Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Kamis, 24 Oktober 2019 - 02.47 WIB
Kamis, 24 Oktober 2019 - 02.47 WIB
Kepergian Mara dan adiknya diiringi ratap
tangis isi istana. Ayahnya sangat murka kepada putrinya. Karena dia, istana menjadi goncang. Putra mahkotanya
pun terpaksa keluar dari istana karena terlalu sayang kepada adiknya. Sementara
permaisuri raja tidak dapat berbuat apa-apa. Kemurkaan raja untuk mengusir
kedua anaknya tidak dapat dibendung :
“Hai
anak durhaka, tak tahu diri kalian!” kata Maharaja.
“Tahukah,
bahwa kelahiran kalian berdua telah membawa malapetaka istana?!. Pergilah
kalian jangan tunggu lama-lama lagi.” tambah Maharaja.
Sungguh Maharaja tak menyadari jika ia
sesungguhnya telah diperdaya oleh ahli nujum. Sesungguhnya permaisuri tidak
percaya dengan apa yang dikatakan ahli nujum. Hanya jika itu disampaikan kepada
Maharaja Indra Angkasa, ia pasti tak akan dipercaya. Kemurkaan raja tentu bisa
berbalik kepadanya.
Dalam keadaan kalut seperti itu, ibunda
sempat memberikan sebentuk cincin. Mara merasa keberatan untuk menerimanya :
“Ibunda,
tak usahlah memberi kami cincin. Itu tak ada manfaatnya bagi kami, itu malah
justru akan merusak hati kami saja nanti.”
“Ah,
anakku Mara dan kau Nila, janganlah kau tampik cincin pemberian bunda ini.
bunda memberikan cincin ini sebagai tanda kasih sayang bunda pada kalian
berdua. Bunda tak dapat memberikan apa-apa selain cincin ini.”
“Sesungguhnya
bunda tak sampai hati membiarkan ananda berdua pergi meninggalkan istana ini.
tetapi semuanya itu sudah menjadi keputusan ayahandamu sebagai raja yang tak
bisa ditolak dan harus dilaksanakan.”
Karena dilanda perasaan sedih yang mendalam,
permaisuri pun pingsan. Ia tak sampai hati berpisah dengan kedua anaknya yang
sangat dikasihinya itu :
“Bunda
sayang, janganlah diperturutkan rasa pilu itu, jika diketahui oleh ayahanda,
pastilah ayahanda akan murka kepada ibunda. Doakan saja agar kami berdua selalu
dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.”
Ibunda permaisuri mencoba menyembunyikan
kepedihan hatinya. Dihapusnya air matanya yang masih menetes di pipinya. Dengan
suara dan bibir bergetar ia berpesan kepada kedua anaknya, Mara dan Nila :
“Anada
Mara, ibu berpesan kepadamu, jagalah dan bawalah adikmu kemana pun kau pergi.
Keselamatan adikmu Nila bunda percayakan kepadamu, Mara! Dan kau Nila,
hati-hatilah, kau patuhilah kakakmu. Berdoalah selalu kepada Tuhan, bunda akan
selalu berdoa untuk kalian, semoga kalian tetap selamat dalam perlindungan
Tuhan Yang Maha Esa.”
Dengan penuh keteguhan hati, berangkatlah
Mara dan adiknya menuju tempat pembuangan. Mereka diantar oleh rombongan sampai
ke perbatasan. Di perbatasan itu mereka berpisah dengan para rombongan
pengantar. Mara dan Nila melanjutkan perjalanannya jauh masuk ke hutan.
Rombongan kembali ke istana.
“Kak
Mara, kemana kita akan pergi?” tanya Nila kepada kakaknya.
“Rasa-rasanya
kita sudah jauh berjalan, tapi tak ada tempat yang kita tuju?”
“Adikku,
Nila! Memang tak ada tempat yang kita tuju di hutan ini, dan kita berjalan
hanya menuruti kemana kaki melangkah. Aku pun bingung, tapi yang jelas, kita
harus mencari tempat yang aman untuk berteduh.”
“Mengapa
ya kak, kita dibuang oleh orang tua kita, apa salah kita?”
Rupa-rupanya Nila tidak tahu sebab ia dan
kakaknya diusir dari istana.
“Sudahlah
adikku, jangan kau prtanyakan lagi akan hal itu. Biarkanlah semua itu kita
serahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jawab Mara.
Sudah cukup lama merka berjalan masuk ke
dalam hutan.
“Kak
Mara, kita beristirahat dahulu. Aku sudah lelah dan lapar,” kata Nila.
“Baiklah
adikku, kita cari tempat yang aman,” jawab Mara, seraya kepalanya menoleh ke kiri
dan ke kanan mencari tempat yang dirasa cukup aman. Setelah mendatkan tempat
yang dicarinya, mereka pun beristirahatlah dan mengeluarkan bekalnya untuk
makan. Karena kelelahan dan kekenyangan kedua kakak beradik itu tertidur pulas.
Sejak kepergian Mara dan Nila kerajaan Puspa
Sari terlihat sepi. Seperti tak ada sinar dan semangat di dalam istana itu.
Seluruh penduduk negeri bermuram durja. Bagaikan negeri kalah perang.
Sementara bunda permaisuri di dalam istana
merasakan rindu yang demikian besar kepada kedua anaknya. Hatinya begitu sangat
mengkhawatirkan keselamatan mereka :
“Ya Tuhan, lindungilah kedua anak-anakku,
dimanakah kau berada, nak? Ibunda sangatmerindukanmu!”
Demikian doa seorang ibu kepada anak-anaknya
yang jauh darinya yang diusir dari istanya hanya karena ayahnya percaya kepada
ramalan nujum yang konon akan mendatangkan petaka kerajaan Puspa Sari. Padahal
itu hanyalah siasat seorang raja yang merasa dengki dengan kemajuan kerajaan
Puspa Sari.
Pada suatu hari negeri Puspa Sari menjadi
kacau-balau. Kebakaran besar terjadi. Seluruh isi negeri habis terbakar. Rakyat
lari kucar-kacir. Mereka hanya sempat membawa sebagian kecil harta bendanya.
Seluruh rumah penduduk terbakar. Tanaman dan hewan peliharaan musnah. Entah apa
sebabnya. Pendek kata seakan-akan alam murka kepada Sang Maharaja. Akhirnya,
mereka hidup seperti sedia kala. Dan, mereka merasa menyesal dan menyadari
kesalahannya :
“Akh,
aku menyesal dengan apa yang telah kuperbuat dengan kedua anakku, Mara dan
Nila, padahal keduanya adalah anak yang berbakti dan patuh kepada orang tua.
Mengapa aku begitu mudah percaya dan terhasut oleh ramalan dan nujum yang
agamaku justru melarangnya.”
“Tak
kusanggka ternyata ada orang yang dengki kepadaku. Mereka berhasil sudah
menghancurkan negeri dan kehidupan keluargaku.” Demikian kata
Maharaja Puspa Sari mengungkapkan penyesalannya dengan apa yang telah dilakukan
kepada kedua anaknya.
Sementara sang permaisuri pun mengungkapkan
rasa kecewa dan keluh kesahnya kepada suaminya :
“Entahlah
kanda, aku pun sudah tak bisa menangis lagi. Kering sudah rasanya air mata ini.
tak mampu lagi untuk menangis. Rasa-rasanya dinda ingin menyusul mereka.
Tetapi, tak tahu di mana mereka berada? Semoga saja mereka selamat!”
“Sudahlah,
kau jangan bersedih terus. Itu nanti akan merusak dirimu. Aku pun pilu jika
teringat mereka. Tapi apa yang dapat kita perbuat. Nasi sudah menjadi bubur,” tukas sang Maharaja.
Perjalanan sudah berhari-hari. Dari satu tempat
ke tempat yang lain. Pada suatu hari Mara dan adiknya sudah mulai terlena
dengan alam sekitarnya yang sudah mulai petang. Berkatalah Nila kepada kakaknya
:
“Kak
Mara, hari sudah mulai petang. Di mana kita bermalam. Di hutan seperti ini aku
takut,” kata
Nila.
“Akh,
tak usah takut. Kita cari tempat yang aman, sebelum ini kita kan, juga tinggal
di hutan.”
“Iya,
tapi tidak seperti sekarang ini. dulu kita tinggal di hutan di pinggir kampung.
Kita masih mungkin berkunjung ke kampung untuk menjual kayu. Tapi sekarang, aku
tak tahu hutan apa dan di mana ini,” kata nila.
“Sudahlah,
jangan kau pikirkan lagi itu. Apabila sudah malam kakak akan menjagamu.”
Waktu berputar terus. Siang berganti malam,
dan malam pun kembali berganti siang. Entah sudah berapa hari Mara dan adiknya,
Nila berada di dalam hutan. Bekal makanan yang mereka bawa sudah habis. Nila
sudah merasa lapar kembali. maka berkatalah ia kepada kakaknya, Mara :
“Kak
Mara, perutku lapar sekali, aku sudah tak kuat lagi berjalan.”
“Sabarlah,
adikku! Aku akan mencari makanan untuk kita.”
Setelah berkeling berjalan kian-kemari,
didapatnyalah umbut rotan. Betapa senang hati Mara. Umbut itu lalu diberikan
kepada adiknya. Bukan main senangnya hati Nila lalu mereka berdua memakan umbut
rotan itu. Kekuatan untuk kembali berjalan pun kini timbul kembali. Mara dan
Nila melanjutkan perjalanannya. Berjalan terus masuk ke dalam hutan tanpa
tujuan yang pasti. Setelah lama berjalan sampailah mereka di sebuah tempat yang
indah.
Di tempat itu, Mara dan Nila berjumpa dengan
makhluk bangsa jin dan dewa. Setiap kali jin dan dewa datang, Mara selalu
menyembunyikan adiknya. Ia takut jika adiknya akan diambil oleh jin atau dewa.
Dengan kesaktian yang diperoleh, Mara dan adiknya tiba di bukit yang
berjantera, yaitu tempat dewa-dewa.
Nila yang disembunyikan kakaknya berkata :
“Kak
Mara, keluarkan aku. Aku ingin melihat alam bebas di tempat ini.”
“Jangan
adikku, tempat ini berbahaya bagimu.”
Nila tidak membantah demi keselamatannya.
Berhari-hari mereka di sana. Makanan pun dengan mudah mereka dapatkan. Di ujung
tempat itu mereka melihat ada sebuah pohon besar. Tak jauh dari sana ada air
mancur. Air mancur itu begitu sejuk keluar dari bukit yang ada di sekitar
tempat itu. Mara dan adiknya memanfaatkannya untuk mandi.
Tiba-tiba melayang seekor burung di atas
kepalanya. Nila meminta kakaknya untuk menangkap burung itu :
“Kak
Mara, tangkaplah burung itu untuk aku, kak! Bulunya bagus sekali. Aku amat
menyukainya.”
Mara amat sayang kepada adiknya, maka ia
mencoba menangkap burung itu, tetapi selalu gagal. Burung itu justru menggoda.
Berkali-kali burung itu terbang rendah, dan pada akhirnya ia dapat ditangkap.
Mara lalu memberikan burung itu kepada adiknya yang menerimanya dengan senang
seraya berkata :
“Kak
Mara, potong saja burung ini lalu dibakar untuk santapan kita!”
“Sabarlah
dulu, adikku!”
Mara mendengar sayup-sayup suara kokok ayam.
Rupanya hutan tempat mereka bermalam tidak jauh dari sebuah kampung. Spontan
dia pun berkata kepada adiknya :
“Nila,
tinggallah kau di sini! Kakak akan mencari api dan sedikit nasi untukmu. Selama
kakak pergi kau jangan kemana-mana. Tunggu kakak kembali!”
“Baiklah,
kak! Aku akan tetap di sini menanti kak Mara kembali pulang.”
Mara meninggalkan adiknya. Di perjalanan
timbul rasa was-was. Untuk kembali, sudah tanggung. Ia tiba di pinggir kampung.
Dilihatnya adasebuah kebun. Sayur dan buah dalam kebun itu tumbuh subur.
Dilihatnya ada yang punya kebun. Didekatinya orang itu dengan maksud meminta
api. Tapi apa yang terjadi? Mara justru dituduh pencuri oleh sang pemilik kebun
itu :
“Nah...,
rupanya engkau yang sering mencuri tanamanku. Sekarang kau tak dapat lari
lagi,” kata
orang itu kepada Mara.
“Aku
bukan pencuri. Bukan aku yang mencuri hasil kebunmu.”
“Ah,
kau jangan berbohong. Tanamanku sering hilang, pasti kau ambil. Sekarang kau
tertangkap, tak mau mengakui.”
Mara menjadi bingung dan sedih. Ia teringat
akan diknya yang ditinggal. Mara akhirnya dipuku sampai pingsan oleh orang
kampung itu.
Kalau mati, buang saja ia ke laut. biar
dimakan ikan hiu,” kata orang-orang kampung itu.
Kampung itu bernama kampung Parlinggan
Cahaya. Rupanya orang kampung itu betul-betul marah. Tanaman mereka selalu
dicuri orang. Tapi, sayang mereka salah duga. Dikiranya Maralah yang selama ini
mencuri tanaman nya. Mereka balas dendam. Mara dihajar sampai pingsan.
Mara diikat pada sebatang kayu dan dibuang
ke hutan. Rupanya sudah kehendak Tuhan, Mara terdampar di sebuah pantai.
Tersadar dari pingsannya. Mara mencoba untuk
bangun. Dirasakan badannya sakit. Rupanya hidung dan kepalanya luka karena
dipukul oleh orang kampung itu. Ia berusaha membersihkan lukanya yang
mengeluarkan darah.
Perasaannya mulai cemas dan gelisah. Ia
sedih dan khawatir kepada adiknya, si Nila. Ia mencoba berjalan untuk mencari
adiknya.
Negeri Palinggan Cahaya diperintah oleh
seorang raja bernama Puspa Indra. Raja itu mempunyai seorang putra mahkota
bernama Mangendra Sari. Permaisuri raja bernama Putri Manda Ratna. Pada suatu
hari Mangendra Sari bermohon izin kepada ayahnya untuk berburu :
“Ayahanda,
ananda ingin berburu, sudah lama rasanya hamba tidak berburu. Rasanya, hamba
rindu untuk makan daging burung,” tukas Mangendra seraya menyembah ayahnya.
Beberapa saat kemudian seperangkat keperluan
berburu pun dipersiapkan. Setelah lengkap, Perdana Menteri, pengawal, dan rombongan
lainnya ikut dalam perburuan itu. Setelah beberapa lama berjalan, rombongan
tiba di tempat perburuan. Mereka pun langsung melakukan perburuan, tetapi
sampai siang hari tak seekor pun binatang buruan yang lewat di hutan itu. Hal
ini membuat Mangendra Sari penasaran. Sementara cuaca saat itu dirasa begitu
panas. Maka bertanyalah Mangendra Sari kepada Perdana Menteri :
“Paman
Perdana Menteri, cuaca begitu panas, hamba merasa haus sekali. Dan, hamba
heran, kenapa tak ada satu pun hewan buruan yang lewat di hutan ini?”
“Entahlah,
tuanku! Ini tak seperti biasanya. Oh,ya! Hamba akan mencari air dulu.” Kata Perdana Menteri
seraya memerintahkan kepada anak buahnya membawakan air minum untuk sang putra
mahkota.
Perdana Menteri dan beberapa pengawal pergi
mencari air. Setelah sekian lama, mencari barulah Perdana Menteri dan beberapa
pengawal menemukan sebuah sendang kecil yang airnya begitu amat jernih. Dan di dekat sendang itulah Nila dan kakaknya
Mara, yang dihukum buang oleh ayahnya, Maharaja Indra Angkasa beristirahat. Sang
Perdana Menteri mencoba mendekati Nila yang sedang duduk beristirahat sambil
memakan umbut rotan. Perdana Menteri dan beberapa pengawalnya setengah tak
percaya jika di tengah hutan ada seorang putri yang begitu cantik jelita
sendirian ditengah hutan :
“Putri
siapakah dia berada di tengah belantara sendirian saja?” kata Perdana Menteri
dalam hatinya. “Apa mungkin ia seorang
diri saja berada di tengah belantara ini, siapakah yang tega meninggalkan putri
yang cantik jelita ini?”
Perdana Menteri mencoba mendekati Putri Nila
yang sedang duduk menunggu kakaknya, Mara yang sedang pergi ke kampung
seberang. Sementara burung bersayap
indah hasil tangkapan dari kakaknya itu masih berada digenggamannya. Setelah
dekat, Perdana Menteri pun menyapa putri Nila :
“Wahai
Tuan Putri yang cantik jelita, siapakah namamu, dan dari manakah asalmu, kenapa
Tuan Putri berada di tengah hutan seperti ini?” sapa Perdana Menteri kepada Putri Nila yang
seketika terkejut mendengarnya. Ia sungguh tak menyangka jika sudah ada orang
di dekatnya. Ia tetap diam tak menjawab pertanyaan sang Perdana Menteri. Hanya
matanya nanar menatap sang Perdana Menteri. Tiba-tiba dengan tak terasa air
matanya mengalir membasahi pipinya. Melihat ini, sang Perdana Mentri kembali ke
rombongan lalu menceritakan kepada para pengawalnya semua apa yang dilihat dan
dialaminya. Setelah melepaskan dahaganya, Mangendra minta diantar ke tempat
putri Nila berada.
Sesampai di tempat putri Nila berada, Mangendra
bukan main senangnya hati Mangendra. Ia melihat betapa cantiknya Putri Nila.
Mangendra lalu mendekati dan menyapanya.
Singkatlah cerita Mangendra sudah mengetahui
semua hal ikhwal sang putri. Mangendra pun membujuk Putri Nila agar mau diajaknya
pulang. Ia pun berkata kepada Perdana Menteri :
“Paman
Perdana Menteri, bawalah Tuan Putri ini pulang ke istana!” perintah Mangendra kepada Sang Perdana
Menteri.
Sesampai di istana dilaporkan semua apa yang
telah terjadi. Mendengar itu betapa suka cita hati sang Baginda dan sang
Permaisuri :
“Dimana
anak itu? Suruh ia masuk!” kata Baginda.
Setelah melihat putri Nila, alangkah
bahagianya hati baginda lalu dipanggilnya inang pengasuh :
“Inang,
persalinkanlah pakaian anakku ini dengan pakaian yang bagus dan perhiasan yang
indah . Kau rawatlah putriku ini dengan sebaik-baiknya, jangan bedakan dia
dengan Ananda Mangendra Sari!” Begitu pun sang Permaisuri berpesan kepada
inang pengasuh.
“Baik,
akan hamba jaga dan rawat ia dengan sebaik-baiknya. Apalagi ia anak yatim
piatu,” kata
inang pengasuh.
Bukan main suka cita hati Nila Kusuma, hidup
di dalam istana itu. Ia menjadi putri raja yang sangat disayangi. Tingkah
lakunya yang baik menambah suka bagi setiap orang yang melihatnya.
Gambar 3
Pesta perkawinan Mangendra Sari dengan Putri
Mayang Mengurai
Kedua pengantin duduk di pelaminan
Namanya diganti dengan nama Putri Mayang
Mengurai. Ke mana pun ia pergi selalu diikuti oleh inang pengasuh dan
dayang-dayang lainnya.
Pada suatu ketika Baginda Raja dan
Permaisurinya bermaksud memperistrikan putra mahkotanya, Mangendra. Maka dipanggilnyalah
Putri Mayang Terurai :
“Putriku
Mayang Mengurai,” Baginda Raja mulai berkata.
“Marilah
duduk di sini dekat ibunda, Ayahanda akan mengatakan sesuatu kepadamu. Ayahanda
berharap Ananda mau menerimanya.”
Baginda Raja pun menceritakan keinginannya
untuk memperistrikan Putranya Mangendra dengannya. Putri Mayang Mengurai nampak
tersenyum bahagia tanda ia amat senang dan menerima semuanya itu.
Pada hari yang telah ditentukan
dipersiapkanlah segala sesuatunya. Segala macam tabuhan, dan bunyi-bunyian
untuk memeriahkan pesta perkawinan selama tujuh hari, tujuh malam. Ia merasakan
kebahagiaan yang teramat sangat dipersunting oleh Mangendra putra mahkota. Akan
tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Ia teringat akan kakaknya Mara yang amat
disayanginya. Suaminya, Mangendra merasa bingung. Maka disampaikannyalah
masalah tersebut kepada ayah-bundanya. Putri Mayang Mengurai dipanggil dan
diminta untuk menceritakan apa gerangan yang terjadi. Putri Mayang Mengurai
menceritakannya dengan terus terang dari awal hingga akhir. Mendengar itu
pahamlah Baginda Raja lalu berkata :
“Jika
demikian halnya, baik kita cari di mana kakakmu Si Mara itu berada, dan Kakanda
sendiri yang akan memimpin pencarian itu.” Kata Mangendra Sari, suami Mayang Mengurai.
“Kanda,
bolehkah Adinda ikut dalam pencarian?” pinta Putri Mayang Mengurai kepada Suaminya.
“Tidak
Dinda, Dinda tidak boleh ikut, biarlah kakanda dan rombongan yang mencari.
Dinda menunggu saja di istana bersama Ayah dan Bunda.
Putri Mayang Mengurai pun mengurungkan
niatnya. Ia hanya mengantar suaminya dan rombongan pengawal sampai di
perbatasan negeri. Setelah suami dan rombongan tak kelihatan kembalilah ia ke
istana.
Untuk menambah semangat pencarian Baginda
Raja menjanjikan, “Bagi siapa saja yang menemukan Mara Karma akan dianugerahi
satu negeri.” Semua raja, perdana menteri, dan pengawal berkeliling mencari
Mara Karma. Tidak ada tempat yang tidak dilewati, gunung, rimba belantara, dan
gua menjadi tujuan. Tapi Mara Karma tidak juga ditemukan.
_________________________
Senin, 20 Oktober
2019
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar