Diceritakan kembali
oleh Sita
Seni Budaya Nusantara-Sabtu, 10 Mei 2014-11:15 WIB - Rambun Pamenan dan
kakaknya, Reno Pinang, bagaikan sepasang anak balam (burung tekukur), laki-laki dan perempuan. Sewaktu Rambun dan Reno masih kecil, ayah
mereka meninggal. Ibu mereka, Lindung
Bulan, sangat terkenal kecantikannya. Banyak
orang yang melamar Lindung Bulan setelah kematian suaminya. Akan tetapi, dia lebih senang tetap menjanda
daripada anak-anaknya berayah tiri.
Kecantikan Lindung Bulan didengar oleh Rajo Angek
Garang, penguasa negeri Terusan Cermin.
Raja ini terkenal garang
(kejam), seperti namanya. Dia ingin
memperistri Lindung Bulan. Oleh karena
itu, diperintahkannya hulu balang (prajurit
pengawal) yang dipimpin oleh Palimo Tadung menjemput Lindung Bulan. Jika menolak dibawa dengan baik-baik, Lindung
Bulan harus dibawa dengan paksa.
Menurut pencerita,
Lindung Bulan diculik dari rumahnya dan dibawa terbang dengan “burak” (semacam
kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad) ke
istana Rajo Angek Garang.
Karena menolak menikah dengan raja itu, Lindung
bulan dimasukkan ke penjara. Bertahun-tahun
Lindung Bulan dikurung dalam penjara tanpa kabar berita. Rambun dan Reno pun tumbuh menjadi remaja
yatim piatu.
Pada suatu hari, Rambun pergi untuk mencari balam.
Tiba-tiba dia bertemu dengan seorang pemburu yang sedang berteduh di
balik semak belukar. Namanya Aang
Bangkeh. Setelah berbincang-bincang,
pemburu itu mengetahui bahwa Rambun adalah anak Lindung Bulan. Kemudian, Alang Bangkeh menceritakan keadaan Lindung Bulan yang telah bertahun-tahun
ditawan oleh Rajo Angek Garang. Alang
Bangkeh mengetahui keadaan Lindung Bulan karena ia sering berkelana menjelajahi
berbagai negeri.
Sejak hari itu, Rambun sering termenung dan sering meradang (marah-marah). Kakaknya menjadi bingung dan akhirnya ia
bertanya mengapa adiknya bertingkah seperti itu. Kemudian Rambun menceritakan apa yang
didengarnya dari Alang Bangkeh. Rambun sangat
menyesalkan tindakan kakaknya karena tidak memberitahu peristiwa yang menimpa
ibunya.
Akhirnya, Rambun memutuskan untuk pergi. Reno tidak mampu mencegahnya. Dia menyediakan perlengkapan untuk perjalanan
adiknya. Dengan perasaan sedih, dia
melepas Rambun pergi, sambil berkata,
“Aduhai, adikku Rambun Pamenan. Selama ini aku yang merawat dan
menjagamu. Bagaimana nanti jika kau
sendirian?”
“Memang aku masih muda, tetapi aku seorang
laki-laki. Kakak tidak perlu cemas,” jawab Rambun Pamenan menguatkan hati kakaknya.
Semua orang tahu bahwa negeri Terusan Cermin berada
di seberang hutan belantara. Akan tetapi,
tidak ada yang tahu di seberang hutan belantara yang mana negeri itu
berada. Meskipun demikian, tekad Rambun
telah bulat untuk membebaskan ibunya. Kakaknya
sering berkata bahwa setiap cita-cita yang luhur, bagaimanapun sukarnya, akan
dapat diraih dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Kata-kata itulah yang selalu menjadi
pegangannya. Doa Reno pun menyertai
perjalanan Rambun.
Menurut pencerita,
doa Reno dikabulkan. Sewaktu Rambun
jatuh sakit di dalam hutan belantara karena lapar dan lelah, Reno seperti
mengirimkan ramuan penangkal lapar seperti sebungkus nasi dan sebutir telur
rebus. Ramuan itu dibawa oleh balam
berwarna tembaga, mainan kesayangan Rambun.
Kejadian itu berlangsung beberapa kali sampai
Rambun tiba di sebuah ladang di tepi hutan.
Rambun menumpang pada orang tua pemilik ladang. Rambun ingin memulihkan badannya yang sangat
letih setelah melewati hutan belantara. Akan
tetapi, ia juga ikut berladang. Rambun bekerja
keras di ladang itu sehingga pemilik ladang kagum kepadanya. Malamnya, ketika menghangatkan badan dekat
api unggun sambil membakar ubi, peladang itu bertanya,
“Kau masih muda, mengapa sampai ke sini?”
Rambun kemudian menceritakan maksud dan tujuannya
berkelana. Ia juga menceritakan
pengalamannya saat menempuh hutan belantara.
Setelah mendengar cerita Rambun, orang tua itu memberi tahu bahwa Rambun
telah menempuh hutan yang salah. Ia berkata
kepada Rambun,
“Seharusnya kau menempuh hutan sebelah barat,
nak. Akan tetapi tak apalah. Tuhan yang menghendaki supaya kita bertemu.”
Keesokan hrinya, Rambun tetap bekerja seperti
biasa. Ia belum berkeinginan untuk
meninggalkan ladang itu meskipun telah dipersilahkan oleh si pemilik
ladang. Tidak sia-sia Rambun tinggal di
sana. Ubi dan jagung yang ditanamnya dapat dipanen. Tanah digemburnya untuk ditanami lagi. Setelah itu, barulah dia pamit. Peladang tua itu memberi Rambun sebatang
tongkat. Katanya, “Gunakanlah dalam perjalanan. Namanya tongkat Manau Sungsang. Tongkat ini akan berguna nanti.”
Rambun kemudian jalan melintasi hutan belantara
yang ditunjukkan peladang tua itu. Tongkat
tua itu juga dibawanya. Setelah lama dia
berjalan, tiba-tiba dilihatnya seekor ular besar sedang melilit orang. Pada awalnya ia merasa takut. Namun akhirnya Rambun memukul kepala ular itu
sekuat tenaga dengan tongkatnya sehingga lilitannya lepas. Ular itu pun mati seketika. Ternyata orang itu adalah seorang perimba (orang yang mencari nafkah di
hutan) yang tertidur ketika ular itu datang melilit tubuhnya.
Menurut pencerita,
perimba itu bagaikan burung garuda dan menerbangkan Rambun ke negeri Terusan
Cermin tempat Rajo Angek Garang berkuasa. Perjalanan yang sangat jauh
ditempuhnya dalam sekejap mata. Rambun diturunkan di tepi dusun.
Rambun merasa sangat lapar ketika tiba di dusun
itu. Didatanginya sebuah lepau (kedai nasi). Tak ada orang lain di tempat itu selain
seorang wanita pemilik lepau. Dia sedang
bernyanyi mengisi waktu. Setelah masuk
ke lepau itu, Rambun berkata,
“Ibu, aku lapar sekali, tetapi aku tidak mempunyai
uang. Berilah aku pekerjaan apa saja
untuk pembayar nasi.”
Karena iba, wanita itu memberi makanan dengan Cuma-Cuma. Untuk membalas kebaikannya, Rambun bekerja di
lepau itu. Tidak henti-hentinya Rambun
bekerja keras untuk pemilik lepau itu. Ia
menyediakan kayu bakar dan memperbaiki bagian-bagian rumah yang sudah
rusak. Oleh karena itu, suami-istri
pemilik lepau mengaguminya.
Pada waktu luang dikunjunginya negeri Rajo Angek
Garang. Ia mempelajari seluk beluk
negeri itu untuk mengetahui di mana ibunya di tahan.
Akhirnya, semua pekerjaannya selesai dan Rambun
meminta izin kepada suami-istri pemilik lepau. Hati kedua suami-istri pemilik
lepau merasa sedih berpisah dengan Rambun.
Mereka memberi Rambun sepasan baju untuk mengganti baju Rambun yang
telah usang dan robek.
Setelah sampai di negeri Terusan Cermin, Rambun
segera mencari penjara tempat ibunya ditahan.
Tujuh orang hulubalang berjaga-jaga di sana. Rambun berkata kepada salah satu di antaranya
bahwa dia ingin menemui wanita yang ditawan dalam penjara itu. Hulubalang itu tertawa terbahak-bahak. Dipanggilnya teman-temannya dan berkata,
“Hai, kawan-kawan.
Lihat, anak kecil ini mau membuat masalah.”
Seorang hulubalang mengangkat Rambun. Ia melemparkannya ke temannya yang lain. Selanjutnya, Rambun dipermainkan oleh
mereka. Setelah letih, mereka melempar
Rambun ke tanah dan kemudian ditendangi.
Setelah tak kuasa menahan kesabarannya, Rambun memukulkan tongkat Manau
Sungsang sehingga mereka lari tunggang langgang, kesakitan. Saat itulah Rambun baru mengetahui kalau
tongkat Manau Sungsang adalah sebuah tongkat sakti.
Melihat anak buahnya tak berdaya, Palimo Tadung
datang dengan marah. Ketika Palimo
Tadung mencabut pedangnya, Rambun mendahului memukulkan tongkatnya. Pukulan Rambun tepat mengenai kepala Palimo
Tadung sehingga tewas saat itu juga.
Peristiwa itu disampaikan hulubalang kepada Rajo
Angek Garang. Raja Angek Garang menjadi
sangat marah bukan kepalang. Ia mencabut
pedangnya dan menusukkannya ke salah seorang hulubalang hingga tewas. Hulubalang yang lain lari tunggang langgang
Dengan pedang berdarah masih terhunus, Rajo Angek
Garang menyerbu Rambun. Raja itu sangat
marah. Ayunan dan tusukan pedangnya
menyambar-nyambar. Ketika Rambun
memukulkan tongkatnya, ternyata kesaktian tongkat itu tidak mempan. Raja terus
menyerang. Rambun berpikir bahwa kesaktian
lawannya tentu pada pedangnya. Oleh karena
itu, ketika Rajo Angek Garang mengangkat tongkatnya tinggi-tingi, Rambun
melompat dan memukul pedang itu. Pedang itu
terlepas dari tangan Rajo Angek Garang. Saat
itu juga, Rambun memukul kepala Rajo Angek Garang hingga jatuh dan tewas.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu
bersorak gembira. Rajo Angek Garang yang
kejam itu telah mati. Rambun
memerintahkan mereka membuka penjara dan membebaskan semua tawanan. Rambun pun masuk ke dalam penjara. Ditemuinya ibunya Lindung Bulan terikat pada
rantai. Badannya kurus dengan mata
cekung. Keadaanya sangat berbeda jauh
dengan cerita Reno Pinang yang mengatakan bahwa ibunya sangat cantik. Rambun memeluk ibunya dengan erat. Sambil menangis, dia mengatakan bahwa dialah
RambunPamenan, si bungsu yang diringgal ketika masih bayi. Keduanya berangkulan dan menangis karena haru
bercampur bahagia.
Menurut cerita,
setelah Rajo Angek Garang mati, rakyat negeri itu meminta Rambun untuk menjadi
raja. Akan tetapi, Rambun tidak bersedia
menjadi raja di negeri asing. Dia kemudian
membawa ibunya, Lindung Bulan, kembali ke kampung halamannya. Mereka pun berkumpul kembali dengan kakaknya,
Reno Pinang.
Pustaka:
A.A. Navis. Cerita Rakyat dari Sumatra Barat.
Grasindo-Jakarta 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar