Senin, 11 November 2019

CERITA MARA KARMA 5 "IKAN NUN" Diceritakan oleh Atika Sja'rani

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Selasa, 12 November 2019 - 10.30 WIB

Mara Karma dikeluarkan dari perut ikan Nun
Jatuhnya Mara Karma ke dalam laut diketahui oleh ikan Nun.  Nama Nun diberikan oleh para nelayan sekitar karena ikan Nun selalu menolong orang yang tenggelam. Jika ada orang yang jatuh dari kapal dan tenggelam, ikan Nun selalu menolongnya. Didorongnya orang itu ke pantai. Tapi kali ini tidak. Ikan Nun menolong Mara Karma dengan cara yang lain. Disuruhnya Mara Karma masuk ke dalam perutnya.
“Wahai Mara Karma, masuklah ke mulutku!”  Samar-samar Mara Karma mendengar suara itu samar-samar. Tahu-tahu Mara sudah berada di dalam mulut ikan Nun.
“Hai, ikan Nun telanlah aku. Biar aku mati. Aku tidak tahan menahan hidup ini. sudah tak ada yang  kuharapkan lagi. Adikku Putri Cahaya Khairani pergi entah ke mana? Pastilah ia dibawa oleh nakhoda kapal itu. Semoga adikku itu selamat!”  kata Mara Karma kepada ikan Nun.
“Aduh, Mara!”  Kata ikan Nun sedikit terperanjat mendengar cerita Mara Karma. “Pasti aku akan mati jika memakan dagingmu!”  Mara Karma heran mendengar perkataan ikan Nun. Hatinya berkata, ‘Dari mana ikan ini tahu asal-usulku?’  terdengar lagi ikan Nun itu berkata:
“Baiklah, aku akan antarkan engkau ke negeri seberang!”  tetapi Mara Karma meminta kepada ikan Nun agar ia dibawanya mengikuti kapal barang yang sedang berlayar itu. Ikan Nun mengabulkan permintaan Mara Karma.
Alkisah sampailah kapal barang itu di negeri Palinggan Cahaya. Rupanya sang nakhoda kapal itu sudah mengenal, dan merupakan salah seorang sahabat Raja Palinggan Cahaya. Kapal pun merapat. Sang nakhoda kapal barang disambut akrab oleh Raja Palinggan Cahaya. Sementara itu, ikan Nun yang membawa Mara Karma pun sampai pula di pantai Palinggan Cahaya.
Diceritakan, di negeri Palinggan Cahaya hidup seorang perempuan yang sudah tua. Seperti biasanya keseharian perempuan tua itu, pagi-pagi sekali pergi ke pantai. Para nelayan di sekitar pantai sangat mempercayai ramalannya karena selalu terbukti benar. Maka saat mereka hendak melaut, mereka selalu bertanya kepada perempuan tua itu. Jika diramalkan cuaca hari itu baik untuk melaut menangkap ikan, maka para nelayan pun berangkat melaut. Benarlah, hasil ikan yang didapat pun banyak. Terkadang, bahkan sampai berlimpah. Akan tetapi jika dikatakan hari itu cuacanya buruk, tak seorang pun nelayan yang berani melaut untuk menangkap ikan.
Pada pagi itu, perempuan tua itulah yang menemukan ikan Nun besar yang membawa Mara Karma di dalam perutnya terdampar di pantai. Ia pun segera memberi tahu kepada para penduduk di sekitar pantai Palinggan Cahaya yang seketika itu juga, baik orang tua, muda, besar-kecil, anak-anak banyak berdatangan berdatangan ingin melihat ikan Nun besar itu.
Tiba-tiba ada seekor burung yang terbang berputar-putar di sekitar tempat di mana ikan Nun itu terdampar. Burung itu memberi tahu berpesan kepada si perempuan tua agar ikan Nun itu jangan dibelah semuanya. Perut ikan Nun itu hendaknya dibelah dengan daun padi. Semua penduduk yang melihat ikan Nun itu mendengar dan bersabar. Mereka menunggu perintah dari si nenek tua. Tak seberapa lama kemudian, setelah melihat dan mengamati segala sesuatunya, berkatalah si nenek tua:
“Tolong, ambilkan aku sehelai daun padi!”  Kata si nenek tua kepada seorang nelayan yang berada di dekatnya. Secepatnya nelayan itu pergi untuk mendapatkan sehelai daun padi. Tak seberapa lama kemudian, orang itu sudah kembali dengan membawa daun padi digenggamannya yang segera diberikan kepada si nenek tua. Pada saat itu terdengar lagi suara burung memberi pesan kepada si nenek tua:
“Wahai nenek tua, bukalah perut ikan Nun besar itu dengan daun padi yang kau genggam itu. Hati-hatilah karena di dalam perut ikan Nun itu ada seorang anak raja!”
Sang nenek tua pun segera memotong membuka perut ikan Nun dengan sehelai daun padi sesuai pesan dari sang burung. Setelah perut ikan Nun terbuka, benarlah di dalamnya terdapat Mara Karma yang segera ke luar dari perut ikan Nun besar itu. Setelah itu, sang nenek tua dengan emampuan spiritualnya mengobati luka perut ikan Nun yang seketika itu juga perut ikan Nun itu kembali normal seperti sedia kala tanpa ada bekas luka sedikitpun. Ikan Nun itu pun kembali ke laut.                                
Pendeklah cerita, sang nenek mengajak Mara Karma ke rumahnya. Disuruhnya mandi. Selama hidup dengan nenek tua itu Mara Karma nampak tambah matang cara berpikirnya. Segala macam jenis ikan dan ilmu-ilmu-ilmu lainnya didapatkan dan dipelajarinya dari nenek tua itu. Dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun, nampaklah kini Mara Karma semakin gagah dan tampan.
Pada suatu kesempatan bertanyalah Mara Karma kepada nenek tua itu:
“Nek, bolhkah cucumu ini bertanya kepada nenek!”  Kata Mara Karma kepada si nenek dengan sedikit manja.
Sang nenek pun menjawab pertanyaan Mara Karma dengan tersenyum lalu katanya:
“Tentu saja boleh cucuku, memangnya cucu mau bertanya apa?”
“Terimakasih, nek. Negeri ini namanya negeri apa, nek?  Tanya Mara Karma pula.
“Negeri ini bernama Palinggan Cahaya. Negeri ini diperintah oleh seorang raja bernama Mahendra Puspa Indra. Baginda mempunyai seoorang putra mahkota yang tampan dan gagah perkasa. Selain tampan dan gagah sang putra mahkota juga amat berbudi bahasa dan baik pula perangainya. Dia bernama Raja Mangendra Sari.”  Jawaban sang nenek membuat Mara Karma merasa tertarik dan penasaran. Maka kembali ia bertanya kepada nenek tua yang sudah dianggapnya orang tua sendiri:
“Begitu ya nek, lalu bagaimana lagi cerita selanjutnya tentang putra mahkota yang bernama Mangendra Sari itu, Nek?”
“Pada suatu hari Raja Mangendra Sari pergi berburu ke hutan. Di hutan ia tidak mendapatkan binatang buruan sekor pun juga. Akan tetapi justru Mangendra Sari berjumpa dengan seorang gadis yang amat cantik jelita parasnya yang duduk sambil memegang seekor burung. Putri itu pula yang sekarang menjadi permaisurinya.”
Demi mendengar cerita sang nenek, Mara Karma seketika terperanjat. Sungguh tak terasa air matanya menetes. Sang nenek melihat itu lalu bertanya kepada Mara Karma:
“Aduh, kenapa cucu jadi menangis?”
“Akh, tidak nek, aku tidak menangis. Mataku Cuma kelilipan saja!”  Jawab Mara Karma menyembunyikan rasa sedihnya.
“Cerita nenek amat menarik, cucu senang sekali mendengarnya, nek!”  sang nenek pun melanjutkan ceritanya:
“Sekarang Baginda itu sedang kedatangan sahabatnya, yaitu seorang nakhoda kapal,” tukas sang nenek.
“Pantai di sebelah sana itu tempat persinggahan kapal. Jika ada kapal yang singgah, anak buah kapalnya berkunjung kemari untuk mengetahui cuaca.” Tambahnya.
“Nakhoda kapal itu beristrikan seorang putri yang cantik pula. Tapi, nenek sendiri belum pernah melihatnya.”
Agar nenek itu tidak mengetahui apa sebenarnya yang tersimpan di dalam hatinya, maka Mara Karma mengalihkan cerita ke masalah lain:
“Oya,nek! Pekerjaan sehari-hari nenek, apa sih nek?” tanya Mara Karma.
“Pekerjaan sehari-hari nenek adalah menjual bunga, terutama untuk tamu-tamu yang datang dari negeri lain ke negeri ini. nenek tidak memiliki keahlian yang lain selain menjual bunga hasil tanaman nenek itu sendiri, cucuku. Oya, kebun bunga nenek itu agak jauh dari sini masih ke sebelah sana lagi.”  Kata sang nenek sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah lokasi kebun bunganya.
“Oh, ya! Besok nenek akan menjajakan bunga-bunga hasil tanaman nenek ke kapal yang singgah itu. Biasanya anak-anak buah kapal itu amat menyukai bunga-bunga tanaman nenek untuk pewangi ruangan-ruangan kapalnya agar menjadi harum. Dengan demikian mereka lebih menyukai dan mencintai kapalnya.
Demi mendengar cerita neneknya itu, Mara Karma mencari akal untuk mengetahui istri nakhoda itu. Pada satu kesempatan, Mara Karma bermaksud membantu sang nenek untuk merangkai bunga. Terutama bunga yang diuntai dengan baik. Kesempatan itu datang ketika kebetulan istri nakhoda kapal memesan bunga yang sudah dirangkai kepada si nenek :
“Nenek perangkai bunga, tolong besok bawakan aku bunga yang sudah dirangkai. Aku senang dengan bunga yang sudah dirangkai karena bunga itu sendiri tidak bisa merangkai bung.”  Prsan istri nakhoda.
Dengan senang hati si nenek tua menyanggupi pesanan istri nakhoda untuk dibuatkan bunga yang sudah dirangkai. Hal tersebut diceritakan oleh nenek tua kepada Mara Karma yang seketika itu juga merasa senang dengan berita itu, karena dengan demikian ia mendapat kesempatan yang baik untuk mengenali siapa sebenarnya istri sang nakhodaitu. Maka dengan perasaan suka berkatalah Mara Karma kepada nenek tua yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri:
“Nek, aku akan membuatkan rangkaian bunga yang amat indah untuk istri sang nakhoda itu. Dan, pastilah ia akan merasa senang dan bahagia sekali jika melihat rangkaian bunga yang aku buat itu nantinya.” Demikian kata Mara Karma meyakinkan neneknya.
“Baguslah kalau begitu, cucuku!”  jawab si nenek.
Selama Mara Karma tinggal bersama nenek tua itu, bunga yang dijual si nenek tidak lagi hanya berupa bunga saja melainkan bunga-bunga yang sudah dirangkai demikian indah. Dari hasil penjualan bunga itulah mereka hidup.
Diceritakan tak seberapa lama kemudian rangkaian bunga pesanan dari istri nakhoda kapal pun selesailah dibuat oleh Mara Karma. Rangkaian bunga itu lalu diberikan kepada neneknya yang merasa amat puas dengan hasil rangkaian bunga karya Mara Karma yang nampak demikian indahnya. Sambil menyerahkan rangkaian bunga yang sudah selesai itu, berkatalah Mara Karma kepada neneknya:
“Nenek, bawalah rangkaian bunga ini kepada istri nakhoda!” Mara Karma berpesan kepada sang nenek agar mencari tahu dan mengenal dekat dengan istri nakhoda itu. Oleh karena si nenek hampir setiap hari datang ke kapal barang itu, maka si nenek amat dikenal dan dapat berkenalan akrab dengan istri nakhoda kapal yang kebetulan adalah penggemar bunga-bunga terutama bunga-bunga yang sudah dirangkai. Banyak cerita yang didapat dari istri nakhoda itu terutama kisah hidup tentang dirinya mulai dari dibuang ke hutan oleh ayahnya sampai ia menjadi istri nakhoda kapal. Semua cerita itu diceritakan kembali kepada Mara Karma.
Mendengar cerita itu bukan main senangnya hati Mara Karma. Sekarang barulah ia tahu siapa sebenarnya istri nakhoda yang menjadi tamu Maharaja Mangedra Sari. Rupanya kapal itu adalah kapal yang pernah ditumpanginya bersama adiknya Putri Cahaya Khairani yang konon adalah telah menjadi istri nakhoda kapal itu.
Diceritakan setelah sekian hari beristirahat, si nenek akan kembali menjajakan bunga-bunganya ke kapal dagang itu. Seperti biasa Mra Karma  membantunya merangkai bunga-bunga yang akan dijual neneknya. Rangkaian bunga yang kali ini dibuat Mara Karma lebih sepesial, karena di dalamnya disertakan sebuah surat untuk istri nakhoda yang bukan lain adalah adiknya sendiri. Sewaktu si nenek akan berangkat, Mara Karma memberi tahu dan berpesan kepada neneknya:
“Nek, rangkaian bunga yang atu ini tolong berikan kepada istri nakhoda. Dan, katakanlah bahwa rangkaian ini dari cucumu!” demikian pesan Mara Karma.
Sang nenek sepakat pada pesan Mara Karma. Ketika ia tiba di dekat kapal dagang itu, sudah banyak orang yang menunggu untuk membeli rangkaian bunganya. Untunglah si nenek teringat pesan Mara Karma agar satu rangkaian bunga yang sudah diselipi surat untuk istri nakhoda agar diberikannya segera. Maka agar tidak dibeli oleh orang lain, ia segera menyimpannya dengan baik. Setelah rangkaian bunga-bungany habis terjual, ia pun secepatnya naik ke kapal menemui istri nakhoda lalu menyerahkan rangkaian bunga titipan dari  Mara Karma:
“Duhai Putri, inilah bunga yang tuan Putri pesan. Bunga ini dirangkai khusus oleh cucu saya, terimalah, dan saya mohon diri sekarang juga.”
“Oya, terimasih nek!”
Seperginya si nenek penjual bunga dari kapal itu, sang istri nakhoda melihat pada salah satu kelopak bunga terdapat tulisan. Ia pun segera membacanya. Didekapnya kelopak bunga itu, lalu diciumnya. Betapa bahagianya istri sang nakhoda. Ia merasa seperti menemukan dan mendapatkan kembali mutiara yang sudah lama hilang. Tiada terasa airmatanya berlinang. Sungguh ia sangat terharu.
Sementara si nenek tua setiba di rumahnya langsung mendapat pertanyaan dari Mara Karma:
“Bagaimana nek, lakukah bunga-bunga kita?”
“Alhamdulillah, Mara. Bunga-bunga itu habis terjual semua.” Jawab si nenek.
“Oh ya, syukurlah! Semoga saja di hari-hari berikutnya demikianlah keadaannya.”
Selang beberapa hari kemudian, sang nenek tua kembali menjual bunga-bunganya ke kapal dagang. Setiba di kapal dagang itu ia berjumpa dengan istri nakhoda. Akan tetapi kali sang istri nakhoda selain membeli bunga tapi ia juga meminta kepada si nenek untuk diajari bagaimana cara merangkai bunga. Hal ini membuat si nenek menjadi bingung dan kelabakan, karena ia sendiri sesungguhnya tak punya keterampilan untuk merangkai bunga dengan baik. Rangkaian bunga-bunga yang dijualnya adalah hasil karya dari Mara Karama.
“Nek, tolonglah ajari saya cara merangkai bunga yang indah seperti rangkaian bunga yang yang nenek jual kepada saya!”
“Oya, maaf tuan Putri. Kebetulan hari ini saya tidak membawa kaca mata. Baiklah lain kali jika nenek kemari akan membawa kaca mata.”  Kata si nenek tua berdalih seraya langkahkan kaki untuk kembali pulang ke rumahnya. Bersamaan dengan itu sang nakhoda tiba di kapal. Sungguh tak disangka hal ini justru membuat sang Putri amat murka kepada suaminya, sang nakhoda kapal. Kemurkaan itu timbul karena ia jadi teringat akan peristiwa yang menimpa diri Mara Karma. Oleh sebab itu, begitu ia melihat nakhoda kapal datang, sang istri yang bukan lain adalah Putri Cahaya Khairani langsung mengambil gunting mengancam akan bunuh diri. Suaminya nakhoda kapal mencegahnya seraya berjanji untuk memenuhi keinginan istrinya. Nakhoda kapal meminta kepada nenek tua penjual bunga untuk mengajari istrinya cara merangkai bunga. Kejadian dan peristiwa seperti itu semua diceritakan kepada Mara Karma. Mara Karma yang mendengar cerita itu meminta kepada nenek tua agar memenuhi permintaan istri nakhoda kapal Putri Cahaya Khairani.
“Akan tetapi bagaimana caranya cucuku. Nenek kan tidak pandai merangkai bunga.”  Tukas si nenek tua. “Terus terang, apa yang harus nenek lakukan. Nenek tak bisa merangkai bunga,”  tambahnya.
“Baiklah Nek, aku akan meminta lalat hijau untuk mengikuti nenek. Setiap lalat hijau hinggap di bunga. Nenek ambil bunga itu untuk dirangkai,”  kata Mara Karma.
Senanglah hati si nenek tua itu mendengar saran Mara Karma. Keesokan harinya pergilah si nenek tua itu untuk memungut bunga. Kemudian pergilah ia ke kapa dagang untuk mengajari istri nakhoda merangkai bunga.
Istri nakhoda merasa senang hatinya melihat nenek tua itu datang. Istri nakhoda pun duduk di sisinya untuk diajari cara merangkai bunga. Istri nakhoda tersenyum melihat si nenek tua merangkai bunga, hatinya berkata:
“Rupa-rupanya lalat-lalat hijau itu yang membantu si nenek merangkai bunga.”  Dia melihat, pada setiap bunga yang dihinggapi lalat hijau pasti diambil oleh si nenek tua untuk dirangkai.
Pada suatu hari datanglah utusan Raja Palinggan Cahaya. Mereka diutus menjemput istri nakhoda untuk turun ke darat. Betapalah senangnya hati istri nakhoda itu. Baginya itulah saat yang ditunggu-tunggu . ia akan lakukan apa yang dibacanya dalam tulisan di kelopak bunga. Ia akan bertahan tidak kembali lagi ke kapal.
Maharaja Puspa Indra menyuruh istri mentri untuk menjemput  istri nakhoda. Maka pergilah mereka ke kapal. Sesampai di kapal nakhoda diberi tahu bahwa mereka disuruh menjemput istrinya. Mendengar itu nakhoda bersuka hati. disuruhnya istrinya beristirahat di darat. Dengan sangat bahagia, istri nakhoda pergi ke istana Maharaja Puspa. Sesampainya di istana ia disambut oleh Putri Manda Ratna, istri Maharaja Puspa Indra Putri Mayang Mangurai istri Baginda Raja Mangendra Sari; dan Tuan Putri Manda Ratna istri Maharaja Puspa Indra.
Istri nakhoda kemudian menceritakan hal-ikhwalnya. Diperlihatkannya cincin yang diberikan oleh Mara Karma. Melihat cincin itu, Putri Mayang Mangurai menangis. Maharaja Puspa Indra dan permasuri terkejut dengan apa yang terjadi.
“Wahai ananda Putri Mayang Mangurai, apa sesungguhnya yang anda tangiskan?” Tanya Maharaja Puspa Indra.
“Ampun ayahanda, ananda mengenali cincin itu. Cincin itu adalah cincin pemberian ibunda sewaktu kami dibuang.” Katanya.
“Jika demikian, di manakah gerangan Kanda Mara Karma berada?” Tanya Maharaja.
“Beliau tinggal di tepi pantai sebelah sana, dan kanda Mara Karma tinggal bersama nenek tua.”  Kata istri nakhoda.
Mendengar cerita itu, Maharaja Puspa Indra menyuruh menjemput Mara Karma di rumah nenek tua itu. Tetapi Mara Karma tidak dapat berjalan karena sakit perut. Maharaja Puspa Indra memerintahkan membawa usungan untuk membawa Mara Karma ke istana. Apakah yang terjadi? Sesampainya nenek tua dan rombongan itu berada di tempat, dilihatnya aada kuda semberani. Di atasnya telah duduk seorang yang gagah perkasa. Siapakah itu? Nenek tua itu tercengang. Dia tidak mengenali pemuda yang gagah itu. Setelah dekat, ia ditegur oleh pemuda itu.
“Nenek, ini aku nek, cucumu, Mara Karma.”
“Oh, engkau cucuku. Mara Karma, kau tampan sekali. Silahkanlah berangkat, Baginda Raja menunggumu di istana!”
“Tidak nek, aku tidak akan berangkat jika tidak bersama nenek!”
Pendek cerita, maka dipersalin pula pakaian nenek tua itu dengan pakaian yang indah-indah. Setelah siap semuanya maka berangkatlah rombongan itu ke negeri Palinggan Cahaya. Di sana Maharaja Puspa Indra, Putri Manda Ratna, Putri Mayang Mangurai, dan Putri Cahaya Khairani sudah menunggu. Setelah mendengar cerita dari awal sampai akhir. Baginda Maharaja bertanya:
“Apakah tuan kenal pada orang yang sudah berbuat kejam terhadap tuan?  Mara menjawab, “Ya tuan, orangnya yang duduk di dekat balai genderang itu.”
Baginda Maharaja pun menyuruh  menangkap, mengikat, dan membawa orang itu ke hadapan Mara Karma. Kemala nama orang itu. Ia anak buah kapal yang dinaiki Mara Karma dan Putri Cahaya. Ia melakukan itu karena diperintah oleh nakhoda. Setelah dekat, Kemala dilepaskan oleh Mara Karma. Tidak jauh dari tempat itu, nakhoda kapal duduk. Mara Karma memberikan rambutan.
“Sudah lama Tuan Nakhoda tiba di sini. Sudah lama pula belum berlayar lagi.”  Kata Mara Karma sambil tersenyum.
“panglima manakah yang tidak kenal dengan Tuan Nakhoda yang terkenal denngan keberaniannya.” Tambah Mara Karma.
Nampak merah padam wajah nakhoda kapalmendengar sindiran Mara Karma. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari jalan untuk keluar. Melihat gelagat yang tak baik itu, Baginda Raja bertitah:
“Tangkap nakhoda itu. Bawa ia bersama Kemala. Ceburkan ia ke laut. suruh semua anak negeri melihatnya. Biar ia dipermalukan.”
Sementara nakhoda diawa ke  laut, Mangendra Sari mengajak Mara Karma masuk ke istana. Pertemuan yang tidak diduga sebeumnya antara Mara Karma dan Putri Mayang Mangurai sebagai adiknya serta Putri Cahaya Khairani sebagai istrinya.
Disambutlah kehadiran Mara Karma di itana itu secara adat yang dipakai raja-raja. Didudukkanlah Mara Karma di singgasana. Sesungguhnyalah Mara  Karma tidak  menghendaki itu. Ia tidak berkeberatan seandainya hanya dijadikan pengambil air atau kayu. Budi baik baginda raja akan dibalasnya dengan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
“Mara Karma, janganlah terlalu merendahkan diri. Cobalah ceritak asal-usul ananda yang sesungguhnya? Anak siapak ananda? Siapa yang tega membuang ananda?”  Tanya Baginda Maharaja Puspa Indra.
“Sungguh hamba tidak tahu baginda, siapakah yang membuang hamba karena hamba diculik pada malam hari.”  Kata Mara Karma dengan kata-kata terputus-putus menahan perasaan sedihnya.
Mara Karma sengaja berbohong tidak menceritakan yang sesungguhnya. Hal itu dilakukan karena merasa khawatir jika diceritakan akan kejadian sebenarnya baginda raja tidak mau menerimanya. Dianggapnya hanya cerita yang dibuat-buat hanya mengada saja. tentulah ia akan malu.
Baginda pun mendesak agar Mara Karma mau menceritakan yang sebenarnya. Mara Karma tidak tahu bahwa adiknya yang sekarang telah menjadi istri Mangendra Sari telah membuka rahasia itu di hadapan baginda raja.
“Ananda Mara Karma, berkatalah yang sesungguhnya, berkatalah apa yang terjadi sebenarnya. Tidaklah baik ananda berdusta pada kami yang telah menjadi pengganti ayah bundamu.”  Kata Maharaja meminta kejujuran Mara Karma agar mau menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Baginda Maharaja pun sudah dapat melihat bahwa Mara Karma itu seorang yang rendah hati. tidak mau berkata semaunya. Ia penuh pertimbangan dan bijaksana. Karena didesak terus, akhirnya Mara Karma pun bercerita tentang dirinya yang sesungguhnya. Akibat fitnahan raja-raja lain dan ahli nujum, orang tuanya membuang adik dan dirinya. Demi mendengar cerita itu Baginda Maharaja akan mengadakan serangan kepada raja-raja yang telah memfitnah. Tetapi hal ini segera dicegah olh Mara Karma.
“Baginda, kiranya tidak baiklah kita membalas dendam karena itu hanya akan mendatangkan perang tak berkesudahan hanya karena saling mendendam tiada habis-habisnya.”  Mendengar saran Mara Karma yang amat bijaksana itu, Baginda Raja pun akhirnya mengurungkan niatnya.
Diceritakan, Mara Karma pun menjadi keluarga istana. Ia tinggal bersama istrinya tercinta, Putri Cahaya Khairani dan adiknya Putri Mayang Mangurai yang nama aslinya adalah Putri Nila Kusuma dengan penuh bahagia.
Setelah sekian lama tinggal di istana Palinggan Cahaya Mara Karma merasa rindu dengan ayah bundanya. Rasa rindunya itu disampaikan kepada adiknya Putri Nila Kusuma.
“Jika Kakanda Mara pulang, dinda pun akan turut, karena dinda pun merasakan rindu yang teramat sangat kepada ayah dan bunda.”
“Jangan dinda, kalau kita pulang bersama-sama banyaklah yang mengantar. Selain itu, kanda merasa khawatir ayah dan bunda sudah tak seperti dulu. Sementara, orang sudah terlanjur mengetahui kita anak raja. Bagaimana jika hal itu tidak terbukti karena negeri Puspa Sari sudah hancur.”  Kata Mara Karma kepada adiknya.
Menurut cerita, Mara Karma pun berpamitan kepada baginda raja dan semua penghuni istana. Baginda memahami bagaimana rindunya hati seorang anak kepada orang tuanya. Setelah dipersiapkan segala sesuatunya, berangkatlah Mara Karma seorang diri. Dia memang tidak mau dikawal sebagaimana layaknya anak raja.
Setiba di negeri Puspa Sari, ia bertemu dengan seorang perempuan tua yang membawa kayu bakar. Orang tua itu menyapa Mara Karma”
“Wahai anak muda, hendak kemanakah gerangan?”  kata perempuan tua itu. “Dari manakah tuan datang?”
“Saya diutus oleh Raja Negeri Palinggan Cahaya. Beliau meminta saya untuk menyampaikan surat untuk Maharaja Indra Dewa.”
Melihat Mara Karma datang orang tua itu meniupkan kayu bakarnya ke tanah. Tak tahan rasanya ia menahan rindu seakan ia bertemu dengan anaknya sendiri.  Mara Karma merasa iba dengan orang tua itu. Orang tua itu  pun dipapahnya lalu diajaknya duduk. Mara melihat gelagat yang menyedihkan. Ia pun bertanya kepada orang tua itu:
“Ibu, tolong ceritakan! Apa sesungguhnya yang membuat ibu bersedih? Saya melihat seperti ada sesuatu yang ibu pendam di dalam hati.”  kata Mara Karma.
“Betul anak muda. Apakah anak muda selama pergi menuju ke negeri ini  pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik? Satu perempuan dan satunya lagi laki-laki.” Orang tua itu lalu menceritakan semua perihal kejadian masa lalunya.
“Oh ya, bolehkan saya mampir dan menginap di rumah ibu?”
“Tentu boleh anak muda, asal saja berkenan singgah di rumah ibu yang tak layak itu?”  Jawab perempuan tua itu.
Mara Karma melihat keadaan kedua orang tua suami istri itu tinggal di rumah yang sederhana. Mara Karma memberikan uang untuk membeli makanan.
“Ibu, ini saya ada sejumlah uang untuk membeli makanan. Saya akan berada di sini selama beberapa hari.”  Kata Mara Karma sambil memberikan sumlah uang kepada ibu pemilik rumah itu.
Malam pun tiba. Sang purnama nampak benderang cahayanya. Di ruang depan dalam rumah yang berada di tepi hutan itu nampak ibu pemilik rumah dan suaminya serta Mara Karma sedang bercenkerama mengobrol denga suka cita. Berkatalah Mara Karma:
“Wahai ibu, jika sekiranya putra ibu ada di sini, dapatkah ibu mengenalnya?”
“Entahlah anak muda, tetapi ketika ia pergi meninggalkan desa ini masih muda. Jika dikira-kira, kalau ia berada di sini, yah... seusia anak muda inilah!”  kata perempuan tua itu.
Mara Karma tak bisa lagi membendung rasa rindunya dan berempati sekali dengan penderitaan kedua orang tuanya itu. Akhirnya ia pun mengakui bahwa ia adalah anaknya sendiri yang amat dirindukannya itu. Kedua orang tua itu setengah tidak percaya jika anak muda yang berada di hadapannya itu adalah anak kandungnya sendiri yang selama ini amat dinanti-nantikan dan dirindukan kehadirannya setiap saat.
Diceritakanlah semuanya oleh Mara Karma kepada kedua orang tuanya dan mereka nampak berbahagia sekali. Dengan keajaiban alam yang terjadi, tempat mereka kembali berubah menjadi negeri Puspa Sari seperti sedia kala. Setelah meminta izin kepada orang tuanya, Mara Karma kembali ke negeri Palinggan Cahaya dengan membawa berita gembira.
Konon cerita, akhirnya terjadilah pertemuan antara keluarga dari negeri Palinggan Cahaya dan keluarga dari Raja Puspa Sari. Nenek tua yang memelihara Mara Karma selalu diajaknya serta kemana pun keluarga Mara Karma itu pergi. Pertemuan antar keluarga itu dilaksanakan sebagaimana adat keluarga raja-raja.

                                                Pertemuan keluarga raja negeri Puspa Sari
Negeri Palinggan Cahaya

    
Senin,11 November 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar