Jumat, 18 April 2014

KAJIAN SENI RUPA INDONESIA-ISLAM



Oleh: Wiyoso Yudoseputro
Pewarta : Slamet Priyadi

Masjid Agung Demak
Wiyoso Yudoseputro
Seni Budaya Nusantara - Jumat, 18 April 2014 - 15:47 WIB - Umumnya pada kesenian timur, fungsi seni adalah sebagai media kebaktian agama atau pengabdian kepada para penguasa.  Isi dan bentuk seni tidak mencerminkan kebebasan pribadi seniman.  Kualitas karya seni, baik teknis maupun estetis dan pesan yang disampaikan tidak dapat dipisahkan dari fungsinya.  Untuk ini diperlukan kaidah-kaidah seni yang bersumber pada ajaran agama dan tuntutan kultus raja atau bangsawan.  Kaidah seni menjadi semacam hukum dan konsep seni menjadi sumber penciptaan seni.

Sesuai dengan pengaruh kebudayaan non-Islam seperti yang telah disinggung di depan, maka hukum seni yang berlaku pada zaman Islam kuno banyak bersumber pada tradisi seni Indonesia sebelumnya.  Oleh para penciptaan seni, tradisi lama itu diolah dan disempurnakan sesuai dengan pesan-pesan baru untuk kebutuhan Islam.

Kedudukan Seniman
Kegiatan seni yang berpusat di istana menempatkan kedudukan seniman menjadi terhormat.  Istilah empu sebagai sebutan para seniman istana mengandung arti seorang yang tidak hanya ahli di bidang kesenian tetapi juga dalam bidang pengetahuan lain.  Sebagai seorang seniman ahli empu tidak hanya menguasai satu cabang kesenian.  Dia dituntut untuk memiliki wawasan seni budaya yang luas yang menjamin tercapainya tujuan seni yang utuh dan lengkap yang dapat menjawab tuntutan kebutuhan manusia secara menyeluruh.  Seorang empu wayang mengenal dan mendalami segala aspek dari seni wayang dengan segala sifat multimedianya yaitu wayang sebagai media pendidikan, media pentas dan media seni rupanya. Dia adalah pemahat wayang sekaligus penyungging wayang dan ahli perlambangan sosok manusia. Dia adalah pencipta bentuk wayang sekaligus pementas atau dadalam sejarah Indonesialang wayang yang mendalami kesusastraan sebagai sumber cerita wayang.

Dalam sejarah perkembangan kesenian Islam-kuno di Indonesia, Wali sangat besar peranannya dalam menciptakan karya seni.  Sering disebut-sebut bahwa beberapa Wali yang terkenal dalam sejarah Indonesia adalah pendiri  masjid dan pencipta bentuk wayang.  Kedudukan Wali sebagai empu menjadi panutan bagi para raja atau sulta yang memerintah kerajaan Islam selanjutnya.  Tidak jarang disebut-sebut dalam sejarah sultan-sultan yang disamping kedudukannya sebagai pemimpin terttinggi dalam pemerintahan, juga terkenal sebagai empu.  Kegiatan seni yang ditunjang dan langsung dipimpin oleh para sultan inilah yang menimbulkan suasana seni yang menjamin kelestarian tradisi kebudayaan istana secara turun-temurun.

Sesuai dengan struktur pemerintahan feodal dengan pandangan hidup yang serba kosmis-magis, para penguasa di daerah juga mengikuti kehidupan dengan pola kebangsawanan yang sama.  Pada kerajaan-kerajaan bawahan di daerah, tercipta pula pola kehidupan seni budaya yang sama yang disesuaikan dengan tradisi daerahnya masing-masing.  Da daerah ini pula muncul empu-empu dengan hasil ciptaan yang kadang-kadang menyimpang dari gaya seni yang berada di pusat kerajaan.  Maka terciptalah berbagai gaya dan corak seni yang berbeda di tiap daerah.

Seorang empu yang berkarya dibantu oleh para pembantu atau juru-juru seni yang disebut cantrik. Mereka ini adalah pembantu sekaligus murid empu yang bekerja atas petunjuk yang diberikan.  Kaidah seni atau hukum seni diajarkan kepada para cantrik.  Segala petunjuk teknis dan artistik serta nilai kejiwaan dari karya seni adalah sumber dan modal kreatifitas mereka.  Jelas bahwa para cantrik ini dalam tingkatan tertentu tidak hanya sebagai pekerja seni yang terampil tapi juga seniman reproduktif dengan wawasan dan persepsi seni yang cukup tangguh.  Para pekerja seni ini pula yang biasanya juga berperan dalam pembinaan seni istana.  Mereka sebenarnya bibit-bibit seniman yang diandalkan dalam uasaha melestarikan seni feodal waktu ini.

Perkembangan kebudayaan feodal sebagai pengaruh dari kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat pada zaman kerajaan Islam ikut membawa perubahan dalam kehidupan seni.  Jalinan kebudayaan istana dengan kebudayaan masyarakat petani  bisa berakibat menyebarnya tradisi seni feodal keluar istana.  Para cantrik tersebut dengan pengalaman seninya ikut berperan dalam pertumbuhan seni dalam masyarakat luas dengan tradisi seni feoda.  Maka muncullah tenaga-tenaga pengrajin dengan karya kerajinannya yang memiliki gaya seni feodal yang bekerja untuk para pengusaha dan pemimpin adat dalam masyarakat.  Disinilah berlakunya penularan kecakapan seni yang menumbuhkan tradisi baru.

Tahap Perkembangan Seni
Tidak seperti pada perkembangan seni Indonesia-Hindu, pada zaman Islam-kuno sulit dibedakan antara perkembangan kesenian yang tua dengan kesenian yang lebih muda umurnya.  Meskipun perkembangan kesenian Islam-kuno berpusat di istana seperti juga juga pada zaman Hindu, namun sulit untuk menentukan tahap-tahap kesenian sesuai dengan sejarah kerajaan Islam.  Kesulitan untuk mengadakan pembagian sejarah kesenian Indonesia-Islam secara kronologis disebabkan oleh beberapa hal.  Kesulitan pertama ialah karena belum adanya penelitian dan penulisan karya seni rupa dari periode ini secara intensif dan teratur yang dapat memberikan gambaran tahap-tahap perkembangan seni rupa yang berkesinambungan sejak awal sampai akhir.  Kesulitan yang kedua ialah penemuan karya seni rupa Islam di Indonesia selama ini kurang memiliki data-data perkembangan seni rupa.  Jika di negara Islam di luar Indonesia seni bangunan dapat dijadikan sumber pengenalan perkembangan seni rupa tidak demikian halnya di Indonesia.  Antara bangunan masjid tertua yang didirikan pada zaman Wali dan masjid yang didirikan kemudian, sulit untuk diketahui perubahan-perubahan bentuknya.  Perubahan baru dapat diketahui pada zaman terakhir pendirian masjid yang banyak meniru masjid-masjid dari luar Indonesia.  Secara tradisional pula bahan utama dalam pembangunan masjid adalah kayu dan batu bata yang tidak tahan lama sehingga menimbulkan kesulitan untuk menentukan umur dan keaslian bentuk bangunan.  Mempertahankan bentuk bangunan lama secara tradisional pada setiap pendirian masjid baru juga menyulitkan menyusun data-data perubahan sepanjang zaman.

Selain bangunan masjid, karya seni rupa Indonesia Islam-kuno yang lain juga tidak begitu menonjol jika dibandingkan dengan yang dihasilkan di luar Indonesia.  Misalnya karya seni permadani yang begitu terkenal dalam kesenian Islam di Mesir dan Parsi hampir tidak dikenal di Indonesia.  Karya seni kaligrafi Islam di Indonesia juga tidak sekaya hasil karya seni kaligrafi Parsi dan India yang pada setiap zaman menunjukkan tanda-tanda perkembangan.  Karya seni dekoratif lainnya yang masih meneruskan tradisi seni zaman Hindu, secara kronologgis juga sulit ditentukan perkembangannya.

Untuk mengadakan pembagian sejarah seni rupa Indonesia-Islam secara kronologis masih diperlukan penelitian dan pencatatan yang teratur dan terus menerus.  Usaha penulisan karya seni rupa Indonesia-Islam sampai sekarang masih berdasarkan data-data spesifikasi tiap jenis karya seni rupa yang ada di setiap daerah.  Jadi semacam tinjauan karya seni rupa Islam setempat seperti yang terdapat di Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi dan daerah lainnya.

Gaya Seni
Seperti yang telah dikemukakan di depan pembentukan kebudayaan di negara-negara Islam berdasarkan toleransi Islam adalah untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat.  Berbagai gaya seni rupa Islam di dunia adalah bukti adanya toleransi tersebut.  Perkembangan seni rupa Islam di tiap negara melahirkan berbagai gaya yang dalam urutan waktu selalu berubah.  Perubahan gaya seni rupa seperti ini sukar diikuti pada perkembangan seni rupa Islam di Indonesia.  Sebutan gaya seni Islam di Indonesia adalah untuk membedakan gaya seni rupa Islam di negara-negara luar Indonesia.

Penggunaan motif tumbuh-tumbuhandengan stilasi bentuk berdasarkan pola hias yang padat dan penuh adalah gaya seni hias Islam-kuno di Indonesia yang dapat dibedakan dengan gaya seni hias di negara lain.  Gaya seni hias yang bersumber pada seni Majapahit inilah yang menjadi ciri dari seni hias Islam- kuno di Indonesia yang tampak pada bangunan dan benda pakai.  Tradisi arsitektur Majapahi juga menjadi sumber pembentukan gaya arsitektur Islam-kuno di Indonesia, khususnya pada zaman Wali.  Tradisi seni bangunan kayu meletakkan bentuk dasar bangunan masjid kuno dengan gaya yang khas yang dapat dibedakan dengan gaya arsitektur dari zaman batu.

Pembinaan kesenian yang bersumber di istana menghasilkan pedoman dan kaidah seni  seperti yang telah dituliskan di depan.  Kaidah-kaidah seni itu adalah hasil dari pengalaman dan peningkatan daya cipta para seniman istana.  Puncak-puncak prestasi empu mencerminkan kesempurnaan mutu seni yang kemudian dijadikan contoh dan panduan klasik dalam kegiatan seni seterusnya.  Gaya klasik seni istana ini ikut memberikan warna dalam perkembangan seni rupa Indonesia-Islam.  Wayang kulit dan wayang golek mencapai kesempurnaan bentuk perlambangannya  hasil karya  empu.  Gaya wayang klasik mencerminkan nilai-nilai luhur kebudayaan feodal pada zaman Islam.

Dengan surutnya kekuasaan kerajaan akibat peperangan yang tidak ada hentinya maka timbul kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri sendiri.  Ini berarti timbulnya pusat-pusat kesenian baru.  Penyimpanan dari tradisi gaya seni klasik tunggal yang semula berada dipusat melahirkan gaya-gaya seni baru berdasarkan tanggapan dan tafsiran kaidah dan nilai seni klasik.  Cita rasa para seniman di pusat-pusat kesenian baru, sesuai dengan kondisi kebudayaan setempat, ikut menentukan timbulnya berbagai seni klasik setempat. 

Gaya seni batik dari Jawa Tengah misalnya memperlihatkan corak lain dibandingkan dengan batik dari Jawa Barat. Demikian selanjutnya bermunculan gaya-gaya seni klasik di tiap daerah sebagai penerus dari pusat kesenian setempat; tidak hanya yang berada di Jawa Tengah, tetapi juga di Jawa Barat, Jawa Timur; bahkan di Madura, Sulawesi, dan di tempat-tempat lain.

Pengaruh dari kesenian asing pada zaman kerajaan-kerajaan Islam dengan gaya seni klasik yang berbeda ikut didukung oleh pertimbangan baru dalam usaha memperkaya gaya klasik tersebut.  Kekayaan seni hias klasik dari Cirebon adalah hasil penerapan tradisi seni hias Cina.

Referensi:
*)  Wiyoso Yudoseputro: Pengantar Seni Rupa Islam Di Indonesia, Penerbit Angkasa Bandung,  2000.
      Wiyoso Yudoseputro lahir di Salatiga, tgl. 28 Febuari 1928. Mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dalam mata kuliah Sejarah Kesenian Indonesia di luar tugas utamanya sebagai pengajar tetap Juran Senirupa IKIP Bandung.

Editor:
Slamet Priyadi
Bumi Pangarakan, Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar