
melakukan serangan terbuka terhadap posisi TNI. Keesokan harinya tanggal 18
September 1948 pukul 03.00, ketika seluruh perhatian ditujukan ke kota Solo,
meletuslah di kota Madiun tiga kali tembakan pestol sebagai tanda dimulainya
pemberontakan yang dilakukan PKI. Dengan didukung oleh kekuatan satu brigade
FDR/PKI di bawah pimpinan Sumarsono dan
Kolonel Djokosujono, kaum komunis melakukan perebutan kekuasaan di
Madiun dan memproklamirkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia”. Pada tanggal
19 Septembber 1948 Muso membentuk Pemerintah Front Nasional. Psukan TNI
terdesak ke luar kota Madiun. Pemberontakan dan proklamasi itu jelas mengkhianati
Proklamasi 17 Agustus 1945. Pasukan PKI kemudian bergerak merebut objek-objek
vital, seperti kantor-kantor pemerintah, Markas sub-Teritolial Comando Madiun,
Markas Polisi Militer, Bank, serta Kantor Pos dan Telepon, Markas Staf
Pertahanan Djawa Timur (SPDT). Mereka melaksakan penyiksaan dan pembunuhan
secara kejam di luar batas perikemanusiaan terhadap pejabat, tokoh, dan warga
masyarakat setempat yang anti PKI. Kolonel Djokosujono kemudian diangkat
sebagai “Gubernur Militer” Madiun. Tidak lama kemudian PKI menguasai
Karesidenan Madiun Kabupaten Purwodadi, dan Kecamatan Cepu.
Setelah mengadakan
pembahasan secara mendalam, Pemerintah Republik Indonesia menjawab tantangan
PKI dengan mempersiapkan rakyat memilih “Muso dengan PKI-nya atau Soekarno-Hatta”.
Ternyata rakyat memilih Soekarno-Hatta. Pasukan TNI segera digerakkn untuk
melakukan penumpasan di bawah pimpinan Gatot Subroto, Gubernur Militer
Pati-Solo-Madiun, dan Kolonel Sungkono, Gubernur Militer Jawa Timur.
Pemberontakan PKI-Madiun ini segera ditumpas oleh satuan-satuan TNI dari
Brigade Sadikin, Kusno Utomo (Jawa Barat), Surachmat (Jawa Timur), dan
satuan-satuan yang didukung oleh massa rakyat yang bangkit menentang PKI.
Dua minggu kemudian,
yakni tanggal 30 September 1948, pasukan TNI telah berhasil menduduki kembali
kota Madiun. Pada tanggal 4 Desember
1948 setelah pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas dan Muso tertembak
mati, beberapa minggu kemudian Mr. Amir Sjarifuddin, Suripto, Sardjono, dan Djokosujono
juga terbunuh. Tokoh-tokoh PKI yang berhasil melarikan diri antara lain adalah
Abdul Madjid, Alimin, Ngadiman Hadjosuparto, D.N. Aidit, Njoto, Tan Ling Djie,
dan Sumarsono.
Ketika Pemerintah
Republik Indonesia sedang sibuk melakukan konsolidasi setelah pemberontakan PKI
berhasil ditumpas di Karesidenan Madiun, Kabupaten Purwodadi dan Kecamatan
Cepu, Belanda melaksanakan lagi agresi militernya terhadap wilayah Republik
Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi militer Belanda yang kedua ini
menyebabkan pemberontakan PKI tersebut tidak dapat diselesaikan secara tuntas.
Tindakan hukum kepada pemimpin dan anggota PKI dan tindakan hukum kepada PKI
sebagai partai tidak dapat dilakukan.
C.
PERIODE
DEMOKRASI LIBERAL DAN DEMOKRASI TERPIMPIN
TAHUN 1950 - 1965
1.
Tampilnya
D.N. Aidit dalam Kepemimpinan PKI, Tahun 1950
Alam demokrasi
liberal yang berlangsung di Indonesia pada kurun waktu 1950-1959 memberikan
kesempatan kepada PKI untuk mengadakan rehabilitasi walaupun sebelumnya partai
komunis itu telah melakukan pemberontakan. Alimin mengaktifkan kembali PKI pada
tanggal 4 Febuari 1950. Akan tetapi, kepemimpinan Alimin ini tidak berjalan
lama karena pada Juli 1950 D.N. Aidit yang melarikan diri ke luar negeri akibat
pemberontakan PKI Madiun kembali lagi ke Indonesia bersama M.H. Lukman. Ketika
mendarat di Tanjung Priok mereka dibantu oleh Kamarusaman bin Ahmad Mubaidah
alias Sjam, yang pada saat itu mempunyai kedudukan sebagai salah seorang
pimpinan buruh di Pelabuhan Tanjung Priok.
Tindakan D.N. Aidit
pertama ialah menyatukan kembali seluruh potensi partai. Setengah tahun
kemudian D.N. Aidit berhasil mengambil alih kepemimpinan PKI dan
mengintensifkan propaganda untuk merehabilitasi nama PKI dengan mengeluarkan
“Buku Putih” tentang Pemberontakan Madiun. Bahkan, Alimin menuntut penggalian
dan penguburan kembali tokoh-tokoh PKI yang dihukum mati akibat pemberontakan
PKI Madiun, tetapi hal ini ditolak oleh Pemerintah RI.
Kepemimpinan D.N.
Aidit menjadi semakin kuat setelah tokoj-tokoh muda lainnya, seperti Nyoto dan
Sudisman, bergabung. Pada bulan Januari
1951 CC PKI memilih Politbiro baru yang terdiri atas D.N. Aidit, M.H. Lukman,
Njoto, Sudisman, dan Alimi. Pemimpin-pemimpin baru inilah yang kemudian
berhasil membangun kembali dan mengembangkan PKI. Politbiro ini menjalankan
strategi Front Persatuan Nasional. Sampai awal tahun 1952 Politbiro CC PKI
memusatkan perhatian pada perumusan taktik-taktik utama, bentuk perjuangan ,
dan bentuk organisasi yang kemudian dikuti oleh PKI dalam tahun-tahun
berikutnya.
Awal tahun 1951 D.N.
Aidit juga merehabilitasi Mohammad Jusuf (yang pernah dikutuk oleh orang-orang
komunis karena tindakan penyelewengan garis partai dengan melakukan
pemberontakan melawan Pemerintah RI di Cirebon pada tahun 1946). Kemudian pada
bulan Agustus 1951 PKI menggerakkan kerusuhan-kerusuhan di kota Jakarta dan
Bogor. Di Bogor banyak penduduk yang menjadi korban. Kabinet Sukiman melakukan
penangkapan dan penggeledahan di rumah-rumah para pemimpin PKI. Oleh PKI
peristiwa penangkapan dan penggeledahan ini disebut “Razia Agustus 1951” dan dianggap
sebagai provokasi Pemerintah Sukiman dalam mencari alasan untuk membubarkan
PKI. Akibat tindakan Pemerintah itu, sejumlah besar pimpinan PKI menjadi
tahanan politik dan sebagian kecil dapat menyelamatkan diri. Dalam operasi
penangkapan ini D.N. Aidit berhasil lolos dan melarikan diri ke Moskow,
sedangkan PKI melaksanakan gerakan bawah tanah.
Tahun 1953 D.N.
Aidit kembali ke Indonesia dari Moskow.
Ia muncul dengan konsep baru yang dikenal dengan “Jalan Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia”. Melalui konsep ini D.N. Aidit sekaligus menegaskan jalan yang
revolusioner di samping cara-cara parlementer.
Dengan berdasarkan
Marxisme-Leninisme dan analisis mengenai situasi kondisi Indonesia sendiri, CC
PKI di bawah pimpinan D.N. Aidit menyusun program partai untuk mencapai
tujuannya, yaitu mengkomuniskan Indonesia. Adapun isi program tersebut adalah
sebagai berikut :
a.
Membina front persatuan nasional yang
berdasarkan persatuan kaum buruh dan kaum tani.
b.
Membangun PKI yang meluas di seluruh
negara dan mempunyai karakter massa yang luas, yang sepenuhnya terkonsolidasi
di lapangan ideologi, politik, dan organisasi.
Dalam pelaksanaan membina front persatuan nasional, PKI merasa perlu
untuk membuina apa yang mereka sebut borjuasi nasional dan borjuasi kecil kota
karena oleh PKI golongan-golongan ini dinilai sebagai golongan yang tertekan
oleh penghisapan imperialis asing. Pembinaan kedua golongan ini amat penting,
di samping membina buruh dan tani. Namun, PKI di bawah kepemimpinan D.N. Aidit
menaruh perhatian yang besar kepada para petani untuk dimanfaatkan dalam
mewujudkan konsep Demokrasi Rakyat. Dengan propaganda yang menarik dilancarkan
bahwa petani harus merdeka, memiliki tanah atau menyewa tanah, dan menerima
upah dengan harga yang sesuai dengan yang dikehendaki. Selanjutnya, D.N. Aidit
berpendapat bahwa desa adalah sumber bahan makanan, sumber prajurit
revolusioner, sebagai tempat menyembunyikan diri jika terpukul di perkotaan,
dan sebaggai basis untuk merebut kembali perkotaan.
Dalam membangun PKI DN. Aidit mengatakan, “Kalau kita mau menang dalam revolusi, kalau kita mau mengubah wajah
masyarakat yang setengah jajahan menjadi Indonesia yang merdeka penuh, kalau
kita mau ambil bagian dalam mengubah wajah dunia, maka kita harus mempunyai
partai model Partai Komunis Uni Soviet dan model Partai Cina”.
Jadi, jelas di ini bahwa titik tolak strategi dan taktik PKI pada masa
kepemimpinan D.N. Aidit ialah dengan memakai model Partai Komunis Uni Soviet
dan mdel Partai Komunis Cina sekaligus, disesuaikan dengan kondisi nyata di
Indonesia.
2.
PKI pada Masa
Demokrasi Liberal, Tahun 1950-1959
Setelah D.N. Aidit memperoleh kesempetan merehabilitasi PKI dalam
alam demokrasi liberal, dia dan kawan-kawannya mengambil kesimpulan bahwa
untuk memperoleh kesempetan duduk dalam pemerintahan, seperti pada masa sebelum
pemberontakan PKI-Madiun, PKI perlu mengadakan aliansi dengan kekuatan-kekuatan
politik yang penting. Pada awal tahun lima puluhan di Indonesia terdapat dua
partai besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Madjelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi). Menurut jalan pikiran PKI, yang potensial dan harus
didekati adalah PNI.
Ketika Kabinet Sukiman jatuh pada tanggal 23 Febuaru 1952 sebagai akibat
persetujuan Mutual Security Act (MSA)
dengan Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Mr. Achmad
Soebardjo (Masyumi), CC PKI mengeluarkan pernyataan politik yang pada
hakikatnya menawarkan kepada PNI untuk membentuk kabinet tanpa Masyumi.
Meskipun kemudian dalam kabinet baru yang dibentuk di bawah pimpinan Mr. Wilopo
(PNI0 ternyata dapat pula menteri-menteri dari Masyumi, tetapi PKI tetap
menyatakan dukungannya walaupun kecewa karena Masyumi diikutsertakan.
Pernyataan dukungan PKI itu berisi pemberitahuan kepada partai-partai
pendukung kabinet bahwa PKI bersedia mendukung mereka dengan satu imbalan yang
ringan, yaitu agar partai-partai politik menghapuskan kecurigaan dan sikap anti
terhadap PKI beserta organisasi-organisasi massanya (ormas-ormasnya). Upaya PKI
tersebut berhasil dan sejumlah pimpinan PNI mulai bekerja sama dengan PKI.
Kerja sama itu berpuncak pada usaha menjatuhkan Kabinet Mr. Wilopo oleh PNI
sendiri, meskipun kabinet itu dipimpin oleh seorang tokoh PNI. Sebagai
penyebabnya ialah peristiwa Tanjung Morawa di Sumatra Utara, yakni insiden antara
polisi dan penyerobot tanah perkebunan milik negara yang didukung oleh PKI.
Peristiwa ini merupakan kesempatan bagi PNI dan PKI untuk meronrong Gubernur
Sumatra Utara, Abdul Hakim dan Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem, yang
kedua-duanya dari Masyumi. Akhirnya, Kabinet Mr. Wilopo jatuh.
Setelah Kabinet Wilopo jatuh, PKI mengeluarkan pernyataan yang menuntut
pembentukan kabinet baru sesuai dengan Front Persatuan yang di dalamnya
termasuk PKI, tetapi tanpa Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Krisis
kabinet berlangsung agak lama dan beberapa formatur telah menemui kegagalan.
Dalam pernyataan berikutnya, PKI meniadakan tuntutannya untuk duduk di dalam
kabinet baru. Setelah satu bulan, terbentuklah kabinet baru di bawah pimpinan
Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) dengan menteri-menteri dari berbagai partai kecil,
tetapi tanpa Masyumi dan PSI. Kabinet ini disebut Kabinet Mr. Ali
Sastroamidjojo I. Dalam pernyataan PKI ketika mendukung kabinet itu disebutkan
bahwa kabinet itu sebagai suatu “kemenangan gemilang daripada demokrasi
terhadap fasisme”.
Selama masa Pemerintahan Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo I, PKI memberikan
dukungannya secara gigih kepada PNI. Walaupun diketahui oleh umum bahwa kabinet
tersebut tidak berhasil mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi bangsa
Indonesia, tetapi PKI tetap membela Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo I. Setiap
kali kabinet terancam perpecahan dari dalam, PKI mengadakan pembelaan yang
keras untuk kabinet dan menyerang kelompok-kelompok yang hendak menjatuhkannya.
Posisi PKI menjadi semakin mantap berkat agitasi dan propaganda D.N.
Aidit yang intensif sehingga pada Pemilihan Umum tahun 1955 PKI berhasil
mengumpulkan enam juta suara pemilih. Dengan hasil yang dicapainya itu, PKI
termasuk salah satu dari empat partai besar setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul
Ulama (NU). Meskipun PKI mendapat suara cukup besar dalam pemilihan umum, namun
PKI tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk setelah pemilihan umum
tersebut.
Dalam suasana yang kurang menguntungkan bagi PKI tersebut, Presiden
Soekarno secara terbuka menyatakan keinginannya agar PKI diikut sertakan dalam
kabinet. Presiden Soekarno berpendapat bahwa PKI perlu diikutsertakan karena
partai itu telah berhasil tampil sebagai salah satu dari empat partai besar
dalam pemilihan umum. Akan tetapi, keinginan Presiden Soekarno tidak terwujud
karena yang terbentuk adalah kabinet koalisi antara PNI – Masyumi – NU. Kabinet
yang tersusun setelah pemilihan umum ini dinamakan Kabinet Mr. Ali
Sadtroamidjojo II. Walaupun gagal, sikap Presiden Soakarno telah banyak
menolong PKI dalam proses perkembangan politik Indonnesia selanjutnya.
Keadaan yang dihadapi Kabinet Mr. Ali Sastroamidjojo II memang sulit,
apalagi setelah Drs. Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Wakil Presiden pada bulan Desember 1956. Berpisahnya dwitunggal Soekarno-Hatta ini merupakan perkembangan yang
menguntungkan bagi PKI karena setelah itu PKI lebih leluasa geraknya di dalam
upaya menarik Presiden Soekarno agar lebih dekat dengan PKI.
Kemenangan yang dicapai PKI dalam Pemilihan Umum tahun 1965 sebagai hasil
upaya agitasi dan propaganda D.N. Aidit sungguh sesuatu yang luar biasa, jika
diingat kembali bahwa tujuh tahun sebelumnya PKI pernah mengkhianati perjuangan
bangsa Indonesia. Dengan kemenangan itu, PKI berusaha kembali untuk mewujudkan
tujuan politiknya yang telah gagal mereka capai pada tahun 1948, yang membentuk
negara dan masyarakat komunis yang sebenarnya tidak dikenal dalam kehidupan
bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Untuk mencapai tujuan politik itu,
PKI pertama-tama harus menanamkan pengaruhnya di berbagai bidang kehidupan
kenegaraan, baik di bidang ideologi, politik, maupun bidang militer.
Di bidang ideologi, PKI telah melancarkan upaya perubahan yang mendasar
terhadap Pancasila. PKI berusaha mengganti sila pertama dari Pancasila, yakni
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan rumusan “kemerdekaan beragama”, seperti yang
dikemukakan oleh Nyoto dalam sidang-sidang Kontituante pada tahun 1958. Menurut
PKI tidak semua masyarakat Indonesia
beragama monotheis, banyak di antaranya yang beragama politheis, bahkan ada
yang tidak beragama samasekali. Jelaslah, bahwa sejak semula PKI sudah berusaha
untuk mengganti Pancasila dengan paham lain.
Di bidang politik dan militer, PKI menyusun strategi politiknya dalam
Kongres V yang diselenggarakan dalam tahun 1954. Strategi politik itu mereka
sebut Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (BKTBP). Salah satu sasaran dari
strategi ini adalah menanamkan paham komunisme di kalangan anggota-anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonnesia (ABRI) sebagai kekuatan sosial politik
yang menentang PKI.
Di samping berkembangnya pengaruh PKI, ketidakpuasan yang melahirkan
ketegangan-ketegangan politik terus meningkat. Dengan alasan untuk
menyelamatkan negara dan bangsa dari bahaya perpecahan, Presiden Soekarno yang
telah berhasil didekati oleh PKI melontarkan sebuah konsepsi yang
disampaikannya pada tanggal 21 Febuari 1957 dalam pidato yang berjudul
“Menyelamatkan Republik Proklamasi”, yang kemudian dikenal sebagai “Konsepsi
Presiden”. Dalam gagasan itu Presiden Soekarno mengemukakan konsep politik yang
disebut Demokrasi Terpimpin. Dalam rangka melaksanakan konsep tersebut Presiden
Soekarno mengusulkan pembentukan Kabinet
Gotong Royong dan Dewan Nasional, yang di dalamnya duduk wakil-wakil parpol dan
semua golongan fungsional. Presiden Soekarno menghendaki agar orang-orang PKI
duduk pula dalam dalam Kabinet Gotong Royong dan dalam Dewan Nasional tersebut
walaupun beliau mengetahui bahwa banyak partai politik yang tidak menyetujui
gagasan beliau. Bagi PKI, keinginan Presiden Soekarno itu sangat menguntungkan.
Oleh karena itu, PKI segera menyatakan dukungannya, terutama yang mengenai
pembentukan Kabinet Gotong Royong dan pelaksanaan demokrasi terpimpin. Dengan terbentuknya
pemerintahan koalisi nasional, dan melalui pemerintahan koalisi nasional itu,
akan dapat diwujudkan Front Persatuan Nasional, yaitu adanya organisasi-organisasi yang bersimpati dan
mendukung PKI.
3.
PKI pada Masa
Demokrasi Terpimpin, Tahun 1959-1965
Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 tidak berhasil menyusun
undang-undang dasar baru sebagai pengganti Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS). Ketidakberhasilan itu disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat yang
tajam mengenai dasar negara di antara anggota-anggota Konstituante. Untuk
mengatasi kemacetan di dalam Dewan Konstituante, Presiden Soekarno pada tanggal
5 Juli 1959 mengumumkan Dekrit kembali ke UUD 1945. Penjelasan Presiden
Soekarno mengenai Dekrit kembali ke UUD 1945 tersebut disampaikan dalam pidato
yang berjudul “Penemuan Kembali Revolisi Kita”, yang diucapkan pada tanggal 17
Agustus 1959.
Presiden Soekarno selanjutnya meminta kepada Panitia Kerja Dewan
Petimbangan Agung (DPA) agar isi pidato tersebut dirumuskan menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Yang memimpin Panitia Kerja Dewan Pertimbangan
Agung ialah D.N. Aidit, Ketua CC PKI. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk
memasukkan program-program PKI Ke dalam GBHN, yang kemudian dikenal sebagai
Manifesto Politik (Manipol) Republik Indonesia. D.N. Aidit berusaha
memanfaatkan kedudukannya itu untuk merumuskan isi Manipol sesuai dengan tesis
revolusi PKI, yaitu “Masyarakat Indonesia danRevolusi Indonesia (MIRI) yang
dirumuskan PKI pada tahun 1957, dua tahun sebelum Presiden Soekarno mengucapkan
pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Meskipun upaya PKI untuk mendominasi
isi Manipol sesuai dengan konsep MIRI mendapat hambatan yang gigih dari
tokoh-tokoh anti komunis di DPA, namun konsep Manipol, yang akhirnya disetujui
Presiden Soekarno tersebut, memiliki kesamaan jiwa antara pokok-pokok masalah
yang diuraikan dalam Manipol dan pokok-pokok masalah yang menjadi konsep MIRI.
Perkembangan yang semakin menguntungkan PKI selanjutnya terjadi ketika
Presiden Soekarno membentuk Front Nasional. Pembentukan Front Nasional semula
dimaksud sebagai alat penggerak masyarakat, tetapi kenyataannya kemudian jauh
menyimpang dari maksud semula, karena badan itu menjadi sasaran penggarapan PKI
untuk dibawa ke dalam strategi “Front Persatuan”-nya. PKI Dengan memanfaatkan
organisasi-organisasi massa, yang menjadi anak organisasi PKI atau yang sudah
dipengaruhi PKI telah berusaha membawa Front Nasional menjadi alat politik PKI.
Pertengahan tahun 1960 PKI mencoba kekuatannya untuk menghadapi TNI-AD
dengan melancarkan kritik dan tuduhan keras bahwa TNI-AD tidak
bersungguh-sungguh dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Bersamaan dengan
dilancarkannya kritik dan tuguhan itu, PKI melakukan pengacauan di beberapa
daerah, seperti di Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Pimpinan TNI-ADA menilai kritik dan tuduhan yang tidak berdasar kebenaran itu
sebagai upaya untuk mengacau keadaan, apalagi dengan adanya bukti terjadinya pengacauan
oleh PKI di beberapa daerah tersebut. untuk itu, jajaran TNI-ADA melalui
wewenangnya selaku penguaa Perang Daerah (Perpeda) menghentikan dan membekukan
berbagai kegiatan PKI atas dasar Undang-Undang Keadaan Bahaya yang sedang
berlaku pada saat itu. Oleh Peperda dilakukan pula penangkapan dan pemeriksaan
terhadap tokoh-tokoh PKI serta melarang PKI terbit dan beredar.
Kepada Presiden Soekarno disampaikan pula saran agar Presiden tidak
percaya terhadap loyalitas PKI. Akan tetapi, Presiden tidak mengindahkan saran
tersebut, bahkan sebaliknya memperingatkan TNI-AD supaya tidak bersikap fobi
terhadap PKI dan mencabut pembatasan-pembatasan yang diberlakukan bagi kegiatan
PKI tersebut.
Peringatan itu bahkan dipertegas oleh Presiden Soekarno dalampidato tanggal
17 Agustus 1960 yang berjudul “Laksa Malaikat Yang Menyerbu dari Langi Jalannya
Revolusi Kita” yang di dalamnya Presiden Soekarno mengutuk orang-orang yang
disebutnya komunisto-fobi. Demikian pula, meskipun kegiatan unsur-unsur anti
komunis yang ada dalam masyarakat Indonesia tidak tinggal diam, PKI makin lama makin mempunyai peluang untuk
mengembangkan pengaruhnya.
Keberhasilan PKI secara politik telah merangsang ambisinya untuk
memperbesar dan mempercepat cita-cita politiknya seperti yang diputuskan dalam
Kongres Nasional VII bulan April 1962 yang antara lain dikatakan, “PKI tidak
memandang pekerjaan dalam parlemen sebagai pekerjaan terpokok dan tidak pula
menganggapnya sebagai satu-satunya bentuk perjuangan. PKI mendasarkan
politiknya atas analisis Marxis mengenai keadaan yang konkret dan pertimbangan
kekuatan”. Dari pernyataan itu jelaslah bahwa PKI mulai mengambil ancang-ancang
mengimbangi cara parlementer dengan cara lain, yakni cara-cara kekerasan.
Untuk memperoleh perimbangan kekuatan, PKI melakukan apa yang mereka
sebut sebagai “ofensif manipolis”. Ofensif itu ditingkatkan menjadi “ofensif
revolusioner” yang ditujukan kepada semua kekuatan sosial politik yang tidak
mereka senangi. Selain itu, PKI berusaha pula merangkul golongan lain yang kiranya
dapat dijadikan “lawan”, seperti Partindo dan menyusupi PNI melalui Ir.
Surachman, yang ketika itu menjadi Sekjen DPP PNI.
Sesuai dengan Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-yarat
dan Penyederhanaan Kepartaian, ditetapkan bahwa setiap partai politik harus
berasaskan Pancasila. Untuk itu, beberapa kali pimpinan PKI, D.N. Aidit,
dipanggil oleh Panitia Tiga Menteri Dalam Negeri (Menteri Keamanan Nasional,
Jenderal TNI A.H. Nasution; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Ipik
Gandamana, dan Menteri Wakil Ketua DPA, Dr. H. Roeslan Abdulgani) untuk diminta
penjelasannya.
Dari hasil penilaian Panitia Tiga Menteri, disimpulkan bahwa PKI
mempunyai tujuan lain, baik secara politis maupun secara ideologis. Masalah ini
kemudian dilaporkan kepada Presiden Soekarno tentang ancaman bahaya PKI
terhadap bangsa Indonesia. Dengan telah dilakukannya penyesuaian pada anggaran
dasar PKI dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Penpres Nomor 7 tahun
1959, Presiden Sekarno menilai bahwa kehadiran PKI dapat dikendalikan. Oleh
karena itu, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 128/1961, bersama dengan tujuh
partai lainnya (PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII, dan
IPKI), PKI diakui sebagai partai yang sah. Sekedar untuk menegakkan eksistensinya,
mula-mula PKI menyatakan menerima UUD 1945 dan Pancasila. Akan tetapi, dalam
perkembangan selanjutnya, PKI mencoba menampilkan interpretasinya sendiri
tentang Pancasila dengan mengatakan bahwa Pancasila hanyalah sekedar alat
pemersatu. Sejak saat itu dikampanyekan oleh PKI pendapat bahwa Pancasila
sebagai alat pemersatu. Dalam Kongres VII bulan April 1962, M.H. Lukman
mengatakan bahwa Pancasila adalah falsafah persatuan. Tokoh PKI lainnya, Njoto
juga mengatakan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu. Pada peringatan HUT
ke-12 Harian Rakjat tanggal 6 Febuari
1963, Njoto bahkan menyerang pernyataan golongan Islam, bahwa Pancasila adalah
semangat toleransi yang bersumber pada kekuasaan Allah sebagai tulang punggung
dari pokok-pokok Pancasila.
Dari pendapat tokoh-tokoh PKI itu, jelaslah bahwa PKI menerima Pancasila
hanya sebagai alat pemersatu saja, sedangkan tujuan akhir menurut PKI
mewujudkan masyarakat komunis Indonesia.
Tema Pancasila sebagai alat pemersatu dikampanyekan oleh D.N. Aidit di
kalangan ABRI, bersama-sama dengan kampanye nasakomisasi, pengindonesiaan
Marxisme dan ide-ide revolusioner menurut model komunis. Yang menjadi sasaran
kampanye D.N. Aidit ialah perwira-perwira ABRI terutama yang sedang mengikuti
pendidikan di tingkat Sekolah Staf dan Komando (Sesko).
Tema Pancasila sebagai alat
pemersatu pernah menimbulkan heboh yang terkenal dengan “Heboh Pancasila”.
Heboh Pancasila itu bermula dari ceramah D.N. Aidit di depan para peserta
Pendidikan Kader Revolisi (Pekarev) bulan Oktober 1964. Ia mengatakan :
“... dan di sinilah betulnya
Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah ‘satu’ semua ... Pancasila
tidak perlu lagi, sebab Pancasila alat pemersatu.”
Di bagian lain dari ceramah itu dikatakan oleh D.N. Aidit bahwa :
“Landasan idiil Pancasila yang
lahir pada tahun 1945 adalah Nasakom, dan Pancasila merupakan falsafah peratuan
dari Nasion Indonesia.”
Ucapan D.N. Aidit ini mendapat reaksi yang luas dari masyarakat. Hampir
semua media massa memuatnya dan memberikan reaksi, kecuali media massa yang
sudah dipengaruhi atau yang berada di bawah naungan PKI. Akan tetapi, peristiwa
itu tidak berlanjut karena Presiden Soekarno segera memanggil semua partai
politik dan mereka dipertemukan untuk kemudian bersama-sama menyatakan
dukungannya terhadap Pancasila. Ir. Surachman sebagai anggota pelaksana Pekarev
membantah bahwa D.N. Aidit pernah mengeluarkan ucapan seperti itu. Dengan tidak
berlanjutnya heboh Pancasila itu, maka PKI dapat meneruskan aksi-aksinya dengan
aman.
Tahun 1964 intensitas ofensif revolusioner Pki terhadap tokoh-tokoh
politik yang dianggap sebagai lawannya makin ditingkatkan. Secara intensif PKI
melancarkan tuduhan “kontra revolusi” terhadap lawan-lawan politik mereka.
Selama tahun 1964 itu dapat dicatat sejumlah aksi yang dilakukan PKI,
antara lain sebagai berikut :
a.
Gerakan
riset di kecamatan-kecamatan untuk memastikan kekuatan apa yang oleh PKI
disebut petani miskin.
b.
Aksi yang
menuntut penyitaan milik Inggris dan Amerika Serikat.
c.
Aksi
menuntut retooling, tuntutan
penggantian pejabat yang anti PKI, aksi tunjuk hidung.
d.
Pengindonesiaan
Marxisme.
e.
Aksi-aksi
teror di berbagai daerah.
Peningkatan aksi-aksi PKI itu dilaksanakan sebagai “uji coba kekuatan”
untuk dapat ditingkatkan menjadi lebih kuat.
Posisi PKI makin kuat dengan dibentuknya Kabinet Dwikora pada tanggal 27
Agustus 1964, yang di dalamnya duduk beberapa orang tokoh PKI sebagai Menteri
Koordinator (Menko) dan Menteri Pembentukan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) pun
sejalan dengan strategi PKI dan karena itu pembentukan badan tersebut mereka
sambut dengan gembira. Namun, ABRI terus mengawasi dan mengikuti gerak-gerik
PKI. Bagi PKI tidak ada jalan untu menghindar dari pengawasan tersebut, kecuali
melancarkan fitnah dan kampanye menjelek-jelekkan Jenderal A.H. Nasution
sebagai seorang tokoh ABRI yang dikatakannya ingin menyabot Nasakom.
Sementara itu, pada tahun 1963 tersiar adanya dokumen CC PKI yang berisi
program rahasia yang berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa ini”.
program itu berupa program jangka pendek yang berisi penilaian situasi dan
rencana aksi untuk mewujudkan tujuan akhir PKI. Dalam dokumen itu PKI
menyatakan bahwa “Revolusi Agustus 1945” telah gagal dan belum selesai.
Dikatakan gagal sebab revolusi itu tidak dipimpin oleh orang-orang komunis.
Revolusi hanya dianggap selesai apabila di Indonesia sudah terwujud demokrasi
rakyat. Oleh karena itu, revolusi perlu disiapkan dengan cara merebut pimpinan
dari tangan kaum borjuis. Dalam dokumen tersebut dinyatakan pula bahwa PKI
menilai dirinya sudah kuat dan merasa semua golongan sudah ada di pihaknya.
Dokumen rahasia itu ditemukan oleh anggota Partai Murba. Oleh Wakil Perdana
Menteri III, Dr.Chaerul Saleh, seorang tokoh Parta Murba, dokumen itu
diserahkan kepada Ketua Umum DPP PNI, Mr.
Ali Sastroamidjojo. Selanjutnya, dokumen itu dipaparkan dalam Sidang
Kabinet pada bulan Desember 1964. PKI membantahnya dan dengan berbagai dalih
mengatakan bahwa dokumen tersebut adalah palsu, buatan kaum “Trotskyst” yang
dibantu kaum Nekolim berusaha untuk menghancurkan PKI.
Tersiarnya dokumen rahasia itu menyebabkan makin meningkatnya ketegangan
politik arena partai-partai lain makin mencurigai perilaku PKI. PKI tetap
berusaha meyakinkan Presiden Soekarno bahwa dokumen itu palsu. Untuk meredakan
ketegangan, Presiden Soekarno memanggil
para pimpinan partai politik ke Istana Bogor dan memerintahkan mereka menyusun
sebuah rumusan untuk menyelesaikan masalah “persengketaan antar partai”. Pada
tanggal 12 Desember 1964 sepuluh partai politik menandatangani sebuah deklarasi
yang disebut Deklarasi Bogor. Deklarasi itu dianggap sebagai “cetusan kebulatan
tekad” partai-partai di hadapan Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno. Soal
dokumen rahasia tidak tidak disebut-sebut dalam deklarasi itu dan dengan
demikian masalahnya dianggap selesa.
Lima hari sesudah Deklarasi Bogor ditandatangani, Presiden Soekarno
membubarkab Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS adalah sebuah badan yang
ingin memurnikan ajaran Presiden Soekarno yang didukung oleh kelompok anti PKI
dan yang sangat gigih menentang aksi-aksi PKI. Oleh krena itulan, PKI
menganggap BPS sebagai musuhnya dan berusaha untuk menghancurkan BPS. Cara yang
dipakai oleh PKI ialah membuat fitnah bahwa BPS sengaja dibentuk untuk
menyelewengkan ajaran Presiden Soekarno dan bahkan berusaha memusnahkan ajaran
Presiden Soekarno. Terhadap munculnya BPS tersebut, Presiden Soekarno
menyatakan, bahwa :
“... Sungguh menggelikan ada
orang yang mengaku menyebarkan ajaran Soekarno, tapi hanya menganjurkan
‘Samenbundeling van alle krachten’ saja. Bukan... van alle revolusionaire
krachten, yang dikorup hanya kata revolusionaire... justru kata yang
menunjukkan jiwa daripada ajaran revolusi.”
Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden Soekarno membubarkan BPS.
Sasaran PKI berikutnya adalah Partai Murba. Hal ini erat kaitannya dengan
tindakan Dr. Chaerul Saleh, salah seorang tokoh Partai Murba, yang telah
menyatakan sebuah dokumen yang menggambarkan program rahasia PKI. Cara yang
dipakai untuk membubarkan BPS dipakai pula oleh PKI, yakni mempengaruhi
Presiden Soekarno agar membekukan Parta Murba. Tanda-tanda akan dibubarkannya
Partai Murba sudah tampak pada pidato Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio,
tanggal 4 Januari 1965 dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Harian Duta Masyarakat :
“... bahwa tahun 1965 adalah tahun
gawat, tahun kristalisasi. Jangan terkejut jika saya katakan bahwa dalam tahun 1965 akan ada
afvallers, akan ada orang-orang yang tadinya teman seperjuangan...conrade in
arms...akan rontok, karena tidak bisa mengikuti jalannya revolusi...”
Pada keesokan harinya, tanggal 5 Januari 1965, keluarlah Keputusan
Presiden mengenai pembekuan kegiatan Partai Murba. Kejadian-kejadian sekitar
akhir 1964 dan awal 1965 merupakan gambaran menghebatnya upaya PKI dalam
mewujudkan “pematangan situasi revolusioner” melalui serangan-serangan gencar
yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya
dengan berbagai jargon-jargon politik seperti “Komunisto foobi”, dan
“Kapbir”.
_______________
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Senin, 16 September 2019 – 13.54 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar