Jumat, 08 November 2019

CERITA MARA KARMA 4 "PUTRI CAHAYA KHAIRANI"

Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 09 November 2019 - 10.07 WIB

CERITA MARA KARMA 4
“PUTRI CAHAYA KHAIRANI”
Diceritakan Oleh Atika Sja’rani

Awak kapal sibuk karena Mara Karma
jatuh  tenggelam didorong anak buah kapal.
Putri Cahaya Khairani adalah seorang anak perempuan yang cantik. Ia dilarikan oleh raksasa untuk dimakan. Karena masih terlalu kecil, ia dipelihara oleh raksasa. Rencananya, setelah besar baru akan dimakan. Putri Cahaya Khairani selalu ketakutan. Ia berharap suatu ketika ada yang dapat menolongnya.
Pada suatu hari Putri Cahaya Khairani bermain-main di tepi pantai. Tiba-tiba dia melihat ada seorang yang tergolek di sana. Didekatinya orang itu:
“Siapakah yang telah tega mengikatnya? Apa salahnya? Matikah dia?”  Bertanya  hatinya. “Aku berharap dia hidup agar ada temanku. Katanya pula.
Dicobanya untuk membangunkannya. Ternyata, orang itu masih hidup. Orang itu membuka matanya perlahan-lahan. Setelah penglihatannya agak jelas orang itu membuka matanya. Ia tersenyum kepada Putri Khairani seraya bertanya:
“Siapakah gerangan tuan putri?” Tanyanya. “Tolonglah bukakan tali pengikat badanku ini, aku akan menceritakan semuanya ini kepadamu!”  kata orang itu.
Sang Putri pun menolongnya seraya membuka ikatan orang itu. Setelah terbuka, diberinya minum. Setelah merasa pulih, orang itu menceritakan semua apa yang terjadi. Nampak Putri merasa iba.
“Namaku Mara Karma,” katanya.
“Namaku Putri Cahaya Khairani,” jawab Putri seraya menceritakan nasibnya pula.
“Dimana tempat tinggalmu?” tanya Mara Karma.
“Akh, tidak jauh dari sini.” Tapi, aku takut tinggal bersama raksasa, aku diculiknya!” Demi mendengar cerita Putri Khairani, Mara Karma menjadi belas kasihan.
“Baiklah, jika demikian bawalah aku pulang. Kita tundukkan raksasa itu!”  Kata Mara Karma.
“Tapi aku khawatir. Jika raksasa itu pulang, dan mengetahui kanda , kita berdua akan dimakan oleh raksasa itu!”
“Kemana raksasa itu pergi?” tanya Mara Karma.
“Ia pergi mencari makan. Tapi bagaimana jika ia pulang nanti? Ia tahu ada bau manusia lain di sini, ia pasti mencarinya.”
“Dinda Putri tak perlu risau. Jika raksasa itu datang aku akan bersembunyi,”  kata Mara Karma.
Mendengar kata Mara Karma, Putri Cahaya Khairani merasa senang. Akhirnya ia membawa Mara Karma pulang ke rumah raksasa yang beratapkan rambut bertiang belulang dan batu.
“Sungguh, aku sangat mengkhawatirkan keselamatan kanda,”  kata sang  Putri Cahaya Khairani.
Tak berapa lama terdengarlah suara bergemuruh seakan gunung runtuh. Tanah berguncang laksana gempa. Mendengar suara itu bertanyalah Mara Karma kepada Putri Cahaya Khairani:
“Suara apakah itu, Putri?
“Itulah suara langkah sang raksasa, cepatlah kak Mara bersembunyi!” jawab Putri Cahaya Khairani.
“Oya, baik Putri aku akan bersembunyi! “Tolong katakan nanti pada raksasa itu, tidak ada manusia di sini selain dirimu. Jika ia tidak percaya, dan akan memakan hatimu, katakan saja, hatimu masih kecil. Jika ia ingin memakan hati yang besar, suruh saja dia harus memberi makan seratus hati binatang!” Demikian pesan Mara Karma kepada Putri Cahaya Khairani seraya mencari tempat bersembunyi yang dirasa aman, di bawah tempat tidur yang ditutup dengan berbagai daundaunnan.
Tak berapa lama raksasa itupun sampailah di rumahnya, seraya menolehkan kepalanya ke sekeliling rumah karena dirasakan ada bau manusia lain selain Putri Cahaya Khairani. Maka kata raksasa kepada sang Putri:
“Hm...aku mencium bau manusia lain di rumah ini”  kata sang raksasa seraya mengendusenduskan hidungnya, dan matanya jelalatang ke sekeling ruangan rumahnya.
“Mana ada manusia lain di tempat ini,” kata sang Putri. “Bau itu adalah bau aku sendiri. Tapi aku masih terlalu kecil untuk dimakan.”  Raksasa percaya dengan apa yang dikatakan sang Putri. Dia tidak bertanya lagi langsung pergi ke tempat istirahatnya.
“Putri, kemarilah! Tolong carikan kuttuku, sudah lama kau tidak mencari kutuku,” kata raksasa.
Putri Cahaya Khairani secepatnya menghampiri sang raksasa agar tidak marah. Selain itu, supaya raksasa tidak menanyakan kembali manusia. Dalam mencari kutu, Putri Cahaya Khairani mengatakan bahwa hatinya masih kecil.
“Nek, aku merasa sudah lama tinggal di sini tetapi hatiku belum besar-besar juga. Sungguh cucu kasihan sama nenek, padahal nenek sudah lama memeliharaku, tapi aku masih saja seperti dulu. Pertumbuhan tubuhku sangat lamban.”  Kata Putri Cahaya Khairani kepada nenek raksasa.
Mendengar mendengar katakata sang Putri Cahaya Khairani, nenek raksasa tertawa. Suara tawanya begitu menggelegar , serasa seluruh alam berguncang.
“Hi hi hi hi hi....katakatamu itu memamang benar, cucuku. Tapi apa yang harus kulakukan. Makanan untukmu kan tidak berkurang.”
“Nek, biar cucumu cepat besar berilah aku makan semacam hati biatang. Jika itu tidak diberi aku tidak akan cepat besar, nek!”
“Baiklah jika demikian, akan aku carikan untukmu seratus hati binatang . terus terang, aku pun sudah tak sabar untuk menyantapmu!”  kata nenek raksasa dengan senangnya.
Betapa senanglah hati sang Putri Cahaya Khairani. Ia ingin nenek raksasa itu secepatnya pergi mencari hati binatang. Jika nenek raksasa itu pergi, ia dan Mara Karma berencana untuk ke luar melarikan diri dari rumah raksasa itu.
Keesokan harinya nenek raksasa pun pergi mencari seratus hati binatang untuk diberikan kepada Putri Chaya Khairani.
“Baiklah cucuku, aku akan mencarikan untukmu seratus hati binatang. Jagalah rumah ini baik-baik, dan jangan pergi jauh-jauh!”
“Iya nek, pergilah cepat. Cucuk mengharap agar nenek cepatlah pulang dengan membawa seratus hati binatang.”
Nenek raksasa pun secepatnya meninggalkan rumahnya untuk mencari seratus hati binatang. Tak sedikit pun ia menaruh curiga kepada sang Putri Chaya Khairani. Ia percaya tidak akan terjadi apa-apa.
Setelah nenek raksasa pergi, Mara Karma keluar dari persembunyiannya. Mara dan Putri tertawa bergelak kegirangan. Mereka merasa sudah bebas dari cengkeraman raksasa.
“Apa yang harus kita buat sekarang, kak Mara?”
“Baik, kita manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku akan membuat lubang. Lubang itu dibuat di tempat yang biasanya dilalui oleh sang nenek raksasa. Lubang itu merupakan lubang jebakan yang di atasnya ditutupi dengan daun-daun kering.”  Kata Mara Karma.
Setelah lubang itu selesai dibuat, Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani bersiap-siap untuk pergi. Barang-barang yang akan dibawa disiapkan ditumpuk di tepi pantai. Mereka membuat tali ijuk yang dihubungkan ke lubang jebakan yang dibuatnya tadi. Tali ijuk itu lalu dibakarnya. Api itu pun menjalar membakar sepanjang tali ijuk menuju ke lubang jebakan. Berkatalah Mara Karma kepada Putri Cahaya Khairani,
“Dinda Putri Cahaya, lihatlah, apa itu? Bukankah itu kapal! Marilah kita mendekat ke pantai itu!”  kata Mara Karma.
Ternyata, memang sebuah kapal. Mara Karma mengibarkan kain putih. Melihat kibaran itu, nakhoda kapa mendekat dan berlabuh untuk singgah. Mereka melihat ada dua orang di sana yaitu Mara Karma dan Putri Chaya Khairani.
“Dinda Putri, lihat kapal itu merapat. Nanti kita minta izin agar dapat ikut bersama,” kata Mara Karma.
“Itu lebih baik kak Mara, supaya kita lepas dari cengkeraman raksasa itu.”
Setelah kapal itu bersandar, anak kapal pun turun. Mereka saling memperkenalkan diri.
“Apakah yang terjadi?” tanaya nakhoda kapal kepada Mara Karma. Tetapi belum sempat pertanyaan itu dijawab Mara Karma, sang nakhoda kapal bertanya lagi:
“Di manakah kapal kalian tenggelam?”
“Tidak, kapal kami tidak tenggelam. Bahkan kami tidak punya kapal.”
“Jika demikian, apa yang telah terjadi?”
Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani pun menceritakan apa yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing.
“Aku diculik oleh raksasa sewaktu sedang bermain. Raksasa itu datang tanpak diketahui. Karena takut, aku dan teman-temanku berlari. Tapi sayang aku tertangkap oleh raksasa. Dan akhirnya aku dilarikan oleh raksasa.”
Sewaktu dilarikan, aku masih kecil,”  tambahnya.
“Oh, kalau begitu sudah lama engkau hidup di bawah asuhan raksasa,” kata anak kapal.
“Ya, sudah cukup lama. Dalam aku kebingungan dan ketakutan, aku melihat ada seorang terdampar. Orang itu tidur dengan tangan dan kaki terikat. Aku dekati dia. Ternyata dia masih hidup. Aku pun mencoba membangunkannya. Orang itu sadar. Nah, inilah orangnya.”  Kata Putri Cahaya Khairani sambil menunjuk Mara Karma.
Nakhoda dan anak buah kapal memahami apa yang telah terjadi atas diri sang Putri Cahaya Khairani. Mereka merasa belas kasihan.
“Nah, bagaimana pula cerita tentang dirimu,”  Tanya nakhoda kepada Mara Karma. Mara Karma pun menceritakan peristiwa yang dialaminya.
Mendengar cerita Mara Karma, sang nakhoda kapal merasa belas kasihan.
“Nah jika demikian, apa yang akan tuan kehendaki sekarang?”   tanya nakhoda.
“Ya, hamba mengharapkan pertolongan tuanku, agar kami berdua dapat bersama menumpang kapal tuanku,”  katanya. “Karena jika kami tetap tinggal di sini, kami pasti dimangsa oleh nenek raksasa itu!”  tambah Mara Karma.
“Baiklah, jika itu keinginan kalian, cepatlah naik ke kapal kami!”
Bukan main senangnya hati Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani mendengar tawaran sang nakhoda itu. Maka segera diangkatnya semua barang-barang perbekalan mereka ke atas kapal. Setelah selesai kapal pun siap untuk berangkat.
Mara Karma teringat akan lubang jebakan yang dibuatnya. Ia meminjam kemacik kepada salah seorang anak kapal. Dibakarnya ujung tali yang dibuatnya. Tali itu terbakar dan apinya menjalar menuju rumah sang nenek raksasa. Dari atas kapal terlihat api itu membesar. Semua daun dan pohon yang ada didekatnya layu. Sebagian ludes terbakar api.
Melihat api itu membesar, bukan main senangnya hati Putri Cahaya Khairani. Rumah sang nenek raksasa pasti musnah terbakar. Terbayanglah olehnya tentu nenek raksasa pun akantewas ikut terbakar pula.
“Kak Mara, aku rasa nenek raksasa itu sudah pulang, dan terperosok ke dalam lubang jebakan. Ia tak mungkin dapat keluar dari lubang jebakan itu karena badannya besar dan berat!” kata sang Putri Cahaya Khairani kepadaMara Karma.
“Iya Putri, aku rasa juga demikian. Tetapi, biarlah ia mati. Raksasa itu sangat berbahaya bagi kita.”
Tiba-tiba nakhoda kapal mendekati mereka lalu bertanya:
“Hai, Mara Karma, ke negeri manakah tujuan kalian? Sedangkan kami ini akan menuju ke negeri seberang untuk berniaga. Di negeri itu terdapar pasar besar. Para pedagang berdatangan dari berbagai negeri. Mereka sedang menunggu kedatangan kapal kami karena akan membeli barang dagangan kami. Kami membawa macam-macam keperluan mereka. Seperti kelapa, pisang, dan gula aren!”  kata sang nakhoda.
“Akan tetapi, yang menjadi niaga utama mereka adalah rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala sedang kami hanya sedikit membawa rempah-rempah tersebut sementara mereka banyak membutuhkan banyak rempah-rempah tersebut untuk dibawa ke negerinya karena dinegereka terhanya rempah-rempah harganya tinggi dan mahal sekali.”
Mereka nampak terlibat dalam percakapan yang serius. Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani merasa senang karena diperlakukan dengan baik, akrab, ramah dan sopan.
Anak buah kapal membawakan kopi susu dan beberapa potong roti bakar. Nakhoda kapal mempersilahkan mereka minum dan makan roti. Mereka bertiga menikmati hidangan yang ada di hadapan mereka.
Terlihat Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani begitu menikmati kopi susu dan roti bakar itu. Hampir setengah gelas kopi susu dihirupnya. Sementara sang nakhoda hanya tersenyum. Hatinya berkata,
“Sudah berapa lama mereka ini tidak makan, mungkin ini suguhan yang pertama mereka nikmati. Sekian lama mereka tinggal tinggal bersama raksasa pasti tidak pernah minum dan makan makanan manusia biasa.”
Nakhoda kapal ingin tahu, apa benar perkiraannya itu:
“Putri, selama hidup bersama raksasa itu, apa yang dimakan?” tanya sang nakhoda. Sang Putri Cahaya Khairani hanya terdiam. Hatinya merasa terpukul dengan pertanyaan sang nakhoda kapal. “Apakah sang nakhoda ini tahu bahwa aku begitu sangat lapar,”  pikir sang Putri dalam hati. Dengan berat hati sang Putri menjawab:
“Iya tuan Nakhoda, selama tinggal bersama raksasa akku makan apa saja yang dapat dimakan. Aku tidak boleh keluar dari rumah. Dulu, ketika aku baru diculiknya, aku nekad berusaha kabur melarikan diri, tapi nenek raksasa itu selalu tahu dimana aku bersembunyi. Lama-lama aku pun pasrah saja. dan tugasku selama tinggal bersama raksasa itu adalah mencari ratusan kutu-kutu yang ada dirambutnya. Dan itu aku rasakan betapa beratnya tugas itu.”
“Kok tugas mencari kutu saja terasa berat, kenapa?”  tanya sang nakhoda sedikit merasa heran.
“Iya, karena kutu-kutunya pun besar-besar dan bentuknya amat menakutkan. Sukar sekali untuk membunuh kutu-kutu itu. Ditambah alat pemukulnya berupa palu besar yang berat sekali mengangkatnya.”
Sang nakhoda kapal sedikit terkesima mendengar penuturan Sang Putri Cahaya Khairani. Dan ia membayangkannya betapa menderitanya sang putri tinggal bersama raksasa. Maka sang nakhoda pun kembali bertanya:
“Sekiranya sang Putri tidak mengikuti perintah sang raksasa itu, bagaimana?” Tanya nakhoda. “Apakah pernah raksasa itu marah dan menghardik, sang Putri?”  kembali sang nakhoda bertanya.
“Pada awal-awalnya, iya! Tetapi lama-kelamaan tidak, karena raksasa itu rupanya takut pula kalau aku pergi melarikan diri.”
Nakhoda itu merasa kagum kepada Putri Cahaya Khairani. Dalam hatinya ia berpikir, ‘Jika ia menjadi sang Putri barangkali sudah lama mati’. Mati karena ketakutan. Sekarang giliran Mara Karma menceritakan pengalamannya bersama nenek raksasa.
“Karena saya belum lama tinggal bersama raksasa itu, saya tidak mengalami sebagaimana yang dialami oleh Sang Putri. Selama ini saya hanya dihantui oleh rasa ketakutan saja saat dimana saya bersembunyi di kolong tempat tidur, dan raksasa itu sudah mengendus bau manusia lain selain bau sang Putri Cahaya Khairani di rumahnya, dan untunglah sang Putri mengatakan tidak ada, dan itu adalah bau tubuh sang Putri sendiri. Ketika itu saya bersembunyi di kolong tempat tidur yang hanya ditutupi oleh daun-daunan. Jika raksasa itu sempat mengetahui persembunyian saya,tentu saya sudah tewas dimakan raksasa itu.”
Karena sudah terlalu lama bercerita, sang nakhoda mulai merasa mengantuk. Ia biasa beristirahat tidur di siang hari. Maka dipersilahkannya Sang Putri untuk beristirahat di kamar yang telah disedikan untuknya. Sedangka Mara Karma bersama-sama anak buah kapal lainnya.
Setelah beberapa hari berlayar, sang nakhoda kapal bermaksud ingin mengawini sang Putri Cahaya Khairani. Merasa terhalang oleh keberadaan Mara Karma, sang nakhoda kapal berniat jahat ingin membunuh Mara Karma. Hal itu tidak diketahui oleh Putri Cahaya Khairani. Sang nakhoda kapal bersama dengan anak buahnya menyusun rencana jahat mencelakakan Mara Karma. Tiba pada rencana yang ditentukan, diajaknya Mara Karma ke buritan kapal untuk memancing ikan. Hal seperti itu biasa dilakukan oleh mereka.
Mara Karma mulai menaruh curiga. Akan tetapi ia tetap menjalankan pekerjaan itu seperti biasa. Ia pun duduk dengan kali berjuntai. Pancing di tangan. Dengan bersiul kecil, ia mengharap ikan akan memakan umpan pancingnya.
Tetapi, putri merasa tak enak. Dia bermaksud membicarakan hal itu kepada Mara Karma. Tetapi pada saat itu dia dipanggil oleh nakhoda untuk menemaninya. Karena rasa khatirnya selalu mencengkam, Putri Cahaya Khairani mengatakannya kepada nakhoda:
“Akh, itu hanya perasaan saja, Putri! Karena Putri belum biasa berlayar. Nanti jika kapal merapat, kita turun melihat-lihat negeri!”  sang nakohda berusaha menghibur Putri Cahaya Khairani. Padahal sesungguhnya itu taktik nakhoda agar Putri tidak menemui Mara Karma.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara gaduh di buritan kapal. Seorang anak buah kapal berlari menemui nakhoda seraya berkata:
“Tuan Nakhoda, Mara Karma terjatuh ke laut, dan tenggelam!”
Mendengar berita itu sang nakhoda berpura-pura terkejut. Sang Putri menjerit keras. Lalu Ia tidak sadarkan diri. Putri pun digotong di bawa ke kamarnya.
Setelah sadar, ia menanyakan bagaimana dengan pencarian Mara Karma. Nakhoda mengatakan gagal. Mara Karma tidak ditemukan. Betapa sedih hati Putri Chaya Khairani. Orang yang telah menyelamatkan dirinya dari raksasa telah pergi. Kepergiannya tak akan kembali. putri Cahaya Khairani tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berdoa agar Mara Karma diselamatkan oleh Tuhan. Sejak itu Putri Cahaya Khairani di bawah pengawasan sang nakhoda .  
Bersambung...!!!
Sabtu, 09 November 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar