Oleh: Wiyoso
Yudoseputro
Pewarta : Slamet Priyadi
Masjid Agung Demak |
Wiyoso Yudoseputro |
Seni Budaya Nusantara - Jumat, 18 April 2014 - 15:47 WIB - Umumnya pada kesenian timur, fungsi seni adalah sebagai media kebaktian
agama atau pengabdian kepada para penguasa.
Isi dan bentuk seni tidak mencerminkan kebebasan pribadi seniman. Kualitas karya seni, baik teknis maupun
estetis dan pesan yang disampaikan tidak dapat dipisahkan dari fungsinya. Untuk ini diperlukan kaidah-kaidah seni yang
bersumber pada ajaran agama dan tuntutan kultus raja atau bangsawan. Kaidah seni menjadi semacam hukum dan konsep
seni menjadi sumber penciptaan seni.
Sesuai dengan pengaruh kebudayaan non-Islam seperti
yang telah disinggung di depan, maka hukum seni yang berlaku pada zaman Islam
kuno banyak bersumber pada tradisi seni Indonesia sebelumnya. Oleh para penciptaan seni, tradisi lama itu
diolah dan disempurnakan sesuai dengan pesan-pesan baru untuk kebutuhan Islam.
Kedudukan
Seniman
Kegiatan seni yang berpusat di istana menempatkan
kedudukan seniman menjadi terhormat.
Istilah empu sebagai sebutan
para seniman istana mengandung arti seorang yang tidak hanya ahli di bidang
kesenian tetapi juga dalam bidang pengetahuan lain. Sebagai seorang seniman ahli empu tidak hanya menguasai satu cabang
kesenian. Dia dituntut untuk memiliki
wawasan seni budaya yang luas yang menjamin tercapainya tujuan seni yang utuh
dan lengkap yang dapat menjawab tuntutan kebutuhan manusia secara
menyeluruh. Seorang empu wayang mengenal dan mendalami segala aspek dari seni wayang
dengan segala sifat multimedianya yaitu wayang sebagai media pendidikan, media
pentas dan media seni rupanya. Dia adalah pemahat wayang sekaligus penyungging
wayang dan ahli perlambangan sosok manusia. Dia adalah pencipta bentuk wayang
sekaligus pementas atau dadalam sejarah
Indonesialang wayang yang mendalami kesusastraan sebagai sumber cerita
wayang.
Dalam sejarah perkembangan kesenian Islam-kuno di
Indonesia, Wali sangat besar peranannya dalam menciptakan karya seni. Sering disebut-sebut bahwa beberapa Wali yang
terkenal dalam sejarah Indonesia adalah pendiri
masjid dan pencipta bentuk wayang.
Kedudukan Wali sebagai empu menjadi
panutan bagi para raja atau sulta yang memerintah kerajaan Islam
selanjutnya. Tidak jarang disebut-sebut
dalam sejarah sultan-sultan yang disamping kedudukannya sebagai pemimpin
terttinggi dalam pemerintahan, juga terkenal sebagai empu. Kegiatan seni yang
ditunjang dan langsung dipimpin oleh para sultan inilah yang menimbulkan
suasana seni yang menjamin kelestarian tradisi kebudayaan istana secara
turun-temurun.
Sesuai dengan struktur pemerintahan feodal dengan
pandangan hidup yang serba kosmis-magis, para penguasa di daerah juga mengikuti
kehidupan dengan pola kebangsawanan yang sama. Pada kerajaan-kerajaan bawahan di daerah,
tercipta pula pola kehidupan seni budaya yang sama yang disesuaikan dengan
tradisi daerahnya masing-masing. Da
daerah ini pula muncul empu-empu
dengan hasil ciptaan yang kadang-kadang menyimpang dari gaya seni yang berada
di pusat kerajaan. Maka terciptalah
berbagai gaya dan corak seni yang berbeda di tiap daerah.
Seorang empu yang
berkarya dibantu oleh para pembantu atau juru-juru seni yang disebut cantrik. Mereka ini adalah pembantu
sekaligus murid empu yang bekerja
atas petunjuk yang diberikan. Kaidah
seni atau hukum seni diajarkan kepada para cantrik.
Segala petunjuk teknis dan artistik
serta nilai kejiwaan dari karya seni adalah sumber dan modal kreatifitas
mereka. Jelas bahwa para cantrik ini dalam tingkatan tertentu
tidak hanya sebagai pekerja seni yang terampil tapi juga seniman reproduktif
dengan wawasan dan persepsi seni yang cukup tangguh. Para pekerja seni ini pula yang biasanya juga
berperan dalam pembinaan seni istana.
Mereka sebenarnya bibit-bibit seniman yang diandalkan dalam uasaha
melestarikan seni feodal waktu ini.
Perkembangan kebudayaan feodal sebagai pengaruh
dari kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat pada zaman kerajaan Islam ikut
membawa perubahan dalam kehidupan seni.
Jalinan kebudayaan istana dengan kebudayaan masyarakat petani bisa berakibat menyebarnya tradisi seni feodal
keluar istana. Para cantrik tersebut dengan pengalaman seninya ikut berperan dalam
pertumbuhan seni dalam masyarakat luas dengan tradisi seni feoda. Maka muncullah tenaga-tenaga pengrajin dengan
karya kerajinannya yang memiliki gaya seni feodal yang bekerja untuk para
pengusaha dan pemimpin adat dalam masyarakat.
Disinilah berlakunya penularan kecakapan seni yang menumbuhkan tradisi
baru.
Tahap Perkembangan Seni
Tidak seperti pada perkembangan seni Indonesia-Hindu,
pada zaman Islam-kuno sulit dibedakan antara perkembangan kesenian yang tua
dengan kesenian yang lebih muda umurnya.
Meskipun perkembangan kesenian Islam-kuno berpusat di istana seperti
juga juga pada zaman Hindu, namun sulit untuk menentukan tahap-tahap kesenian
sesuai dengan sejarah kerajaan Islam.
Kesulitan untuk mengadakan pembagian sejarah kesenian Indonesia-Islam
secara kronologis disebabkan oleh beberapa hal. Kesulitan pertama ialah
karena belum adanya penelitian dan penulisan karya seni rupa dari periode ini
secara intensif dan teratur yang dapat memberikan gambaran tahap-tahap
perkembangan seni rupa yang berkesinambungan sejak awal sampai akhir. Kesulitan
yang kedua ialah penemuan karya seni rupa Islam di Indonesia selama ini
kurang memiliki data-data perkembangan seni rupa. Jika di negara Islam di luar Indonesia seni
bangunan dapat dijadikan sumber pengenalan perkembangan seni rupa tidak
demikian halnya di Indonesia. Antara
bangunan masjid tertua yang didirikan pada zaman Wali dan masjid yang didirikan
kemudian, sulit untuk diketahui perubahan-perubahan bentuknya. Perubahan baru dapat diketahui pada zaman
terakhir pendirian masjid yang banyak meniru masjid-masjid dari luar
Indonesia. Secara tradisional pula bahan
utama dalam pembangunan masjid adalah kayu dan batu bata yang tidak tahan lama
sehingga menimbulkan kesulitan untuk menentukan umur dan keaslian bentuk
bangunan. Mempertahankan bentuk bangunan
lama secara tradisional pada setiap pendirian masjid baru juga menyulitkan menyusun
data-data perubahan sepanjang zaman.
Selain bangunan masjid, karya seni rupa Indonesia Islam-kuno yang
lain juga tidak begitu menonjol jika dibandingkan dengan yang dihasilkan di
luar Indonesia. Misalnya karya seni
permadani yang begitu terkenal dalam kesenian Islam di Mesir dan Parsi hampir
tidak dikenal di Indonesia. Karya seni
kaligrafi Islam di Indonesia juga tidak sekaya hasil karya seni kaligrafi Parsi
dan India yang pada setiap zaman menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Karya seni dekoratif lainnya yang masih
meneruskan tradisi seni zaman Hindu, secara kronologgis juga sulit ditentukan
perkembangannya.
Untuk mengadakan pembagian sejarah seni rupa
Indonesia-Islam secara kronologis masih diperlukan penelitian dan pencatatan
yang teratur dan terus menerus. Usaha
penulisan karya seni rupa Indonesia-Islam sampai sekarang masih berdasarkan
data-data spesifikasi tiap jenis karya seni rupa yang ada di setiap
daerah. Jadi semacam tinjauan karya seni
rupa Islam setempat seperti yang terdapat di Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi
dan daerah lainnya.
Gaya Seni
Seperti yang telah dikemukakan di depan pembentukan
kebudayaan di negara-negara Islam berdasarkan toleransi Islam adalah untuk
menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat.
Berbagai gaya seni rupa Islam di dunia adalah bukti adanya toleransi
tersebut. Perkembangan seni rupa Islam
di tiap negara melahirkan berbagai gaya yang dalam urutan waktu selalu
berubah. Perubahan gaya seni rupa
seperti ini sukar diikuti pada perkembangan seni rupa Islam di Indonesia. Sebutan gaya seni Islam di Indonesia adalah
untuk membedakan gaya seni rupa Islam di negara-negara luar Indonesia.
Penggunaan motif tumbuh-tumbuhandengan stilasi
bentuk berdasarkan pola hias yang padat dan penuh adalah gaya seni hias
Islam-kuno di Indonesia yang dapat dibedakan dengan gaya seni hias di negara
lain. Gaya seni hias yang bersumber pada
seni Majapahit inilah yang menjadi ciri dari seni hias Islam- kuno di Indonesia yang tampak pada bangunan dan benda
pakai. Tradisi arsitektur Majapahi juga
menjadi sumber pembentukan gaya arsitektur Islam-kuno di Indonesia, khususnya
pada zaman Wali. Tradisi seni bangunan
kayu meletakkan bentuk dasar bangunan masjid kuno dengan gaya yang khas yang
dapat dibedakan dengan gaya arsitektur dari zaman batu.
Pembinaan kesenian yang bersumber di istana menghasilkan pedoman dan
kaidah seni seperti yang telah
dituliskan di depan. Kaidah-kaidah seni
itu adalah hasil dari pengalaman dan peningkatan daya cipta para seniman
istana. Puncak-puncak prestasi empu mencerminkan kesempurnaan mutu seni
yang kemudian dijadikan contoh dan panduan klasik dalam kegiatan seni
seterusnya. Gaya klasik seni istana ini
ikut memberikan warna dalam perkembangan seni rupa Indonesia-Islam. Wayang kulit dan wayang golek mencapai
kesempurnaan bentuk perlambangannya
hasil karya empu.
Gaya wayang klasik mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan feodal pada
zaman Islam.
Dengan surutnya kekuasaan kerajaan akibat
peperangan yang tidak ada hentinya maka timbul kerajaan-kerajaan kecil yang
berdiri sendiri. Ini berarti timbulnya
pusat-pusat kesenian baru. Penyimpanan
dari tradisi gaya seni klasik tunggal yang semula berada dipusat melahirkan
gaya-gaya seni baru berdasarkan tanggapan dan tafsiran kaidah dan nilai seni
klasik. Cita rasa para seniman di
pusat-pusat kesenian baru, sesuai dengan kondisi kebudayaan setempat, ikut
menentukan timbulnya berbagai seni klasik setempat.
Gaya seni batik dari Jawa Tengah misalnya
memperlihatkan corak lain dibandingkan dengan batik dari Jawa Barat. Demikian
selanjutnya bermunculan gaya-gaya seni klasik di tiap daerah sebagai penerus
dari pusat kesenian setempat; tidak hanya yang berada di Jawa Tengah, tetapi
juga di Jawa Barat, Jawa Timur; bahkan di Madura, Sulawesi, dan di
tempat-tempat lain.
Pengaruh dari kesenian asing pada zaman
kerajaan-kerajaan Islam dengan gaya seni klasik yang berbeda ikut didukung oleh
pertimbangan baru dalam usaha memperkaya gaya klasik tersebut. Kekayaan seni hias klasik dari Cirebon adalah
hasil penerapan tradisi seni hias Cina.
Referensi:
*) Wiyoso
Yudoseputro: Pengantar Seni Rupa Islam Di
Indonesia, Penerbit Angkasa Bandung,
2000.
Wiyoso Yudoseputro lahir di Salatiga, tgl. 28 Febuari
1928. Mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dalam mata kuliah Sejarah
Kesenian Indonesia di luar tugas utamanya sebagai pengajar tetap Juran Senirupa
IKIP Bandung.
Editor:
Slamet Priyadi
Bumi Pangarakan, Bogor