Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 16 November 2019 - 23.53 WIB
Sabtu, 16 November 2019 - 23.53 WIB
CERITA MARA KARMA 6
“MAHA RAJA MARA
KARMA”
Diceritakan oleh Atika Sja’rani
Pada suatu ketika terdengar kabar Maharaja
Indra Dewa akan mengadakan perang terhadap Mara Karma. Maharaja Indra Dewa
memerintahkan semua menteri dan hulu balangnya agar bersiap-siap. Hatinya
sangat masygul mendengar kerajaan Mara Karma bertambah besar.
“Hm, Aku harus menyerang dia lebih dahulu
sebelum dia menyerang aku.” Kata
Maharaja Indra Dewa.
“Himpun
semua raja taklukan, dan perintahkan untuk bersiap-siap menyerang kerajaan Mara
Karma,” tambahnya.
Maka diperintahkanlah para menteri dan hulu
balang untuk mengantarkan surat perintah ke pada seluruh raja taklukannya agar
segera mempersiapkan keperluan perang.
Kabar tersebut didengar oleh Mara Karma,
maka Mara Karma pun mengabarkan berita tersebut kepada ayahandanya Baginda Raja
Mangendra Sari.
“Baiklah, jika demikkian! Janganlah ananda
berdua yang maju ke medan perang. Biarlah ayahanda yang menghadapi Maharaja
Indra Dewa. Jika ayahanda kalah dan gugur, barulah ananda berdua maju.”
“Tidak,
Ayahanda! Ayahanda tidak usah mengahadapi Maharaja Indra Dewa itu, biarlah
ananda saja. jika Ayahanda masih tetap ingin perang menghadapi Maharaja Indra
Dewa, lebih baik bunuh ananda terlebih dahulu,” kata Mara Karma memohon kepada ayahnya.
“Terus
terang ananda, ayahanda merasa khawatir dengan keselamatan kalian berdua.
Maharaja Indra Dewa itu sungguh pandai bertipu muslihat dalam perang, sementara
ananda belum berpengalaman.” Kata
ayahnya Baginda Raja Puspa Indra.
“Baiklah, jika demikian ayahanda hanya bisa berdoa,
semoga ananda berdua dapat mengalahkan Maharaja Indra Dewa!” kata Baginda Raja menambahkan.
Menurut yang empunya cerita, Baginda Raja
Puspa Indra akhirnya merestui putranya Mara Karma, dan Mangendra Sari untuk
berperang melawan Maharaja Indra Dewa. Maka Mara Karma pun segera merpesiapkan
peralatan dan pasukan perangnya.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar teriakan
keras mengumpat memanggil nama Mara Karma:
“Hai
Mara Karma jika kamu mau mati, datanglah kemari, dan kalau engkau masih mau tetap
hidup, menyembahlah kepada raja kami!”
Mendengar itu pasukan perang Mara Karma merasa
terhina. Mereka marah lalu membalasnya
dengan berkata:
“Wuaaah,
kamu orang Indra Dewa jangan sebut nama raja kami sebelum kalian mampu
mengalahkan kami.”
Rupanya perang tak dapat lagi dielakkan.
Terdengarlah bunyi genderang perang pertanda perang dimulai. Bunyi kilatan
senjata pedang dari para prajurit kedua pasukan yang saling serang. Darah pun
mulai tumpah membasahi bumi dari kedua prajurit yang luka-luka dan tewas
seketika. Mayat-mayat dari kedua pasukan yang berperang bergelimpangan di
sana-sini. Bau anyir darah dan bangkai-bangkai yang tewas amat menyesakkan hingga
menimbulkan rasa mual yang demikian menyiksa pernapasan.
Singkatlah cerita, akhirnya pasukan Mara
Karma dan Mangendra Sari pada akhirnya dapat mengalahkan pasukan Maharaja Indra
Dewa. Dan, Maharaja Indra Dewa menyerahkn diri mereka pulang ke negerinya lalu
memberitahukan kekalahannya kepada ayahandanya. Akan tetapi kekalahan itu
membuat hatinya merasa penasaran dan merasa dendam.
Beberapa pekan kemudian Maharaja Indra Dewa kembali mengobarkan perang
kepada Maharaja Puspa Indra. Ia begitu mendendam kepada putra mahkota, Mara
Karma dan Mangendra Sari yang telah mengalahkannya dalam perang tempo hari. Tapi
kali ini hatinya begitu amat penasaran:
“Huh,
selama dalam perang-perang yang aku jalani belum pernah aku merasakan seperti
ini. Kepalaku sudah serasa terpisah dari badanku. Dan, konon menurut berita
yang aku terima dari telik sandi, dalam perang yang akan datang pasukan Mara
Karma dan Mangendra Sari itu akan dibantu oleh delapan raja-raja jin dari delapan negeri jin. Meskipun demikian aku
pantang menyerah dan aku harus tetap hidup untuk memenangkan pertempuran ini.” Demikian kata Maharaja Indra Dewa dalam
hatinya.
Sementara itu di kerajaan Puspa Indra
pasukannya sudah siap siaga. Apalagi sekarang mereka dibantu oleh pasukan jin
dari delapan negeri jin yang telah takluk kepada kerajaan Puspa Indra dibawah
pipimpinan Mara Karma dan Mangendra Sari.
kedelapan raja jin itu sedang menghadap sang
putra mahkota Mara Karma dan Mangendra sari di balairung istana:
“Wahai
tuanku Raja Mara Karma dan Mangendra sari, kami delapan jin dari kerajaan jin siap
membantu tuan untuk memenangkan perang melawan kerajaan Maharaja Indra Dewa.” Kata kedelapan jin secara serempak.
Setelah menikmati jamuan yang disediakan,
mereka pun bersiap-siap berangkat ke medan laga. Mara Karma dan Mangendra Sari
memohon izin kepada ayahandanya seraya bersembah dan berkata:
“Ya,
ayahanda! Selama ananda berdua ada, janganlah ayahanda pergi ke medan perang.
Terkecuali jika kami berdua sudah gugur perlaya, barulah ayahanda boleh tampil.
Sementara itu ke delapan raja jin dari delapan
negeri jin masing-masing memperkenalkan diri kepada Mara Karma, Mangendra Sari
dan Ayahandanya, dan Mereka sudah mempunyai tugasnya masing-masing :
“Kami
Maharaja Kashna Indra dan Raja Bujangga Indra menjadi kepala perang. Kami Raja
Indra Mangendra dan Raja Mangendra Dewa menjadi sayap Kanan. Kami Raja
Mangendra Lela dan Raja Candra Lela sebagai sayap Kiri. Dan kami Raja Geragasi Peri dan Raja Dewa Syah sebagai
ekor. Dan, kami siap melakukan perintah dari yang diperduli tuanku Mara Karma
dan Mangendra Sari.” Demikian kata
kedelapan raja jin kepada Mara Karma dan Mangendra Sari yang berperan sebagai
tubuh di dalam perang yang akan mereka lakukan.
Tak seberapa lama kemudian mereka pun
sampailah jua di medan laga yang di sana ternyata sudah menanti dengan siap
siaga pasukan Maharaja Indra Dewa.
Demi melihat strategi tata perang Mara Karma
dan Mangendra Sari yang dibantu oleh delapan raja jin, Maharaja Indra Dewa
perintahkan hulubalangnya untuk memanas-manasi hati pasukan Mara Karma dan
Mangendra sari. Maka berserulah dengan kerasnya beberapa hulubalang:
“Hua
ha ha ha ha, hai Mara Karma dan Mangendra, kemarilah kalian jika ingin mati.
Akan kupenggal kepala kalian berdua!” mendengar kata ejekan seperti itu seorang
prajurit Mara Karma dan Mangendra Sari tersinggung lalu menjawab:
“Wuah...
kamu berani-beraninya menantang raja kami, pada perang yang lalu kenapa kalian tunggang langgang melarikan
diri, ha ha ha, dasar kalian prajurit pengecut!” jawab beberapa orang prajurit Mara Karma
membalas ejekannya.
Mara Karma dan Mangendra Sari yang juga
tersinggung dengan ejekan prajurit Maharaja Indra Dewa berseru dengan keras
kepada Maharaja Indra Dewa:
“Hai,
Raja Indra Dewa! Lihatlah olehmu kepala siapakah itu?!” Seru Mara Karma yang segera perintahkan kepada
Maharaja jin Kashna Indra dan Raja jin Bujangga Indra yang menjadi kepala
perang untuk menyerang Maharaja Indra Dewa seketika itu juga.
Perang yang kedua pun mulailah. Bunyi genderang
perang, suara sorak-sorai para prajurit
yang saling membunuh, dan gemerincing senjata pedang membahana di medan laga
menghiasi baunya kembang-kembang kematian yang silih berganti berguguran.
Nampaklah dalam medan perang itu, raja berhadapan dengan raja, menteri
berhadapan dengan menteri, dan hulubalang berhadapan dengan hulu balang. Ketika
itu Maharaja Indra Dewa melihat seorang anak yang nampak gagah berani dan
tandangnya amatlah ngegegirisi. Maka ia pun menhampiri seraya bertanya :
“Wahai
anak raja siapakah kamu, tandangmu begitu gagahnya, siapakah pula namamu? Segeralah kamu kembali. jangan kamu
datang kemari.”
Mendengar itu, Mara Karma menjawab:
“Hm,
aku datang kemari untuk membunuhmu Raja Indra Dewa!” jawab Mara Karma. Mendengar jawaban itu Mara
Karma itu, betapa amat berangnya hati Maharaja Indra Dewa. Maka dipanahnyalah
Mara Karma. Panah melesat begitu cepatnya tak bisa lagi Mara Karma mengelaknya.
Maka seketika itu api sakti keluar dari badan Mara Karma melindungi tubuh Mara
Karma dari panah Maharaja Indra Dewa yang nyaris membunuhnya. Maharaja Indra
Dewa merasa kagum atas kesaktian Mara Karma, meski masih berusia muda tapi
memiliki kesaktian yang langka. Maharaja Indra Dewa pun tak mau kehilangan
muka, maka segera anak panahnya di arahkan ke udara lalu dilesatkan ke angkasa.
Panahnya mengeluarkan api yang serasa membakar arena medan laga.
Mara Karma pun tak mau kalah prabawa. Ia pun
keluarkan kesaktiannya yang amat sempurna mengalahkan kesaktian Maharaja Indra
Dewa. Terjadilah perang tanding yang luar biasa serunya. Tetapi pada akhirnya
Maharaja Indra Dewa mengakui keunggulan Mara Karma dalam hal adu kesaktian. Ia
pun menyerah kalah. Ia kembali ke alamnya. Tapi ia sempat diteriaki oleh Mara
Karma:
“Hai,
Raja Indra Dewa! Hendak kemanakah engkau? Melarikan nyawamu dari tanganku?!”
Mendengar ejekan itu Raja Indra Dewa amatlah
berang. Ia menghunus pedangnya lalu ditebaskan ke tubuh Mara Karma yang dengan
cepatnya menghidar. Pada suatu kesempatan tatkala gerakan Raja Indra Dewa sudah
kian melemah, Mara Karma tebaskan pedangnya dengan cepatnya ke arah dadanya.
Raja Indra Dewa tak mampu menghindar, maka seketika itu juga ujung pedang Mara
Karma menusuk tembus dada Raja Indra Dewa. Tewaslah Raja Indra Dewa. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya Raja
Indra Dewa berpesan:
“Wahai
Maharaja Mara Karma, aku serahkan putriku Nila Cahaya kepadamu. Janganlah kau
sakiti dia. Dia amat manja kepadaku, kasihanilah dia!”
Berita kematian Raja Indra Dewa di tangan
Mara Karma didengar oleh semua raja-raja taklukan. Termasuk para Menteri dan
para Hulubalang. Mereka semua berdatangan menyembah hormat kepada Maharaja Mara
Karma.
Sementara itu Putri Nila Cahaya yang telah
mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas terbunuh oleh Mara Karma dalam perang
tanding, datang melihat jenazah ayahnya yang diantar oleh dayang-dayang istana.
Melihat kedatangan Putri Nila Cahaya dan para dayang serta beberapa inang
pengasuhnya, Mara Karma memerintahkan kepada para prajuritnya untuk mundur
memberi jalan kepada Putri Nila Cahaya untuk memasuki arena medan laga dimana
jasad ayahnya tewas.
Putri Nila Cahaya melihat jazad ayahnya berbaring
dengan bersimbah darah. Di samping jazad ayahnya tergeletak pula jazad ibunya
yang ikut tewas bela pati dengan keris mengikuti suaminya. Melihat keadaan yang
demikian Putri Nila Cahaya tak kuat menahan rasa sedihnya. Seketika itu juga ia
mengambil keris yang ada di perut ibundanya ingin pula menikamkan keris itu ke
dadanya, tetapi cepat dicegah oleh para inang pengasuh dan para pengawal yang
berada di dekatnya. Putri Nila Cahaya akhirnya pingsan tak kuat melihat keadaan
ayah dan ibunya yang tewas secara tragis.
Singkatlah cerita perang pun selesailah
sudah. Semua tentara pasukan kembali ke negerinya masing-masing. Tak terkecuali
Mara Karma dan prajurit serta para raja jin yang telah membantu Baginda Raja
Mara Karma. Setiba di negeri Puspa Sari, mereka semua disambut dengan berbagai bunyi-bunyian
dan jamuan makanan yang sedap-sedap. Ketika itu Putri Cahaya menangis
tersedu-sedan sambil memeluk Bujangga Indra seraya berkata:
“Duhai
adikku Bujangga Indra, sepeninggal kanda engkau sudah besar.” Sapa Putri Cahaya Khairani kepada adiknya,
Bujangga Indra.
“Sungguh
betapa kanda sangat menahan rasa rindu yang teramat sangat kepada dinda.
Rupanya sudah takdir Tuhan yang Maha Kuasa kita dipertemukan kembali di sini.” Hal itu tentu saja telah
membuat para prajurit dan tamu lainnya terheran-heran dengan apa yang terjadi. Begitu
pula dengan Mara Karma, karena selama ini ia mengenal Bujangga Indra adalah
sahabatnya. Ia amat heran dan hatinya bertanya-tanya melihat istrinya Putri
Cahaya Khairani mengenal Bujangga Indra. Mara Karma mengenal Bujangga Indra
adalah sebagai sahabat karibnya putra dari raja jin. Tetapi ia tadak mengetahui jika istrinya, Putri
Cahaya Khairani dan Bujangga Indra itu sesungguhnya kakak beradik.
“Ya,
kanda! Bagaimakah ceritanya sampai-sampai kakanda sampai di tempat ini?” tanya Bujangga kepada kakaknya Putri Cahaya
Khairani.
“Beginilah
ceritanya,” kata Putri Cahaya
Khairani. Diceritakanlah oleh Putri Cahaya Khairani mulai dari ia diculik
raksasa sampai ia bertemu dengan Mara Karma yang lalu Mara Karma dibuang ke
laut oleh nakhoda kapal sampai bertemu kembali dengannya. Mendengar peristiwa
itu semua yang mendengar ikut bersedih. Semuanya tak terasa meneteskan air
mata.
Mendengar cerita itu, Bujangga datang
menyembah di kaki Mara Karma seraya berkata:
“Beratlah
batok kepala adinda ini menjunjung kasih sayang kakanda.” Lalu Bujangga Indra mencium Mara Karma.
Bujangga Indra pun mengutus seorang
hulubalang untuk menyampaikan berita ini kepada ayahanda Raja Rama Rum Syah. Raja
Rama Rum Syah pun datang dengan membawa banyak harta yang kemudian diberikan
kepada Mara Karma. Oleh Mara Karma harta kekayaan itu pun dibagi-bagi. Sebagian
untuk raja-raja, sebagian lagi untuk para menteri dan hulubalang dan
balatentaranya. Dan sisanya disuruh bawa pulang ke negeri Antah Berantah untuk
balatentara Raja Indra Dewa. Raja Rama Rum Syah pun pulang ke negerinya.
Sepulang Raja Rama Rum Syah ke negerinya,
Putri Nila Cahaya dikawinkan dengan Raja Bujangga Indra, kemudian dijadikan
raja di negeri Merci Indera sebagai pengganti Raja Indra Dewa.
Pesta perkawinan antara Putri Nila Cahaya
dengan Raja Bujangga Indra dirayakan begitu meriah selama empat puluh hari
empat pulu malam lamanya. Bukan main suka cita nya mereka. Begitu pula dengan
Mara Karma dan Mangendra Sari.
Sudah lama Maharaja Bujangga Indra dan Putri
Nila Cahaya di negeri Antah Berantah. Pada suatu hari mereka pamit untuk
mengunjungi ayah bundanya di negeri Mercu Indera.
Sementara itu, Mangendra Sari pulang ke
negeri Palinggan Cahaya untuk memerintah di negeri itu. Dia menggantikan
ayahandanya yang sudah tua.
Akhirnya Mara Karma menjadi raja yang sangat
disegani dan dihormati serta disukai oleh raja-raja di seluruh negeri.
Sabtu,16
November 2019 – 23.53 WIB
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar