Jumat, 11 Oktober 2019

"SENI PAHAT IRIAN JAYA V" Oleh Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputro

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 12 Oktober 2019 - 12.46 WIB


Seni Pahat Irian Jaya (Foto: SP)


V.  PERKEMBANGAN BARU
Wiyoso Yudoseputro

Pada umumnya para pengamat seni rupa, khususnya para sejarawan seni rupa, mengalami kesulitan untuk menyusung perkembangan seni rupa dari kesenian primitif secara kronologis. Kita menghadapi masyarakat yang tidak mengenal tulisan sehingga sulit untuk menemukan data-data kapan benda itu dicipta. Asal-usul benda biasanya hanya menyangkut da perkembanganta-data dari orang yang menemukan. Data-data tertulis tentang benda itu sendiri kurang kurang dapat dijadikan sumber pengenalan. Kita tidak mengetahui bagaimana bentuk-bentuk ekspresi seni rupa dari masyarakat Dayak atau masyarakat Irian Jaya ratusan tahun yang lampau. Apa yang disimpan di museum-museum Indonesia dan luar negeri yang berupa patung atau pahatan benda pakai dari hasil kesenian masyarakat pedalaman di beberapa daerah Indonesia tidak akan lebih dari dua ratus tahun umurnya. Hal ini mengingat bahwa pengumpulan benda-benda itu semula dipelopori oleh para penjelajah dan kemudian oleh para ahli etnologi Barat yang baru dimulai sekitar abad XIX. Benda-benda yang tersimpan di museum tidak dimaksud untuk kepentingan pengetahuan kesenian, jadi sulit untuk dijadikan bahan untuk mengetahui perkembangan keseniannya.
Dari uraian di atas pengamat sulit untuk mengadakan pengelompokan secara sistematis  dan skematik untuk mengetahui tentang perubahan dan perkembangan kesenian primitif. Di depan telah dijelaskan bahwa kesenian primitif mengenal kebebasan ekspresi meskipun kebebasan itu tidak perlu diartikan seperti dalam kesenian Barat. Ini berarti bahwa kesenian primitif bagaimanapun mengalami perkembangan meskipun sangat lamban. Hanya perkembangan inilah yang sulit diikuti sesuai dengan keterangan tersebut di atas. Memang sulit menentukan perbedaan gaya seni primitif secara kronologis di suatu daerah, perbedaan hanya terbatas pada kualitas teknik dan estetik. Ditambah dengan kenyataan bahwa benda-benda yang dihasilkan tidak untuk fungsi yang abadi dan dibuat dari bahan yang lekas rusak. Masih ada faktor lain yang mempersulit pengetahuan tentang perkembangan kesenian primitif sebelum kesenian ini berubah fungsinya. Pada dasarnya masyarakat primitif mempunyai kebiasaan untuk menghancurkan atau menelantarkan patung, kedok atau benda lain setelah upacara selesai, atau setidak-tidaknya apabila dipandang bahwa benda-benda itu tidak berfungsi lagi. Patung nenek moyang atau tonggak mbis di masyarakat Asmat selalu dibuat baru setiap ada upacara. Patung-patung lama biasanya tidak dipelihara dan disingkirkan, dirusak atau dibuang di hutan. Jadi sebagai benda seremonial patung tidak bersifat abadi untuk dipakai terus menerus. Ini berarti bahwa peninggalan patung-patung lamasulit dipakai sebagai sumber pengenalan perubahan bentuk. Sekiranya patung-patung lamasempat diamankan, belum tentu keadaannya msih baik mengingat bahan yang sering dipakai tidak tahan lama, apalagi untuk daerah tropis.

1.            Sekularisasi dan Revitalisasi.

Karya seni primitif yang kaya akan daya imajinasi dengan menampilkan nilai-nilai estetik sering mengalami kepunahan sebelum sempat dilestarikan dan diinventarisasikan. Banyak kesenian rakyat di daerah-daerah Indonesia sudah punahsebelum diusahakan pengembangannya. Beberapa kesenian rakyat yang masih sempat berkembang terus adalah karena kondisi-kondisi yang menguntungkan. Beberapa kondisi ini akan kita bicarakan di bawah ini, khususnya yang menyangkut  kesenian rakyat di Irian Jaya.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal bab ini, bahwa pada umumnya kesenian primitif adalah hasil timbal balik antara kemampuan artistik pribadi seniman dan tradisi masyarakat. Tidak benar seluruhnya bahwa seni primitif bersifat tradisional dalam arti tidak berubah ungkapan seninya. Segala ikatan tradisi dalam kehidupan tidak sama sekali membatasi kebebasan seniman untuk berekspresi. Justru kebebasan  dberekspresi yang masih ditiuntun oleh tradisi sering membuat lupa arti-arti perlambangan. Dalam keadaan yang demikian mulai ada modifikasi bentuk-bentuk perlambangan dan motif. Modifikasi ini berlanjut dengan perubahan-perubahan sesuai dengan imajinasi seniman. Jadi, dua faktor yang memegang peranan penting dalam kelestarian kesenian rakyat di daerah serta kemungkinan perkembangannya, yaitu peranan seniman dan keadaan sosial budaya masyarakat. Kedua faktor ini memang tidak dapat dipisahkan dan saling berpengaruh.
Apabila kita mulai dengan keadaan masyarakatnya, tradisi kebudayaan masyarakat primitif yang kokoh akan berubah dengan adanya nilai-nilai kehidupan baru yang datang dari luar. Dengan hadirnya agama baru dalam masyrakat pedalaman misalnya, biasanya pandangan hidup berdasarkan agama baru ini berpengaruh terhadap kegiatan seni. Kegiatan seni biasanya terbatas pada pembuatan benda-benda yang tidak bertentangan dengan ajaran agama baru. Animisme dan dinamisme yang dilarang oleh agama baru berakibat terhentinya pembuatan patung upacara. Tidak jarang kita dengar adanya penghancuran patung-patung nenek moyang atau patung magis sebagai pertanda tersingkirnya kepercayaan animisme dan dinamisme. Bakat seni patung dan eni pahat karenanya tidak terpelihara, bahkan dapat punah sama sekali apabila tidak ada usaha penyalurannya. Masalahnya ialah seberapa jauh kepentingan orang luar seperti misalnya golongan misi dan zending terhadap bakat seni yang dimiliki oleh masyarakat daerah yang didatangi. Apabila mereka ini menyadari bahwa bakat seni itu perlu dipelihara dan dikembangkan terus, maka kesadaran ini akan melahirkan langkah-langkah pemanfaatan , usaha untuk mereviealisasikan tradisi kesenian yang telah membudaya. Bakat seni patung misalnya masih dapat dibina dengan jalan pembuatan patung-patung baru untuk kepentingan agama baru yang telah dianutnya. Untuk kepentingan bangunan gereja Nasrani misalnya dapat diciptakan patung-patung perwujudan tokoh suci gereja sesuai dengan tradisi seni patung lama. Demikian pula bakat seni ukir dan seni hias pada umumnya dapat disalurkan untuk membuat hiasan bangunan gereja. Kebutuhan baru sesuai dengan tuntutan agama baru dalam hal ini menjamin kelestarian tradisi seni pahat dari masyarakat setempat. Sayang bahwa tidak selamanya penyebaran agama baru di masyarakat pedalaman yang kaya akan hasil karya seninya diikuti dengan usaha-usaha revitalisasi tradisi kesenian. Tradisi pembuatan patung monumental dalam kesenian Biak misalnya boleh dikatakan punah karena pantangan pembuatan patung korwar tidak diikuti dengan usaha penyaluran bakat seni. Demikian selanjutnya  patung-patung plastis yang memperagakan motif-motif nenek moyang atau motif perlambangan lainnya yang ditetapkan pada benda pakai ikut tersisihkan. Semua wujud dan motif perlambangan yang lainnya yang masih mengingatkan kepada kepercayaan lama karena tidak lagi sesuai dengan pertimbangan ajaran agama baru dihilangkan. Oleh karena itu, benda-benda pakai untuk keperluan sehari-hari tampak kering dan tidak menarik karena dibiarkan polos. Tradisi  hias, kalau juga masih bisa bertahan, tidak lagi mencerminkan kekayaan ornamental dari kesenian masa lampau. Benda-benda pakai yang bernilai sakral dengan dianutnya agama baru tidak lagi dipakai. Adat peperangan  antar suku yang bersumber pada kepercayaan tidak lagi dijalankan. Topeng, perisai, tifa, dan tombak yang semula dipakai pada waktu upacara menjelang dan seusai peperangan, tidak lagi berfungsi dan tidak dibuat lagi. Ini berarti bahwa keterampilan memahat hiasan ikut juga berhenti.
Dengan terhentinya kegiatan membuat patung dan hiasan itu berarti bahwa bakat seni tidak lagi diwariskan kepada generasi pendatang. Ini berarti pula bahwa tradisi kesenian rakyat akan mengalami kepunahan.  Kepunahan esenian rakyat tradisional di daerah pedalaman tidak hanya disebabkan karena berkembangnya agama baru yang menggantikan kepercayaan lama. Perkenalan dengan kebudayaan baru yang berasal dari luar menyebabkan terjadinya perubahan pula kebutuhan-kebutuhan baru dari masyarakat. Masyarakat petani di daerah pedalaman, karena tersedianya waktu luang, memungkinkan penghasilan benda-benda kerajinan. Bakat seni kerajinan akan luntur apabilan masyarakat meninggalkan kebiasaan hidup bertani karena beralih pada kehidupan dagang atau menjadi buruh. Jadi bakat seni kerajinan tidak terpelihara karena tidak ditunjang oleh kebutuhan. Hilangnya bakat seni kerajinan ini makin dipercepat dengan telah dipenuhinya kebutuhan akan peralatan yang datang dari luar yang menggantikan hasil dari seni kerajinan sendiri. Pakaian dari kulit kayu dari daerah Sentani yang begitu terkenal tidak dibuat lagi karena terdesak oleh pakaian baru yang didatangkan dari luar. Wadah-wadah dari kayu sebagai tempat makanan yang kaya dengan hiasan serta disain yang menarik dari kesenian Asmat terdesak oleh wadah plastik alumunium. Bumbung-bumbung tempat tembakau yang diukir dengan    halus dengan keindahan ornamennya dari kesenian Sentani dan Asmat tersingkir oleh tempat tembakau dari luar yang tampaknya lebih menarik.
Mestikah pemasukan kebudayaan baru dalam masyarakat pedalaman mempunyai dampak negatif terhadap pelestarian tradisi kesenian? Apakah perkenalan dengan kebutuhan hidup baru harus diartikan sebagai sebab berakhirnya perkembangan kesenian rakyat tradisional? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu berulang dari dulu sampai sekarang. Pertanyaan yang dilontarkan oleh kalangan pecinta seni yang menyayangkan kepunahan kesenian rakyat tradisional. Para pecinta seni itu pada umumnya tergolong dalam kelompok seniman sendiri. Para seniman Barat misalnya, demi kepentingan karya ciptaan mereka, banyak yang menimba inspirasi dari sumber seni primitif dari Afrika atau dari kepulauan di Pasisifik, dari suku bangsa Amerika Tengah dan Selatan. Mereka ini mempelajari kesenian itu karena sudah penuh dengan teori-teori akademik dan konsep-konsep seni Barat. Dalam mencari penyegaran nilai-nlai estetik baru, mereka mendapatkan impuls-impuls baru dari karya seni primitif. Para seniman yang disebut modern memproyeksikan day fantasi pribadi masing-masing ke dalam karya seni primitif dan menemukan ungkapan-ungkapan artistik yang memberikan citra baru dalam kesenian. Jadi, bagi para seniman ini seni primitif mempunyai arti tersendiri untuk memperkaya nilai-nilai ciptaan mereka.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentu tidak hanya datang dari para seniman Barat. Tidak sedikit dari seniman Indonesia sendiri, khususnya bagi para seniman di daerah asal dari kesenian rakyat tradisional, bersikap sama dalam menghadapi kepunahan kesenian tradisional itu. Maka kembali permasalahan pokok yang telah disinggung di depan, yaitu kedudukan seniman dan kepentingan masyarakat tradisional sendiri.
Ketika para pemahat dan pengukir kayu dari daerah Asmat menyadari bahwa hasil karya mereka disukai oleh para pendatang, maka timbul keinginan untuk menghasilkan karya-karya yang sama untuk ditukar dengan benda lain atau untuk dijual. Sejak itulah dihasilkan patung-patung atau pahatan kayu yang tidak dipergunakan untuk upacara adat. Ini tidak berarti bahwa patung-patung dan pahatan lama berubah bentuknya karena fungsinya berubah. Gaya tradisional dari pahatan kayu  masih dipertahankan karena “ciri asli” asli itulah yang dikehendak oleh para peminat. Jadi, yang berbeda hanyalah funsi pakainya, yaitu dari fungsi pakai sakral berubah ke funsi pakan profan.
Proses sekularisasi dalam kehidupan seni bagaimanapun bermanfat bagi kelanjutan perkembangan kesenian  rakyat tradional.  Perubahan kualitas seni memang tidak dapat dihindari dalam proses sekularisasi ini. Patung mbis atau patung nenek moyang yang memperlihatkan torehan pada permukaan seluruh tubuh sebagai bagian yang utuh dari bentuk  patung, pada patung-patung ciptaan baru nilai-nilai ornamental ini tidak banyak ditampilkan. Torehan ornamen yang semula mempunyai arti spiritual, karena perubahan fungsi patung elemen estetik dari patung itu dianggap kurang penting yang dapat ditinggalkan (Ft 35). Demikian juga patung arwah nenek moyang yang bertolak dari sikap belalang berdoa, sikap perlambangan dari arwah nenek moyang ini tidak lagi dipertahankan secara konsekwen. Hubungan pribadi seniman dengan karyanya tidak lagi didasarkan sikap kultus sebab patung arwah tidak lagi dipujanya dalam upacara, tapi patung itu dijual sebagai benda pajangan. Perwujudan arwah hanya menjadi motif ciptaan, menjadi sumber inspirasi dalam berkarya. Dengan demikian, muncullah bermacam-macam tipe dan bentuk patung yang mengingatkan kepada patung mbis dan patung arwah nenek moyang (Foto 54).

Foto 53
Patung Asmat baru
                                                         dengan pahatan polos
 
Foto 54
Perwujudan patung nenek moyang
Sebagai benda pajangan

Foto 55
Patung imajinatif dengan paduan
motif zoomorfis dan antropomorfis
 
Proses sekularisasi tidak hanya berpengaruh pada patung-patung plastis tiga dimensional, tetapi juga pahatan bidang. Menyadari bahwa orang asing menginginkan juga benda-benda benda-benda pakai sebagai suvenir seperti tonkat upacara, lembing, tombak, panah, perisai dan sebagainya, maka benda-benda yang semula berfungsi sebagai sarana upacara itu mengalami perubahan bentuk maupun hiasannya. Torehan dan ukiran pada hiasan bidang perisai tidak lagi berfungsi magis yang ikut mendukung suasana upacara kepercayaan, tetapi dia memiliki nilai baru sebagai hiasan yang dapat dinikmati nilai keindahannya (Foto 56)

Foto 56
Perisai dengan ornamen bidang sebagai benda hiasan.

Ada juga pahatan pajangan yang tidak lagi diketahui fungsi asalnya, apakah berasal dari benda pakai sehari-hari atau sebagai benda upacara. Benda ini hanya mengingatkan kepada bagian-bagian saja dari benda pakai atau bagian dari patung. Cemen sebagau bagian dari tonggak mbis  memang menarik sebagai benda karya dekoratif dan cukup memberikan identitas dari karya seni Asmat. Pahatan kerawangan dari cemen dengan demikian mempunyai daya tarik dan nilai tersendiri terlepas sebagai bagian yang utuh dari tonggak mbis. Jelas di sini bahwa proses dari sekularisasi kesenian Asmat memungkinkan lahirnya bermacam-macam benda yang bersumber pada pahatan lama. Bermacam-macam pahatan dapat dikembalikan kepada pahatan cemen yang sangat menarik itu (Foto 57)

Foto 57
Pahatan pajangangan berasal dari cemen

Demikian pula pahatan kerawangan untuk hiasan perahu dapat berdiri sendiri sebagai benda pajangan dengan pengembangan teknik pahatan dan unsur-unsur estetisnya (Foto 58).

Foto 58
Pahatan pajangan yang berasal dari hiasan perahu

Perubahan bentuk-bentuk pahatan tersebut di atas menjelaskan adanya kemungkinan baru dalam perkembangan seni pahat Asmat di hari depan. Kemungkinan baru, artinya sesuai dengan permintaan dari luar sesuai dengan selera baru merangsang pertumbuhan ide baru yang menghasilkan ciptaan baru. Perkembangan kesenian Asmat seyogiyanya ikut merangsang perkembangan kesenian daerah lain dari Irian Jaya. Usaha-usaha perkembangan ini memang tidak semata-mata kewajiban dari para senimannya, tetapi juga kewajiban dari pihak-pihak lain. Hal ini akan dibahas pada uraian berikut.

2.            Usaha Pembinaan sSelanjutbya.

Apa yang terjadi pada perkembangan seni pahat Asmat menunjukkan bagaimana perubahan kebudayaan tradisional membuka kemungkinan perkembangan dari keseniannya. Hasil perkembangan kesenian ini masih terbatas apabila dihubungkan dengan seluruh wilayah Irian Jaya. Kesenian Irian Jaya masih meliputi daerah kesenian yang luas seperti kesenian Biak, kesenian Sentani, kesenian Mimika, dan kesenian Marind-Anim. Belum lagi kesenian yang terdapat di daerah pegunungan di pedalaman Irian Jaya. Daerah-daerah kesenian itu belum berkesempatan untuk berkembang seperti di daerah Asmat. Meskipun benda-benda kesenian rakyat dari daerah-daerah di Irian Jaya sudah banyak yang disimpan di museum-museum, kesenian rakyat daerah itu belum menentu perkembangan hari depannya. Benda kesenian yang tersimpan baru mempunyai pengaruh dalam perkembangan kesenian apabila kehidupan seni masih terjamin berlangsung terus. Usaha pengamanan dan preservasi benda-benda kesenian rakyat yang semakin langka harus dibarengi dengan usaha pembinaan danpengembangan kesenian. Koleksi dari museum dan lembaga Anthropologi Universitas Cendrawasih memang dapat berfungsi sebagai sumber ide penciptaan kesenian baru di Irian Jaya apabila kreativitas seni masih terdapat dalam masyarakat. Apabila semua lapisan masyarakat masih merasa berkepentingan terhadap kesenian, maka seniman dapat berperan dalam pengembangan keseniannya. Untuk itu  masyarakat harus sadar akan nilai-nilai kesenenian sebagai kebutuhan hidup, baik  jasmaniah maupun rohaniah. Kesadaran itu mulai tumbuh dalam masyarakat di Asmat ketika kesenian daerah itu disenangi oleh masyarakat luar. Masyarakat itu mulai menyadari betapa penting peranan tempat penjualan benda seni (art-shop) yang didirikan sebagai wadah penyaluran hasil karya seniman. Kembali kedudukan seniman menjadi penting, tidak lagi sebagai pencipta perlambangan kepercayaan, tetapi sebagai pencipta yang dapat memenuhi kebutuhan hidup karena hasil ciptaannya. Motivasi untuk mencipta terus inilah yang harus ditumbuhkan di daerah-daerah lain di Irian Jaya agar tidak ketinggalan dari daerah Asmat.
Tenaga-tenaga pemahat bermunculan dalam masyarakat apabila permintaan akan benda pahatan makin meningkat. Semula pemahat  memang masih terbatas jumlahnya. Setelah permintaan akan karya pahatan meningkat, maka tenaga pemahat bertambah dengan menularkan kepandaian memahat kepada mereka yang tidak berasal atau keturunan dari dari golongan pemahat. Terbentuklah masyarakat pemahat yang melayani permintaan hasil karya seninya. Dalam masyarakat pemahat ini akan terjadi saling tukar menukar pengalaman dan pandangan yang menjamin lahirnya kreasi baru. Jika, semula para pemahat termasuk orang yang terpilih dan terpandang karena kemampuannya untuk menterjemahkan pikiran-pikiran kepercayaan dalam bentuk patung atau pahatan, maka kini para pemahat terpandang karena hasil prestasinya berupa patung atau pahatan yang memikat para pembeli. Untuk memenuhi selera para pembeli para pemahat menyadari betapa pentingnya kualitas teknik. Untuk ini peralatan kerja  makin mendapat perhatian. Tidak mengherankan apabila gaya seni pahat yang semula memberikan kesan spontan, lugas, dan kasar, dengan pemakaian pahat baru dan teknik baru dapat diciptakan pahatan yang halus, licin, dan terukur. Jadi, perubahan gaya pahatan semula dimulai dengan dipakainya peralatan baru dan selanjutnya akan meningkat pada bentuk-bentuk yang bersumber pada ide baru. Pahatan kerawangan baru, meskipun motif dasarnya lama, tampil dengan gaya baru karena pencapaian teknik baru (Foto 59). Terkadang karya pahatan baru itu bagi pengamat seni rupa  dirasakan sebagai hasil usaha yang dibuat-buat karena penguasaan teknik dan dapat merusak identitas seni yang telah ada. Namun setiap perubahan dalam karya seni rupa, apalagi yang terjadi pada kesenian rakyat, harus dipandang sebagai hasil dari pengamalan, karya inilah yang memungkinkan lahirnya bermacam-macam bentuk yang kadang-kadang tidak diduga sebelumnya.

Foto 59
Pahatan kerawangan baru dengan motif lama

Hubungan antara masyarakat pembeli dengan para pemahat tidak hanya meningkatkan nilai kualitas tetapi juga kualitas. Bentuk-bentuk pahatan baru timbul karena ide baru yang tumbuh dalam masyarakat dan yang didorong oleh kebutuhan baru. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap karya pahatan ikut membuka kemungkinan baru dalam pengembangan kesenian rakyat. Sebuah pahatan berwujud garuda adalah bentuk baru dari hasil seni pahat Asmat yang bersumber dari ide Garuda Pancasila. Motif garuda yang tidak dikenal sebelumnya dalam tradisi seni pahat daerah itu digarap menurut imajinasi pemahat yang menghasilkan bentuk perwujudan yang khas (Foto 60). Spontanitas ungkapan tanpa pemikiran perlambangan yang rasional menuntut stilasi bentuk berdasarkan imajinasi yang lugas.

Foto 60
Pahatan garuda yang bersumber
Pada ide Garuda Pancasila

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya kesenian  tradisional Asmat dapat dicegah dengan jalan pengalihan kegiatan seni untuk keperluan kepercayaan ke arah kepentingan profaniah. Perubahan adat karena percampuran dengan kebudayaan baru dari luar tidak sammmpai mematikan bakat seni pahat Asmat karena tradisi kesenian masih dapat hidup terus yang disebabkan oleh pengalihan kegiatan seni itu. Bagaimana perkembangan dari seni pahat Asmat lebih lanjut? Usaha pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional tidak berarti hanya menghindari kepunahan dan menjaga kelestarian, tetapi mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk menumbuhkan kreativitas dan penemuan bentuk-bentuk ungkapan baru. Kreativitas dapat ditumbuhkan apabila motivasi untuk berkarya masih kuat. Motivasi untuk berkarya bisa berasal dari para senimannya sendiri, bisa juga dari pihak luar yang berkepentingan terhadap karya pahatan Asmat seperti yang telah disebut dalam bab ini cukup memberikan rangsangan kuat adanya motivasi untuk berkarya bagi para pemahat. Dalam hal ini karya-karya pahatan masih memperlihatkan bentuk dan motif lama yang tradisional. Perubahan hanya terbatas pada modifikasi bentuk dan motif lama atau perubahan karena perkembangan dari teknik pahatan sesuai dengan peralatan baru yang dipakai.
Usaha untuk menemukan bentuk dan motif baru tanpa menggantungkan kepada bentuk dan motif yang telah ada merupakan usaha yang harus didukung oleh kebebasan pribadi. Kebebasan mencipta inilah yang perlu ditumbuhkan dalam proses perkembangan kesenian tradisional seperti yang terdapat di Asmat. Usaha-usaha ini akhirnya memang datang dari pihak senimannya sendiri setelah menyadari perannya sebagai pencipta yang tidak dituntut lagi oleh ketentuan tradisi dari masyarakat. Bentuk dan motif tradisional dalam kondisi kebudayaan masyarakat di Irian Jaya dewasa ini masih melekat pada pandangan para pemahat Asmat pada umumnya. Tetapi bahwa tidak ada kewajiban dantangan lagi bagi para pemahat untuk mengubah bentuk dan motif tradisional menjadi titik tolak usaha untuk mencipta bentuk baru.
Bakat yang kuat untuk membuat pahatan kerawangan misalnya, dengan adanya kebebasan untuk mengembangkan dan mengubah bentuk pahatan lama, maka lahirlah bermacam-macam bentuk pahatan kerawangan ciptaan baru yang menarik (Foto 61). Motif-motif  antropomorfis dan zoomorfis yang berasal dari pahatan cemen tonggak mbis  dan pada hiasan haluan kapal yang kesannya sangat abstrak. Pahatan kerawangan juga tampil mendominasi keseluruhan bentuk sebuah patung pajangan ciptaan baru (Foto 62).

Foto 61
Pahatan dekoratif
Dengan gaya tradisi kerawangan

Foto 62
Patung kerawangan kreasi baru
Dalam kesenian Asmat

Jadi, gejala-gejala perubahan bentuk dan motif adalah hasil usaha seniman Asmat yang mengandalkan kepada kemampuan bakat memahat. Perubahan ini akan berkembang selama kesempatan berkarya masih selalu terbuka.
Sampai sekarangkita belum mengetahui apakah sudah da pemahat kayu profesional di Asmat yang hidup semata-mata dari hasil pahatannya. Keadaan di Asmat sampai sekarang memang belum menguntungkan jika dibanding dengan keadaan di Bali sehingga keinginan untuk hidup sebagai pemahat profesional masih perlu dipertanyakan. Pameran-pameran karya seni pahat Asmat sudah mulai sering diselenggarakan, baik di Irian Jaya maupun di kota-kota besar seperti Jakarta. Pengalaman berkarya untuk pameran itu sendiri memang belum menjadi ukuran terjaminnya peningkatan mutu seni pahat Asmat. Beberapa pemahat sudah mulai mengenal karya pahatan kayu dari daerah lain di Irian Jaya sehingga mereka mulai mengenal dan dapat mengadaptasukan tradisi pahat daerah itu. Mulailah misalnya tanda-tanda pengaruh gaya seni pahat daerah Sentani yang geometris yang tampak pada karya seni pahat Asmat.
Ada beberapa mahasiswa Asmat akhir-akhir ini menempuh pelajaran di Sekolah Tinggi Senirupa “ASRI” di Yogyakarta. Di tempat pendidikan inilah mahasiswa Asmat mengalami kondisi mencipta yang berbeda. Pengalaman dan pendidikan itu tentu dapat menghasilkan bermacam-macam kemungkinan mencipta. Terlepas dari kualitas seni yang dicapai, kejadian-kejadian itu adalah pertanda bahwa seni pahat Asmat membuka kemungkinan perkembangan lebih lanjut. Hal inilah yang menguntungkan seni pahat Asmat  jika dibandingkan dengan nasib seni pahat daerah lainnya di Irian Jaya.

_______________________________

S u m b e r :
Wiyoso Yudoseputro, “Seni Pahat Irian Jaya”
Proyek Media Kebudayaan Jakarta
Direktorat Jendral Kebudayaan – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981


—KSP42—
Kamis, 10 Oktober 2019 – 14.07 WIB
Bumi Pangarakan, Lido – Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar