Minggu, 20 Oktober 2019

Atika Sya'rani: MARA KARMA 2 "MAHARAJA INDRA ANGKASA"

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Minggu, 20 Oktober 2019 - 18.41 WIB


2. MAHARAJA INDRA ANGKASA

Selama tiga hari di rumah luka Ayah Mara sudah sembuh. Ayah sudah merasa tidak betah di rumah. Keinginannya untuk mencari kayu sudah mulai lagi. Walaupun persediaan kayu masih cukup, Ayah sudah bermaksud mencari kayu lagi.
“Mara, sudah siap?” tanya Ayah.
“Sudah Ayah,” jawab Mara.
“Kalau sudah siap, mari kita berangkat,” kata Ayah.
Parang, kapak, dan bekal dimasukkan Mara ke dalam keranjangnya. Ayahnya membawa keranjang dan bambu tempat air minum. Mereka akan mencari kayu agak jauh dari tempat biasanya. Mereka akan mencari lahan yang baru. Sudah diperkirakan pulangnya agak lebih sore.
Seperti biasanya, sambil menuju tempat tujuan, Mara dan Ayah memotong kayu bakar yang mereka temukan. Mereka tidak memotong kayu yang besar-besar. Mereka mencari kayu yang kecil-kecil saja. mereka tidak merusak lingkungan.
“Ayah, lihat itu sarang burung,” kata Mara.
“Itu sarang burung tampua,” jawab Ayah.
“Sarang burung itu tidak pernah rendah. Selalu tinggi,” tambah Ayah.
“Rupanya daerah ini daerah burung, ya, Yah. Kudengar banyak bunyi kicau burung. Aku senang di sini, Ayah,” kata Mara.
“Nah, itu sebabnya kita jangan menebang pohon sembarangan, kata Ayah. “Pohon itu tempat tinggal burung-burung itu. Tempat mereka membuat sarang. Buah pohon itu makanannya,” tambah Ayah. Sambil mendengar kicauan burung, Mara dan ayahnya terus mencari kayu. Kayu-kayu yang sudah dipotong mereka biarkan. Mereka melanjutkan perjalanan. Apabila diperjalanan mereka menemukan buah, itu kebetulan saja.
“Mara, di tempat yang banyak burung biasanya ada pohon buah-buahan. Lihat itu, burung kecil. Paruhnya panjang, warna bulunya merah dan indah. Itu namanya burung madu. Burung itu menghisap madu bunga. Tugasnya mulia. Ia bertugas sebagai penyebar serbuk sari. Dari penyerbukan itu, terjadi pembuahan. Ada burung yang pekerjaannya mematuk-matuk kayu. Itu namanya burung patuk kayu atau tokok kayu,” kata Ayah.
“Dalam hutan ini banyak sekali jenis burungnya,” tambah ayah.
“Kalau burung pipit tidak ada di sini, ya, Yah?” tanya Mara.
“Ada juga, tetapi tidak banyak. Burung pipit itu pemakan padi. Dia lebih banyak hidup di sekitar persawahan,” jelas Ayah.
”Di sini banyak burung pemakan buah atau bangkai,” tambah Ayah.
Hari sudah bertambah siang. Perut sudah terasa lapar. Haus pun sudah mulai terasa. Mara dan ayahnya beristirahat sebentar. Mereka menikmati bekal yang dibawa. Mereka mencari tempat yang ada airnya. Setelah makan mereka salat. Kewajiban itu tetap dilakukan di mana pun mereka berada. Sesudah melepas lelah, mereka melanjutkan perjalanannya.
Matahari sudah mulai condong ke barat. Kayu yang mereka cari sudah banyak.
“Mara, hari sudah sore. Mari kita pulang. Ayah rasa kayu sudah cukup banyak.”
“Baiklah, Ayah. Kita harus bergegas pulang. Kalau tidak, kita kemalaman nanti. Aku rasa perjalanan kita ini yang terlama.”
Keduanya pun pulanglah. Hari bertambah petang. Matahari di barat sudah memerah. Itu pertanda hari hampir senja. Sewaktu Mara dan ayahnya pergi mencari kayu, ibunya menggali ubi talas termasuk salah satu makanan utama mereka.
Sewaktu ibunya menggali ubi talas, ada sesuatu yang aneh. Tanah yang digali berongga di dalamnya, dan sebagian tanahnya lonsor.
“Ah, ada apa ini?” si Ibu bertanya dalam hati.
“Apakah ini lubang ular atau apa?” kata Ibu bercampur cemas.
Namun, ibu tetap menggalinya. Ibu harus berhati-hati, khawatir lubang ular. Kalau bukan, khawatir lubang lama yang sudah tertimbun. Timbunan itu pdat. Tanahnya dapat longsor. Bisa-bisa ia terperosok ke dalamnya.
Tak lama kemudian Ibu merasakan ada benda keras. “Apa pula ini, batu atau besi ?”
Penggalian itu diteruskannya. Lubang itu diperbesar. Dengan demikian, mudah ia mengetahui apa yang ada di dalamnya.
“Kendi...kendi siapa ini? apa mungkin ada orang yang menyimpannya? Atau batu berbentuk kendi?” pikir Ibu.
Bermacam-macam pikirannya. Setelah tergali tiga perempat bagian, terlihat bentuknya. Ibu mengangkat kendi itu ke permukaan. Namun, tidak kuat karena sebagian masih tertanam.
“Nila!”, panggil Ibu. “Kemari, tolong Ibu.”
“Ada apa, Bu?”
“Kemari sebentar, tolong angkat ini!”
Nila datang dengan berlari-lari. Dijumpainya ibunya yang sedang berusaha mengeluarkan sesuatu dari lubang. Setelah dekat baru terlihat benda yang sedang digali ibunya.
“Tolong Nila, kau pegang di sini; ibu akan menggali sebelah sini.” Tak lama kemudian, benda itu dengan mudah digoyang dan diangkat.
Setelah itu kendi digotong ke sumur. Kendi itu disikat dan dicuci bersih. Setelah hilang tanahnya, kendi itu dibawa ke dalam rumah. Mereka dengan senang menunggu kedatangan Mara dan Ayah.
Tak lama kemudian dari kejauhan terlihat mereeka pulang.
“Nah, itu mereka datang,” teriak Nila.
“Wah, Bu, banyak mereka membawa kayu.”
“Keranjang Kak Mara dan eranjang Ayah pun penuh. Itu, ada yang dibawa pakaipikulan berdua.”
“Rupanya hari ini mereka beruntung. Mereka mendapat kayu yang luar biasa banyaknya. Lihat Ibu, Ayah dan Kak Mara keberatan tampaknya. Aku bantu, ya bu?!” kata Nila sambil berlari.
“Ya, begitu tampaknya!” kata ibunya yang sudah tidak terdengar oleh Nila.
Tak lama kemudian Mara dan Ayah tiba di rumah. Ibu menyongsong mereka. Nila membantu Mara. Ayah menurunkan kayu dari pikulannya. Setelah melepaskan lelah, Mara dan Ayah pergi ke sumur. Setelah mandi mereka makan bersama. Pada waktu santai Ibu menceritakan peristiwa yang terjadi tadi siang.
“Yah, Ibu mendapatkan kendi. Kendi itu tertanam dalam tanah.” “Semula Ibu mau menggali umbi talas. Tapi aneh tanahnya lonsor. Ibu penasaran, tanah yang longsor Ibu angkat ke atas. Lama-kelamaan ada benturan benda keras. Rupanya ada sebuah kendi.”
“Ya, Yah! Tadi aku membantu Ibu untuk mengangkatnya. Kendi itu cukup berat. Warnanya sudah kehitam-hitaman dan berkarat. Tapi tadi sudah aku cuci,” kata Nila.
“Nila, mari kita angkat kendi itu!” kata Ibu.
Sementara ayah duduk tenang sambil menikmati talas rebus, Ibu dan Nila mengambil kendi itu. Kelihatan mereka keberatan membawanya.
“Ini, Yah!” kata Nila dan Ibunya serempak.
“Bawa kemari kendi itu. Ayah akan melihatnya dulu. Jangan-jangan ada penjahat atau orang lain yang menyimpannya. Satu saat nanti akan diambilnya. Jika itu benar, kendi itu harus dikembalikan pada tempatnya.”
“Kita tidak boleh mengambil barang orang lain.”
Kendi itu diberikan kepada Ayah. Setelah diteliti Ayah tidak percaya. Kendi itu ternyata kendi yang sudah berkarat. Berarti sudah cukup lama tersimpan dalam tanah.
“Kendi ini sudah cukup lama terpendam di dalam tanah,” katanya. “Lihat karatnya sudah cukup tebal. Jelas ini bukan disimpan dalam waktu setahun dua tahun tapi tampaknya sudah puluhan tahun,” kata sang Ayah lebih lanjut.
“Baiklah, kita coba buka. Apa isinya?”
Keluarga itu ingin mengetahui apa sebenarnya isi kendi itu. Apakah kendi itu kosong? Diguncang-guncang tak terdengar apa-apa. Kemungkinan sekali kendi itu kosong. Namun mereka tetap mencoba untuk membukanya.
Setelah berusaha sekuat tenaga, kendi itu berhasil dibuka, dan apa yang terlihat? Mereka terperangah hampir tak percaya, apa benar yang mereka lihat? Isi kendi itu berserakan di lantai. Emas dan permata banyak sekali. Gemetar bercampur haru hati mereka bertanya-tnya. “Milik siapakah semua harta perhiasan ini?” mereka semua mencoba merenungkannya.
“Wah, mungkin ini rezeki kita, Ayah?!” kata Nila.
“Ah, jangan berpikir seperti itu, itu belum tentu,” kata Ayah.
“Tapi, mungkin saja, Yah!” kata Mara mempertegas ucapan adiknya, Nila.
“Ayah, mungkin saja ini memang rezeki dari Tuhan untuk keluarga kita,” kata istrinya seraya lanjutkan kata-katanya:
“Akh, masa di dalam hutan ini ada orang yang menyimpan emas dan permata sebanyak ini !” apa lagi kendi itu sudah amat berkarat, dan jika dilihat dari karatnya, kendi itu sudah tertanam puluhan tahun lamanya. Memang seringkali ditemukan harta karun. Kadang-kadang ditemukan di kebun belakang rumah.”
“Dan rupanya kali ini kita yang mendapat bagian!” Jawab sang Ayah.

Image (Sastra daerah, Mara Karma)
Gambar 2
Keluarga Si Miskin mengelilingi
Kendi yang ditemukan

Betapa bahagianya keluarga itu. Mereka membayangkan betapa banyak harta dan kekayaannya. Mereka sudah merencanakan pindah dan tinggal di kampung. Semenjak mereka tinggal di kampung, banyak sudah orang kampung yang dibantu, terutama yang tak mampu.
Setiap penduduk kampung datang memohon bantuan Si Miskin pasti dibantunya. Lama-kelamaan terkenallah keluarga itu ke keseluruh kampung. Si Miskin yang kaya. Orangnya sabar dan selalu tawakal serta suka membantu.
Keadaan seperti itu berjalan cukup lama. Akhirnya, penduduk di kampung itu menjadikan Si Miskin sebagai pemimpinnya.
Pada suatu ketika kesepakatan itu terlaksana. Si Miskin diangkat menjadi pemimpin negeri dengan kedudukan sebagai maharaja.
Setelah sekian lama dinobatkan sebagai Maharaja. Si Miskin berganti nama menjadi Maharaja Indra Angkasa. Istrinya berganti nama menjadi Putri Ratna Dewi. Wilayah itu diberi nama Puspa Sari. Sejak itu nama Si Miskin hilang. Dia lebih dikenal dengan nama, Maharaja Indra Angkasa.
Saudagar-saudagar kaya dan raja-raja di sekitarnya mengagumi kebijaksanaannya. Mereka rela dan patuh kepada Maharaja Indra Angkasa. Mereka merasa lebih aman dan tenteram di bawah kepemimpinannya. Rakyatnya hidup penuh kebahagiaan dan serta berkecukupan.
Kedua putra mahkota yang gagah perkasa. Putri Nila Kusuma menjadi seorang putri yang cantik jelita.
Berita keadilan Maharaja Indra Angkasa terdengar ke seluruh pelosok tanah air. Rupanya ada raja yang merasa iri padanya. Pada suatu hari terdengar kabar bahwa Maharaja Indra Angkasa akan mengundang para para ahli nujum. Beliau minta dinujumkan bagaimana nasibnya di kemudian hari.
Berita itu terdengar oleh seorang raja yang iri hati. raja itu mencari akal bagaimana caranya untuk merusak nama Maharaja Indra Angkasa. Seluruh ahli nujum yang ada di negeri itu dikumpulkannya. Ahli nujum dihasutnya untuk menhancurkan Kerajaan Puspa Sari.
Setelah ahli nujum berkumpul, ia memberikan petunjuk:
“Hai saudara-saudara ahli nujum, apabila kalian diminta oleh Maharaja Indra Angkasa menujum hari esok kerajaannya, katakan padanya bahwa putri mahkota akan membawa malapetaka baginya. Oleh sebab itu, sebaiknya dibunuh!”
Karena ahli nujum diberi hadiah istimewa, semua yang dikatakan raja itu dikutinya. Pada hari yang telah ditetapkan ahli nujum pun berkumpul di istana Puspa Sari. Maharaja Indra Angkasa berdiri dengan gagahnya. Dia memandang ke sekelilinng. Ia merasa bahagia. Setelah menjelaskan maksudnya, iapun menyampaikan keinginannya :
“Saya minta agar semua ahli nujum mengajukan pendapatnya!” kata Maharaja Indra Angkasa.
Maka semua ahli nujum yang sudah terkena hasutan dari salah seorang raja yang iri dan benci kepada Maharaja Indra Angkasa bersama-sama menghadap Sang Maharaja Indra mengemukakan pendapatnya dan berkata, bahwa sang putri raja akan membawa malapetaka terhadap kerajaan. Oleh sebab itu, sang putri sebaiknya dibunuh.
Setelah pertemuan itu usai Maharaja Indra Angkasa sangat masygul hatinya. Apa iya putri kesayangannya itu akan membawa malapetaka baginya. Berhari-hari pikirannya menjadi kacau antara percaya dan tidak. Tidak tega hatinya membunuh anak sendiri. Apalagi, belum jelas kesalahannya. Maka Maharaja pun mengatakan kepada permaisurinya :
“Permaisuriku, bagaimana pendapatmu mengenai apa yang dikatakan oleh para ahli nujum?”
“Akh, aku tidak begitu percaya, kanda.”
“Bukankah kedua anak kita itu sudah diajarkan sejak dulu untuk berbuat baik?!”
“Menurutku, selama ini mereka tidak pernah melakukan yang tidak benar.”
Keadaan dalam istana menjadi risau. Semuanya ikut memikirkan. Setelah berunding, diambil kesepakatan putri raja tidak dibunuh, melainkan dibuang.
“Ibunda tersayang,” Kata Mara “Aku tidak tega adikku, Nila dibuang. Daripada aku tinggal merana di istana, lebih baik aku menemaninya.”
Kedua hati orang tuanya bertambah gundah gulana. Mereka tak dapat berkata apa-apa. Setelah mereka timbang-timbang dengan masak, dikabulkanlah permintaan putra mahkotanya.

Jumat, 18 Oktober 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar