Blog Ki Slamet 42 : Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 09 November 2019 - 10.07 WIB
Sabtu, 09 November 2019 - 10.07 WIB
CERITA MARA KARMA 4
“PUTRI CAHAYA
KHAIRANI”
Diceritakan Oleh Atika Sja’rani
Awak kapal sibuk karena Mara Karma
jatuh tenggelam
didorong anak buah kapal.
|
Putri Cahaya Khairani adalah seorang anak
perempuan yang cantik. Ia dilarikan oleh raksasa untuk dimakan. Karena masih
terlalu kecil, ia dipelihara oleh raksasa. Rencananya, setelah besar baru akan
dimakan. Putri Cahaya Khairani selalu ketakutan. Ia berharap suatu ketika ada
yang dapat menolongnya.
Pada suatu hari Putri Cahaya Khairani
bermain-main di tepi pantai. Tiba-tiba dia melihat ada seorang yang tergolek di
sana. Didekatinya orang itu:
“Siapakah
yang telah tega mengikatnya? Apa salahnya? Matikah dia?” Bertanya
hatinya. “Aku berharap dia hidup
agar ada temanku. Katanya pula.
Dicobanya untuk membangunkannya. Ternyata,
orang itu masih hidup. Orang itu membuka matanya perlahan-lahan. Setelah penglihatannya
agak jelas orang itu membuka matanya. Ia tersenyum kepada Putri Khairani seraya
bertanya:
“Siapakah
gerangan tuan putri?” Tanyanya. “Tolonglah
bukakan tali pengikat badanku ini, aku akan menceritakan semuanya ini
kepadamu!” kata orang itu.
Sang Putri pun menolongnya seraya membuka
ikatan orang itu. Setelah terbuka, diberinya minum. Setelah merasa pulih, orang
itu menceritakan semua apa yang terjadi. Nampak Putri merasa iba.
“Namaku
Mara Karma,” katanya.
“Namaku
Putri Cahaya Khairani,” jawab Putri seraya menceritakan nasibnya pula.
“Dimana
tempat tinggalmu?” tanya
Mara Karma.
“Akh,
tidak jauh dari sini.” Tapi, aku takut tinggal bersama raksasa, aku
diculiknya!” Demi
mendengar cerita Putri Khairani, Mara Karma menjadi belas kasihan.
“Baiklah,
jika demikian bawalah aku pulang. Kita tundukkan raksasa itu!” Kata Mara Karma.
“Tapi aku
khawatir. Jika raksasa itu pulang, dan mengetahui kanda , kita berdua akan
dimakan oleh raksasa itu!”
“Kemana
raksasa itu pergi?” tanya Mara Karma.
“Ia
pergi mencari makan. Tapi bagaimana jika ia pulang nanti? Ia tahu ada bau
manusia lain di sini, ia pasti mencarinya.”
“Dinda
Putri tak perlu risau. Jika raksasa itu datang aku akan bersembunyi,” kata Mara Karma.
Mendengar kata Mara Karma, Putri Cahaya
Khairani merasa senang. Akhirnya ia membawa Mara Karma pulang ke rumah raksasa
yang beratapkan rambut bertiang belulang dan batu.
“Sungguh,
aku sangat mengkhawatirkan keselamatan kanda,” kata sang
Putri Cahaya Khairani.
Tak berapa lama terdengarlah suara
bergemuruh seakan gunung runtuh. Tanah berguncang laksana gempa. Mendengar
suara itu bertanyalah Mara Karma kepada Putri Cahaya Khairani:
“Suara
apakah itu, Putri?
“Itulah
suara langkah sang raksasa, cepatlah kak Mara bersembunyi!” jawab Putri Cahaya
Khairani.
“Oya,
baik Putri aku akan bersembunyi! “Tolong katakan nanti pada raksasa itu, tidak
ada manusia di sini selain dirimu. Jika ia tidak percaya, dan akan memakan
hatimu, katakan saja, hatimu masih kecil. Jika ia ingin memakan hati yang
besar, suruh saja dia harus memberi makan seratus hati binatang!” Demikian pesan Mara
Karma kepada Putri Cahaya Khairani seraya mencari tempat bersembunyi yang
dirasa aman, di bawah tempat tidur yang ditutup dengan berbagai daundaunnan.
Tak berapa lama raksasa itupun sampailah di
rumahnya, seraya menolehkan kepalanya ke sekeliling rumah karena dirasakan ada
bau manusia lain selain Putri Cahaya Khairani. Maka kata raksasa kepada sang
Putri:
“Hm...aku
mencium bau manusia lain di rumah ini” kata
sang raksasa seraya mengendusenduskan hidungnya, dan matanya jelalatang ke
sekeling ruangan rumahnya.
“Mana
ada manusia lain di tempat ini,” kata sang Putri. “Bau itu adalah bau aku sendiri. Tapi aku masih terlalu kecil untuk
dimakan.” Raksasa percaya dengan apa
yang dikatakan sang Putri. Dia tidak bertanya lagi langsung pergi ke tempat
istirahatnya.
“Putri,
kemarilah! Tolong carikan kuttuku, sudah lama kau tidak mencari kutuku,” kata raksasa.
Putri Cahaya Khairani secepatnya menghampiri
sang raksasa agar tidak marah. Selain itu, supaya raksasa tidak menanyakan
kembali manusia. Dalam mencari kutu, Putri Cahaya Khairani mengatakan bahwa
hatinya masih kecil.
“Nek,
aku merasa sudah lama tinggal di sini tetapi hatiku belum besar-besar juga.
Sungguh cucu kasihan sama nenek, padahal nenek sudah lama memeliharaku, tapi
aku masih saja seperti dulu. Pertumbuhan tubuhku sangat lamban.” Kata Putri Cahaya Khairani kepada nenek
raksasa.
Mendengar mendengar katakata sang Putri
Cahaya Khairani, nenek raksasa tertawa. Suara tawanya begitu menggelegar , serasa
seluruh alam berguncang.
“Hi hi
hi hi hi....katakatamu itu memamang benar, cucuku. Tapi apa yang harus
kulakukan. Makanan untukmu kan tidak berkurang.”
“Nek,
biar cucumu cepat besar berilah aku makan semacam hati biatang. Jika itu tidak
diberi aku tidak akan cepat besar, nek!”
“Baiklah
jika demikian, akan aku carikan untukmu seratus hati binatang . terus terang,
aku pun sudah tak sabar untuk menyantapmu!” kata nenek raksasa dengan senangnya.
Betapa senanglah hati sang Putri Cahaya
Khairani. Ia ingin nenek raksasa itu secepatnya pergi mencari hati binatang.
Jika nenek raksasa itu pergi, ia dan Mara Karma berencana untuk ke luar
melarikan diri dari rumah raksasa itu.
Keesokan harinya nenek raksasa pun pergi
mencari seratus hati binatang untuk diberikan kepada Putri Chaya Khairani.
“Baiklah
cucuku, aku akan mencarikan untukmu seratus hati binatang. Jagalah rumah ini
baik-baik, dan jangan pergi jauh-jauh!”
“Iya
nek, pergilah cepat. Cucuk mengharap agar nenek cepatlah pulang dengan membawa
seratus hati binatang.”
Nenek raksasa pun secepatnya meninggalkan
rumahnya untuk mencari seratus hati binatang. Tak sedikit pun ia menaruh curiga
kepada sang Putri Chaya Khairani. Ia percaya tidak akan terjadi apa-apa.
Setelah nenek raksasa pergi, Mara Karma
keluar dari persembunyiannya. Mara dan Putri tertawa bergelak kegirangan.
Mereka merasa sudah bebas dari cengkeraman raksasa.
“Apa
yang harus kita buat sekarang, kak Mara?”
“Baik,
kita manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku akan membuat lubang. Lubang
itu dibuat di tempat yang biasanya dilalui oleh sang nenek raksasa. Lubang itu
merupakan lubang jebakan yang di atasnya ditutupi dengan daun-daun kering.” Kata Mara Karma.
Setelah lubang itu selesai dibuat, Mara
Karma dan Putri Cahaya Khairani bersiap-siap untuk pergi. Barang-barang yang
akan dibawa disiapkan ditumpuk di tepi pantai. Mereka membuat tali ijuk yang
dihubungkan ke lubang jebakan yang dibuatnya tadi. Tali ijuk itu lalu
dibakarnya. Api itu pun menjalar membakar sepanjang tali ijuk menuju ke lubang
jebakan. Berkatalah Mara Karma kepada Putri Cahaya Khairani,
“Dinda
Putri Cahaya, lihatlah, apa itu? Bukankah itu kapal! Marilah kita mendekat ke
pantai itu!” kata Mara Karma.
Ternyata, memang sebuah kapal. Mara Karma
mengibarkan kain putih. Melihat kibaran itu, nakhoda kapa mendekat dan berlabuh
untuk singgah. Mereka melihat ada dua orang di sana yaitu Mara Karma dan Putri
Chaya Khairani.
“Dinda
Putri, lihat kapal itu merapat. Nanti kita minta izin agar dapat ikut bersama,”
kata
Mara Karma.
“Itu
lebih baik kak Mara, supaya kita lepas dari cengkeraman raksasa itu.”
Setelah kapal itu bersandar, anak kapal pun
turun. Mereka saling memperkenalkan diri.
“Apakah
yang terjadi?” tanaya
nakhoda kapal kepada Mara Karma. Tetapi belum sempat pertanyaan itu dijawab
Mara Karma, sang nakhoda kapal bertanya lagi:
“Di
manakah kapal kalian tenggelam?”
“Tidak,
kapal kami tidak tenggelam. Bahkan kami tidak punya kapal.”
“Jika
demikian, apa yang telah terjadi?”
Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani pun
menceritakan apa yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing.
“Aku
diculik oleh raksasa sewaktu sedang bermain. Raksasa itu datang tanpak
diketahui. Karena takut, aku dan teman-temanku berlari. Tapi sayang aku
tertangkap oleh raksasa. Dan akhirnya aku dilarikan oleh raksasa.”
Sewaktu
dilarikan, aku masih kecil,” tambahnya.
“Oh,
kalau begitu sudah lama engkau hidup di bawah asuhan raksasa,” kata anak kapal.
“Ya,
sudah cukup lama. Dalam aku kebingungan dan ketakutan, aku melihat ada seorang
terdampar. Orang itu tidur dengan tangan dan kaki terikat. Aku dekati dia.
Ternyata dia masih hidup. Aku pun mencoba membangunkannya. Orang itu sadar.
Nah, inilah orangnya.” Kata Putri Cahaya
Khairani sambil menunjuk Mara Karma.
Nakhoda dan anak buah kapal memahami apa
yang telah terjadi atas diri sang Putri Cahaya Khairani. Mereka merasa belas
kasihan.
“Nah,
bagaimana pula cerita tentang dirimu,” Tanya
nakhoda kepada Mara Karma. Mara Karma pun menceritakan peristiwa yang
dialaminya.
Mendengar cerita Mara Karma, sang nakhoda
kapal merasa belas kasihan.
“Nah
jika demikian, apa yang akan tuan kehendaki sekarang?” tanya nakhoda.
“Ya,
hamba mengharapkan pertolongan tuanku, agar kami berdua dapat bersama menumpang
kapal tuanku,” katanya. “Karena
jika kami tetap tinggal di sini, kami pasti dimangsa oleh nenek raksasa itu!” tambah Mara Karma.
“Baiklah,
jika itu keinginan kalian, cepatlah naik ke kapal kami!”
Bukan main senangnya hati Mara Karma dan
Putri Cahaya Khairani mendengar tawaran sang nakhoda itu. Maka segera
diangkatnya semua barang-barang perbekalan mereka ke atas kapal. Setelah
selesai kapal pun siap untuk berangkat.
Mara Karma teringat akan lubang jebakan yang
dibuatnya. Ia meminjam kemacik kepada salah seorang anak kapal. Dibakarnya
ujung tali yang dibuatnya. Tali itu terbakar dan apinya menjalar menuju rumah
sang nenek raksasa. Dari atas kapal terlihat api itu membesar. Semua daun dan
pohon yang ada didekatnya layu. Sebagian ludes terbakar api.
Melihat api itu membesar, bukan main
senangnya hati Putri Cahaya Khairani. Rumah sang nenek raksasa pasti musnah
terbakar. Terbayanglah olehnya tentu nenek raksasa pun akantewas ikut terbakar
pula.
“Kak
Mara, aku rasa nenek raksasa itu sudah pulang, dan terperosok ke dalam lubang
jebakan. Ia tak mungkin dapat keluar dari lubang jebakan itu karena badannya
besar dan berat!” kata
sang Putri Cahaya Khairani kepadaMara Karma.
“Iya
Putri, aku rasa juga demikian. Tetapi, biarlah ia mati. Raksasa itu sangat
berbahaya bagi kita.”
Tiba-tiba nakhoda kapal mendekati mereka
lalu bertanya:
“Hai,
Mara Karma, ke negeri manakah tujuan kalian? Sedangkan kami ini akan menuju ke
negeri seberang untuk berniaga. Di negeri itu terdapar pasar besar. Para
pedagang berdatangan dari berbagai negeri. Mereka sedang menunggu kedatangan
kapal kami karena akan membeli barang dagangan kami. Kami membawa macam-macam
keperluan mereka. Seperti kelapa, pisang, dan gula aren!” kata sang nakhoda.
“Akan
tetapi, yang menjadi niaga utama mereka adalah rempah-rempah, seperti cengkeh
dan pala sedang kami hanya sedikit membawa rempah-rempah tersebut sementara
mereka banyak membutuhkan banyak rempah-rempah tersebut untuk dibawa ke
negerinya
karena dinegereka terhanya rempah-rempah
harganya tinggi dan mahal sekali.”
Mereka nampak terlibat dalam percakapan yang
serius. Mara Karma dan Putri Cahaya Khairani merasa senang karena diperlakukan
dengan baik, akrab, ramah dan sopan.
Anak buah kapal membawakan kopi susu dan
beberapa potong roti bakar. Nakhoda kapal mempersilahkan mereka minum dan makan
roti. Mereka bertiga menikmati hidangan yang ada di hadapan mereka.
Terlihat Mara Karma dan Putri Cahaya
Khairani begitu menikmati kopi susu dan roti bakar itu. Hampir setengah gelas
kopi susu dihirupnya. Sementara sang nakhoda hanya tersenyum. Hatinya berkata,
“Sudah
berapa lama mereka ini tidak makan, mungkin ini suguhan yang pertama mereka
nikmati. Sekian lama mereka tinggal tinggal bersama raksasa pasti tidak pernah
minum dan makan makanan manusia biasa.”
Nakhoda kapal ingin tahu, apa benar
perkiraannya itu:
“Putri,
selama hidup bersama raksasa itu, apa yang dimakan?” tanya sang nakhoda.
Sang Putri Cahaya Khairani hanya terdiam. Hatinya merasa terpukul dengan
pertanyaan sang nakhoda kapal. “Apakah
sang nakhoda ini tahu bahwa aku begitu sangat lapar,” pikir sang Putri dalam hati. Dengan berat hati
sang Putri menjawab:
“Iya
tuan Nakhoda, selama tinggal bersama raksasa akku makan apa saja yang dapat
dimakan. Aku tidak boleh keluar dari rumah. Dulu, ketika aku baru diculiknya,
aku nekad berusaha kabur melarikan diri, tapi nenek raksasa itu selalu tahu dimana
aku bersembunyi. Lama-lama aku pun pasrah saja. dan tugasku selama tinggal
bersama raksasa itu adalah mencari ratusan kutu-kutu yang ada dirambutnya. Dan
itu aku rasakan betapa beratnya tugas itu.”
“Kok
tugas mencari kutu saja terasa berat, kenapa?” tanya sang nakhoda sedikit merasa heran.
“Iya,
karena kutu-kutunya pun besar-besar dan bentuknya amat menakutkan. Sukar sekali
untuk membunuh kutu-kutu itu. Ditambah alat pemukulnya berupa palu besar yang
berat sekali mengangkatnya.”
Sang nakhoda kapal sedikit terkesima
mendengar penuturan Sang Putri Cahaya Khairani. Dan ia membayangkannya betapa
menderitanya sang putri tinggal bersama raksasa. Maka sang nakhoda pun kembali
bertanya:
“Sekiranya
sang Putri tidak mengikuti perintah sang raksasa itu, bagaimana?” Tanya nakhoda. “Apakah pernah raksasa itu marah dan
menghardik, sang Putri?” kembali
sang nakhoda bertanya.
“Pada
awal-awalnya, iya! Tetapi lama-kelamaan tidak, karena raksasa itu rupanya takut
pula kalau aku pergi melarikan diri.”
Nakhoda itu merasa kagum kepada Putri Cahaya
Khairani. Dalam hatinya ia berpikir, ‘Jika
ia menjadi sang Putri barangkali sudah lama mati’. Mati karena ketakutan.
Sekarang giliran Mara Karma menceritakan pengalamannya bersama nenek raksasa.
“Karena
saya belum lama tinggal bersama raksasa itu, saya tidak mengalami sebagaimana
yang dialami oleh Sang Putri. Selama ini saya hanya dihantui oleh rasa
ketakutan saja saat dimana saya bersembunyi di kolong tempat tidur, dan raksasa
itu sudah mengendus bau manusia lain selain bau sang Putri Cahaya Khairani di
rumahnya, dan untunglah sang Putri mengatakan tidak ada, dan itu adalah bau
tubuh sang Putri sendiri. Ketika itu saya bersembunyi di kolong tempat tidur
yang hanya ditutupi oleh daun-daunan. Jika raksasa itu sempat mengetahui
persembunyian saya,tentu saya sudah tewas dimakan raksasa itu.”
Karena sudah terlalu lama bercerita, sang
nakhoda mulai merasa mengantuk. Ia biasa beristirahat tidur di siang hari. Maka
dipersilahkannya Sang Putri untuk beristirahat di kamar yang telah disedikan
untuknya. Sedangka Mara Karma bersama-sama anak buah kapal lainnya.
Setelah beberapa hari berlayar, sang nakhoda
kapal bermaksud ingin mengawini sang Putri Cahaya Khairani. Merasa terhalang
oleh keberadaan Mara Karma, sang nakhoda kapal berniat jahat ingin membunuh
Mara Karma. Hal itu tidak diketahui oleh Putri Cahaya Khairani. Sang nakhoda
kapal bersama dengan anak buahnya menyusun rencana jahat mencelakakan Mara
Karma. Tiba pada rencana yang ditentukan, diajaknya Mara Karma ke buritan kapal
untuk memancing ikan. Hal seperti itu biasa dilakukan oleh mereka.
Mara Karma mulai menaruh curiga. Akan tetapi
ia tetap menjalankan pekerjaan itu seperti biasa. Ia pun duduk dengan kali
berjuntai. Pancing di tangan. Dengan bersiul kecil, ia mengharap ikan akan
memakan umpan pancingnya.
Tetapi, putri merasa tak enak. Dia bermaksud
membicarakan hal itu kepada Mara Karma. Tetapi pada saat itu dia dipanggil oleh
nakhoda untuk menemaninya. Karena rasa khatirnya selalu mencengkam, Putri
Cahaya Khairani mengatakannya kepada nakhoda:
“Akh,
itu hanya perasaan saja, Putri! Karena Putri belum biasa berlayar. Nanti jika
kapal merapat, kita turun melihat-lihat negeri!” sang nakohda berusaha menghibur Putri Cahaya
Khairani. Padahal sesungguhnya itu taktik nakhoda agar Putri tidak menemui Mara
Karma.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara
gaduh di buritan kapal. Seorang anak buah kapal berlari menemui nakhoda seraya
berkata:
“Tuan
Nakhoda, Mara Karma terjatuh ke laut, dan tenggelam!”
Mendengar berita itu sang nakhoda
berpura-pura terkejut. Sang Putri menjerit keras. Lalu Ia tidak sadarkan diri.
Putri pun digotong di bawa ke kamarnya.
Setelah sadar, ia menanyakan bagaimana
dengan pencarian Mara Karma. Nakhoda mengatakan gagal. Mara Karma tidak
ditemukan. Betapa sedih hati Putri Chaya Khairani. Orang yang telah
menyelamatkan dirinya dari raksasa telah pergi. Kepergiannya tak akan kembali.
putri Cahaya Khairani tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa berdoa agar
Mara Karma diselamatkan oleh Tuhan. Sejak itu Putri Cahaya Khairani di bawah
pengawasan sang nakhoda .
Bersambung...!!!
Sabtu, 09 November
2019
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
__________________________________________
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar