S Sudjojono |
Senin, 7 Januari 2013 | 08:34 WIB Oleh Aminudin TH Siregar
Cara kita mencipta, menulis,
membicarakan, dan memahami seni di abad ini telah banyak berubah. Perubahan
tersebut ditandai dengan pelbagai peristiwa di medan sosial seni global dengan
kemunculan karya-karya yang senantiasa menantang batas-batas kemapanan
paradigma seni sebelumnya.
Kenyataan semacam ini juga terjadi
di Indonesia. Apa yang dipahami oleh S Sudjojono pada masa revolusi (”seni
adalah jiwa kétok”) akan sangat berbeda dengan generasi seniman muda masa kini
(”seni adalah kerja yang menyenangkan”; ”seni adalah main-main, asyik-asyik
saja”). Sepintas rumusan seni Sudjojono—”seni adalah jiwa kétok” tidak berbeda
jauh dengan rumusan gerakan Pujangga Baru yang mengatakan bahwa ”seni adalah
gerakan sukma”. Rumusan ini dicetuskan sebagai ”manifesto” pada 1935. Oleh
redaktur majalah Pujangga Baru, pada masa ini, tarik-menarik antara ”seni untuk
seni” dan ”seni sebagai alat” mulai dibicarakan.
Jika lingkup kajian ini kita perluas,
ihwal seni ini di dalam sejarah seni rupa kita mengerucut ke dua kubu yang
saling berseberangan, mengemuka sebagai dua sistem kepercayaan: pertama, kubu
yang percaya bahwa ”seni adalah untuk seni”. Segala yang diciptakan oleh
seniman tidak berurusan dengan kenyataan sosial. Sering dikatakan bahwa
”otonomi” adalah fenomena modern. Dan, dia adalah salah satu dari trinitas
dalam paham modern: ”otentisitas”, ”orisinalitas”, dan ”otonomi”. Karena
seniman adalah makhluk otonom, ia bukanlah orang yang bisa dideterminasi oleh
apa dan siapa pun. Dari sisi estetika, wakil paling populer dari kubu ini
adalah lukisan-lukisan formalistik, semisal abstrak dan ragam variasinya. Yang
dinilai dari karya dalam kategori ini adalah pada kualitas
intrinsiknya—kualitas yang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Kedua, ”seni untuk rakyat”. Karena
seniman adalah anggota atau bagian dari masyarakat, ia tidak bisa melepaskan
diri dari masyarakatnya. Sebelum diformulasikan secara praksis dan pragmatis
oleh Lekra dengan mengadopsi paham Realisme Sosialis internasional, sebenarnya
Sudjojono telah mengawali konsepsi ini dengan kredo: ”kembali ke realisme”:
sebuah lukisan harus dimengerti oleh masyarakat luas. Dalam pandangan ini, baik
makna maupun nilai seni hanya bisa dipahami dengan cara menempatkannya ke dalam
situasi sosial yang memproduksinya. Dalam kerangka ini, tidak sedikit pengamat
seni yang menilai bahwa karya seni merefleksikan nilai (selera) kelas yang
dominan dan seni digunakan sebagai alat perjuangan untuk melawan dominasi
tersebut. Apabila sistem nilai ”Formalisme” adalah intrinsik, letak
keberhasilan seni di paham kedua ini berada pada kualitas ekstrinsiknya.
Sejarawan Marxis Nicos Hadjinicolaou, misalnya, mengatakan, ”… mulai sekarang
pertanyaan idealis ’apa itu keindahan’ atau ’mengapa karya itu indah’ harus
diganti dengan pertanyaan materialis, ’oleh siapa, kapan, dan dalam kepentingan
apa sebuah karya itu disebut indah’.” Karena itu, mereka yang bekerja di
koridor ini lazim disebut ”pekerja seni” (art workers) ketimbang ”seniman”
(artists).
Ciri dan gaya. Setelah seorang
pelukis mencipta seni selama, katakanlah, lebih dari 40 tahun, tentu saja kita
bisa menilai apa dan bagaimana ciri dan gaya lukisannya, patungnya, keramiknya,
atau grafisnya. Semua itu akhirnya bertalian dengan identitas (istilah Oesman
Effendi pada 1969: ”capnya”), maka apa dan bagaimana identitas seorang seniman
itu terbentuk? Siapa yang membentuk? Sejarawan seni, kritikus, atau masyarakat
umum? Jika kita kembali pada dua kubu
tadi, sekurangnya, pembentukan identitas seorang seniman itu sebenarnya bisa
diperkirakan. Pada yang pertama identitas seorang seniman hanya dan hanya jika
terjadi dari performanya sendiri. Seniman modern membentuk dirinya sendiri. Ia
adalah pusat dari daya pembentukan tersebut: independen, otonom. Karya-karyanya
bukanlah karya anonim sebagaimana paradigma komunalisme-tradisionalisme.
Kemodernan mencabut seni dari integrasinya dengan kehidupan, agama, dan budaya.
Seniman modern menandatangani karyanya sebagai bukti otentik dan eksistensi
dirinya. Pada kubu kedua, seniman ”dibentuk dan membentuk” (bersama-sama) nilai
instrumental apakah itu moral, spiritual, atau kondisi sosial sekitarnya.
Kini kita cermati bagaimana, secara
intrinsik, ”identitas” tersebut dipahami. Contoh kasus: Sudjojono. (1) Tanda
tangan, S Sudjojono acapkali membubuhkan 2-4 sekaligus tanda tangan di satu
lukisan. Ia memiliki dua macam tanda tangan: menuliskan namanya, S Sudjojono,
dan SS.101/kota/titimangsa, misal SS.101/Jak(arta)/1978. (2) Narasi, S Sudjojono
acapkali menuliskan penggalan narasi dalam lukisannya.
Narasi tersebut tidak selamanya
berhubungan dengan apa yang ia lukiskan. Salah satu lukisan buket bunga mawar
yang ia lukis, misalnya, malah dibubuhkan pandangannya terhadap situasi
politik. Dari sini, dan diperkuat koleksi sketsa-sketsanya, kita tidak hanya
bisa mempelajari ”cara S Sudjojono menulis” atau ”merangkai kalimat”, tetapi
juga menganalisis ”cara dia berpikir dan mengungkap kepribadiannya”. (3) Kredo,
setiap seniman umumnya memiliki kredo yang layak dijadikan dasar pijakan guna
memahami karya ciptaan ataupun pemikirannya. Kredo ini sering kali
diimplementasikan dalam sikap dia berkarya. Salah satu kredo S Sudjojono:
”Kebenaran nomor satu, baru kebagusan”. Implementasi kredo ini terlihat dari cara
S Sudjojono menghampiri detail obyek yang ia lukis. (4) Analisis formal, kajian
tentang ukuran, sapuan kuas (brush stroke), tekstur, warna
(komplementer/kontras), garis kontur (tebal/tipis), garis
(horizontal/vertikal/sirkular), medium (tinta/cat minyak), komposisi
(simetris/diagonal), cahaya (kontras/gradasi/alamiah), bentuk, ruang, dan
sebagainya.
Pada lukisan S Sudjojono yang
cenderung menghadirkan ”kedalaman”, penting diperhatikan aspek-aspek yang
ditimbulkan: overlapping, foreshortening, contour hatching, shading/modeling,
relative position from the ground, dan perspectives. (5) Subject matter dan
content, misalnya figur, alam benda, romantisme/revolusi, komentar sosial,
rekaman keseharian, religi, lanskap, dan fantasi merupakan kecenderungan pokok
dalam lukisan-lukisan S Sudjojono. Tidak seperti Affandi yang berulang kali
melukis adu ayam jago atau Popo Iskandar dengan kucing, S Sudjojono nyaris
tidak pernah menghampiri tema-tema seperti itu. (6) Dan ragam analisis
lainnya.
Metode . Sebagaimana dikatakan bahwa orisinalitas,
otentisitas, dan otonomi merupakan trinitas dalam modernisme. Ketiganya bukan
hanya kebutuhan, melainkan menjadi syarat mutlak dan tuntutan. Dalam seni,
seorang seniman dituntut menemukan kebaruan, inovasi dalam ide, dan teknik media.
Modernisme juga mementingkan otentisitas dan orisinalitas. Jadi, pengujian akan
keaslian suatu lukisan adalah kebutuhan atau hasrat manusia modern. Celakanya,
kemodernan di Indonesia sesungguhnya belum berlangsung. Ini terbukti dengan
lemahnya infrastruktur sosial dan termasuk seni rupa di dalamnya—salah satunya
pemanfaatan teknologi (laboratorium seni). Untuk kasus lukisan palsu—seperti
yang sudah banyak disinggung oleh sejumlah pengamat—pemeriksaan keasliannya
bisa dilakukan dengan uji laboratorium dan berdasarkan fakta- fakta sejarah.
Dalam situsnya, laboratorium Museo
d’Arte e Scienza di Italia dengan gamblang menerangkan bagaimana pemeriksaan
otentisitas lukisan bisa dilakukan. Diterangkan bahwa pendekatan yang berbeda
untuk menentukan keaslian lukisan bisa dihampiri dengan memeriksa keaslian
melalui evaluasi murni gaya, memeriksa keaslian lukisan dengan cara mengetes
usia material, dan memeriksa keaslian lukisan dengan menggunakan metode
instrumental ilmiah. Laboratorium ini menganalisis lukisan dengan memanfaatkan,
antara lain, infrared reflectography, wood's light, a stereoscopic microscope,
dan IR spectroscopy. Analisis mikroskopik, misalnya, digunakan untuk memeriksa
tanda-tanda penuaan pada lapisan cat dan sifatnya (alam atau buatan), pigmen (kristalinitas,
kemurnian, dan ukuran). Sementara analisis IR spectroscopy memungkinkan kita
menganalisis berbagai bahan untuk memastikan kompatibilitasnya dengan periode
sejarah.
Sementara analisis sejarah (faktor
ekstrinsik) menekankan inventarisasi bukti-bukti historis berupa ingatan
individu/komunal, catatan-catatan, dan sebagainya. Misalnya, ditemukan sejumlah
bukti bahwa pada masa menjelang kedaulatan 1949, Indonesia terisolasi dari
dunia luar. Pendeknya, lukisan dikerjakan di atas kain belacu dan kertas. Satu
tube cat digunakan secara bergantian oleh seniman lain. Ukuran kanvas pada masa
ini relatif kecil—kalaupun terdapat kanvas berukuran besar, kita akan mudah
melihat adanya sambungan (jahitan). Bukti ini kita temukan pada lukisan ”Sekko”
(S Sudjojono) dan ”Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (Affandi) yang dilukis pada
masa-masa itu.
Keduanya, baik sarana laboratorium
maupun penulisan sejarah seni rupa Indonesia, masih sama-sama lemah. Perlu
kiranya dukungan yang serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun
swasta, guna mendirikan institusi seni rupa yang mampu menjernihkan
permasalahan dalam seni rupa Indonesia. Tanpa dukungan yang nyata, sebagai aset
penting bagi identitas bangsa, seni rupa kita akan lenyap ditelan zaman dan
kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, benda-benda seni rupa
kita akan berhenti sebagai benda ”bersejarah yang sia-sia”.
Aminudin TH Siregar Dosen Seni
Rupa ITB
Tulisan ini pernah disampaikan dalam
sarasehan ”Menyikapi Maraknya Lukisan Palsu di Era Ekonomi Kreatif”, Galeri
Nasional Indonesia, 26 Juli 2012.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar