Oleh Agus S Warman |
Sabtu, 29 Desember 2012
Sitor Situmorang |
SUARA KARYA ONLINE - Bagi saya, apa yang
paling terkenang dari puisi Sitor Situmorang, terutama dari periode awal,
khususnya kumpulan Surat Kertas Hijau, Dalam Sajak, dan Wajah Tak Bernama,
bukanlah isi filsafat - misalnya tentang keisengan atau keterasingan -
melainkan bunyi dan rupa, bahkan tertib-rupa dan tertib-bunyi.
Ciri demikian itu membebaskan dia dari lingkungan pengaruh Chairil
Anwar, sosok pembaharu dari generasinya sendiri, dan mendekatkan dia kepada
Amir Hamzah. Memahami puisi puisi Sitor Situmorang sebenarnya tidaklah terlalu
rumit. Bahkan bisa dikatakan gampang, karena susunan kata dan frase Sitor
segera meninggalkan gema di hati dan kepala. Bisa begitu, karena Sitor
Situmorang dalam berkarya apapun tak akan pernah lepas dari kedekatannya kepada
bunyi alam atau nyanyian anak. Namun, jangan buru-buru mengatakannya penyair
kuno hanya karena Sitor Situmorang selalu merasa terikat dengan penggunaan
bentuk puisi lama, seperti pantun dan soneta. Sebenarnya, Sitor pun telah
menulis banyak mengenai puisi-puisi yang bersentuhan langsung dengan masa
lampau dan tradisi kekinian. Jelaslah, tertib-pola demikian adalah sarana untuk
menapis, juga menundukkan, derau dan gebalau pengalaman modern.
Generasi Sitor, masuk
dalam Angkatan '45, memang dikenal sebagai kelompok penyair yang begitu
menggandrungi puisi bebas. Tetapi Sitor sendiri tidak demikian. Buktinya, puisi
puisi Sitor tidak jarang didominasi dengan persoalan kekinian. Tak jarang pula
puisi-puisi Sitor terjebak dalam permainan kata yang berlebihan, kemubaziran,
yang hanya mengekor modernitas, bukan mempersoalkannya. Kita lihat, puisi bebas
Sitor "hanyalah" bentuk yang lebih lentur-cair dari pantun dan
sonetanya. Kesepian, juga keisengan, keterasingan, kebosanan, mungkin juga
kemabukan. Kalimat-kalimat yang mengandung unsur filsafat semua ada dalam puisi
Sitor: suatu pandangan dunia yang tak tertawarkan lagi?
Seorang penyair modern
yang sejati, mestinya adalah sang flaneur, sebagaimana halnya Baude-lairre:
seorang pejalan iseng yang mengalami pemandangan, dunia, sebagai hal
terpecah-pecah, de-kaden-ia pencari keburukan ketimbang keindahan. Namun Sitor
adalah seorang flaneur yang tak sepenuh hati. Ia pemburu keindahan atau
sisanya. Seperti Pablo Neruda, Sitor berkelana dengan membawa kampung halamannya
dalam bungkusan. Neruda seperti hendak meluaskan tanah airnya ke seluruh bumi;
sedang Sitor, ingin menjadi orang-dunia namun diganduli oleh warisan
leluhurnya. Sitor meragukan, mungkin menyangkal, asal-usulnya justru dengan
menggunakan puisi lama-soneta dan pantun. Keduanya sampai juga ke "jalan
kiri" dengan alasan berbeda: Neruda lantaran kejenuhannya dengan puisi
modern: Sitor, justru karena keberjarakannya. Sitor melakukan rekonsoliasi
dengan kampungnya, kampung yang kini diluaskannya sebagai "bangsa":
demikianlah keisengan (yang tak pernah menjadi filsafat itu) digantikan ide,
bahkan ideologi. Maka impresionisme menjadi realisme; dan pantun dan sonet pun
bertukar dengan puisi bebas. Sitor sang flaneur yang bimbang tak cukup radikal
dalam melawan komunitasnya, sebagaimana sang komunitas juga begitu setengah
hati untuk meninggalkan masa lampaunya. Mungkinkah "aku" menjadi
"kami" atau "kita" dalam derap "revolusi"?
Mungkin sekali tidak. Puisi Sitor selepas 1970-an adalah upaya mendedahkan
"aku" kembali, sang pejalan: kini ia bukan pemburu keisengan
melainkan pengumpul cendera mata dari pelosok Nusantara dan mancanegara. Di
sini tiada lagi musik atau tertib-bunyi yang bisa melunakkan isi-sajak.
Tapi jika kita sudah
terlalu banyak mendengar khotbah dari segala penjuru, "filsafat"
dalam puisi tak penting lagi. Itu sebabnya kita selalu kembali kepada puisi
Sitor Situmorang dari 1950-an, di mana musik dan bunyi begitu utama, sehingga
kita bisa merayakan keisengan murni-dalam arti menjadi makhluk bermain, homo
ludens-setelah kita menjadi begitu jinak dan seragam dalam jejaring sistem. Menjadi
"bunga di atas batu, dibakar sepi": liar, keras kepala, tak menyerah.
Demikianlah puisi Sitor yang terbaik, justru membuat kita mampu mengsongsong
"filsafat" yang dikandungnya dengan haram. (SKO)
Puisi-puisi karya Sitor Situmorang tahun 1950-an,unsur musik dan bunyi begitu utama, sehingga kita bisa hanyut dalam gerak irama melodi kata-kata,dalam arti menjadi individu yang ikut bermain di dalamnya.
BalasHapus