Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 19 Oktober 2019 - 05.10 WIB
Sabtu, 19 Oktober 2019 - 05.10 WIB
1. SI MISKIN
Si Miskin adalah
nama seorang laki-laki. Ia bersama keluarganya tinggal di sebuah gubuk di
pinggir sebuah hutan. Keadaan keluarga itu sangat miskin. Mereka hidup hanya
dengan mencari kayu bakar. Mereka menjual kayu bakar ke kampung yang dekat
dengan tempat tinggal mereka.
Si Miskin sering
memikirkan nasibnya. Namun, apa yang dapat diperbuatnya. Ia hanya dapat
melakukan apa yang sudah biasa dikerjakannya.
Mara Karma adalah
anaknya yang sulung. Karena keadaan, ia tidak bersekolah. Padahal, Mara
termasuk anak yang cerdas.
“Ayah, apakah Ayah tidak mencari kayu?” tanya Mara.
“Ayah pergi agak siang.”
“Sebaiknya, kita berangkat agak pagi, Ayah.”
Supaya kita mendapat kayu agak banyak,” jawab Mara.
“Tunggulah sebentar lagi. Siapkanlah kapak dan parang.”
Mara langsung pergi
ke dapur. Ia menyiapkan kapak dan parang. Kemudian, ia mendekati ayahnya.
“Mari Ayah. Semuanya sudah aku siapkan.”
Ayahnya bukan senang
hatinya. Ibunya pun merasa bahagia. Mereka semua bahagia. Tak sedikitpun
dirasakan sengsara dalam hidupnya. Mereka selalu bersyukur dengan rezki yang
diperoleh. Walaupun kadang makan kadang tidak mereka selalu tabah dan tawakal.
Merka yakin bahwa Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Manusia wajib
berusaha. Itulah yang membuat mereka selalu bahagia. Mereka tetap akan berusaha.
“Mari kita berangkat. Hari sudah bertambah siang,” ajak
Ayah kepada Mara.
“Baik, Ayah. Aku pamit dulu kepada ibi.”
Setelah pamit kepada
ibunya, Mara berangkat bersama ayahnya. Mereka pergi ke hutan yang agak jauh.
Mereka berharap akan mendapat kayu yang lebih banyak.
Mereka pergi tanpa
berbekal makanan. Memang tidak ada yang akan dibawa. Beras ada sedikit hanya
untuk di rumah. Mara dan ayahnya sudah biasa makan buah atau umbut yang
ditemukan. Mereka merasakan semuanya itu suatu kehidupan yang menyenangkan.
“Yah, Ayah,” teriak Mara tiba-tiba.
“Ada apa?”
“Lihat, Ayah, apa itu?” dia menunjuk
sesuatu.
“Biarlah, kita jangan mendekat. Kita memanjat pohon
saja,”
kata Ayah.
Kedua beranak itu
pun memanjat pohon yang tidak jauh dari sana. Mereka memperhatikan sesuatu itu
dari atas. Sekarang jelas bahwa ada seekor harimau. Binatang itu sedang lewat
di tempat itu. Mara dan ayahnya tidak gemetar.bagi mereka hal itu sudah biaa.
Namun mereka harus tetap berhati-hati. apabila mereka lengah, khawatir terjadi
yang tidak diinginkan.
“Mara,” sapa Ayah. “Kelihatannya ia pergi ke arah
selatan. Di sana kan, banyak pohon buah.”
“Wah, Yah, hari ini kita tak mungkin ke sana,” jawab Mara.
“Kelihatannya begitu. Tapi biarlah, tidak mengapa. Besok
saja kita ke sana, kita pasti akan bertemu dengan s belang itu. Kita pun akan
mendapatkan apa-apa.”
“Kita tunggu saja dulu. Biasanya jika tidak ada buah
yang ditemukannya, ia akan pergi,” jawabAyah. Harimau itu berlalu.
“Mari kita turun.”
Kedua beranak itu
pun turun. Sesampainya di bawah mereka merasa lega. Rasa cemas hilang, rasa lapar rupanya mendesak. Mereka mencari
umbut atau buah hutan untuk dimakan. Mereka sudah mengenal umbut atau buah yang
dapat dimakan.
“Mara, hari ini kita tak usah ke selatan.”
“Kalaupun ada buah di sana, pasti sudah dimakan harimau
tadi,” tambah
Ayah.
“Kalau begitu, kita pulang saja, Ayah.”
“Hari sudah mulai sore,” tambah Mara.
“Baiklah, siapkan kapak dan parangmu. Mari kita pulang,”
kata
Ayah.
Akhirnya, mereka
berdua pulang. Hampir senja mereka baru tiba. Ibu dan adiknya sudah menunggu.
Mereka gembira melihat kayu yang didapat agak banyak.
“Banyak, Yah, kayunya,” kata ibu Mara.
“Ya, Bu. Kami tadi agak jauh ke dalam hutan,” jawab Mara.
“Wah, tapi , tadi kami melihat harimau, Bu,” sambung Ayah. “Tapi tidak apa-apa. Ya, kami berdua
memanjat pohon untuk berlindung.”
“Y, itu kan merupakan salah satu kehidupan kita, Yah.
Jika tidak diganggu, ia juga tidak akan menyakiti kita,” kata ibu.
“N ila, ini untukmu,” panggil Mara. “Tadi aku dan Ayah mendapatkannya di hutan.”
Bukan main senang
hati nila. Ia merasa disayang oleh kakaknya, Si Mara. Memang Mara dan Nila
kakak beradik yang saling menyayangi. Mara memberikan beberapa buah arbei. Di
beberapa semak memang sering terdapat pohon arbei. Di sekitar situ biasanya
terdapat beberapa jenis kupu-kupu karena daun arbei merupakan makanan
kepompong.
“Sebentar, Kak. Aku punya sesuatu untukmu,” kata Nila. Cepat ia
masuk ke dapur dan keluar membawakan dua potong talas yang sudah direbus.
“Wah, enak ya,” kata Mara.
“Mana untuk Ayah?” tanya Ayah.
“Ada Ayah, apa kubawakan kemari?” tanya Nila.
“Ya, bawa saja kemari. Kebetulan memang kami tadi tidak
makan apa-apa. Hanya umbut rotan yang kami makan tadi. Itu pun sekedar pengisi
perut.”
“Apa tidakada umbi dan buah?” tanya ibu Mara.
“Tidak ada. Jika ada, mungkin sudah dimakan oleh
binatang. Ya memang, kita harus berbagi pada mereka. Mereka juga harus makan.
Makan apa yang ada di hutan. Kalau kita, masih mungkin makan yang lain dibeli
di pasar,” jawab
Ayah.
“Mara, mari kita ke sumur, untuk mandi. Hari sudah mulai
gelap. Sebentar lagi Maghrib,” ajak Ayah.
Mara dan ayahnya
pergi ke sumur. Setelah itu mereka salat Maghrib berjamaah. Setiap selesai
salat mereka selalu bersyukur atas rezeki yang didapat. Mereka merasa apa pun
yang dimakan dan didapati merupakan pemberian Tuhan. Begitu pula jika mereka
mendapat musibah, semuanya itu dari Tuhan. Rupanya mereka betul-betul
menanamkan hal itu ke dalam jiwa dan kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka
selalu hidup penuh kedamaian dan kebahagiaan.
“Nila, siapkan nasi supaya kita makan,” kata ibu.
Nila segera ke dapur
mengambil nasi dan sayur. Setelah siap, mereka makan bersama. Selesai makan
mereka bercengkrama di depan rumah. Tak lama kemudian mereka masuk ke rumah dan
langsung pergi tidur.
Pagi-pagi Ayah dan
Mara sudah siap lagi untuk berangkat mencari kayu. Kali mereka membawa nasi
sebagai bekal. Mereka bertujuan ke daerah selatan. Mereka berharap ada buah
yang dapat dibawa pulang.
“Mara, sudah siap?” tanya Ayah.”
“Sudah, Yah.”
“Kalau sudah siap, mari kita berangkat.”
Keduanya pun
berangkat menuju tempat untuk mencari kayu. Selain kayu, mereka juga mencari
umbut atau umbi untuk dibawa pulang. Setelah beberapa lama berjalan mereka
sampai di tempat tujuan.
Setibanya di sana
mereka melihat banyak sisa durian dan buah lainnyaa. Mereka sudah mengerti
bahwa itu bekas yang dimakan binatang. Misalnya, mangga tinggal separuh, durian
tinggal kulitnya dan semuanya itu acak-acakkan. Bau mangga dan durian sangat
merangsang. Namun, mereka harus berhati-hati. biasanya masih banyak yang
binatang yang datang. Ada monyet, kalong, dan tidak jarang harimau. Semuanya
itu menyukai buah-buahan. Kalau tidak hati-hati, mereka akan marah dan manusia
yang diserang.
“Ayah, ini ada durian tiga buah masih utuh. Rupanya,
baru jatuh,” teriak
Mara.
“Cepat ambil. Masukkan ke dalam keranjangmu. Tutup pakai
daun, “ jawab
Ayah.
“Ini, Ayah dapat satu,” kata Ayah.
Setelah mendapat
empat buah mereka berjalan lagi. Di samping durian mereka juga mendapatkan buah
kemang dan mangga. Hari itu mereka mendapatkan buah yang agak lumayan. Setelah
itu mereka mencari tempat yang aman. Mereka beristirahat untuk makan.
Kayu-kayu yang sudah
dipotong mereka tinggalkan, baru pada saat pulang diambil. Hal itu dilakukan
agar getah kayu akan hilang lebih dahulu.
“Ayaaah! Lari!” terak
Mara.
“Ada monyet yang mengejar Ayah.”
Rupanya ada monyet
yang mengetahui bahwa Ayah Mara membawa buah. Biasanya buah disimpan di sebelah
bawah. Sekali ini tidak. Ayah meletakkan buah kemang dan mangga di sebelah
atas. Ayah takut buah itu hancur karena sudah terlalu ranum.
Gambar 1
Ayah dikeroyok
monyet. Monyet makan buah kemang dan mangga.
Ayah dan Mara hanya
membiarkan hal itu.
Ayah terlambat lari.
Akhirnya, Ayah terpaksa berkelahi dengan monyet itu. Ayah dikeroyok tiga
monyet. Mara mencoba membantu, tetapi sia-sia. Monyet itu besar-besar. Tapi
untunglah Ayah sudah tahu caranya. Ayah membiarkan monyet itu makan kemang.
Buah kemang itu dihabiskannya. Ternyata monyet-monyet itu juga mengerti.
Setelah kenyang mereka pun meninggalkan Mara dan ayahnya. Hanya kasihan, Ayah
Mara luka karena digigit monyet-monyet itu. Mara memotong pohon yang ada di
dekatnya. Getahnya diborehkan pada luka ayahnya. Perih luka kena getah itu.
Tapi, Ayah menahan perihnya. Tak lama kemudian darahnya pun berhenti.
“Yah, Ayah, bagaimana? Sudah dapat ayah berjalan?” tanya Mara.
“Luka Ayah yang di lengan ini agak parah,” kata Mara.
“Ah, tak usah khawatir, tidak apa-apa. Sesampai di rumah
nanti akan Ayah cuci. Setelah itu baru diberi getah lagi” kata Ayah.
Mereka berjalan
menuju pulang. Sambil berjalan mereka memungut kayu yang sudah
dipotong-potongnya tadi. Hari hasilnya agak lumayan. Selain kayu bakar, ada
beberapa buah emang, mangga, dan empat durian. Hati mereka sangat senang.
“Mara, kukira kalau kayu ini terjual habis, kita dapat
beristirahat tiga hari,” kata Ayah. “Belum
lagi kemang, mangga, dan durian,” tambah Ayah.
“Y, Ayah, kita istirahat tiga hari,” kata Mara.
“Tapi saya akan tetap mencari kayu di tempat dekat-dekat
saja,”
tambah Ayah.
“Maksudku, jangan menunggu sampai kayu itu habis baru
kita mencarinya lagi.”
“Bolehlah,” kata Ayah.
“Aku akan mengobati lukaku ini selama tiga hari itu,” jawab Ayah, “Supaya cepat sembuh.”
Sesampai di rumah,
mereka pergi ke sumur. Setelah membersihkan bada. Mara dan Ayah duduk duduk di
depan rumah. Tapi alangkah terkejutnya Ibu dan Nila mendengar cerita tentang
peristiwa siang itu. Nila dan Ibu berebut untuk melihat luka Ayah.
“Ah, tidak apa-apa,” kata Ayah, “Lukanya sudah bersih dan juga menutup.”
“Bagaimana, sampai Ayah digigit monyet itu?,” tanya Nila.
“Ayah salah, buah mangga dan kemang Ayah letakkan di
bagian atas,“ kata Mara.
“Jadi buah-buah itu dilihat oleh monyet.” “Tapi untung
Ayah cepat-cepat meletakkan keranjangnya. Ayah membiarkan monyet-monyet itu
memakan buah-buah itu.”
“Setelah kenyang monyet itu pergi, buah yang tersisa
mereka biarkan,” kata Mara.
“Mara, memang harus begitu. Kalau kita memusuhi mereka,
kita bahaya. Monyet sifatnya pendendam. Bisa-bisa kehidupan kita akan terancam
di sini.” Kata
Ayah.
Mara memahami apa
yang dikatakan ayahnya. Sementara Nila senang melihat buah-buahan itu. Dalam
pikirannya betapa banyak beras yang dibeli dengan hasil penjualan itu nanti.
“”Ibu, aku siapkan makan ya, bu,” kata Nila.
“Ya,” jawab Nila.
Mereka pun makan
bersama. Kali ini mereka makan agak istimewa. Mereka makan dengan lauk ikan
asin. Bagi mereka ikan asin itu suatu makanan yang istimewa.
Selama tiga hari
ayah berada di rumah. Sementara itu, Mara mencari kayu di dekat-dekat rumah
saja. Itu hanya sekedar pengisi waktu. Selain itu, menjaga-jaga jika yang ada
terjual habis.
Itulah kehidupan
yang dilalui oleh keluarga Si Miskin. Mereka tidak pernah merasa miskin. Hanya,
orang lain yang melihat mereka itu miskin. Namun, semuanya itu tidak mereka rasakan.
Mereka merasa hidupnya wajar. Setiap hari masih dapat makan walaupun hanya
sehari sekali.
Jumat, 17 Oktober
2019
KSP 42 - Kp.
Pangarakan, Lido – Bogor
S u m b e r :
Atika
Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar