Seni adalah ekspresi jiwa estetis seseorang yang diwujudkan melalui media kata, nada, rupa, dan gerak yang dapat menimbulkan perasaan empatik pada diri penikmatnya”.
Jumat, 29 November 2019
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.F.M. Sutjipto Wirjo Suparto: "SIASAT PERAN...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.F.M. Sutjipto Wirjo Suparto: "SIASAT PERAN...: Blog Ki Slamet 42 : "Wayang Islami" Sabtu, 30 November 2019 - 08.11 WIB Setelah Drona gugur sebagai senapati tentara...
Kamis, 28 November 2019
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.R.M. Sutjipto Wirjosuparto: "ILMU SIASAT P...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.R.M. Sutjipto Wirjosuparto: "ILMU SIASAT P...: Blog Ki Slamet 42 : "Wayang Islami" Jumat, 29 November 2019 - 06.16 WIB Bharata-Yudha Ketika pada pagi harinya per...
Rabu, 27 November 2019
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.R.M. Sucipto Sutijpto Wirjosuparto: "ILMU ...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof.Dr.R.M. Sucipto Sutijpto Wirjosuparto: "ILMU ...: Blog Ki Slamet 42: "Wayang Islami" Kamis, 28 November 2019 - 08.33 WIB Pada waktu pagi di hari berikutnya, Dorna telah me...
Selasa, 26 November 2019
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: "IMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA YUDHA 2" ...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: "IMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA YUDHA 2" ...: Ki Slamet 42 Blog: "Wayang Islami" Minggu, 24 November 2019 - 13.18 WIB Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha ...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjo Suparto: "ILMU SIASA...
Blog Denmas Priyadi: WAYANG ISLAMI: Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjo Suparto: "ILMU SIASA...: Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami Selasa, 26 November 2019 - 20.00 WIB PERANG BHARATA-YUDHA Susunan tentara garudda wyuha men...
Sabtu, 16 November 2019
CERITA MARA KARMA 6 "Maha Raja Mara Karma" dIceritakan oleh Atika Sja'rani
Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 16 November 2019 - 23.53 WIB
Sabtu, 16 November 2019 - 23.53 WIB
CERITA MARA KARMA 6
“MAHA RAJA MARA
KARMA”
Diceritakan oleh Atika Sja’rani
Pada suatu ketika terdengar kabar Maharaja
Indra Dewa akan mengadakan perang terhadap Mara Karma. Maharaja Indra Dewa
memerintahkan semua menteri dan hulu balangnya agar bersiap-siap. Hatinya
sangat masygul mendengar kerajaan Mara Karma bertambah besar.
“Hm, Aku harus menyerang dia lebih dahulu
sebelum dia menyerang aku.” Kata
Maharaja Indra Dewa.
“Himpun
semua raja taklukan, dan perintahkan untuk bersiap-siap menyerang kerajaan Mara
Karma,” tambahnya.
Maka diperintahkanlah para menteri dan hulu
balang untuk mengantarkan surat perintah ke pada seluruh raja taklukannya agar
segera mempersiapkan keperluan perang.
Kabar tersebut didengar oleh Mara Karma,
maka Mara Karma pun mengabarkan berita tersebut kepada ayahandanya Baginda Raja
Mangendra Sari.
“Baiklah, jika demikkian! Janganlah ananda
berdua yang maju ke medan perang. Biarlah ayahanda yang menghadapi Maharaja
Indra Dewa. Jika ayahanda kalah dan gugur, barulah ananda berdua maju.”
“Tidak,
Ayahanda! Ayahanda tidak usah mengahadapi Maharaja Indra Dewa itu, biarlah
ananda saja. jika Ayahanda masih tetap ingin perang menghadapi Maharaja Indra
Dewa, lebih baik bunuh ananda terlebih dahulu,” kata Mara Karma memohon kepada ayahnya.
“Terus
terang ananda, ayahanda merasa khawatir dengan keselamatan kalian berdua.
Maharaja Indra Dewa itu sungguh pandai bertipu muslihat dalam perang, sementara
ananda belum berpengalaman.” Kata
ayahnya Baginda Raja Puspa Indra.
“Baiklah, jika demikian ayahanda hanya bisa berdoa,
semoga ananda berdua dapat mengalahkan Maharaja Indra Dewa!” kata Baginda Raja menambahkan.
Menurut yang empunya cerita, Baginda Raja
Puspa Indra akhirnya merestui putranya Mara Karma, dan Mangendra Sari untuk
berperang melawan Maharaja Indra Dewa. Maka Mara Karma pun segera merpesiapkan
peralatan dan pasukan perangnya.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar teriakan
keras mengumpat memanggil nama Mara Karma:
“Hai
Mara Karma jika kamu mau mati, datanglah kemari, dan kalau engkau masih mau tetap
hidup, menyembahlah kepada raja kami!”
Mendengar itu pasukan perang Mara Karma merasa
terhina. Mereka marah lalu membalasnya
dengan berkata:
“Wuaaah,
kamu orang Indra Dewa jangan sebut nama raja kami sebelum kalian mampu
mengalahkan kami.”
Rupanya perang tak dapat lagi dielakkan.
Terdengarlah bunyi genderang perang pertanda perang dimulai. Bunyi kilatan
senjata pedang dari para prajurit kedua pasukan yang saling serang. Darah pun
mulai tumpah membasahi bumi dari kedua prajurit yang luka-luka dan tewas
seketika. Mayat-mayat dari kedua pasukan yang berperang bergelimpangan di
sana-sini. Bau anyir darah dan bangkai-bangkai yang tewas amat menyesakkan hingga
menimbulkan rasa mual yang demikian menyiksa pernapasan.
Singkatlah cerita, akhirnya pasukan Mara
Karma dan Mangendra Sari pada akhirnya dapat mengalahkan pasukan Maharaja Indra
Dewa. Dan, Maharaja Indra Dewa menyerahkn diri mereka pulang ke negerinya lalu
memberitahukan kekalahannya kepada ayahandanya. Akan tetapi kekalahan itu
membuat hatinya merasa penasaran dan merasa dendam.
Beberapa pekan kemudian Maharaja Indra Dewa kembali mengobarkan perang
kepada Maharaja Puspa Indra. Ia begitu mendendam kepada putra mahkota, Mara
Karma dan Mangendra Sari yang telah mengalahkannya dalam perang tempo hari. Tapi
kali ini hatinya begitu amat penasaran:
“Huh,
selama dalam perang-perang yang aku jalani belum pernah aku merasakan seperti
ini. Kepalaku sudah serasa terpisah dari badanku. Dan, konon menurut berita
yang aku terima dari telik sandi, dalam perang yang akan datang pasukan Mara
Karma dan Mangendra Sari itu akan dibantu oleh delapan raja-raja jin dari delapan negeri jin. Meskipun demikian aku
pantang menyerah dan aku harus tetap hidup untuk memenangkan pertempuran ini.” Demikian kata Maharaja Indra Dewa dalam
hatinya.
Sementara itu di kerajaan Puspa Indra
pasukannya sudah siap siaga. Apalagi sekarang mereka dibantu oleh pasukan jin
dari delapan negeri jin yang telah takluk kepada kerajaan Puspa Indra dibawah
pipimpinan Mara Karma dan Mangendra Sari.
kedelapan raja jin itu sedang menghadap sang
putra mahkota Mara Karma dan Mangendra sari di balairung istana:
“Wahai
tuanku Raja Mara Karma dan Mangendra sari, kami delapan jin dari kerajaan jin siap
membantu tuan untuk memenangkan perang melawan kerajaan Maharaja Indra Dewa.” Kata kedelapan jin secara serempak.
Setelah menikmati jamuan yang disediakan,
mereka pun bersiap-siap berangkat ke medan laga. Mara Karma dan Mangendra Sari
memohon izin kepada ayahandanya seraya bersembah dan berkata:
“Ya,
ayahanda! Selama ananda berdua ada, janganlah ayahanda pergi ke medan perang.
Terkecuali jika kami berdua sudah gugur perlaya, barulah ayahanda boleh tampil.
Sementara itu ke delapan raja jin dari delapan
negeri jin masing-masing memperkenalkan diri kepada Mara Karma, Mangendra Sari
dan Ayahandanya, dan Mereka sudah mempunyai tugasnya masing-masing :
“Kami
Maharaja Kashna Indra dan Raja Bujangga Indra menjadi kepala perang. Kami Raja
Indra Mangendra dan Raja Mangendra Dewa menjadi sayap Kanan. Kami Raja
Mangendra Lela dan Raja Candra Lela sebagai sayap Kiri. Dan kami Raja Geragasi Peri dan Raja Dewa Syah sebagai
ekor. Dan, kami siap melakukan perintah dari yang diperduli tuanku Mara Karma
dan Mangendra Sari.” Demikian kata
kedelapan raja jin kepada Mara Karma dan Mangendra Sari yang berperan sebagai
tubuh di dalam perang yang akan mereka lakukan.
Tak seberapa lama kemudian mereka pun
sampailah jua di medan laga yang di sana ternyata sudah menanti dengan siap
siaga pasukan Maharaja Indra Dewa.
Demi melihat strategi tata perang Mara Karma
dan Mangendra Sari yang dibantu oleh delapan raja jin, Maharaja Indra Dewa
perintahkan hulubalangnya untuk memanas-manasi hati pasukan Mara Karma dan
Mangendra sari. Maka berserulah dengan kerasnya beberapa hulubalang:
“Hua
ha ha ha ha, hai Mara Karma dan Mangendra, kemarilah kalian jika ingin mati.
Akan kupenggal kepala kalian berdua!” mendengar kata ejekan seperti itu seorang
prajurit Mara Karma dan Mangendra Sari tersinggung lalu menjawab:
“Wuah...
kamu berani-beraninya menantang raja kami, pada perang yang lalu kenapa kalian tunggang langgang melarikan
diri, ha ha ha, dasar kalian prajurit pengecut!” jawab beberapa orang prajurit Mara Karma
membalas ejekannya.
Mara Karma dan Mangendra Sari yang juga
tersinggung dengan ejekan prajurit Maharaja Indra Dewa berseru dengan keras
kepada Maharaja Indra Dewa:
“Hai,
Raja Indra Dewa! Lihatlah olehmu kepala siapakah itu?!” Seru Mara Karma yang segera perintahkan kepada
Maharaja jin Kashna Indra dan Raja jin Bujangga Indra yang menjadi kepala
perang untuk menyerang Maharaja Indra Dewa seketika itu juga.
Perang yang kedua pun mulailah. Bunyi genderang
perang, suara sorak-sorai para prajurit
yang saling membunuh, dan gemerincing senjata pedang membahana di medan laga
menghiasi baunya kembang-kembang kematian yang silih berganti berguguran.
Nampaklah dalam medan perang itu, raja berhadapan dengan raja, menteri
berhadapan dengan menteri, dan hulubalang berhadapan dengan hulu balang. Ketika
itu Maharaja Indra Dewa melihat seorang anak yang nampak gagah berani dan
tandangnya amatlah ngegegirisi. Maka ia pun menhampiri seraya bertanya :
“Wahai
anak raja siapakah kamu, tandangmu begitu gagahnya, siapakah pula namamu? Segeralah kamu kembali. jangan kamu
datang kemari.”
Mendengar itu, Mara Karma menjawab:
“Hm,
aku datang kemari untuk membunuhmu Raja Indra Dewa!” jawab Mara Karma. Mendengar jawaban itu Mara
Karma itu, betapa amat berangnya hati Maharaja Indra Dewa. Maka dipanahnyalah
Mara Karma. Panah melesat begitu cepatnya tak bisa lagi Mara Karma mengelaknya.
Maka seketika itu api sakti keluar dari badan Mara Karma melindungi tubuh Mara
Karma dari panah Maharaja Indra Dewa yang nyaris membunuhnya. Maharaja Indra
Dewa merasa kagum atas kesaktian Mara Karma, meski masih berusia muda tapi
memiliki kesaktian yang langka. Maharaja Indra Dewa pun tak mau kehilangan
muka, maka segera anak panahnya di arahkan ke udara lalu dilesatkan ke angkasa.
Panahnya mengeluarkan api yang serasa membakar arena medan laga.
Mara Karma pun tak mau kalah prabawa. Ia pun
keluarkan kesaktiannya yang amat sempurna mengalahkan kesaktian Maharaja Indra
Dewa. Terjadilah perang tanding yang luar biasa serunya. Tetapi pada akhirnya
Maharaja Indra Dewa mengakui keunggulan Mara Karma dalam hal adu kesaktian. Ia
pun menyerah kalah. Ia kembali ke alamnya. Tapi ia sempat diteriaki oleh Mara
Karma:
“Hai,
Raja Indra Dewa! Hendak kemanakah engkau? Melarikan nyawamu dari tanganku?!”
Mendengar ejekan itu Raja Indra Dewa amatlah
berang. Ia menghunus pedangnya lalu ditebaskan ke tubuh Mara Karma yang dengan
cepatnya menghidar. Pada suatu kesempatan tatkala gerakan Raja Indra Dewa sudah
kian melemah, Mara Karma tebaskan pedangnya dengan cepatnya ke arah dadanya.
Raja Indra Dewa tak mampu menghindar, maka seketika itu juga ujung pedang Mara
Karma menusuk tembus dada Raja Indra Dewa. Tewaslah Raja Indra Dewa. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya Raja
Indra Dewa berpesan:
“Wahai
Maharaja Mara Karma, aku serahkan putriku Nila Cahaya kepadamu. Janganlah kau
sakiti dia. Dia amat manja kepadaku, kasihanilah dia!”
Berita kematian Raja Indra Dewa di tangan
Mara Karma didengar oleh semua raja-raja taklukan. Termasuk para Menteri dan
para Hulubalang. Mereka semua berdatangan menyembah hormat kepada Maharaja Mara
Karma.
Sementara itu Putri Nila Cahaya yang telah
mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas terbunuh oleh Mara Karma dalam perang
tanding, datang melihat jenazah ayahnya yang diantar oleh dayang-dayang istana.
Melihat kedatangan Putri Nila Cahaya dan para dayang serta beberapa inang
pengasuhnya, Mara Karma memerintahkan kepada para prajuritnya untuk mundur
memberi jalan kepada Putri Nila Cahaya untuk memasuki arena medan laga dimana
jasad ayahnya tewas.
Putri Nila Cahaya melihat jazad ayahnya berbaring
dengan bersimbah darah. Di samping jazad ayahnya tergeletak pula jazad ibunya
yang ikut tewas bela pati dengan keris mengikuti suaminya. Melihat keadaan yang
demikian Putri Nila Cahaya tak kuat menahan rasa sedihnya. Seketika itu juga ia
mengambil keris yang ada di perut ibundanya ingin pula menikamkan keris itu ke
dadanya, tetapi cepat dicegah oleh para inang pengasuh dan para pengawal yang
berada di dekatnya. Putri Nila Cahaya akhirnya pingsan tak kuat melihat keadaan
ayah dan ibunya yang tewas secara tragis.
Singkatlah cerita perang pun selesailah
sudah. Semua tentara pasukan kembali ke negerinya masing-masing. Tak terkecuali
Mara Karma dan prajurit serta para raja jin yang telah membantu Baginda Raja
Mara Karma. Setiba di negeri Puspa Sari, mereka semua disambut dengan berbagai bunyi-bunyian
dan jamuan makanan yang sedap-sedap. Ketika itu Putri Cahaya menangis
tersedu-sedan sambil memeluk Bujangga Indra seraya berkata:
“Duhai
adikku Bujangga Indra, sepeninggal kanda engkau sudah besar.” Sapa Putri Cahaya Khairani kepada adiknya,
Bujangga Indra.
“Sungguh
betapa kanda sangat menahan rasa rindu yang teramat sangat kepada dinda.
Rupanya sudah takdir Tuhan yang Maha Kuasa kita dipertemukan kembali di sini.” Hal itu tentu saja telah
membuat para prajurit dan tamu lainnya terheran-heran dengan apa yang terjadi. Begitu
pula dengan Mara Karma, karena selama ini ia mengenal Bujangga Indra adalah
sahabatnya. Ia amat heran dan hatinya bertanya-tanya melihat istrinya Putri
Cahaya Khairani mengenal Bujangga Indra. Mara Karma mengenal Bujangga Indra
adalah sebagai sahabat karibnya putra dari raja jin. Tetapi ia tadak mengetahui jika istrinya, Putri
Cahaya Khairani dan Bujangga Indra itu sesungguhnya kakak beradik.
“Ya,
kanda! Bagaimakah ceritanya sampai-sampai kakanda sampai di tempat ini?” tanya Bujangga kepada kakaknya Putri Cahaya
Khairani.
“Beginilah
ceritanya,” kata Putri Cahaya
Khairani. Diceritakanlah oleh Putri Cahaya Khairani mulai dari ia diculik
raksasa sampai ia bertemu dengan Mara Karma yang lalu Mara Karma dibuang ke
laut oleh nakhoda kapal sampai bertemu kembali dengannya. Mendengar peristiwa
itu semua yang mendengar ikut bersedih. Semuanya tak terasa meneteskan air
mata.
Mendengar cerita itu, Bujangga datang
menyembah di kaki Mara Karma seraya berkata:
“Beratlah
batok kepala adinda ini menjunjung kasih sayang kakanda.” Lalu Bujangga Indra mencium Mara Karma.
Bujangga Indra pun mengutus seorang
hulubalang untuk menyampaikan berita ini kepada ayahanda Raja Rama Rum Syah. Raja
Rama Rum Syah pun datang dengan membawa banyak harta yang kemudian diberikan
kepada Mara Karma. Oleh Mara Karma harta kekayaan itu pun dibagi-bagi. Sebagian
untuk raja-raja, sebagian lagi untuk para menteri dan hulubalang dan
balatentaranya. Dan sisanya disuruh bawa pulang ke negeri Antah Berantah untuk
balatentara Raja Indra Dewa. Raja Rama Rum Syah pun pulang ke negerinya.
Sepulang Raja Rama Rum Syah ke negerinya,
Putri Nila Cahaya dikawinkan dengan Raja Bujangga Indra, kemudian dijadikan
raja di negeri Merci Indera sebagai pengganti Raja Indra Dewa.
Pesta perkawinan antara Putri Nila Cahaya
dengan Raja Bujangga Indra dirayakan begitu meriah selama empat puluh hari
empat pulu malam lamanya. Bukan main suka cita nya mereka. Begitu pula dengan
Mara Karma dan Mangendra Sari.
Sudah lama Maharaja Bujangga Indra dan Putri
Nila Cahaya di negeri Antah Berantah. Pada suatu hari mereka pamit untuk
mengunjungi ayah bundanya di negeri Mercu Indera.
Sementara itu, Mangendra Sari pulang ke
negeri Palinggan Cahaya untuk memerintah di negeri itu. Dia menggantikan
ayahandanya yang sudah tua.
Akhirnya Mara Karma menjadi raja yang sangat
disegani dan dihormati serta disukai oleh raja-raja di seluruh negeri.
Sabtu,16
November 2019 – 23.53 WIB
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Senin, 11 November 2019
CERITA MARA KARMA 5 "IKAN NUN" Diceritakan oleh Atika Sja'rani
Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Selasa, 12 November 2019 - 10.30 WIB
Selasa, 12 November 2019 - 10.30 WIB
Jatuhnya Mara Karma ke dalam laut diketahui
oleh ikan Nun. Nama Nun diberikan oleh para nelayan sekitar karena ikan Nun selalu
menolong orang yang tenggelam. Jika ada orang yang jatuh dari kapal dan
tenggelam, ikan Nun selalu menolongnya. Didorongnya orang itu ke pantai. Tapi
kali ini tidak. Ikan Nun menolong Mara Karma dengan cara yang lain. Disuruhnya
Mara Karma masuk ke dalam perutnya.
“Wahai
Mara Karma, masuklah ke mulutku!” Samar-samar Mara
Karma mendengar suara itu samar-samar. Tahu-tahu Mara sudah berada di dalam
mulut ikan Nun.
“Hai,
ikan Nun telanlah aku. Biar aku mati. Aku tidak tahan menahan hidup ini. sudah
tak ada yang kuharapkan lagi. Adikku
Putri Cahaya Khairani pergi entah ke mana? Pastilah ia dibawa oleh nakhoda
kapal itu. Semoga adikku itu selamat!” kata
Mara Karma kepada ikan Nun.
“Aduh,
Mara!” Kata ikan Nun sedikit terperanjat mendengar
cerita Mara Karma. “Pasti aku akan mati
jika memakan dagingmu!” Mara Karma
heran mendengar perkataan ikan Nun. Hatinya berkata, ‘Dari mana ikan ini tahu asal-usulku?’ terdengar lagi ikan Nun itu berkata:
“Baiklah,
aku akan antarkan engkau ke negeri seberang!” tetapi Mara Karma meminta kepada ikan Nun agar
ia dibawanya mengikuti kapal barang yang sedang berlayar itu. Ikan Nun
mengabulkan permintaan Mara Karma.
Alkisah sampailah kapal barang itu di negeri
Palinggan Cahaya. Rupanya sang nakhoda kapal itu sudah mengenal, dan merupakan
salah seorang sahabat Raja Palinggan Cahaya. Kapal pun merapat. Sang nakhoda
kapal barang disambut akrab oleh Raja Palinggan Cahaya. Sementara itu, ikan Nun
yang membawa Mara Karma pun sampai pula di pantai Palinggan Cahaya.
Diceritakan, di negeri Palinggan Cahaya
hidup seorang perempuan yang sudah tua. Seperti biasanya keseharian perempuan
tua itu, pagi-pagi sekali pergi ke pantai. Para nelayan di sekitar pantai
sangat mempercayai ramalannya karena selalu terbukti benar. Maka saat mereka
hendak melaut, mereka selalu bertanya kepada perempuan tua itu. Jika diramalkan
cuaca hari itu baik untuk melaut menangkap ikan, maka para nelayan pun
berangkat melaut. Benarlah, hasil ikan yang didapat pun banyak. Terkadang,
bahkan sampai berlimpah. Akan tetapi jika dikatakan hari itu cuacanya buruk,
tak seorang pun nelayan yang berani melaut untuk menangkap ikan.
Pada pagi itu, perempuan tua itulah yang
menemukan ikan Nun besar yang membawa Mara Karma di dalam perutnya terdampar di
pantai. Ia pun segera memberi tahu kepada para penduduk di sekitar pantai
Palinggan Cahaya yang seketika itu juga, baik orang tua, muda, besar-kecil,
anak-anak banyak berdatangan berdatangan ingin melihat ikan Nun besar itu.
Tiba-tiba ada seekor burung yang terbang
berputar-putar di sekitar tempat di mana ikan Nun itu terdampar. Burung itu
memberi tahu berpesan kepada si perempuan tua agar ikan Nun itu jangan dibelah
semuanya. Perut ikan Nun itu hendaknya dibelah dengan daun padi. Semua penduduk
yang melihat ikan Nun itu mendengar dan bersabar. Mereka menunggu perintah dari
si nenek tua. Tak seberapa lama kemudian, setelah melihat dan mengamati segala
sesuatunya, berkatalah si nenek tua:
“Tolong,
ambilkan aku sehelai daun padi!” Kata
si nenek tua kepada seorang nelayan yang berada di dekatnya. Secepatnya nelayan
itu pergi untuk mendapatkan sehelai daun padi. Tak seberapa lama kemudian,
orang itu sudah kembali dengan membawa daun padi digenggamannya yang segera
diberikan kepada si nenek tua. Pada saat itu terdengar lagi suara burung
memberi pesan kepada si nenek tua:
“Wahai
nenek tua, bukalah perut ikan Nun besar itu dengan daun padi yang kau genggam
itu. Hati-hatilah karena di dalam perut ikan Nun itu ada seorang anak raja!”
Sang nenek tua pun segera memotong membuka
perut ikan Nun dengan sehelai daun padi sesuai pesan dari sang burung. Setelah
perut ikan Nun terbuka, benarlah di dalamnya terdapat Mara Karma yang segera ke
luar dari perut ikan Nun besar itu. Setelah itu, sang nenek tua dengan emampuan
spiritualnya mengobati luka perut ikan Nun yang seketika itu juga perut ikan
Nun itu kembali normal seperti sedia kala tanpa ada bekas luka sedikitpun. Ikan
Nun itu pun kembali ke laut.
Pendeklah cerita, sang nenek mengajak Mara
Karma ke rumahnya. Disuruhnya mandi. Selama hidup dengan nenek tua itu Mara
Karma nampak tambah matang cara berpikirnya. Segala macam jenis ikan dan
ilmu-ilmu-ilmu lainnya didapatkan dan dipelajarinya dari nenek tua itu. Dari
hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke
tahun, nampaklah kini Mara Karma semakin gagah dan tampan.
Pada suatu kesempatan bertanyalah Mara Karma
kepada nenek tua itu:
“Nek,
bolhkah cucumu ini bertanya kepada nenek!” Kata Mara Karma kepada si nenek dengan sedikit
manja.
Sang nenek pun menjawab pertanyaan Mara
Karma dengan tersenyum lalu katanya:
“Tentu
saja boleh cucuku, memangnya cucu mau bertanya apa?”
“Terimakasih,
nek. Negeri ini namanya negeri apa, nek? Tanya Mara Karma pula.
“Negeri
ini bernama Palinggan Cahaya. Negeri ini diperintah oleh seorang raja bernama
Mahendra Puspa Indra. Baginda mempunyai seoorang putra mahkota yang tampan dan
gagah perkasa. Selain tampan dan gagah sang putra mahkota juga amat berbudi
bahasa dan baik pula perangainya. Dia bernama Raja Mangendra Sari.” Jawaban sang nenek membuat Mara Karma merasa
tertarik dan penasaran. Maka kembali ia bertanya kepada nenek tua yang sudah
dianggapnya orang tua sendiri:
“Begitu
ya nek, lalu bagaimana lagi cerita selanjutnya tentang putra mahkota yang
bernama Mangendra Sari itu, Nek?”
“Pada
suatu hari Raja Mangendra Sari pergi berburu ke hutan. Di hutan ia tidak
mendapatkan binatang buruan sekor pun juga. Akan tetapi justru Mangendra Sari
berjumpa dengan seorang gadis yang amat cantik jelita parasnya yang duduk
sambil memegang seekor burung. Putri itu pula yang sekarang menjadi
permaisurinya.”
Demi mendengar cerita sang nenek, Mara Karma
seketika terperanjat. Sungguh tak terasa air matanya menetes. Sang nenek
melihat itu lalu bertanya kepada Mara Karma:
“Aduh,
kenapa cucu jadi menangis?”
“Akh,
tidak nek, aku tidak menangis. Mataku Cuma kelilipan saja!” Jawab Mara Karma menyembunyikan rasa sedihnya.
“Cerita
nenek amat menarik, cucu senang sekali mendengarnya, nek!” sang nenek pun melanjutkan ceritanya:
“Sekarang
Baginda itu sedang kedatangan sahabatnya, yaitu seorang nakhoda kapal,” tukas sang nenek.
“Pantai
di sebelah sana itu tempat persinggahan kapal. Jika ada kapal yang singgah,
anak buah kapalnya berkunjung kemari untuk mengetahui cuaca.” Tambahnya.
“Nakhoda
kapal itu beristrikan seorang putri yang cantik pula. Tapi, nenek sendiri belum
pernah melihatnya.”
Agar nenek itu tidak mengetahui apa sebenarnya
yang tersimpan di dalam hatinya, maka Mara Karma mengalihkan cerita ke masalah
lain:
“Oya,nek!
Pekerjaan sehari-hari nenek, apa sih nek?” tanya Mara Karma.
“Pekerjaan
sehari-hari nenek adalah menjual bunga, terutama untuk tamu-tamu yang datang dari
negeri lain ke negeri ini. nenek tidak memiliki keahlian yang lain selain
menjual bunga hasil tanaman nenek itu sendiri, cucuku. Oya, kebun bunga nenek
itu agak jauh dari sini masih ke sebelah sana lagi.” Kata sang nenek sambil menunjukkan jari telunjuknya
ke arah lokasi kebun bunganya.
“Oh,
ya! Besok nenek akan menjajakan bunga-bunga hasil tanaman nenek ke kapal yang
singgah itu. Biasanya anak-anak buah kapal itu amat menyukai bunga-bunga
tanaman nenek untuk pewangi ruangan-ruangan kapalnya agar menjadi harum. Dengan
demikian mereka lebih menyukai dan mencintai kapalnya.
Demi mendengar cerita neneknya itu, Mara
Karma mencari akal untuk mengetahui istri nakhoda itu. Pada satu kesempatan,
Mara Karma bermaksud membantu sang nenek untuk merangkai bunga. Terutama bunga
yang diuntai dengan baik. Kesempatan itu datang ketika kebetulan istri nakhoda
kapal memesan bunga yang sudah dirangkai kepada si nenek :
“Nenek
perangkai bunga, tolong besok bawakan aku bunga yang sudah dirangkai. Aku
senang dengan bunga yang sudah dirangkai karena bunga itu sendiri tidak bisa
merangkai bung.” Prsan istri nakhoda.
Dengan senang hati si nenek tua menyanggupi
pesanan istri nakhoda untuk dibuatkan bunga yang sudah dirangkai. Hal tersebut
diceritakan oleh nenek tua kepada Mara Karma yang seketika itu juga merasa
senang dengan berita itu, karena dengan demikian ia mendapat kesempatan yang
baik untuk mengenali siapa sebenarnya istri sang nakhodaitu. Maka dengan
perasaan suka berkatalah Mara Karma kepada nenek tua yang sudah dianggap
seperti orang tuanya sendiri:
“Nek,
aku akan membuatkan rangkaian bunga yang amat indah untuk istri sang nakhoda
itu. Dan, pastilah ia akan merasa senang dan bahagia sekali jika melihat
rangkaian bunga yang aku buat itu nantinya.” Demikian kata Mara Karma meyakinkan
neneknya.
“Baguslah
kalau begitu, cucuku!” jawab si nenek.
Selama Mara Karma tinggal bersama nenek tua
itu, bunga yang dijual si nenek tidak lagi hanya berupa bunga saja melainkan
bunga-bunga yang sudah dirangkai demikian indah. Dari hasil penjualan bunga
itulah mereka hidup.
Diceritakan tak seberapa lama kemudian rangkaian
bunga pesanan dari istri nakhoda kapal pun selesailah dibuat oleh Mara Karma.
Rangkaian bunga itu lalu diberikan kepada neneknya yang merasa amat puas dengan
hasil rangkaian bunga karya Mara Karma yang nampak demikian indahnya. Sambil
menyerahkan rangkaian bunga yang sudah selesai itu, berkatalah Mara Karma
kepada neneknya:
“Nenek,
bawalah rangkaian bunga ini kepada istri nakhoda!” Mara Karma berpesan
kepada sang nenek agar mencari tahu dan mengenal dekat dengan istri nakhoda
itu. Oleh karena si nenek hampir setiap hari datang ke kapal barang itu, maka
si nenek amat dikenal dan dapat berkenalan akrab dengan istri nakhoda kapal
yang kebetulan adalah penggemar bunga-bunga terutama bunga-bunga yang sudah
dirangkai. Banyak cerita yang didapat dari istri nakhoda itu terutama kisah
hidup tentang dirinya mulai dari dibuang ke hutan oleh ayahnya sampai ia
menjadi istri nakhoda kapal. Semua cerita itu diceritakan kembali kepada Mara Karma.
Mendengar cerita itu bukan main senangnya
hati Mara Karma. Sekarang barulah ia tahu siapa sebenarnya istri nakhoda yang
menjadi tamu Maharaja Mangedra Sari. Rupanya kapal itu adalah kapal yang pernah
ditumpanginya bersama adiknya Putri Cahaya Khairani yang konon adalah telah
menjadi istri nakhoda kapal itu.
Diceritakan setelah sekian hari
beristirahat, si nenek akan kembali menjajakan bunga-bunganya ke kapal dagang
itu. Seperti biasa Mra Karma membantunya
merangkai bunga-bunga yang akan dijual neneknya. Rangkaian bunga yang kali ini
dibuat Mara Karma lebih sepesial, karena di dalamnya disertakan sebuah surat
untuk istri nakhoda yang bukan lain adalah adiknya sendiri. Sewaktu si nenek
akan berangkat, Mara Karma memberi tahu dan berpesan kepada neneknya:
“Nek,
rangkaian bunga yang atu ini tolong berikan kepada istri nakhoda. Dan,
katakanlah bahwa rangkaian ini dari cucumu!” demikian pesan Mara Karma.
Sang nenek sepakat pada pesan Mara Karma.
Ketika ia tiba di dekat kapal dagang itu, sudah banyak orang yang menunggu
untuk membeli rangkaian bunganya. Untunglah si nenek teringat pesan Mara Karma
agar satu rangkaian bunga yang sudah diselipi surat untuk istri nakhoda agar
diberikannya segera. Maka agar tidak dibeli oleh orang lain, ia segera
menyimpannya dengan baik. Setelah rangkaian bunga-bungany habis terjual, ia pun
secepatnya naik ke kapal menemui istri nakhoda lalu menyerahkan rangkaian bunga
titipan dari Mara Karma:
“Duhai
Putri, inilah bunga yang tuan Putri pesan. Bunga ini dirangkai khusus oleh cucu
saya, terimalah, dan saya mohon diri sekarang juga.”
“Oya,
terimasih nek!”
Seperginya si nenek penjual bunga dari kapal
itu, sang istri nakhoda melihat pada salah satu kelopak bunga terdapat tulisan.
Ia pun segera membacanya. Didekapnya kelopak bunga itu, lalu diciumnya. Betapa
bahagianya istri sang nakhoda. Ia merasa seperti menemukan dan mendapatkan
kembali mutiara yang sudah lama hilang. Tiada terasa airmatanya berlinang.
Sungguh ia sangat terharu.
Sementara si nenek tua setiba di rumahnya
langsung mendapat pertanyaan dari Mara Karma:
“Bagaimana
nek, lakukah bunga-bunga kita?”
“Alhamdulillah,
Mara. Bunga-bunga itu habis terjual semua.” Jawab si nenek.
“Oh
ya, syukurlah! Semoga saja di hari-hari berikutnya demikianlah keadaannya.”
Selang beberapa hari kemudian, sang nenek
tua kembali menjual bunga-bunganya ke kapal dagang. Setiba di kapal dagang itu
ia berjumpa dengan istri nakhoda. Akan tetapi kali sang istri nakhoda selain
membeli bunga tapi ia juga meminta kepada si nenek untuk diajari bagaimana cara
merangkai bunga. Hal ini membuat si nenek menjadi bingung dan kelabakan, karena
ia sendiri sesungguhnya tak punya keterampilan untuk merangkai bunga dengan
baik. Rangkaian bunga-bunga yang dijualnya adalah hasil karya dari Mara Karama.
“Nek,
tolonglah ajari saya cara merangkai bunga yang indah seperti rangkaian bunga
yang yang nenek jual kepada saya!”
“Oya,
maaf tuan Putri. Kebetulan hari ini saya tidak membawa kaca mata. Baiklah lain
kali jika nenek kemari akan membawa kaca mata.” Kata si nenek tua berdalih seraya langkahkan
kaki untuk kembali pulang ke rumahnya. Bersamaan dengan itu sang nakhoda tiba
di kapal. Sungguh tak disangka hal ini justru membuat sang Putri amat murka
kepada suaminya, sang nakhoda kapal. Kemurkaan itu timbul karena ia jadi
teringat akan peristiwa yang menimpa diri Mara Karma. Oleh sebab itu, begitu ia
melihat nakhoda kapal datang, sang istri yang bukan lain adalah Putri Cahaya
Khairani langsung mengambil gunting mengancam akan bunuh diri. Suaminya nakhoda
kapal mencegahnya seraya berjanji untuk memenuhi keinginan istrinya. Nakhoda
kapal meminta kepada nenek tua penjual bunga untuk mengajari istrinya cara
merangkai bunga. Kejadian dan peristiwa seperti itu semua diceritakan kepada
Mara Karma. Mara Karma yang mendengar cerita itu meminta kepada nenek tua agar
memenuhi permintaan istri nakhoda kapal Putri Cahaya Khairani.
“Akan
tetapi bagaimana caranya cucuku. Nenek kan tidak pandai merangkai bunga.” Tukas si nenek tua. “Terus terang, apa yang harus
nenek lakukan. Nenek tak bisa merangkai bunga,” tambahnya.
“Baiklah
Nek, aku akan meminta lalat hijau untuk mengikuti nenek. Setiap lalat hijau
hinggap di bunga. Nenek ambil bunga itu untuk dirangkai,” kata Mara Karma.
Senanglah hati si nenek tua itu mendengar
saran Mara Karma. Keesokan harinya pergilah si nenek tua itu untuk memungut
bunga. Kemudian pergilah ia ke kapa dagang untuk mengajari istri nakhoda
merangkai bunga.
Istri nakhoda merasa senang hatinya melihat
nenek tua itu datang. Istri nakhoda pun duduk di sisinya untuk diajari cara
merangkai bunga. Istri nakhoda tersenyum melihat si nenek tua merangkai bunga,
hatinya berkata:
“Rupa-rupanya
lalat-lalat hijau itu yang membantu si nenek merangkai bunga.” Dia melihat, pada setiap bunga yang dihinggapi
lalat hijau pasti diambil oleh si nenek tua untuk dirangkai.
Pada suatu hari datanglah utusan Raja
Palinggan Cahaya. Mereka diutus menjemput istri nakhoda untuk turun ke darat.
Betapalah senangnya hati istri nakhoda itu. Baginya itulah saat yang
ditunggu-tunggu . ia akan lakukan apa yang dibacanya dalam tulisan di kelopak
bunga. Ia akan bertahan tidak kembali lagi ke kapal.
Maharaja Puspa Indra menyuruh istri mentri
untuk menjemput istri nakhoda. Maka
pergilah mereka ke kapal. Sesampai di kapal nakhoda diberi tahu bahwa mereka
disuruh menjemput istrinya. Mendengar itu nakhoda bersuka hati. disuruhnya
istrinya beristirahat di darat. Dengan sangat bahagia, istri nakhoda pergi ke
istana Maharaja Puspa. Sesampainya di istana ia disambut oleh Putri Manda
Ratna, istri Maharaja Puspa Indra Putri Mayang Mangurai istri Baginda Raja
Mangendra Sari; dan Tuan Putri Manda Ratna istri Maharaja Puspa Indra.
Istri nakhoda kemudian menceritakan
hal-ikhwalnya. Diperlihatkannya cincin yang diberikan oleh Mara Karma. Melihat
cincin itu, Putri Mayang Mangurai menangis. Maharaja Puspa Indra dan permasuri
terkejut dengan apa yang terjadi.
“Wahai
ananda Putri Mayang Mangurai, apa sesungguhnya yang anda tangiskan?” Tanya Maharaja Puspa
Indra.
“Ampun
ayahanda, ananda mengenali cincin itu. Cincin itu adalah cincin pemberian
ibunda sewaktu kami dibuang.” Katanya.
“Jika
demikian, di manakah gerangan Kanda Mara Karma berada?” Tanya Maharaja.
“Beliau
tinggal di tepi pantai sebelah sana, dan kanda Mara Karma tinggal bersama nenek
tua.” Kata istri nakhoda.
Mendengar cerita itu, Maharaja Puspa Indra
menyuruh menjemput Mara Karma di rumah nenek tua itu. Tetapi Mara Karma tidak
dapat berjalan karena sakit perut. Maharaja Puspa Indra memerintahkan membawa
usungan untuk membawa Mara Karma ke istana. Apakah yang terjadi? Sesampainya
nenek tua dan rombongan itu berada di tempat, dilihatnya aada kuda semberani.
Di atasnya telah duduk seorang yang gagah perkasa. Siapakah itu? Nenek tua itu
tercengang. Dia tidak mengenali pemuda yang gagah itu. Setelah dekat, ia
ditegur oleh pemuda itu.
“Nenek,
ini aku nek, cucumu, Mara Karma.”
“Oh,
engkau cucuku. Mara Karma, kau tampan sekali. Silahkanlah berangkat, Baginda
Raja menunggumu di istana!”
“Tidak
nek, aku tidak akan berangkat jika tidak bersama nenek!”
Pendek cerita, maka dipersalin pula pakaian
nenek tua itu dengan pakaian yang indah-indah. Setelah siap semuanya maka
berangkatlah rombongan itu ke negeri Palinggan Cahaya. Di sana Maharaja Puspa
Indra, Putri Manda Ratna, Putri Mayang Mangurai, dan Putri Cahaya Khairani
sudah menunggu. Setelah mendengar cerita dari awal sampai akhir. Baginda
Maharaja bertanya:
“Apakah
tuan kenal pada orang yang sudah berbuat kejam terhadap tuan? Mara menjawab, “Ya tuan, orangnya yang duduk di dekat balai genderang itu.”
Baginda Maharaja pun menyuruh menangkap, mengikat, dan membawa orang itu ke
hadapan Mara Karma. Kemala nama orang itu. Ia anak buah kapal yang dinaiki Mara
Karma dan Putri Cahaya. Ia melakukan itu karena diperintah oleh nakhoda. Setelah
dekat, Kemala dilepaskan oleh Mara Karma. Tidak jauh dari tempat itu, nakhoda
kapal duduk. Mara Karma memberikan rambutan.
“Sudah
lama Tuan Nakhoda tiba di sini. Sudah lama pula belum berlayar lagi.” Kata Mara Karma sambil tersenyum.
“panglima
manakah yang tidak kenal dengan Tuan Nakhoda yang terkenal denngan
keberaniannya.” Tambah
Mara Karma.
Nampak merah padam wajah nakhoda
kapalmendengar sindiran Mara Karma. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan
mencari jalan untuk keluar. Melihat gelagat yang tak baik itu, Baginda Raja
bertitah:
“Tangkap
nakhoda itu. Bawa ia bersama Kemala. Ceburkan ia ke laut. suruh semua anak
negeri melihatnya. Biar ia dipermalukan.”
Sementara nakhoda diawa ke laut, Mangendra Sari mengajak Mara Karma
masuk ke istana. Pertemuan yang tidak diduga sebeumnya antara Mara Karma dan
Putri Mayang Mangurai sebagai adiknya serta Putri Cahaya Khairani sebagai
istrinya.
Disambutlah kehadiran Mara Karma di itana
itu secara adat yang dipakai raja-raja. Didudukkanlah Mara Karma di singgasana.
Sesungguhnyalah Mara Karma tidak menghendaki itu. Ia tidak berkeberatan
seandainya hanya dijadikan pengambil air atau kayu. Budi baik baginda raja akan
dibalasnya dengan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
“Mara
Karma, janganlah terlalu merendahkan diri. Cobalah ceritak asal-usul ananda
yang sesungguhnya? Anak siapak ananda? Siapa yang tega membuang ananda?” Tanya Baginda Maharaja Puspa Indra.
“Sungguh
hamba tidak tahu baginda, siapakah yang membuang hamba karena hamba diculik
pada malam hari.” Kata Mara Karma dengan kata-kata
terputus-putus menahan perasaan sedihnya.
Mara Karma sengaja berbohong tidak
menceritakan yang sesungguhnya. Hal itu dilakukan karena merasa khawatir jika
diceritakan akan kejadian sebenarnya baginda raja tidak mau menerimanya.
Dianggapnya hanya cerita yang dibuat-buat hanya mengada saja. tentulah ia akan
malu.
Baginda pun mendesak agar Mara Karma mau
menceritakan yang sebenarnya. Mara Karma tidak tahu bahwa adiknya yang sekarang
telah menjadi istri Mangendra Sari telah membuka rahasia itu di hadapan baginda
raja.
“Ananda
Mara Karma, berkatalah yang sesungguhnya, berkatalah apa yang terjadi
sebenarnya. Tidaklah baik ananda berdusta pada kami yang telah menjadi
pengganti ayah bundamu.” Kata Maharaja
meminta kejujuran Mara Karma agar mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Baginda Maharaja pun sudah dapat melihat
bahwa Mara Karma itu seorang yang rendah hati. tidak mau berkata semaunya. Ia
penuh pertimbangan dan bijaksana. Karena didesak terus, akhirnya Mara Karma pun
bercerita tentang dirinya yang sesungguhnya. Akibat fitnahan raja-raja lain dan
ahli nujum, orang tuanya membuang adik dan dirinya. Demi mendengar cerita itu
Baginda Maharaja akan mengadakan serangan kepada raja-raja yang telah
memfitnah. Tetapi hal ini segera dicegah olh Mara Karma.
“Baginda,
kiranya tidak baiklah kita membalas dendam karena itu hanya akan mendatangkan
perang tak berkesudahan hanya karena saling mendendam tiada habis-habisnya.” Mendengar saran Mara Karma yang amat bijaksana
itu, Baginda Raja pun akhirnya mengurungkan niatnya.
Diceritakan, Mara Karma pun menjadi keluarga
istana. Ia tinggal bersama istrinya tercinta, Putri Cahaya Khairani dan adiknya
Putri Mayang Mangurai yang nama aslinya adalah Putri Nila Kusuma dengan penuh
bahagia.
Setelah sekian lama tinggal di istana
Palinggan Cahaya Mara Karma merasa rindu dengan ayah bundanya. Rasa rindunya
itu disampaikan kepada adiknya Putri Nila Kusuma.
“Jika
Kakanda Mara pulang, dinda pun akan turut, karena dinda pun merasakan rindu
yang teramat sangat kepada ayah dan bunda.”
“Jangan
dinda, kalau kita pulang bersama-sama banyaklah yang mengantar. Selain itu,
kanda merasa khawatir ayah dan bunda sudah tak seperti dulu. Sementara, orang
sudah terlanjur mengetahui kita anak raja. Bagaimana jika hal itu tidak
terbukti karena negeri Puspa Sari sudah hancur.” Kata Mara Karma kepada adiknya.
Menurut cerita, Mara Karma pun berpamitan
kepada baginda raja dan semua penghuni istana. Baginda memahami bagaimana
rindunya hati seorang anak kepada orang tuanya. Setelah dipersiapkan segala sesuatunya, berangkatlah Mara Karma
seorang diri. Dia memang tidak mau dikawal sebagaimana layaknya anak raja.
Setiba di negeri Puspa Sari, ia bertemu
dengan seorang perempuan tua yang membawa kayu bakar. Orang tua itu menyapa
Mara Karma”
“Wahai
anak muda, hendak kemanakah gerangan?” kata
perempuan tua itu. “Dari manakah tuan
datang?”
“Saya
diutus oleh Raja Negeri Palinggan Cahaya. Beliau meminta saya untuk
menyampaikan surat untuk Maharaja Indra Dewa.”
Melihat Mara Karma datang orang tua itu
meniupkan kayu bakarnya ke tanah. Tak tahan rasanya ia menahan rindu seakan ia
bertemu dengan anaknya sendiri. Mara
Karma merasa iba dengan orang tua itu. Orang tua itu pun dipapahnya lalu diajaknya duduk. Mara
melihat gelagat yang menyedihkan. Ia pun bertanya kepada orang tua itu:
“Ibu,
tolong ceritakan! Apa sesungguhnya yang membuat ibu bersedih? Saya melihat
seperti ada sesuatu yang ibu pendam di dalam hati.” kata Mara Karma.
“Betul
anak muda. Apakah anak muda selama pergi menuju ke negeri ini pernah berjumpa dengan dua orang kakak
beradik? Satu perempuan dan satunya lagi laki-laki.” Orang tua itu lalu
menceritakan semua perihal kejadian masa lalunya.
“Oh
ya, bolehkan saya mampir dan menginap di rumah ibu?”
“Tentu
boleh anak muda, asal saja berkenan singgah di rumah ibu yang tak layak itu?” Jawab perempuan tua itu.
Mara Karma melihat keadaan kedua orang tua
suami istri itu tinggal di rumah yang sederhana. Mara Karma memberikan uang untuk
membeli makanan.
“Ibu,
ini saya ada sejumlah uang untuk membeli makanan. Saya akan berada di sini
selama beberapa hari.” Kata Mara Karma
sambil memberikan sumlah uang kepada ibu pemilik rumah itu.
Malam pun tiba. Sang purnama nampak
benderang cahayanya. Di ruang depan dalam rumah yang berada di tepi hutan itu
nampak ibu pemilik rumah dan suaminya serta Mara Karma sedang bercenkerama
mengobrol denga suka cita. Berkatalah Mara Karma:
“Wahai
ibu, jika sekiranya putra ibu ada di sini, dapatkah ibu mengenalnya?”
“Entahlah
anak muda, tetapi ketika ia pergi meninggalkan desa ini masih muda. Jika
dikira-kira, kalau ia berada di sini, yah... seusia anak muda inilah!” kata perempuan tua itu.
Mara Karma tak bisa lagi membendung rasa
rindunya dan berempati sekali dengan penderitaan kedua orang tuanya itu.
Akhirnya ia pun mengakui bahwa ia adalah anaknya sendiri yang amat
dirindukannya itu. Kedua orang tua itu setengah tidak percaya jika anak muda
yang berada di hadapannya itu adalah anak kandungnya sendiri yang selama ini
amat dinanti-nantikan dan dirindukan kehadirannya setiap saat.
Diceritakanlah semuanya oleh Mara Karma
kepada kedua orang tuanya dan mereka nampak berbahagia sekali. Dengan keajaiban
alam yang terjadi, tempat mereka kembali berubah menjadi negeri Puspa Sari
seperti sedia kala. Setelah meminta izin kepada orang tuanya, Mara Karma
kembali ke negeri Palinggan Cahaya dengan membawa berita gembira.
Konon
cerita, akhirnya terjadilah pertemuan antara keluarga dari negeri Palinggan
Cahaya dan keluarga dari Raja Puspa Sari. Nenek tua yang memelihara Mara Karma
selalu diajaknya serta kemana pun keluarga Mara Karma itu pergi. Pertemuan
antar keluarga itu dilaksanakan sebagaimana adat keluarga raja-raja.
Pertemuan keluarga raja negeri Puspa Sari
Negeri Palinggan Cahaya
Senin,11 November
2019
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Langganan:
Postingan (Atom)