Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Jumat, 27 Maret 2020 - 07.23 WIB
Jumat, 27 Maret 2020 - 07.23 WIB
Ki Slamet 42 |
Kakawin Bharata-Yuddha yang ditulis oleh Mpu Seddah dan
diselesaikan oleh Mpu Panuluh merupakan salah satu karya indah dari zaman
Kediri dan disusun atas perintah raja Jayabhaya. Sekalipun tidak disebutkan,
bahwa raja Jayabhaya itu dalam kakawin Bhaeata-Yuddha memerintah di Kediri,
melainkan bertahta di Daha, dapat diketahui, bahwa Daha itu sama dengan Kediri.
Ialah pecahan dari kerajaan Airlangga yang pada akhir bertahtanya telah dibagi
menjadi dua, ialah Janggala dan Kaddiri.
Begitu
pula, karena nama nama raja Jayabhaya itu dikenal dari beberapa prasasti yang
menyebutkan nama raja itu sebagai raja Kediri dan berangka tahun 1135 dan
1146, nama Jayabhaya dari kakawin
Bharata-Yuddha itu dapat diidentifikasikan dengan nama Jayabhaya dari
prasasti-prasasti tersebut. karena kakawin Bharata-Yuddha juga berangka tahun
dalam bentuk candra tahun Çaka 1079, ialah tahun Masehi 1157 ini tidak
berselisih dengan angka tahun 1135 dan 1146, sehingga dengan ini dapat
ditentukan, bahwa Jayabhaya dari prasasti-prasasti itu identik dengan Jayabhaya
dari kakawin Bharata-Yuddha.
Jaman
Kediri yang berkembang antara tahun 1104 dan 1222 itu merupakan zaman keemasan
kesusasteraan Jawa kuno dan banyak kitab kakawin telah diciptakan oleh beberapa
pujangga, seperti Mpu Dharmaja, Mpu Sêddah dan Mpu Panuluh tersebut di atas,
Mpu Monagunna, Mpu Trigunna, Mpu Tanakung dan sebagainya.
Sekalipun
dari zaman Kediri dan dari zaman sesudah berkembangnya kerajaan Kediri itu
banyak karya para pujangga yang diciptakan dalam bahasa Jawa kuno, hanya
kira-kira 4 kakawin yang tetap hidup dan dikenal dalam kesusasteraan Jawa baru,
ialah Kakawin Ramayana, kakawin Arjuna-wiwaha, kakawin Bharata-Yuddha dan
kakawin Uttara-kanndha, sedangkan sebaliknya 4 kakawin tersebut bersama-sama
kakawin lainnya tetap dibaca dan hidup di pulau Bali dan di pulau Lombok hingga
sekarang. Apabila kitab-kitab dari kesusasteraan Jawa kuno itu dilanjutkan
tradisinya di Bali dan Lombok, disebabkan karena kerajaan dari Jawa itu telah
diluaskan ke Bali, sejak zaman Kertanegara dari Singasari dan pada zaman
Majapahit, ketikaMahapatih Gajah Mada mempersatukan Indonesia. Janggal ataupun
tidak janggal kedengarannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa rakyat di Bali dan
Lombok itulah yang memelihara kesusasteraan Jawa kuno.
Sebaliknya
apabila di kedua pulau itu perhatian terhadap kesusasteraan Jawa kuno tetap
dipelihara, di Jawa sendiri pemeliharaan buah-buah kesusasteraan tersebut mulai
terlantar. Salah satu sebabnya ialah, karena sejak runtuhnya kerajaan Majapahit
yang menjadi pusat kegiatan kesusasteraan Jawakuno, tidak ada lagi pusat
kekuasaan politik yang memberi iklim dapat berkembangnya kesusasteraan
tersebut. sebab setelah Majapahit runtuh dan kekuasaan politik yang
terpecah-pecah dalam tangan beberapa kepala daerah pesisir yang telah memeluk
agama Islam, seperti Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri, dan
sebagainya. Rupa-rupanya pujangga-pujangga yang mencari nafkah hidup itu
sesudah runtuhnya Majapahit mengabdikan diri kepada kepala-kepala daerah yang
ada di daerah pesisir tersebut dan terus memelihara kesusasteraan Jawa kuno
sambil menciptakan karya-karya baru dalam bahasa Jawa baru yang diabdikan untuk
meluaskan agama Islam.
Engan
ini dapat dikonstruksikan, nahwa pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno menuju ke
arah kesusasteraan Jawa baru melalui kesusasteraan Jawa tengahan, garisnya
dapat ditarik dari Majapahit menuju Gresik – Giri dan menuju ke Demak yang
berkembang antara tahun 1500 – 1555 dan sekitarnya. Karena dari sejarah politik
dapat diketahui, bahwa setelah Demak yang dapat direbut sebagian dari bekas
kekuasaan politik Majapahit itu runtuh, kekuasaan politik pindah ke Pajang
untuk akhirnya pindah ke Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati dan Sultan
Agung, garis pertumbuhan dan kehidupan kesusasteraan itu juga jalan melalui
garis politik tersebut, ialah Demak – Pajang – Mataram. Adanya garis pertumbuhan kesusasteraan itu
dibuktikan oleh kitab Kojajahan yang menurut penyelidikan R.M. Ng. Dr. Poerbacaraka
berdasarkan atas gaya bahasanya berasal dari Gresik – Giri dan yang
disebut-sebut dalam kitab Nitisruti. Apabila kitab Nitisruti menurut dongeng
adalah ciptaan Pangeran Karanggayam dari Pajang, menurut R.M.Ng.Dr.
Poerbacaraka berasal dari zaman Mataram awal, ialah pada zaman Panembahan Seda
Krapyak ( 1601 – 1613 ), raja Mataram yang kedua. Dengan ini jelaslah, bahwa
garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa baru itu dapat ditarik dari Gresik –
Giri menuju ke Demak dan Pajang untuk
akhirnya sampai di Mataram zaman Islam. Berdasarkan atas kitab Nitisruti itu
disusun kitab Nitipraja yang ditulis tahun 1641 dan menurut dongeng kita
Nitipraja itu merupakan karya Sultan Agung ( 1613 – 1645 ) sendiri.
Apabila
garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno dapat diikuti dari sejak zaman
kediri, Singhasari dan Majapahit, padahal telah dibuktikan bahwa kesusasteraan
Jawa kuno dari zaman Majapahit itu juga melalui Gresik – Giri dan Demak
tumbuh di Pajang dan Mataram sehingga menjadi
kesusasteraan Jawa baru, tidak dapat diingkari lagi bahwa ada garis pertumbuhan
yang melalui waktu yang lama, ialah dimulai dari abad 11 pada zaman Kediri
sampai pada zaman Mataram awal pada abad 17.
Berdasarkan adanya pembuktian, bahwa ada garis pertumbuhan kesusasteraan
yang menuju kesusasteraan Jawa baru, gugurlah pendapat Prof. Dr. C.C. Berg yang
mengatakan, bahwa kesusasteraan Jawa baru dari zaman Mataram Islam itu tidak
ada hubungannya dengan kesusasteraan Jawa kuno dari Majapahit, Singhasari dan
Kediri.
Dengan
ini dapat diketahui, bahwa 4 buah kitab dari kesusasteraan Jawa kuno, ialah
kakawin Ramayana, kakawin Uttarakanda, kakawin Arjuna-wiwaha, dan kakawin
Bharata-Yuddha dengan melalui pemeliharaan di puasat-pusat kesusasteraan di
Gresik – Giri. Demak dan Pajang sampai Mataram.
Pada
zaman Mataram, khususnya pada zaman Kartasura akhir dan dan Surakarta awal pada
kira-kira tahun 1755. Jumlah pujangga yang mengenal kesusasteraan Jawa kuno
hanya tinggal sedikit dapat dihitung dengan jari. Karena timbul rasa
kekhawatiran, bahwa kitab-kitab kakawin dalam bahasa Jawa kuno itu akan hilang,
karena tidak terbaca lagi, beberapa orang pujangga, di antaranya Raden Ngabehi
Jasadipura mulai menyadur kitab-kitab kakawin tersebut dalam bahasa Jawa baru
dengan menggunakan tembang macapat. Karya-karya baru itu disebut jarwa yang
berarti makna.
Dalam hal ini R.Ng. Jasadipura telah
menyadur kitab kakawin Ramayanna dan kakawin Bharata –Yuddha dari bahasa Jawa
kuno ke dalam bahasa Jawa baru yang masing-masing menjadi serat Rama atau
Ramayana Jarwadan Serat Bratayuda atau Bratayuda Jarwa, sedangkan kitab kakawin
Arjunna – Wiwaha atau Wiwaha Jarwa dan juga terkenal dengan Mintaraga oleh Paku
Buwana III ( 1749 – 1788 ) dan satu naskah Serat Arjuna – Wiwaha lainnya yang
dikatakan sebagai karya R.Ng. Jasadipura juga. Kakawin yang ke – 4 ialah
kakawin Uttara – Kanndda, telah disadur dalam bahasa Jawa baru oleh R. Ng.
Sindusastra dengan judul Serat Arjunasasrabau dan juga terkenal dengan nama
Serat Lokapala. Dalam hubungan itu perlu diterangkan, bahwa apabila kitab-kitab
kakawin itu mempergunakan bahasa Jawa kuno dengan memakai aturan syair India,
kitab-kitab yang disebut Jarwa itu mempergunakan bahasa Jawa baru dengan
memakai aturan syair Indonesia asli yang disebut macapat.
—KSP 42—
Jumat, 27 Maret 2020 – 07.20 WIB
S u m b e r :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata–Yuddha. Bhratara – Jakarta 1968