Tribunnews.com - Minggu, 13 Januari
2013 03:22 WIB
Pentas Wayang Beber di Rawamangun |
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Kisah ini berangkat dari sebuah negeri bernama Negeri Beber.
Negeri Beber adalah negeri yang panjang, pasir awukir, gemah ripah loh jinawi,
tata tenteram, kerta raharja. Dalam perjalanan sang waktu, negeri beber justru
berubah menjadi negeri yang sangat gaduh.
Mengangkat
budaya luhur yang dimiliki Bangsa Indonesia, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia
(Peradah Indonesia) bersama komunitas Hindu, antara lain KPSHD Rawamangun,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Jakarta, Paguyuban Majapahit, menggelar Wayang Beber
besutan Komunitas Wayang Beber Metropolitan.
Wayang Beber
digelar bertepatan dengan pelaksanaan Hari Raya Saraswati, atau peringatan
turunnya ilmu pengetahuan yang jatuh pada 12 Januari 2013, bertempat di Pura
Aditya Jaya Rawamangun, Jakarta Timur. Pagelarannya berlangsung tengah malam,
atau bertepatan dengan malam sastra yang biasa diisi dengan penggalian dan
diskusi ajaran suci Weda.
Menurut Putu
Aditya, koordinator penyelenggaraan acara, perpaduan malam sastra dengan Wayang
Beber merupakan salah satu metode dalam memahami ajaran suci dalam Weda.
“Kami
berharap dengan adanya media Wayang Beber, ajaran dan pengetahuan suci Weda
dapat lebih mudah dipahami,” ujarnya.
Adanya media
ini, lanjut Putu, peserta dapat lebih berinteraksi memadukan rasa dan pikiran,
dalam pertunjukan yang sarat dengan ajaran-ajaran luhur, baik dalam kitab suci
Weda maupun budaya bangsa.
Lakon dalam
pagelaran Wayang Beber mengangkat cerita sesuai konteks kehidupan hari ini.
Mengambil semangat perilaku dan etika dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, tercetuslah lakon 'Laku Budhi Suluh Nagari' atau Labusuri. Lakon ini
dilandasi semangat, bahwa hanya dengan perilaku dan etika yang baik lah, sang
pemimpin (tokoh masyarakat/bangsa) dapat menjadi panutan (pelita) bagi
komunitas atau masyarakat.
Dalam
pagelaran Wayang Beber, sang dalang juga ditemani oleh dua narasumber, yaitu
Dewa Ketut Suratnaya dan Eko Priyanto. Kedua narasumber mengambil intisari atau
benang merah dari lakon Wayang Beber, ke dalam konteks kehidupan dan ajaran
suci Weda. Peserta yang
sekaligus menjadi penonton, juga dapat langsung berinteraksi dengan dalang
maupun narasumber.
“Interaksi
langsung inilah yang menghilangkan sekat-sekat formal pertunjukan, sekaligus
diskusi monolog. Peserta bisa langsung bertanya ataupun menyela sang dalang dan
narasumber,” tutur Aditya yang juga Ketua DPN Peradah. Pagelaran
Wayan Beber di malam sastra juga memadukan teknologi moderen yang ditunjukkan
dengan paduan audio visual. Di tengah sang dalang menceritakan lakonnya,
suasana semakin hidup ketika audio visual ‘ditabrakkan’ ke arah Wayang Beber
yang dimainkan dalang.
“Suasana
akan semakin hidup, dan peserta pun dapat masuk dalam alur cerita secara baik,”
harap Ananta Wijaya yang memadukan kehadiran audio visual. Perpaduan
audio visual juga seolah melengkapi kesederhanaan perlengkapan dari Wayang
Beber, yang tidak membutuhkan begitu banyak alat-alat seperti pertunjukan
wayang lainnya. Didukung oleh kru muda, Wayang Beber Metropolitan menjadi suluh
di tengah derasnya arus yang menerpa budaya-budaya lokal milik bangsa. (*)
Editor:
Yaspen Martinus
Wayang Beber Metropolitan menjadi suluh di tengah derasnya arus yang menerpa budaya-budaya lokal milik bangsa.
BalasHapus