Sebi Budaya Nusantara
Rabu, 02 Maret 2016 - 18:23 WIB
Rabu, 02 Maret 2016 - 18:23 WIB
"GUGURNYA SANG PANDITA DORNA"
Wayang Kulit Dorna |
10
|
Rikâҫwatthâmângambul atêhêr amuk ҫighra mapulih.
Ikang Dhrêshttadyumnâta kagêlengirâpan mamuguti.
Lawan sampay nyân minnddit i ҫirahira Iwir gutu-gutuk.
Nihan sang hyang Nârâyanna rêgê pên astrangkwa
lingnira.
|
10
|
Pada waktu itu Aswatama menjadi demikian marah. Ia
bersumpah untuk mengadakan serangan pembalasan terutama ditujukan kepada
Drestajumena yang telah memenggal kepala ayahnya, sang pendeta Dorna. Maka ia
pun mengamuk sejadi-jadinya sambil berkata mengumpat kepada Drestajumena:
“Lihatlah nanti, aku pasti akan membunuhmu Drestajumena dengan senjata
saktiku yang keramat, Narayana!”
|
11
|
Wawang lunghâng hrû sangka ri talini langkap
dwijasuta.
Rikan syuh sakwehing balaganna ri sang
Dharmmatanaya.
Asing manggêgwastrâ parawҫa gêseng de hyang Anala.
Ya tângde trâseng Pânnddawabala larut kapwa ya
luyuk.
|
11
|
Dengan cepat panah itu terlepas dari tali busur
Aswatama. Ketika itu banyak prajurit pasukan Pandawa pimpinan Yudistira
tewas. Siapapun yang bersenjata semuanya binasa, mati terbakar oleh api
keramat panah sakti Aswatama yang membuat semua prajurit Pandawa yang tersisa
menjadi kecut hatinya, ketakutan, dan tak bersemangat.
|
12
|
Rikâ sang ҫri Dharmmâtmaja mutus i sang Pârtha
malagâ.
Tuhun sang Yodhâ Phalguna sira tan anggâprang muwah.
Maҫabdanglampû matya malara ri lina dwijawara.
|
12
|
Melihat keadaan seperti itu, Yudistira anak dewa Dharma
memerintahkan kepada Arjuna bersama para prajurit tempurnya untuk segera
terjun ke medan perang untuk mengadakan serangan pembalasan terutama
menyerang Aswatama yang dengan senjata saktinya mengamuk dahsyat tak bisa
dikendalikan lagi. Akan tetapi Arjuna beserta para prajuritnya tak memiliki
semangat lagi untuk berperang. Ia berkata, bahwa ia lebih baik mati karena
teramat berduka setelah gurunya sang pendeta Dorna yang masyhur itu telah
gugur.
|
13
|
Apan manggêh pâpâmati guru wuwusning wwang angucap.
Ya kerang sang Pârthâpituwi lêwu sih dang hyang iri
ya.
Pira ng râjyâlpân dadya wacana gurudrohaka lêwês.
Lêhöng tâlunghângungsira wana wuwus Phalguna malök.
|
13
|
Pasti orang akan berkata: “Ia telah berdosa membunuh
seorang guru”. Dan itu sungguh memalukan Arjuna, apalagi jika diingat, bahwa
ia betapa sangat dicintai oleh Dorna. Semua negara tentu akan mencibir dan
menghinanya dengan mengatakan, ia sangat tidak jujur terhadap gurunya, “Lebih
baik saya pergi mencari tempat di hutan”.
|
14
|
Rikâ sang bimojar yya tiku ngarantâsêmu tinging.
Surut sangke dharmmanta rikang ulahing ksatriyakula.
Salingtân ҫânta ndâku juga lamaga ng Dronnatanaya.
Ujar sang Bhimân tandang amarawaҫâng Korawakula.
|
14
|
Demi melihat sikap Arjuna seperti itu, maka Bima
berkata kepada Adiknya itu: “Arjuna, jika kau masih bersikap seperti itu,
kau cengeng! Dan, itu berarti kau
telah mengingkari kewajibanmu sebagai seorang kesatria. Berdamailah dengan
Aswatama, dan biar aku sendiri saja yang akan menyerang membunuh Aswatama,
meski ia putera guru kita sang pendeta Dorna. Demikian kata-kata Bima seraya
bersiap-siap untuk menyerang pasukan Kurawa.
|
Pustaka :
Prof. Dr.
R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin
Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 02 Maret 2016 – 18:30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar