Rabu, 30 Maret 2016

KAKAWIN BHARATAYUDA PUPUH XXIX (16–19) MATINYA DURSASANA

Blog Ki Slamet : Seni Budaya Nusantara
Rabu, 30 Maret 2016 - 20:10 WIB
 
BIMA BUNUH DURSASANA

KAKAWIN BHARATAYUDA
PUPUH XXIX ( 16 – 19 )
MATINYA DURSASANA

TRANSKRIPSI
TERJEMAHAN BEBAS
16
Payodâbâng dening rawi samanirâpan.
Gunung mumbul nghing tarkka ri sira atindakguragadda.
Têhêr munnddonnddekang ҫawa saha wuwus lwir gêrêh ahöm.
Harah mah rowangmu lingira dumuk ҫri Kurupati.
16
Mukanya yang penuh dengan darah itu bisa dinamakan dengan mega merah yang terkena sinar matahari. Bhima yang berjalan dengan angkuhnya bisa disamakan dengan gunung yang menjulang tinggi. Dia melempar-lempar mayat Dursasana ke atas seraya berucap kata seperti suara guruh: “inilah pembantumu, bah!” sambil melempar mayat Dursasana ke arah Suyudana.

17
Samangkâlahning Korawabala larut wrin-wrin atakut.
Tinût ginyat mwang Sûryyatanaya murud len para ratu.
Parêng lâwanlinnddû patêr anila lilângghana rêmêng.
Kêtug rêm-rêm tejâguling awênês ing dik saha tatut.

17
Tentara Kurawa menderita kekalahan. Mereka melarikan diri dengan hati yang kecut ketakutan, dikejar-kejar dan didesak mmundur, sedangkan Karna, putra dewa Surya bersama dengan raja-raja lainnya juga turut mundur. Peristiwa ini berbarengan dengan terjadinya gempa bumi, guruh  menggelegar bersambungan disertai menggumpalnya mega hitam sehingga sinar Surya terhalang dan angkasa menjadi gelap remang-remang.

18
Umundur Pârtha mwang rathanira mareng Dharmmatanaya.
Lawan Bhimaprâptâddarat aguyu sahyâҫrama gadâ.
Sinungsung de ҫri Dharmmasuta ring ujar sasmita rêsêp.
Sênâhâkweh sâmpun sumaji panginum wwai saha phala.

18
Arjuna dengan keretanya mendekati tempat Yudhistira. Sedangkan Bhima melangkah dengan gagahnya sambil tertawa-tawa memainkan dan memutar-mutar, melempar-lemparkan gadanya dengan indahnya. Mereka disambut oleh Yudhistira dengan tegur sapa dan senyuman yang manis dan ramah. Mereka disambut dengan segala persiapan yang matang diantaranya penyajian minuman dan buah-buahan.

19
Rikâ nyagrodâgöng kahananira wâhwângucap-ucap.
Tuminghal ring pekâҫwa murud akweh wijah angöb.
Sang aprang warnnâgya silih ayun angel jrih kapanasan.
Kêlabning têngran manglurugi tinenger mwang layu-layu.
19
Mereka mengambil posisi tepat di bawah pohon beringin besar dan rimbun. Di sana mereka bercakap-cakap sambil melihat para prajurit baik prajurit maupun prajurit gajah yang telah kembali dengan jumlah yang besar penuh dengan perasaan riang gembira. Mereka yang telah selesai menunaikan tugas di medan pertempuran dengan mendapatkan kemenangan nampak berebutan  untuk berjalan di depan. Hal tersebut dilakukan dalam upayanya menghindari teriknya sinar matahari. Mereka mengarahkan pandangannya ke arah bendera yang sedang melambai-lambai sebagai pedoman. Sedangkan mata mereka diarahakan pada bendera kecil milik mereka masing-masing.



Pustaka :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968

Bumi Pangarakan, Bogor
rabu, 30 Maret 2016 – 19:46 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar