Rabu, 09 Januari 2013

Seni, Identitas, dan Mendeteksi yang Palsu


S Sudjojono

Senin, 7 Januari 2013 | 08:34 WIB  Oleh Aminudin TH Siregar
Cara kita mencipta, menulis, membicarakan, dan memahami seni di abad ini telah banyak berubah. Perubahan tersebut ditandai dengan pelbagai peristiwa di medan sosial seni global dengan kemunculan karya-karya yang senantiasa menantang batas-batas kemapanan paradigma seni sebelumnya.

Kenyataan semacam ini juga terjadi di Indonesia. Apa yang dipahami oleh S Sudjojono pada masa revolusi (”seni adalah jiwa kétok”) akan sangat berbeda dengan generasi seniman muda masa kini (”seni adalah kerja yang menyenangkan”; ”seni adalah main-main, asyik-asyik saja”). Sepintas rumusan seni Sudjojono—”seni adalah jiwa kétok” tidak berbeda jauh dengan rumusan gerakan Pujangga Baru yang mengatakan bahwa ”seni adalah gerakan sukma”. Rumusan ini dicetuskan sebagai ”manifesto” pada 1935. Oleh redaktur majalah Pujangga Baru, pada masa ini, tarik-menarik antara ”seni untuk seni” dan ”seni sebagai alat” mulai dibicarakan.

Jika lingkup kajian ini kita perluas, ihwal seni ini di dalam sejarah seni rupa kita mengerucut ke dua kubu yang saling berseberangan, mengemuka sebagai dua sistem kepercayaan: pertama, kubu yang percaya bahwa ”seni adalah untuk seni”. Segala yang diciptakan oleh seniman tidak berurusan dengan kenyataan sosial. Sering dikatakan bahwa ”otonomi” adalah fenomena modern. Dan, dia adalah salah satu dari trinitas dalam paham modern: ”otentisitas”, ”orisinalitas”, dan ”otonomi”. Karena seniman adalah makhluk otonom, ia bukanlah orang yang bisa dideterminasi oleh apa dan siapa pun. Dari sisi estetika, wakil paling populer dari kubu ini adalah lukisan-lukisan formalistik, semisal abstrak dan ragam variasinya. Yang dinilai dari karya dalam kategori ini adalah pada kualitas intrinsiknya—kualitas yang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Kedua, ”seni untuk rakyat”. Karena seniman adalah anggota atau bagian dari masyarakat, ia tidak bisa melepaskan diri dari masyarakatnya. Sebelum diformulasikan secara praksis dan pragmatis oleh Lekra dengan mengadopsi paham Realisme Sosialis internasional, sebenarnya Sudjojono telah mengawali konsepsi ini dengan kredo: ”kembali ke realisme”: sebuah lukisan harus dimengerti oleh masyarakat luas. Dalam pandangan ini, baik makna maupun nilai seni hanya bisa dipahami dengan cara menempatkannya ke dalam situasi sosial yang memproduksinya. Dalam kerangka ini, tidak sedikit pengamat seni yang menilai bahwa karya seni merefleksikan nilai (selera) kelas yang dominan dan seni digunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan dominasi tersebut. Apabila sistem nilai ”Formalisme” adalah intrinsik, letak keberhasilan seni di paham kedua ini berada pada kualitas ekstrinsiknya. Sejarawan Marxis Nicos Hadjinicolaou, misalnya, mengatakan, ”… mulai sekarang pertanyaan idealis ’apa itu keindahan’ atau ’mengapa karya itu indah’ harus diganti dengan pertanyaan materialis, ’oleh siapa, kapan, dan dalam kepentingan apa sebuah karya itu disebut indah’.” Karena itu, mereka yang bekerja di koridor ini lazim disebut ”pekerja seni” (art workers) ketimbang ”seniman” (artists). 

Ciri dan gaya.  Setelah seorang pelukis mencipta seni selama, katakanlah, lebih dari 40 tahun, tentu saja kita bisa menilai apa dan bagaimana ciri dan gaya lukisannya, patungnya, keramiknya, atau grafisnya. Semua itu akhirnya bertalian dengan identitas (istilah Oesman Effendi pada 1969: ”capnya”), maka apa dan bagaimana identitas seorang seniman itu terbentuk? Siapa yang membentuk? Sejarawan seni, kritikus, atau masyarakat umum?  Jika kita kembali pada dua kubu tadi, sekurangnya, pembentukan identitas seorang seniman itu sebenarnya bisa diperkirakan. Pada yang pertama identitas seorang seniman hanya dan hanya jika terjadi dari performanya sendiri. Seniman modern membentuk dirinya sendiri. Ia adalah pusat dari daya pembentukan tersebut: independen, otonom. Karya-karyanya bukanlah karya anonim sebagaimana paradigma komunalisme-tradisionalisme. Kemodernan mencabut seni dari integrasinya dengan kehidupan, agama, dan budaya. Seniman modern menandatangani karyanya sebagai bukti otentik dan eksistensi dirinya. Pada kubu kedua, seniman ”dibentuk dan membentuk” (bersama-sama) nilai instrumental apakah itu moral, spiritual, atau kondisi sosial sekitarnya.
 
Kini kita cermati bagaimana, secara intrinsik, ”identitas” tersebut dipahami. Contoh kasus: Sudjojono. (1) Tanda tangan, S Sudjojono acapkali membubuhkan 2-4 sekaligus tanda tangan di satu lukisan. Ia memiliki dua macam tanda tangan: menuliskan namanya, S Sudjojono, dan SS.101/kota/titimangsa, misal SS.101/Jak(arta)/1978. (2) Narasi, S Sudjojono acapkali menuliskan penggalan narasi dalam lukisannya.
Narasi tersebut tidak selamanya berhubungan dengan apa yang ia lukiskan. Salah satu lukisan buket bunga mawar yang ia lukis, misalnya, malah dibubuhkan pandangannya terhadap situasi politik. Dari sini, dan diperkuat koleksi sketsa-sketsanya, kita tidak hanya bisa mempelajari ”cara S Sudjojono menulis” atau ”merangkai kalimat”, tetapi juga menganalisis ”cara dia berpikir dan mengungkap kepribadiannya”. (3) Kredo, setiap seniman umumnya memiliki kredo yang layak dijadikan dasar pijakan guna memahami karya ciptaan ataupun pemikirannya. Kredo ini sering kali diimplementasikan dalam sikap dia berkarya. Salah satu kredo S Sudjojono: ”Kebenaran nomor satu, baru kebagusan”. Implementasi kredo ini terlihat dari cara S Sudjojono menghampiri detail obyek yang ia lukis. (4) Analisis formal, kajian tentang ukuran, sapuan kuas (brush stroke), tekstur, warna (komplementer/kontras), garis kontur (tebal/tipis), garis (horizontal/vertikal/sirkular), medium (tinta/cat minyak), komposisi (simetris/diagonal), cahaya (kontras/gradasi/alamiah), bentuk, ruang, dan sebagainya.

Pada lukisan S Sudjojono yang cenderung menghadirkan ”kedalaman”, penting diperhatikan aspek-aspek yang ditimbulkan: overlapping, foreshortening, contour hatching, shading/modeling, relative position from the ground, dan perspectives. (5) Subject matter dan content, misalnya figur, alam benda, romantisme/revolusi, komentar sosial, rekaman keseharian, religi, lanskap, dan fantasi merupakan kecenderungan pokok dalam lukisan-lukisan S Sudjojono. Tidak seperti Affandi yang berulang kali melukis adu ayam jago atau Popo Iskandar dengan kucing, S Sudjojono nyaris tidak pernah menghampiri tema-tema seperti itu. (6) Dan ragam analisis lainnya. 

Metode . Sebagaimana dikatakan bahwa orisinalitas, otentisitas, dan otonomi merupakan trinitas dalam modernisme. Ketiganya bukan hanya kebutuhan, melainkan menjadi syarat mutlak dan tuntutan. Dalam seni, seorang seniman dituntut menemukan kebaruan, inovasi dalam ide, dan teknik media. Modernisme juga mementingkan otentisitas dan orisinalitas. Jadi, pengujian akan keaslian suatu lukisan adalah kebutuhan atau hasrat manusia modern. Celakanya, kemodernan di Indonesia sesungguhnya belum berlangsung. Ini terbukti dengan lemahnya infrastruktur sosial dan termasuk seni rupa di dalamnya—salah satunya pemanfaatan teknologi (laboratorium seni). Untuk kasus lukisan palsu—seperti yang sudah banyak disinggung oleh sejumlah pengamat—pemeriksaan keasliannya bisa dilakukan dengan uji laboratorium dan berdasarkan fakta- fakta sejarah.

Dalam situsnya, laboratorium Museo d’Arte e Scienza di Italia dengan gamblang menerangkan bagaimana pemeriksaan otentisitas lukisan bisa dilakukan. Diterangkan bahwa pendekatan yang berbeda untuk menentukan keaslian lukisan bisa dihampiri dengan memeriksa keaslian melalui evaluasi murni gaya, memeriksa keaslian lukisan dengan cara mengetes usia material, dan memeriksa keaslian lukisan dengan menggunakan metode instrumental ilmiah. Laboratorium ini menganalisis lukisan dengan memanfaatkan, antara lain, infrared reflectography, wood's light, a stereoscopic microscope, dan IR spectroscopy. Analisis mikroskopik, misalnya, digunakan untuk memeriksa tanda-tanda penuaan pada lapisan cat dan sifatnya (alam atau buatan), pigmen (kristalinitas, kemurnian, dan ukuran). Sementara analisis IR spectroscopy memungkinkan kita menganalisis berbagai bahan untuk memastikan kompatibilitasnya dengan periode sejarah.

Sementara analisis sejarah (faktor ekstrinsik) menekankan inventarisasi bukti-bukti historis berupa ingatan individu/komunal, catatan-catatan, dan sebagainya. Misalnya, ditemukan sejumlah bukti bahwa pada masa menjelang kedaulatan 1949, Indonesia terisolasi dari dunia luar. Pendeknya, lukisan dikerjakan di atas kain belacu dan kertas. Satu tube cat digunakan secara bergantian oleh seniman lain. Ukuran kanvas pada masa ini relatif kecil—kalaupun terdapat kanvas berukuran besar, kita akan mudah melihat adanya sambungan (jahitan). Bukti ini kita temukan pada lukisan ”Sekko” (S Sudjojono) dan ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (Affandi) yang dilukis pada masa-masa itu.

Keduanya, baik sarana laboratorium maupun penulisan sejarah seni rupa Indonesia, masih sama-sama lemah. Perlu kiranya dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, guna mendirikan institusi seni rupa yang mampu menjernihkan permasalahan dalam seni rupa Indonesia. Tanpa dukungan yang nyata, sebagai aset penting bagi identitas bangsa, seni rupa kita akan lenyap ditelan zaman dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, benda-benda seni rupa kita akan berhenti sebagai benda ”bersejarah yang sia-sia”.

Aminudin TH Siregar Dosen Seni Rupa ITB  
Tulisan ini pernah disampaikan dalam sarasehan ”Menyikapi Maraknya Lukisan Palsu di Era Ekonomi Kreatif”, Galeri Nasional Indonesia, 26 Juli 2012. 

Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar