Selasa, 11 Desember 2012

"GOENAWAN MOHAMAD DAN SEJARAH"



Goenawan Mohamad dan Sejarah
Diperbaharui 11 December 2012, 17:45 AEST

Gunawan Mohamad, jurnalis, penyair - http://cigombong80.blogspot.com
Gunawan Mohamad (Foto: SP)
Lelaki itu tampak lebih muda untuk ukuran seusianya. Raut mukanya terbilang tirus. Cambang, jenggot, dan kumisnya tak begitu panjang. Tubuhnya tidak kekar, tapi tegap dan sehat karena olah raga yang rutin dijalaninya. Penampilannya kalem, sikapnya santun, dandanannya bersahaja. Kacang bawang dan kerupuk kampung adalah makanan kesukaannya. Kadang di halaman kantor, saya melihatnya melangkah pelan dengan segepok buku dalam jinjingan. Sesekali saya mendapatinya duduk di kedai kantor, dikelilingi sejumlah anak muda yang antusias dan khusyuk berdiskusi dengannya. Pernah juga saya melihatnya sedang menulis dengan laptop, membaca buku dengan kaca mata yang gagangnya patah sebelah, atau sekadar duduk terkantuk-kantuk. Saya bayangkan, alangkah lelah sepasang mata tua itu, sepasang mata yang jarang terpejam dan lebih sering berkelana di sesela aksara. Tapi bukan karena semua itu orang mengenal dan menghormatinya. Ia lebih dikagumi karena pemikirannya yang cerdas dan pandangannya yang jernih sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Goenawan Mohamad, penyair dan jurnalis terkemuka. 

Sebagai penyair, ia telah menghasilkan cukup banyak puisi liris yang menebarkan pengaruh kuat dan luas pada khazanah sastra Indonesia. Dan sebagai jurnalis, ia telah membuktikan kepiawaiannya dengan merintis sebuah majalah mingguan berita hingga mekar menjadi media massa terpenting yang mengembangkan gaya penulisan naratif dan menyuburkan pertumbuhan bahasa. Karena itu, ia tak hanya dihormati, tapi juga dianugerahi banyak penghargaan di dalam dan luar negeri. 

Kemasyhuran tak membuatnya busung dada. Puncak-puncak prestasi tak menjadikannya tinggi hati. Puja dan cela seolah tak mampu mengubahnya. Ia tetap sebagai sediakala sejak saya mengenalnya: lelaki tua bersahaja. Kebersahajaan yang terbentuk oleh sejarah.

Dalam sebuah kesempatan ia menjelaskan, bahwa ia cenderung melihat “sejarah” sebagai sebuah proses. Sebab “catatan tentang masa lalu” berarti terlibat dan mengalami proses. Selalu mengalami peninjauan baru, atau penafsiran baru. Dan ke-baru-an itu terjadi karena manusia berubah.

Meresapi penjelasannya, saya tertarik untuk mengetahui lebih banyak  tentang peristiwa yang ia anggap bersejarah. Katanya, ada banyak peristiwa yang mempengaruhi hidupnya. Salah satunya, ketika ayahnya ditangkap dan ditembak mati tentara Belanda sebelum ia bersekolah. Keluarganya, yang dipimpin sang ibu, meninggalkan daerah pendudukan Belanda ke daerah yang dikuasai Republik. Hal tersebut menanamkan ke dalam diri Goenawan Mohamad ikatan yang dalam dan kuat kepada Indonesia.

Peristiwa bersejarah berikutnya adalah ketika ia bisa memecahkan satu soal aritmatika yang rumit di sekolah dasar. Kejadian tersebut memberi kepercayaan besar pada dirinya. Ia juga menganggap pengalaman pertama membaca Winnetou Gugur karya Karl May sebagai sebuah momen tak terlupakan. Itu juga terjadi semasa sekolah dasar. “Buku itu mengajarkan arti persahabatan dan keberanian melawan yang jahat,” tuturnya. Dulu, guru geometrinya mengatakan bahwa geometri bukanlah pengetahuan untuk jadi insinyur, melainkan untuk latihan berpikir logis dan teratur. Ucapan sang guru itu selalu terpatri dalam benaknya. Berpikir logis dan teratur itulah yang selalu ia lakukan dalam menghadapi beragam masalah, termasuk dalam memandang sejarah.

Selain pengalaman getir, masa muda Goenawan Mohamad juga meninggalkan banyak kenangan manis. Seperti saat ia menjadi juara lari gawang, dan pada saat yang berdekatan ia bertemu dengan guru silat yang baik. Mendengar puisi dan musik yang disiarkan Radio Republik Indonesia stasiun Jakarta, atau menyaksikan guru-guru SMP-nya bermain musik klasik dan para murid menyanyi paduan suara “Negro Spiritual”, baginya merupakan kenangan indah.

Di SMA, Goenawan Mohamad menjadi pemimpin redaksi majalah dinding. Sajak terjemahannya atas karya Emily Dickinson dan Apollinaire dimuat di sebuah koran terbitan Jakarta. Di masa kuliah, ia tak akan melupakan saat-saat belajar filsafat di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, karena salah satu pengajarnya adalah Profesor Driyarkara. Pada masa itu pula esei dan sajaknya dimuat di majalah Sastra. Demi memperluas wawasan Goenawan Mohamad melanjutkan pendidikan di Bruges dan Oslo.

Sepulangnya ke Indonesia ia mendirikan majalah Ekspres. Perjalanan karirnya tidak mudah. Ia dipecat. Namun ia tak patah semangat. Ia kemudian mendirikan majalah Tempo, yang berhasil menjadi salah satu media paling berpengaruh di Indonesia. Ketika Tempo dibredel untuk kedua kalinya, ia bersama beberapa teman membentuk jaringan “bawah tanah” pro-demokrasi.

Kepeduliannya pada seni dan pemikiran ia wujudkan dengan membentuk Komunitas Utan Kayu, sebuah wadah yang memperjuangkan kebebasan berpikir dan berekspresi, oase bagi penumbuhan kreativitas dan intelektualitas di Jakarta.

Kini Goenawan Mohamad banyak mencurahkan perhatiannya pada satu lagi tempat berkesenian yang ia bangun: Komunitas Salihara. Tak beda jauh dengan Komunitas Utan Kayu, tempat itu menjadi melting pot bagi para seniman dari seluruh penjuru dunia untuk saling bertukar pikiran dan mengekspresikan karya mereka.

Sebagai orang yang telah mengalami banyak momen sejarah, termasuk sejarah yang ia ciptakan sendiri, ia berpesan, “Dunia berubah cepat. Dalam keadaan seperti itu, pengalaman orang tua, yang lebih dulu hidup, tak banyak guna. Generasi muda harus kreatif untuk menemukan cara merespon keadaan yang selalu berbeda.” Dengan demikian, lanjutnya, perlu sikap terbuka terhadap kebaruan, perbedaan, dan benturan pandangan. Sebab, hal itu akan sering terjadi.

Perubahan yang cepat, menurutnya, bisa membuat orang gentar. Karena itu, “Generasi muda harus siap menghadapi sikap yang takut perubahan dan perbedaan, termasuk sikap konservatif. Tiap kali ada ketidak-adilan dan pengekangan atas kemerdekaan, generasi muda harus melawan. Kalau tidak, masyarakat akan hancur.” Namun, ia juga tak lupa mengingatkan: seraya berjuang mati-matian, pada akhirnya setiap orang harus siap menerima kenyataan bahwa tak semua cita-cita baik akan terlaksana.

1 komentar: