Rabu, 02 Maret 2016

KAKAWIN BHARATAYUDA PUPUH XX ( 10-14 )

Sebi Budaya Nusantara
Rabu, 02 Maret 2016 - 18:23 WIB 

"GUGURNYA SANG PANDITA DORNA"

Wayang Kulit Dorna


10
Rikâҫwatthâmângambul atêhêr amuk ҫighra mapulih.
Ikang Dhrêshttadyumnâta kagêlengirâpan mamuguti.
Lawan sampay nyân minnddit i ҫirahira Iwir gutu-gutuk.
Nihan sang hyang Nârâyanna rêgê pên astrangkwa lingnira.

10
Pada waktu itu Aswatama menjadi demikian marah. Ia bersumpah untuk mengadakan serangan pembalasan terutama ditujukan kepada Drestajumena yang telah memenggal kepala ayahnya, sang pendeta Dorna. Maka ia pun mengamuk sejadi-jadinya sambil berkata mengumpat kepada Drestajumena: “Lihatlah nanti, aku pasti akan membunuhmu Drestajumena dengan senjata saktiku yang keramat, Narayana!”

11
Wawang lunghâng hrû sangka ri talini langkap dwijasuta.
Rikan syuh sakwehing balaganna ri sang Dharmmatanaya.
Asing manggêgwastrâ parawҫa gêseng de hyang Anala.
Ya tângde trâseng Pânnddawabala larut kapwa ya luyuk.
11
Dengan cepat panah itu terlepas dari tali busur Aswatama. Ketika itu banyak prajurit pasukan Pandawa pimpinan Yudistira tewas. Siapapun yang bersenjata semuanya binasa, mati terbakar oleh api keramat panah sakti Aswatama yang membuat semua prajurit Pandawa yang tersisa menjadi kecut hatinya, ketakutan, dan tak bersemangat.
  
12
Rikâ sang ҫri Dharmmâtmaja mutus i sang Pârtha malagâ.
Tuhun sang Yodhâ Phalguna sira tan anggâprang muwah.
Maҫabdanglampû matya malara ri lina dwijawara.
12
Melihat keadaan seperti itu, Yudistira anak dewa Dharma memerintahkan kepada Arjuna bersama para prajurit tempurnya untuk segera terjun ke medan perang untuk mengadakan serangan pembalasan terutama menyerang Aswatama yang dengan senjata saktinya mengamuk dahsyat tak bisa dikendalikan lagi. Akan tetapi Arjuna beserta para prajuritnya tak memiliki semangat lagi untuk berperang. Ia berkata, bahwa ia lebih baik mati karena teramat berduka setelah gurunya sang pendeta Dorna yang masyhur itu telah gugur.
  
13
Apan manggêh pâpâmati guru wuwusning wwang angucap.
Ya kerang sang Pârthâpituwi lêwu sih dang hyang iri ya.
Pira ng râjyâlpân dadya wacana gurudrohaka lêwês.
Lêhöng tâlunghângungsira wana wuwus Phalguna malök.
13
Pasti orang akan berkata: “Ia telah berdosa membunuh seorang guru”. Dan itu sungguh memalukan Arjuna, apalagi jika diingat, bahwa ia betapa sangat dicintai oleh Dorna. Semua negara tentu akan mencibir dan menghinanya dengan mengatakan, ia sangat tidak jujur terhadap gurunya, “Lebih baik saya pergi mencari tempat di hutan”.

14
Rikâ sang bimojar yya tiku ngarantâsêmu tinging.
Surut sangke dharmmanta rikang ulahing ksatriyakula.
Salingtân ҫânta ndâku juga lamaga ng Dronnatanaya.
Ujar sang Bhimân tandang amarawaҫâng Korawakula.
14
Demi melihat sikap Arjuna seperti itu, maka Bima berkata kepada Adiknya itu: “Arjuna, jika kau masih bersikap seperti itu, kau  cengeng! Dan, itu berarti kau telah mengingkari kewajibanmu sebagai seorang kesatria. Berdamailah dengan Aswatama, dan biar aku sendiri saja yang akan menyerang membunuh Aswatama, meski ia putera guru kita sang pendeta Dorna. Demikian kata-kata Bima seraya bersiap-siap untuk menyerang pasukan Kurawa.

  


Pustaka :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968

Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 02 Maret 2016 – 18:30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar