Jumat, 18 Oktober 2019

Atika Sya'rani: "MARA KARMA"

Blog Ki Slamet 42: Seni Budaya Nusantara
Sabtu, 19 Oktober 2019 - 05.10 WIB

1. SI MISKIN

Si Miskin adalah nama seorang laki-laki. Ia bersama keluarganya tinggal di sebuah gubuk di pinggir sebuah hutan. Keadaan keluarga itu sangat miskin. Mereka hidup hanya dengan mencari kayu bakar. Mereka menjual kayu bakar ke kampung yang dekat dengan tempat tinggal mereka.
Si Miskin sering memikirkan nasibnya. Namun, apa yang dapat diperbuatnya. Ia hanya dapat melakukan apa yang sudah biasa dikerjakannya.
Mara Karma adalah anaknya yang sulung. Karena keadaan, ia tidak bersekolah. Padahal, Mara termasuk anak yang cerdas.
“Ayah, apakah Ayah tidak mencari kayu?” tanya Mara.
“Ayah pergi agak siang.”
“Sebaiknya, kita berangkat agak pagi, Ayah.”
Supaya kita mendapat kayu agak banyak,”  jawab Mara.
“Tunggulah sebentar lagi. Siapkanlah kapak dan parang.”
Mara langsung pergi ke dapur. Ia menyiapkan kapak dan parang. Kemudian, ia mendekati ayahnya.
“Mari Ayah. Semuanya sudah aku siapkan.”
Ayahnya bukan senang hatinya. Ibunya pun merasa bahagia. Mereka semua bahagia. Tak sedikitpun dirasakan sengsara dalam hidupnya. Mereka selalu bersyukur dengan rezki yang diperoleh. Walaupun kadang makan kadang tidak mereka selalu tabah dan tawakal. Merka yakin bahwa Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Manusia wajib berusaha. Itulah yang membuat mereka selalu bahagia. Mereka tetap akan berusaha.
“Mari kita berangkat. Hari sudah bertambah siang,” ajak Ayah kepada Mara.
“Baik, Ayah. Aku pamit dulu kepada ibi.”
Setelah pamit kepada ibunya, Mara berangkat bersama ayahnya. Mereka pergi ke hutan yang agak jauh. Mereka berharap akan mendapat kayu yang lebih banyak.
Mereka pergi tanpa berbekal makanan. Memang tidak ada yang akan dibawa. Beras ada sedikit hanya untuk di rumah. Mara dan ayahnya sudah biasa makan buah atau umbut yang ditemukan. Mereka merasakan semuanya itu suatu kehidupan yang menyenangkan.
“Yah, Ayah,” teriak Mara tiba-tiba.
“Ada apa?”
“Lihat, Ayah, apa itu?” dia menunjuk sesuatu.
“Biarlah, kita jangan mendekat. Kita memanjat pohon saja,” kata Ayah.
Kedua beranak itu pun memanjat pohon yang tidak jauh dari sana. Mereka memperhatikan sesuatu itu dari atas. Sekarang jelas bahwa ada seekor harimau. Binatang itu sedang lewat di tempat itu. Mara dan ayahnya tidak gemetar.bagi mereka hal itu sudah biaa. Namun mereka harus tetap berhati-hati. apabila mereka lengah, khawatir terjadi yang tidak diinginkan.
“Mara,” sapa Ayah. “Kelihatannya ia pergi ke arah selatan. Di sana kan, banyak pohon buah.”
“Wah, Yah, hari ini kita tak mungkin ke sana,” jawab Mara.
“Kelihatannya begitu. Tapi biarlah, tidak mengapa. Besok saja kita ke sana, kita pasti akan bertemu dengan s belang itu. Kita pun akan mendapatkan apa-apa.”
“Kita tunggu saja dulu. Biasanya jika tidak ada buah yang ditemukannya, ia akan pergi,”  jawabAyah. Harimau itu berlalu.
“Mari kita turun.”
Kedua beranak itu pun turun. Sesampainya di bawah mereka merasa lega. Rasa cemas hilang,  rasa lapar rupanya mendesak. Mereka mencari umbut atau buah hutan untuk dimakan. Mereka sudah mengenal umbut atau buah yang dapat dimakan.
“Mara, hari ini kita tak usah ke selatan.”
“Kalaupun ada buah di sana, pasti sudah dimakan harimau tadi,” tambah Ayah.
Kalau begitu, kita pulang saja, Ayah.”
“Hari sudah mulai sore,” tambah Mara.
“Baiklah, siapkan kapak dan parangmu. Mari kita pulang,” kata Ayah.
Akhirnya, mereka berdua pulang. Hampir senja mereka baru tiba. Ibu dan adiknya sudah menunggu. Mereka gembira melihat kayu yang didapat agak banyak.
“Banyak, Yah, kayunya,” kata ibu Mara.
“Ya, Bu. Kami tadi agak jauh ke dalam hutan,” jawab Mara.
“Wah, tapi , tadi kami melihat harimau, Bu,” sambung Ayah. “Tapi tidak apa-apa. Ya, kami berdua memanjat pohon untuk berlindung.”
“Y, itu kan merupakan salah satu kehidupan kita, Yah. Jika tidak diganggu, ia juga tidak akan menyakiti kita,” kata ibu.
“N ila, ini untukmu,” panggil Mara. “Tadi aku dan Ayah mendapatkannya di hutan.”
Bukan main senang hati nila. Ia merasa disayang oleh kakaknya, Si Mara. Memang Mara dan Nila kakak beradik yang saling menyayangi. Mara memberikan beberapa buah arbei. Di beberapa semak memang sering terdapat pohon arbei. Di sekitar situ biasanya terdapat beberapa jenis kupu-kupu karena daun arbei merupakan makanan kepompong.
“Sebentar, Kak. Aku punya sesuatu untukmu,” kata Nila. Cepat ia masuk ke dapur dan keluar membawakan dua potong talas yang sudah direbus.
“Wah, enak ya,” kata Mara.
“Mana untuk Ayah?” tanya Ayah.
“Ada Ayah, apa kubawakan kemari?” tanya Nila.
“Ya, bawa saja kemari. Kebetulan memang kami tadi tidak makan apa-apa. Hanya umbut rotan yang kami makan tadi. Itu pun sekedar pengisi perut.”
“Apa tidakada umbi dan buah?” tanya ibu Mara.
“Tidak ada. Jika ada, mungkin sudah dimakan oleh binatang. Ya memang, kita harus berbagi pada mereka. Mereka juga harus makan. Makan apa yang ada di hutan. Kalau kita, masih mungkin makan yang lain dibeli di pasar,” jawab Ayah.
“Mara, mari kita ke sumur, untuk mandi. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi Maghrib,” ajak Ayah.
Mara dan ayahnya pergi ke sumur. Setelah itu mereka salat Maghrib berjamaah. Setiap selesai salat mereka selalu bersyukur atas rezeki yang didapat. Mereka merasa apa pun yang dimakan dan didapati merupakan pemberian Tuhan. Begitu pula jika mereka mendapat musibah, semuanya itu dari Tuhan. Rupanya mereka betul-betul menanamkan hal itu ke dalam jiwa dan kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka selalu hidup penuh kedamaian dan kebahagiaan.
“Nila, siapkan nasi supaya kita makan,” kata ibu.
Nila segera ke dapur mengambil nasi dan sayur. Setelah siap, mereka makan bersama. Selesai makan mereka bercengkrama di depan rumah. Tak lama kemudian mereka masuk ke rumah dan langsung pergi tidur.
Pagi-pagi Ayah dan Mara sudah siap lagi untuk berangkat mencari kayu. Kali mereka membawa nasi sebagai bekal. Mereka bertujuan ke daerah selatan. Mereka berharap ada buah yang dapat dibawa pulang.
“Mara, sudah siap?” tanya Ayah.”
“Sudah, Yah.”
“Kalau sudah siap, mari kita berangkat.”
Keduanya pun berangkat menuju tempat untuk mencari kayu. Selain kayu, mereka juga mencari umbut atau umbi untuk dibawa pulang. Setelah beberapa lama berjalan mereka sampai di tempat tujuan.
Setibanya di sana mereka melihat banyak sisa durian dan buah lainnyaa. Mereka sudah mengerti bahwa itu bekas yang dimakan binatang. Misalnya, mangga tinggal separuh, durian tinggal kulitnya dan semuanya itu acak-acakkan. Bau mangga dan durian sangat merangsang. Namun, mereka harus berhati-hati. biasanya masih banyak yang binatang yang datang. Ada monyet, kalong, dan tidak jarang harimau. Semuanya itu menyukai buah-buahan. Kalau tidak hati-hati, mereka akan marah dan manusia yang diserang.
“Ayah, ini ada durian tiga buah masih utuh. Rupanya, baru jatuh,” teriak Mara.
“Cepat ambil. Masukkan ke dalam keranjangmu. Tutup pakai daun, “ jawab Ayah.
“Ini, Ayah dapat satu,” kata Ayah.
Setelah mendapat empat buah mereka berjalan lagi. Di samping durian mereka juga mendapatkan buah kemang dan mangga. Hari itu mereka mendapatkan buah yang agak lumayan. Setelah itu mereka mencari tempat yang aman. Mereka beristirahat untuk makan.
Kayu-kayu yang sudah dipotong mereka tinggalkan, baru pada saat pulang diambil. Hal itu dilakukan agar getah kayu akan hilang lebih dahulu.
“Ayaaah! Lari!”  terak Mara.
“Ada monyet yang mengejar Ayah.”
Rupanya ada monyet yang mengetahui bahwa Ayah Mara membawa buah. Biasanya buah disimpan di sebelah bawah. Sekali ini tidak. Ayah meletakkan buah kemang dan mangga di sebelah atas. Ayah takut buah itu hancur karena sudah terlalu ranum.

Mara Karma (Ilustrator:  Andriansyah)
Gambar 1
Ayah dikeroyok monyet. Monyet makan buah kemang dan mangga.
Ayah dan Mara hanya membiarkan hal itu.

Ayah terlambat lari. Akhirnya, Ayah terpaksa berkelahi dengan monyet itu. Ayah dikeroyok tiga monyet. Mara mencoba membantu, tetapi sia-sia. Monyet itu besar-besar. Tapi untunglah Ayah sudah tahu caranya. Ayah membiarkan monyet itu makan kemang. Buah kemang itu dihabiskannya. Ternyata monyet-monyet itu juga mengerti. Setelah kenyang mereka pun meninggalkan Mara dan ayahnya. Hanya kasihan, Ayah Mara luka karena digigit monyet-monyet itu. Mara memotong pohon yang ada di dekatnya. Getahnya diborehkan pada luka ayahnya. Perih luka kena getah itu. Tapi, Ayah menahan perihnya. Tak lama kemudian darahnya pun berhenti.
“Yah, Ayah, bagaimana? Sudah dapat ayah berjalan?” tanya Mara.
“Luka Ayah yang di lengan ini agak parah,” kata Mara.
“Ah, tak usah khawatir, tidak apa-apa. Sesampai di rumah nanti akan Ayah cuci. Setelah itu baru diberi getah lagi” kata Ayah.
Mereka berjalan menuju pulang. Sambil berjalan mereka memungut kayu yang sudah dipotong-potongnya tadi. Hari hasilnya agak lumayan. Selain kayu bakar, ada beberapa buah emang, mangga, dan empat durian. Hati mereka sangat senang.
“Mara, kukira kalau kayu ini terjual habis, kita dapat beristirahat tiga hari,” kata Ayah. “Belum lagi kemang, mangga, dan durian,” tambah Ayah.
“Y, Ayah, kita istirahat tiga hari,” kata Mara.
“Tapi saya akan tetap mencari kayu di tempat dekat-dekat saja,” tambah Ayah.
“Maksudku, jangan menunggu sampai kayu itu habis baru kita mencarinya lagi.”
“Bolehlah,” kata Ayah.
“Aku akan mengobati lukaku ini selama tiga hari itu,” jawab Ayah, “Supaya cepat sembuh.”
Sesampai di rumah, mereka pergi ke sumur. Setelah membersihkan bada. Mara dan Ayah duduk duduk di depan rumah. Tapi alangkah terkejutnya Ibu dan Nila mendengar cerita tentang peristiwa siang itu. Nila dan Ibu berebut untuk melihat luka Ayah.
“Ah, tidak apa-apa,” kata Ayah, “Lukanya sudah bersih dan juga menutup.”
“Bagaimana, sampai Ayah digigit monyet itu?,”  tanya Nila.
“Ayah salah, buah mangga dan kemang Ayah letakkan di bagian atas,“ kata Mara.
“Jadi buah-buah itu dilihat oleh monyet.” “Tapi untung Ayah cepat-cepat meletakkan keranjangnya. Ayah membiarkan monyet-monyet itu memakan buah-buah itu.”
“Setelah kenyang monyet itu pergi, buah yang tersisa mereka biarkan,”  kata Mara.
“Mara, memang harus begitu. Kalau kita memusuhi mereka, kita bahaya. Monyet sifatnya pendendam. Bisa-bisa kehidupan kita akan terancam di sini.” Kata Ayah.
Mara memahami apa yang dikatakan ayahnya. Sementara Nila senang melihat buah-buahan itu. Dalam pikirannya betapa banyak beras yang dibeli dengan hasil penjualan itu nanti.
“”Ibu, aku siapkan makan ya, bu,” kata Nila.
“Ya,” jawab Nila.
Mereka pun makan bersama. Kali ini mereka makan agak istimewa. Mereka makan dengan lauk ikan asin. Bagi mereka ikan asin itu suatu makanan yang istimewa.
Selama tiga hari ayah berada di rumah. Sementara itu, Mara mencari kayu di dekat-dekat rumah saja. Itu hanya sekedar pengisi waktu. Selain itu, menjaga-jaga jika yang ada terjual habis.
Itulah kehidupan yang dilalui oleh keluarga Si Miskin. Mereka tidak pernah merasa miskin. Hanya, orang lain yang melihat mereka itu miskin. Namun, semuanya itu tidak mereka rasakan. Mereka merasa hidupnya wajar. Setiap hari masih dapat makan walaupun hanya sehari sekali.  


Jumat, 17 Oktober 2019
KSP 42 - Kp. Pangarakan, Lido – Bogor


S u m b e r :
Atika Sya’rani, “Mara Karma”
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar